May 11, 2008

Bingkai: Festival Radin Jambat, Festival Seni Budaya?

-- Endri Y.*

ENTITAS, etnisitas, dan berbagai identitas menjadi penyedap keragaman kita sebagai daerah multikultural. Format identitas suku (ethnic identity), identitas daerah (regional identity) dan identitas agama (religious identity) di Lampung sangat mudah menguat.

Apalagi jika dipicu dengan variabel politis, bagian integral dari konsekuensi logis dilaksanakannya bebagai festival ke-Lampung-an.

Proses pencarian tentang apa sebenarnya identitas Lampung memaksa saya hadir dalam berbagai kegiatan, bermula dari Ngumbai Lawok di Krui, Festival Jukung, lalu yang masih baru kemarin, festival Radin Jambat di Way Kanan, ditambah sehari setelahnya, ada pemancangan identitas Lampung yang lain, yaitu peresmian Menara Siger di Bakauheni.

Jika sejarah Tugu Siger dapat diketahui pada rangkaian sambutan, beda dengan festival Radin Jambat, yang hanya bisa diketahui melalui studi referensi/kepustakaan.

***

Radin Jambat adalah putra mahkota yang berasal dari Kerajaan Punigaran, dengan rajanya, Kiyai Sang Ratu Jambi. Kemudian, dalam perantauan, mengembara mencari jodoh, Radin Jambat ditemani dua punakawan yang sakti mandraguna, lalu berhasil menikahi Putri Ratu Rebut Agung. Putri cantik yang menjadi pujaan banyak lelaki.

Demikian kisah Radin Jambat yang berhasil membunuh 40 tunangan Sang Putri Ratu Rebut Agung, tentu saja dibumbui dengan kesaktian mistis, cerita tentang dewa-dewa, kekuatan supranatural, dan muaranya adalah kecantikan Sang Putri yang berhasil dinikahi.

Begitulah, sejarah Radin Jambat yang terlacak dalam buku Radin Jambat; Cerita Rakyat Daerah Lampung yang dihimpun Ali Imron dan Iskandar Syah, terbitan Gunung Pesagi, 1995.

Festival Radin Jambat sudah diselenggarakan yang ketiga kali oleh Pemkab Way Kanan dengan rangkaian acara berbagai lomba seni budaya. Karena sudah ketiga kali, dipastikan acara ini terus digelar setiap tahun. Senada dengan itu, konteks penarikan wisatawan (Visit Lampung 2009) Lampung Timur dengan Festival Way Kambas, Provinsi Lampung dengan Festival Krakatau, dan sebagainya membuat sejarah dan akar kearifan lokal yang dijadikan ikon untuk mendasari kegiatan seni budaya benar-benar autentik.

Tulisan di bawah ini hanyalah refleksi kritis penulis sebagai pencinta seni budaya Lampung agar setiap kegiatan yang bercorak dan dikhususkan sebagai usaha pelestarian tidak ambigu, ahistoris, sekadar politis. Dan apalagi jika sekedar dipaksakan keberadaannya.

Menariknya, jika unsur seni budaya yang dimaksudkan sebagai landasan filosofis diadakannya acara itu tidak menyentuh substansi emosional lokal masyarakat, yang ada hanya perayaan seremoni tanpa ruh seni budaya itu sendiri.

Misalnya, di Lampung Selatan, yang bangga dengan kepahlawanan Radin Inten II, tidak mungkin menyentuh emosional masyarakat Kalianda jika yang digelar adalah festival Pangeran Diponegoro.

Pertanyaannya, apa kaitan sejarah Radin Jambat dengan Way Kanan, Way Kambas dengan Lampung Timur, Krakatau dengan Provinsi Lampung?

Sebelum sampai pada interpretasi, setidaknya dalam ilmu kebudayaan di Indonesia ada dua cara untuk kontemplasi. Pertama, dengan teori dalam sistematisasi rasional dan filsafat seni budaya. Kedua, bergumul dengan seni budaya sebagai keseharian yang diberi makna secara sederhana dan efektif agar eksistensi estetis berlangsung terus- menerus atau dengan kata lain, seni budaya dibahasakan dengan komunikasi intuitif penghayatan, pembaruan, dan perayaan.

Arah Berkebudayaan

Dari kedua pencerdasan itu, penghayatan, pembaruan, dan perayaan adalah domain tata cara kebanyakan kita menginterpretasi seni budaya. Dengan demikian, kesan artifisial, sekadar seremoni, membaca berkacamata kepentingan pragmatis, hingga perspektif politis seolah kewajaran. Padahal logika seni budaya, masuk unsur pelestarian dan inventarisasi sangat beda konteks dengan politik kebijakan.

Hal ini yang menjadikan penulis berkeyakinan, festival semacam Radin Jambat jika tidak masif dan tumbuh dari masyarakat, sangat sulit dipertahankan.

Pengertian kebudayaan dalam paradigma struktural fungsional, menurut Emile Durkheim, yaitu pertama, melihat kebudayaan sebagai kesadaran kolektif yang berada di luar individu, dan mengontrol perilaku individu dalam mewujudkan tindakan. Kedua, mekanisme kontrol dalam perilaku individu dan akibat normatif bagi pelaku yang menyimpang dari aturan-aturan dalam mekanisme tersebut.

Ketiga, sifat statis sebagai akibat dari orientasi sistemik karena ketergantungan unsur-unsur dalam membangun harmoni. Dan keempat, transmisi kebudayaan dari generasi ke generasi sehingga dapat melestaikan kebudayaan tersebut.

Dari sini, terbentang peta sebagai rute perjalanan kebudayaan kita, seperti festival semacam Radin Jambat, Way Kambas, Krakatau, Perahu Jukung, dan semacamnya dapatkah dipertahankan eksistensinya? Apakah ada langkah masif yang mengikuti, semisal masyarakat mampu berhibur dan atau tidak terhibur jika tidak ada festival itu?

Identitas Kolektif

Persoalan identitas, menjadi pertanyaan dasar, spesifik untuk identitas kolektif(nya) orang Lampung. Untuk menguji dan memetakan pertanyaan ini, ada teori Arjun Appadurai dalam buku Modernity at Large. Cultural Dimensions of Globalization (1996). Antropolog asal India itu (seperti dapat dilihat dari judul bukunya) bukan hanya tertarik fenomena nasionalisme, melainkan mencoba mengerti apa yang dewasa ini disebut dengan globalisasi budaya, yaitu fenomena kebudayaan yang tidak terikat kepada negara-bangsa lagi.

Arjun Appadurai melihat dewasa ini dunia media dan teknologi informasi sangat bervariasi dan kebanyakan dari media atau teknologi yang baru tidak lagi ditujukan kepada pasar domestik, melainkan mengalir kepada konsumen/penggunanya yang secara geografis dan atau politis hidup berjauhan.

Appadurai bertanya, kalau dahulu media cetak mendukung identitas nasional, identitas-identitas apa yang didukung media yang berperan global dewasa ini? Bahkan, pertanyaan ini dapat dipertajam, identitas apa yang disuarakan media lokal untuk mempertegas komitmen berkebudayaan Lampung?

Selain menganalisis identitas kolektif, Arjun Appadurai juga menganalisis identitas perorangan, ternyata yang disimpulkan adalah identitas ada karena didukung media global, misalnya teknologi informasi. Juga agama sebagai identitas kolektif, yang sebenarnya sudah lama ada, belakangan ini mengalami sesuatu yang transnasional oleh lebih banyak pemeluknya, hingga budaya lokal (dimana pertanyaan "Apa identitas kita sebagai masyarakat Lampung?" menjadi sangat aktual) berhadapan dengan lalu lintas global yang terus-menerus menawarkan petikan-petikan identitas dari bermacam-macam warna dunia.

Tanpa memperhatikan peran media global serta teknologi informasi, identitas kebanyakan orang dewasa ini tidak dapat dimengerti, itulah tesis Appadurai. Artinya, tanpa peran publikasi dan informasi yang dimotori media, Lampung sama sekali tidak beridentitas. Dus sebaliknya, logika apa yang dipakai sehingga muncul festival ini itu sebagai identitas seni budaya kita.

Orang Lampung dalam kaitan identitas kolektif makin berada di simpang jalan kritikal dan krusial. Dalam ikatan agama, misalnya, mampukah mendasari terbentuknya "manusia kolektif". Hingga dalam tahapan tertentu kelompok manusia kolektif ini menjadi "umat".

Hanya memang, ada sumbatan inkoherensi atas fenomena tentang misalnya, mulai ada cultural discontinuity atau keterputusan budaya-budaya tradisional.

Adanya manusia kolektif, menurut Prof. Marcel A. Boisard, minimal terikat tiga aspek pokok. Pertama, mengikuti aturan wahyu Tuhan yang menuntun manusia untuk totalitas mengabdi pada aturan Tuhan, terkait hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan makhluk. Kedua, praktek ibadat yang harus dilaksanakan sebagai pengejawantahan manusia yang beriman, berkelompok, dan terorganisir. Dan ketiga, konstruksi kelompok masyarakat yang sesuai dengan konsepsi aturan (hukum).

Untuk Lampung, persatuan adat, kekerabatan, kerajaan, (ke)marga(an), dan semacamnya memang lebih kental dalam bentukan identitas kolektif. Aspek agama Islam, ternyata memberikan warna dan pencitraan tersendiri dalam kaidah kelembagaan maupun kebudayaan.

Faktor alamiah, yang membuat identifikasi awal tentang misalnya pranata sosial masyarakat dengan mentalitas Islam, religiositas tradisi, kebajikan-kebajikan sosial, kecenderungan untuk hidup bersama, kehalusan budi, dan conformism merupakan ciri-ciri peradaban Islam yang melekat dalam adat Lampung. Aplikasi nilai-nilai agama juga ternyata berpengaruh menimbulkan transformasi manusia dan kebudayaan di Lampung.

Intisari persoalannya adalah sejauh ini kurang terdokumentasi dan terpublikasi dengan rapi, tidak sistematis dan atau sulit diakses masyarakat luas.

Pertanyaan yang muncul kemudian, mampukah berbagai festival seni budaya itu menjadi pusat informasi atau justru menjadi arena berhibur an sich tanpa substansi sejarah filosofis yang akhirnya, sudahlah masyarakat tidak tehibur, seni budayanya tidak terpopulerkan pula.

* Endri Y., Pencinta Seni Budaya Lampung, tinggal di Kalianda

Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Mei 2008

No comments:

Post a Comment