May 19, 2013

[Fokus] Pasar Seni yang Tak Nyeni

KEBERADAAN Pasar Seni di Bandar Lampung sudah 22 tahun. Sejak mulai beroperasi pada 1991 hingga sekarang, kondisinya masih sama. Pelukis senior, Sutanto, menempati salah satu pondok di Pasar Seni, Enggal, sejak 1991. Pasar yang terakhir direnovasi tahun lalu ini masih dinilai sama dengan saat pertama kali ditempati pelukis asal Salatiga ini.

"Dari dulu kayak gini. Enggak ada yang berubah dengan Pasar Seni. Masih sama dan enggak berkembang," kata Sutanto.


Penilaian Sutanto terhadap Pasar Seni bukan dalam arti fisik. Bila dari sisi tampilan, memang lebih kinclong saat ini karena baru dicat dan diperbaiki. Namun, dari segi aktivitas seniman dan pengunjung yang tidak pernah berkembang. Sutanto menilai Pasar Seni sudah sering berganti pengelola atau event organizer (EO) tapi tetap saja tidak ada perubahan. Peran EO sebagai pengelola juga menentukan dalam menghidupkan dan meramaikan Pasar Seni.

Namun, pengelola yang ada tidak terbukti dan belum melakukan terobosan paten. Kepentingan dan keinginan pemerintah melalui Dinas Pariwisata juga membuat tidak ada program dan arah yang jelas dalam mengembangkan Pasar Seni. ?Yang ada justru tarik-menarik kepentingan di Pasar Seni. Akhirnya, Pasar Seni terbengkalai dan tidak ada kegiatan yang membuat pengunjung dan seniman bisa nyaman. Pengelola harusnya bisa belajar dari Pasar Seni yang lain,? kata dia.

Dualisme PengelolaPermasalahan di internal pengelola dan Dinas Pariwisata pun masih terus terjadi sampai saat ini. Kini ada dua pihak yang disebut mengelola Pasar Seni, Indocraft dan Panghegar.

Awalnya Indocraft diberi kepercayaan untuk mengelola keseluruhan Pasar Seni berdasarkan keputusan dari Kepala Dinas Pariwisata Bandar Lampung No. 556/125/IV.39/2013 yang dikeluarkan pada 10 Mei 2013.

Selang enam hari, keluar keputusan baru dari Kepala Dinas Pariwisata Bandar Lampung No.556/3/IV.39/2013 tentang pengalihan pengelolaan tempat yang membatalkan keputusan sebelumnya. Indocraft pun akhirnya hanya diberi kewenangan mengelola tiga pondok dari 27 pondok yang ada.

Menurut Manajer Indocraft Dipo Dwi, dualisme pengelolaan memang terjadi sejak dahulu. Pengelola pertama belum sempat menjalankan programnya, tapi langsung diputus di tengah jalan oleh Dinas Pariwisata. Akibatnya, rencana yang sudah dipersiapkan batal karena ada perbedaan kebijakan dari dinas.

Kondisi ini membuat Festival Pasar Seni pun terganggu sehingga tidak maksimal. Acaranya yang diharapkan sebagai awalnya membuka kembali Pasar Seni justru tidak bisa maksimal.

Sutanto menilai Dinas Pariwisata dan pengelola tidak jarang sekali duduk bersama untuk menyatukan langkah dalam memajukan Pasar Seni. Semua pihak jalan sendiri-sendiri. Sekalipun ada pertemuan antara seniman, pengelola, dan dinas, yang terjadi justru pemaksaaan kehendak. Aspirasi para seniman dimentahkan bahkan cenderung tidak didengar.

Seniman yang ada merasa tidak ada komunikasi yang terjalin antara pengelola dan dinas. Sutanto menjelaskan tidak ada komunikasi ini bisa dilihat dengan masih banyaknya pondok yang kosong dan dibiarkan tanpa penghuni.

Pengelola mestinya bisa berdiskusi dengan seniman melalui Dewan Kesenian yang ada di kabupaten/kota. Banyak seniman, perupa, dan perajin di Dewan Kesenian yang bisa diajak untuk menempati dan meramaikan Pasar Seni.

Tarif Komersial

Penyebab Pasar Seni sepi akan seniman adalah uang sewa yang dianggap terlalu mahal, Rp800 ribu per bulan per pondok. Mustahil bisa mendapatkan pemasukan besar jika Pasar Seni masih sepi pengunjung. Seniman pun merasa berat untuk membayar sewa bulanan.

Seniman muda yang tergabung dalam komunitas reggae pun terpaksa meninggalkan pondok karena tidak mampu membayar sewa. Mereka lebih memilih pindah ke tempat lain yang lebih murah dan mewakili.

Awalnya komunitas reggae punya satu pondok yang biasa dipakai untuk berjualan kerajinan tangan dan aneka suvenir. Bahkan mereka membuka jasa untuk memperbaiki alat musik dan mengubah penampilan ala reggae.

Seniman muda, David, yang masih bertahan menempati satu pondok di Pasar Seni, mengaku jika pengelola hanya fokus pada seni musik dan tari. Kegiatan yang dilangsungkan hanya kedua kesenian tersebut dengan tujuan bisa menarik banyak massa.

Namun, seni rupa jarang sekali ditampilkan dan diberi ruang untuk pameran. Padahal seni rupa juga bisa mendatangkan banyak pengunjung.

Selain itu, penggiat pop art ini menilai Indocraft sebagai salah satu pengelola hanya menaungi kerajinan tangan saja. Tidak semua kegiatan hasilnya craft, seperti fotografi dan grafiti. Mau dikemanakan mereka yang bukan membuat handycraft.

Dia pun mengeluhkan penutupan pintu belakang Pasar Seni. Penutupan tersebut berdampak pada berkurangnya jumlah pengunjung yang datang. Pondok yang ditempati David dan kawan-kawan letaknya di pojok dan dekat pintu belakang. Penutupan tersebut tidak berpihak pada kepentingan seniman.

Dwi mengatakan uang sewa yang terlalu besar memang bisa merugikan seniman atau perajin. Perlu ada pengujian transaksi terlebih dahulu sebelum nenentukan harga sewa. Jika sudah diketahui pemasukan setiap seniman atau perajin di masing-masing pondok, baru bisa dipatok harga yang sesuai dengan kemampuan mereka.

?Jika tarif terlalu tinggi perajin bisa rugi dan meninggalkan Pasar Seni,? kata dia.  (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Mei 2013

No comments:

Post a Comment