Oleh Asarpin
TAHUN 2009 terbit sebuah buku terjemahan bahasa Indonesia dengan judul Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (KPG, November 2009). Editornya adalah Henri Chambert-Loir, sejarawan pemikiran asal Prancis yang dikenal karena buku Nusa Jawa-nya yang banyak dipuji oleh sejarawan dan budayawan Indonesia.
Sejauh yang saya ketahui, buku itu adalah buku paling lengkap tentang proses sejarah penerjemahan bahasa-bahasa dunia di nusantara. Buku ini sangat tebal, 1160 halaman. Semua artikel disajikan dengan sangat menarik berdasarkan pilihan tema yang selektif dan otoritatif.
Cukup banyak tema penting yang menarik dikaji, namun dalam tulisan ini saya akan memfokuskan pada ulasan tentang kebudayaan di Sumatera, termasuk Lampung. Ada satu bagian dalam buku ini yang mengupas tentang aksara sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan kebudayaan di Sumatera. Aksara Lampung misalnya, adalah salah satu aksara yang dihubungkan dengan perkembangan budaya dan peradaban.
Salah satu pernyataan Henri Chambert-Loir yang menarik dalam buku ini adalah ketika ia memberi pengantar untuk tulisan tentang aksara-aksara di nusantara. Menurutnya: “Setiap kali suatu bahasa Nusantara dituliskan dengan menggunakan sebuah sistem tulisan asing, maka jadilah bahasa itu mengenakan sebuah identitas baru karena sedikit banyak terserap ke dalam alam budaya asing tersebut.”
Lampung adalah sebuah indentitas baru karena aksaranya tak lagi dijadikan sebagai sarana menulis persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Lampung. Dan ini adalah cermin kebhinekaan Lampung, walau tak begitu kompleks. Lampung punya aksara tapi masih polemis dan selalu luput dari perhatian para ahli. Tapi ada satu bab yang membicarakan tentang kebudayaan daerah berikut jenis-jenis tulisan dalam sejarah Sumatera, yang Lampung tercakup di dalam buku ini.
Sayangnya, Lampung yang punya aksara tua itu tidak dibahas dan diulas sendiri, tetapi dimasukkan sebagai bagian dari pembahasan sejarah Sumatera. Sumatera—sebuah nama yang berasal dari nama Samudera itu—memiliki sistem tulisan tersendiri. Dalam artikel Uli Kozok, Sejarah Ringkas Tulisan-Tulisan Sumatera, disinggung tentang bagaimana sejarah aksara dihubungkan dengan masuknya Islam di Lampung. Menurutnya, Islam sudah masuk daerah Lampung pada akhir abad ke-16, tapi tulisan lokal (had Lampung) masih dipakai pada awal abad ke-20.
Dengan artikel itu Uli Kozok ingin menunjukkan, sekalipun aksara-aksara di Sumatera dipengaruhi oleh India yang Hindu, ketika Islam masuk maka aksara-aksara tersebut masih tetap dipakai dan tak ada proses islamisasi aksara. Namun ia menyayangkan apa yang terjadi selanjutnya: dengan makin kuatnya pengaruh Islam banyak sistem tulisan Sumatera digantikan oleh tulisan Jawi atau tulisan Arab. Kita tak perlu menangisi aksara yang tidak lagi digunakan karena masuknya sistem tulisan India, Arab dan Eropa, karena hal itu akan menunjukkan bahwa kita sama sekali tak mampu bersikap dewasa dalam soal budaya. Perubahan atau pergeseran aksara itu menurut Uli, adalah proses yang alamiah dari perkembangan globalisasi di Asia Tenggara selama kurun niaga.
Dengan menggunakan data dari Volkstelling 1922, Uli Kozok menyebut peristiwa cacah jiwa di Lampung tahun 1920. Ada yang menarik dan bisa kita perdebatkan ketika Uli kemudian mengatakan: dalam cacah jiwa itu terekam tingkat keberaksaraan yang begitu tinggi disebabkan popularitas sajak-sajak cinta dalam tulisan Lampung, yang merupakan bagian pokok dari ritus perjodohan. Tradisi ini, menurutnya, ikut melestarikan sistem tulisan di Lampung.
Tapi segera saya bertanya: betulkah Lampung pernah menggoreskan jejak sejarah tentang tingkat keberaksaraan yang begitu tinggi? Di mana bukti yang menunjukkan lestarinya sistem tulisan di Lampung? Berapa banyak orang Lampung menulis buku pada awal hingga pertengahan abad ke-20? Kalau ada, apa saja dan di mana itu sekarang?
Masih ada satu pendapat Uli Kozok yang menarik, tentang hubungan antara sistem aksara di Sulawesi dan di Sumatera. Ada pendapat bahwa sistem tulisan di Sumatera diperkirakan berasal dari Sulawesi. Tapi menurut Uli Kozok, justru sebaliknya. Sistem-sistem tulisan yang ada di Sulawesi berasal dari Sumatera. Ia merujuk pendapat Hunter (1998) tentang sistem tulisan di Sulawesi “dikembangkan dan disebarkan sepanjang jalur-jalur dagang lama oleh para pedagang Srivijaya”.
Selanjutnya, Uli Kozok ingin mengatakan bahwa sistem-sistem tulisan Sumatera berasal dari Jawa, tapi tampaknya ia masih ragu-ragu. Ia menyebut pengaruh keraton Majapahit yang dominan di Sumatera. Bahkan, prasasti-prasasti di Sumatera “dapat dipandang sebagai usaha untuk membawa budaya keraton Jawa masuk ke daerah perbukitan Sumatera”.
Betulkah begitu? Entahlah. Yang jelas, sejarah pada dasarnya ditulis oleh mereka yang dominan dan berkuasa. Kata Henri Chambert-Loir: sejarah kita adalah Nusa Jawa, bukan Nusantara.
Asarpin, Esais dan aktivis sosial
Sumber: Lampung Post, Jumat, 24 Mei 2013
TAHUN 2009 terbit sebuah buku terjemahan bahasa Indonesia dengan judul Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (KPG, November 2009). Editornya adalah Henri Chambert-Loir, sejarawan pemikiran asal Prancis yang dikenal karena buku Nusa Jawa-nya yang banyak dipuji oleh sejarawan dan budayawan Indonesia.
Sejauh yang saya ketahui, buku itu adalah buku paling lengkap tentang proses sejarah penerjemahan bahasa-bahasa dunia di nusantara. Buku ini sangat tebal, 1160 halaman. Semua artikel disajikan dengan sangat menarik berdasarkan pilihan tema yang selektif dan otoritatif.
Cukup banyak tema penting yang menarik dikaji, namun dalam tulisan ini saya akan memfokuskan pada ulasan tentang kebudayaan di Sumatera, termasuk Lampung. Ada satu bagian dalam buku ini yang mengupas tentang aksara sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan kebudayaan di Sumatera. Aksara Lampung misalnya, adalah salah satu aksara yang dihubungkan dengan perkembangan budaya dan peradaban.
Salah satu pernyataan Henri Chambert-Loir yang menarik dalam buku ini adalah ketika ia memberi pengantar untuk tulisan tentang aksara-aksara di nusantara. Menurutnya: “Setiap kali suatu bahasa Nusantara dituliskan dengan menggunakan sebuah sistem tulisan asing, maka jadilah bahasa itu mengenakan sebuah identitas baru karena sedikit banyak terserap ke dalam alam budaya asing tersebut.”
Lampung adalah sebuah indentitas baru karena aksaranya tak lagi dijadikan sebagai sarana menulis persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Lampung. Dan ini adalah cermin kebhinekaan Lampung, walau tak begitu kompleks. Lampung punya aksara tapi masih polemis dan selalu luput dari perhatian para ahli. Tapi ada satu bab yang membicarakan tentang kebudayaan daerah berikut jenis-jenis tulisan dalam sejarah Sumatera, yang Lampung tercakup di dalam buku ini.
Sayangnya, Lampung yang punya aksara tua itu tidak dibahas dan diulas sendiri, tetapi dimasukkan sebagai bagian dari pembahasan sejarah Sumatera. Sumatera—sebuah nama yang berasal dari nama Samudera itu—memiliki sistem tulisan tersendiri. Dalam artikel Uli Kozok, Sejarah Ringkas Tulisan-Tulisan Sumatera, disinggung tentang bagaimana sejarah aksara dihubungkan dengan masuknya Islam di Lampung. Menurutnya, Islam sudah masuk daerah Lampung pada akhir abad ke-16, tapi tulisan lokal (had Lampung) masih dipakai pada awal abad ke-20.
Dengan artikel itu Uli Kozok ingin menunjukkan, sekalipun aksara-aksara di Sumatera dipengaruhi oleh India yang Hindu, ketika Islam masuk maka aksara-aksara tersebut masih tetap dipakai dan tak ada proses islamisasi aksara. Namun ia menyayangkan apa yang terjadi selanjutnya: dengan makin kuatnya pengaruh Islam banyak sistem tulisan Sumatera digantikan oleh tulisan Jawi atau tulisan Arab. Kita tak perlu menangisi aksara yang tidak lagi digunakan karena masuknya sistem tulisan India, Arab dan Eropa, karena hal itu akan menunjukkan bahwa kita sama sekali tak mampu bersikap dewasa dalam soal budaya. Perubahan atau pergeseran aksara itu menurut Uli, adalah proses yang alamiah dari perkembangan globalisasi di Asia Tenggara selama kurun niaga.
Dengan menggunakan data dari Volkstelling 1922, Uli Kozok menyebut peristiwa cacah jiwa di Lampung tahun 1920. Ada yang menarik dan bisa kita perdebatkan ketika Uli kemudian mengatakan: dalam cacah jiwa itu terekam tingkat keberaksaraan yang begitu tinggi disebabkan popularitas sajak-sajak cinta dalam tulisan Lampung, yang merupakan bagian pokok dari ritus perjodohan. Tradisi ini, menurutnya, ikut melestarikan sistem tulisan di Lampung.
Tapi segera saya bertanya: betulkah Lampung pernah menggoreskan jejak sejarah tentang tingkat keberaksaraan yang begitu tinggi? Di mana bukti yang menunjukkan lestarinya sistem tulisan di Lampung? Berapa banyak orang Lampung menulis buku pada awal hingga pertengahan abad ke-20? Kalau ada, apa saja dan di mana itu sekarang?
Masih ada satu pendapat Uli Kozok yang menarik, tentang hubungan antara sistem aksara di Sulawesi dan di Sumatera. Ada pendapat bahwa sistem tulisan di Sumatera diperkirakan berasal dari Sulawesi. Tapi menurut Uli Kozok, justru sebaliknya. Sistem-sistem tulisan yang ada di Sulawesi berasal dari Sumatera. Ia merujuk pendapat Hunter (1998) tentang sistem tulisan di Sulawesi “dikembangkan dan disebarkan sepanjang jalur-jalur dagang lama oleh para pedagang Srivijaya”.
Selanjutnya, Uli Kozok ingin mengatakan bahwa sistem-sistem tulisan Sumatera berasal dari Jawa, tapi tampaknya ia masih ragu-ragu. Ia menyebut pengaruh keraton Majapahit yang dominan di Sumatera. Bahkan, prasasti-prasasti di Sumatera “dapat dipandang sebagai usaha untuk membawa budaya keraton Jawa masuk ke daerah perbukitan Sumatera”.
Betulkah begitu? Entahlah. Yang jelas, sejarah pada dasarnya ditulis oleh mereka yang dominan dan berkuasa. Kata Henri Chambert-Loir: sejarah kita adalah Nusa Jawa, bukan Nusantara.
Asarpin, Esais dan aktivis sosial
Sumber: Lampung Post, Jumat, 24 Mei 2013
No comments:
Post a Comment