May 19, 2013

[Fokus] Tempat Seni tanpa Kesenian

TIDAK semua daerah punya pasar seni. Bandar Lampung patut berbangga dengan adanya Pasar Seni yang letaknya strategis di pusat kota. Namun, potensi pasar yang bisa menjadi pusat ekonomi kreatif itu seperti bak berlian yang kehilangan pesonanya. Pasar Seni Enggal jauh dari kesan tempat yang meriah, riuh, dan bergeliat.

Beberapa pihak menilai Pasar Seni sepi dan kurang menarik. Bahkan, ada salah satu penulis di situs Kompasiana yang menilai seperti kuburan. Tidak jarang juga yang memberi cap negatif sebagai tempat mesum karena saat malam kondisinya gelap.



Selain Bandar Lampung, daerah lain yang mempunyai Pasar Seni adalah Padang, Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar. Pasar Seni Ancol, Jakarta, dianggap sabagai kampung kesenian yang paling ramai dan eksis. Di sana seniman betah berkesenian karena selalu ramai dengan pengunjung.

David, salah satu penghuni pondok di Pasar Seni, Enggal, mengaku Pasar Seni di Bandar Lampung kalah jauh dengan di Jakarta. Di Pasar Seni Ancol, dalam seminggu ada tiga kali pertunjukan atau kegiatan yang digelar. Apalagi senjak Jokowi menjabat gubernur, Pasar Seni makin hidup dan ramai.

Penggiat urban art ini menilai Pasar Seni, Enggal, sepi dan terkesan kumuh sehingga pengunjung tidak betah dan tidak tertarik untuk datang. Selain pengunjung yang sepi, seniman juga tidak berani untuk menempati pondok karena biaya sewa yang mahal.

Dalam satu bulan, seniman yang menempati pondok akan dikenakan biaya sewa Rp800 ribu per bulan. Bandingkan dengan Ancol yang hanya menarik sewa Rp150 ribu per bulan.

?Di Ancol saja yang ramai dan hampir setiap malam ada kegiatan, biaya sewanya masih murah. Di Pasar Seni, Enggal, yang sepi dan jarang sekali ada kegiatan, tarifnya jauh lebih mahal. Siapa nanti yang mau menempati pondok,? kata penggiat Komunitas Lampung Street Art (LSA) ini.

Manajer Indocraft Dipo Dwi mengatakan tidak semua kota memiliki Pasar Seni. Bandar Lampung termasuk bagus karena memiliki Pasar Seni yang cukup luas. Namun, tidak dikelola dengan baik sehingga belum bisa menjadi daya tarik wisata.

Padahal, Pasar Seni bisa menjadi potensi untuk menambah pemasukan bagi pendapatan asli daerah (PAD). Menurutnya, Pasar Seni bisa dijadikan pusat kegiatan kesenian dan kerajinan yang bisa mendatangkan wisatawan domestik dan mancanegara.

Bila jumlah wisatawan meningkat, pariwisata bisa menjadi salah satu sumber PAD. ?Saat ini pemerintah daerah masih tergantung pada retribusi dan pajak daerah. Sementara pariwisata belum bisa menjadi sumber pemasukan karena tidak dikelola dengan baik. Lewat pasar senilah potensi pemasukan itu bisa dilakukan,? kata dia.

Pascarenovasi tahun 2012, pondok yang ada di Pasar Seni masih banyak yang kosong dan belum ada seniman atau perajin yang mengisinya. Tanpa ada peran dari pemerintah, berat untuk menghidupkan Pasar Seni menjadi tempat tujuan wisata.

Dwi pun menegaskan pemerintah daerah jangan berbicara dulu tentang pemasukan dari sektor wisata, jika belum ada upaya nyata yang dilakukan untuk menghidupkan sektor ini. Setelah ada usaha pendampingan yang jelas untuk pariwisata, perlahan-lahan pemasukan pun akan datang.

Dia mencontohkan Bali yang pariwisatanya hidup karena kehidupan kesenian dan aktivitas perajinnya didukung pemerintah. Pemerintah bukan membebankan tarif parkir atau retribusi wisata yang besar untuk mendatangkan pemasukan, melainkan dengan merangkul semua pihak sehingga bisa maju dan berkembang.

Selain miskin kegiatan, pengelola Pasar Seni dan pemerintah daerah  dinilai tidak mendukung dinilai David tidak mendukung seniman. Seniman muda yang bergerak pada seni grafiti dan seni rupa sulit untuk meminjam panggung pertunjukan dan gedung di Pasar Seni. Akibatnya, sulit menggelar pameran yang bisa meramaikan Pasar Seni. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Mei 2013

No comments:

Post a Comment