May 15, 2013

Advokat Kebudayaan Lampung

Oleh Asarpin


SEORANG advokat kebudayaan umumnya memiliki kecenderungan sebagai seorang pembela gigih nilai-nilai budaya yang diyakninya benar.  Maka tak heran jika di antara mereka ada yang menjadi pemuja kebudayaan lokal, sekaligus menjadi pejuang gigih warisan kebudayaan primordial. Dalam sikap dan tindakannya, para advokat kebudayaan model ini sangat apologetik dan eksklusif. Mereka akan mempertahankan mati-matian apa yang diyakini benar tanpa mau membuka diri terhadap pandangan dan keyakinan pihak lain.

Seorang advokat memiliki kecenderungan berdebat dan mengkritik. Bagi mereka, perdebatan adalah ajang unjuk kebolehan argumentasi, unjuk keilmiahan teori, dan ajang memojokkan lawan yang dianggap berbeda dan tak sepaham. Sementara kritik bagi mereka menjadi semacam keharusan untuk membangun wacana kritis di bidang kebudayaan.


Beberapa ciri di atas tentu saja tidak baku, mungkin juga keliru. Sebab kenyataannya, para advokat kebudayaan sering juga bersikap terbuka, bahkan amat terbuka dalam memandang persoalan. Udo Z. Karzi, misalnya, adalah sosok advokat budaya Lampung yang memiliki kecenderungan itu. Setiap esainya tentang kebudayaan Lampung megandung semangat  seorang pengacara, dimana kebudayaan Lampung—dalam arti luas—adalah kliennya, yang ia perjuangkan dengan gigih agar mendapat tempat yang terhormat dan sejejar dengan kebudayaan lain di masyarakat. 

Dalam buku terbarunya, Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan (Indepth Publishing, April 2013), Udo memperlihatkan dirinya sebagai seorang advokat budaya Lampung yang sering ngotot mempertahankan argumen. Tetapi uniknya, Udo tetap bersedia membuka diri dan memahami pihak yang berseberangan pendapat dengannya. 

Bongkar Feodalisme

Melalui esai-esainya, Udo berusaha membongkar sisa-sisa feodalisme lama dalam tradisi lisan Lampung dengan menghadirkan kebudayaan tulis yang dialogis. Ketika kelisanan budaya itu menjelma kelisan baru dalam bentuk pemberian gelar (adok) yang syarat politik, atau semacam politisasi budaya oleh para pejabat, Udo menangkapnya sebagai bentuk feodalisme modern. Pemberian gelar tak lain adalah pengukuhan atas kekuasaan, yang mewariskan sistem feodalisme masa lampau.

Pembelaan Udo terhadap budaya Lampung dan kelampungan yang hidup di tengah-tengah masyarakat,  tidak sampai membuat tulisan-tulisannya menjadi apologetik dan eksklusif. Ia menghadirkan Lampung dan kelampungan melalui apa yang disebutnya sebagai “wacana kritis”. 
Pada bagian mana Udo mengeksplorasi pendekatan “budaya wacana kritis” dalam mengkaji kebudayaan Lampung dalam Feodalisme Modern, tentu amat sulit mengindentifikasinya. Sebab apa yang ia tulis adalah sebuah esai kebudayaan yang longgar sifatnya, bukan traktat ilmiah dengan argumentasi dan pendekatan yang ketat.

Semangat yang melatari kehadiran esai-esai Udo adalah semangat pengenalan dan pembelaan; serupa tapi tak sama dengan semangat seorang advokat. Namun, ciri-ciri keadvokatan sebagaimana saya sebutkan di muka,  tampaknya tertutup oleh semangat kritisisme sejarah yang terlampau membubung dan melambung.

Beberapa esai masih mengandung semangat primordial, tetapi ia kemudian sadar bahwa lingkungan tempatnya berkarya adalah dunia yang sangat plural sehingga mempertahankan hal itu mengandung bahaya dan risiko tersendiri; terutama jika ditarik dalam konteks wacana multikulturalisme.

Dalam menyiasati hal itu, Udo melakukan dua hal yang cukup strategis; ke dalam ia berusaha membela argumennya tentang budaya Lampung dan kelampungan; keluar ia tak segan-segan melakukan kritik dan oto-kritik terhadap lawan bicaranya yang dianggap tak sepaham dan tak sejalan.

Beberapa esai dalam  buku ini merupakan tanggapan penulisnya terhadap tulisan orang lain, yang sebelumnya memang pernah dimuat di harian tempatnya bekerja. Dalam buku ini sangat jarang ditemukan esai yang bersifat reflektif, sehingga banyak esai yang terasa tegas tapi tidak terlampau ketat dari segi linguistik. n

Asarpin, esais dan pekerja sosial
        

Sumber: Lampung Post, Senin, 13 Mei 2013

No comments:

Post a Comment