May 28, 2008

Sosok: Bidan Yulianti, untuk Manusia dan Lingkungan

-- Helena F Nababan

BIDAN Yulianti menjadikan rumahnya sekaligus menjadi tempat periksa pasien di Desa Pulau Puhawang, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Kondisi kesehatan warga di desa yang terletak di sebuah pulau di Teluk Lampung itu kini berbeda dibandingkan dengan 10 tahun lalu.

Yulianti (Kompas/Helena F Nababan)

Yulianti tiba di Pulau Puhawang pada Oktober 1998 selulus dari sekolah kebidanan di Metro, Lampung. Ia datang ke pulau yang tercatat sebagai daerah terisolasi itu sebagai bidan desa dengan status pegawai tidak tetap dari Dinas Kesehatan Lampung.

Hal pertama yang ditemuinya adalah menghadapi warga desa yang tak peduli terhadap masalah kesehatan. Pulau itu kotor karena warga seenaknya buang hajat. Yulianti mengakui, pada masa awal ia sempat merasa tak betah dengan kondisi desa yang jauh berbeda dengan kemapanan yang dirasakannya selama tinggal di Bandar Lampung.

Namun, hanya dialah satu-satunya tenaga kesehatan yang melayani warga di empat dusun di pulau itu. ”Di awal bertugas, sudah tidak betah, saya juga harus bekerja sendirian. Saya sering menangis waktu itu,” ujarnya.

Namun, keluarganya yang tinggal di Telukbetung, Bandar Lampung, justru mendukung tugasnya di daerah tersebut. Lama-lama Yulianti bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat di pulau yang sebenarnya berpantai indah itu.

Bertekad meningkatkan kondisi kesehatan dan pengetahuan warga tentang kesehatan, yang pertama dia lakukan adalah menemui Kepala Desa Pulau Puhawang saat itu, M Syahril Karim, untuk mendapat informasi mengenai kebiasaan warga setempat.

Warga umumnya memilih buang hajat di pantai dan tak satu pun yang punya jamban keluarga. Kebiasaan buruk itu terjadi karena rendahnya tingkat pendapatan keluarga yang hanya Rp 15.000-Rp 20.000 per hari. Mereka tak mampu membuat jamban keluarga. Akibat kebiasaan itu, banyak warga yang terserang penyakit lingkungan, seperti diare, penyakit kulit, dan flu.

Warga Desa Pulau Puhawang juga rentan malaria. ”Bisa dikatakan desa pulau ini endemik malaria sampai sekarang,” katanya.

Menyebarnya penyakit malaria dipengaruhi oleh buruknya kondisi lingkungan. Warga membuang limbah rumah tangga ke laut karena tak punya sistem pengelolaan dan pembuangan limbah yang benar. Sementara hutan bakau yang mengelilingi pulau telah habis ditebang.

Hutan bakau di pulau itu luasnya 141 hektar. Namun, penebangan liar dan pembukaan hutan bakau untuk tambak pada 1975-1996 mengakibatkan 60 persen hutan bakau rusak. Akibat lanjutnya, nyamuk pembawa virus malaria bersarang, bertelur, dan beranak pinak.

Setiap bulan Yulianti menangani sekitar 15 pasien malaria. ”Waktu itu saya cukup membuktikan secara klinis, tidak dengan laboratorium,” katanya.

Tanam bakau

Ia juga mendata jumlah jiwa, kondisi kesehatan, melakukan evaluasi atas tingkat kesehatan warga, dan memberikan pengobatan langsung sambil mengampanyekan hidup sehat. Bersama aktivis LSM Mitra Bentala Lampung, ia mengajak masyarakat menanami kembali hutan bakau yang rusak.

Hasilnya, dari tes terhadap 225 warga Desa Pulau Puhawang, ada 17 orang yang positif menderita malaria. ”Itu sudah jauh berkurang dibandingkan dengan saat saya datang.”

Lewat posyandu, pengajian, dan kegiatan PKK, Yulianti berusaha mengubah kebiasaan jorok warga. Penyadaran melalui ibu-ibu lebih efektif karena dari mereka pengetahuan itu tersebar kepada anak dan suami.

Tahun 2000 dia juga menjalankan arisan jamban keluarga. Setiap peserta arisan menyetor Rp 2.000. Namun, arisan yang diikuti para ibu di desa pulau itu hanya berjalan tiga bulan akibat rendahnya pendapatan keluarga.

Gagal dengan arisan jamban keluarga, Yulianti lalu mengajari para ibu membuat makanan ringan, seperti keripik pisang dan ikan asin. Sayang, hasil industri rumahan itu tak laku dijual lantaran tak ada pasar yang siap menampung hasil produksi. Warga pun tetap membuang hajat di pantai, kebun, atau hutan bakau.

Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan melalui Dinas Kesehatan Lampung Selatan sempat membantu delapan WC umum pada 2000. Setiap dusun mendapat bantuan dua WC umum, tetapi itu pun tak berfungsi.

Berbeda dengan jamban, kampanye hidup sehat yang dilakukan Yulianti membuahkan hasil. Para ibu mau datang ke posyandu, mengimunisasi bayi, dan memeriksakan kehamilan.

Bersepeda

Bagi Yulianti, perjalanan masih panjang. Dia masih harus berusaha keras mengubah kebiasaan warga yang umumnya nelayan itu agar tak membuang hajat sembarangan. Dia berharap tingkat pendidikan yang lebih baik akan mengubah kebiasaan buruk tersebut. ”Waktu saya datang ke pulau ini, hanya ada SD negeri,” katanya. April 2008, SMP terbuka di Pulau Puhawang mulai dioperasikan.

Sejak datang ke Pulau Puhawang, Oktober 1998, sampai sekarang, kendala yang tak terpecahkan adalah terbatasnya akses transportasi. Padahal, Desa Pulau Puhawang yang dulu terdiri atas empat dusun itu kini sudah dimekarkan menjadi lima dusun. Empat dusun itu terpencar di pulau seluas 1.020 hektar dengan penduduk 1.646 jiwa. Satu dusun terletak di pulau kecil bernama Kalangan.

”Waktu itu kendaraan roda dua sangat jarang di pulau ini. Saya membawa sepeda dari Tanjungkarang. Ke mana-mana saya bersepeda,” kata Yulianti yang biasa pergi dari rumah pukul 07.00 dan pulang selepas magrib.

Sepuluh tahun kemudian, ketika sepeda motor sudah merambah desa, kondisi tak banyak berubah. Jalan desa yang masih berupa jalan tanah setapak itu tetap dilewatinya dengan sepeda. Sebab, tarif ojek pun mahal.

Yulianti harus merogoh kocek Rp 25.000 untuk sekali mengunjungi satu dusun dengan naik ojek. Sebagai bidan desa, ia hanya berpenghasilan Rp 590.000 plus tunjangan daerah terpencil Rp 200.000 per bulan. Padahal, setiap bulan dia harus melakukan penyuluhan ke dusun-dusun.

Pada awal bertugas, dia hanya dibekali obat-obatan dan peralatan medis, tanpa sarana transportasi dari Dinas Kesehatan Lampung. Dia juga tidak mendapat fasilitas rumah atau ruang pengobatan.

”Waktu itu yang ada rumah periksa berukuran 2 x 3 meter, tetapi kondisinya tidak layak,” katanya. Untuk tempat tinggal, Yulianti menumpang di rumah warga. Ia merasa beruntung ketika pengurus desa dan warga bergotong royong membangunkan rumah yang kemudian dijadikan klinik sekaligus rumah tinggal baginya.

Baru pada 2007 Dinas Kesehatan Lampung melalui Puskesmas Punduh Pidada membangun pusat kesehatan desa sebagai puskesmas pembantu. Tahun 2008 pusat kesehatan desa yang lebih layak bisa dioperasikan.

Bila kesehatan masyarakat membaik, Yulianti berharap produktivitas mereka akan meningkat pula. Ini pada saatnya akan menaikkan pendapatan warga. Perjuangannya masih jauh, tetapi dia yakin suatu saat nanti upayanya membuat masyarakat sadar pentingnya kesehatan diri dan lingkungan bakal terwujud.

”Waktu mengambil undian penempatan usai lulus (sekolah kebidanan), saya menyadari inilah garis tangan saya. Saya harus mengabdi dan berbuat sebaik-baiknya buat warga Pulau Puhawang,” katanya.

BIODATA

Nama: Yulianti

Lahir: Tanjungkarang, 16 Juni 1979

Pendidikan: Sekolah kebidanan di Metro, Lampung, lulus 1998

Suami: Zaenuddin (29)

Anak: Figo Bimantara (5)

Sumber: Kompas, Rabu, 28 Mei 2008

No comments:

Post a Comment