May 3, 2013

Obsesi Punahnya Lampung?

Oleh Hardi Hamzah


KEGELISAHAN Udo Z. Karzi (selanjutnya disebut Udo), memang patut mendapat perhatian kita bersama. Udo terus memetakan Lampung dalam artian yang sebenarnya.

Betapa pun, torehan-torehan yang hadir dari bukunya yang berjudul Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan (Indepth Publishing, April 2013) menggugah cakrawala kesadaran kita, di mana, apa, dan  bagaimana mengidentifikasi Lampung secara metodelogis dan terukur dalam dimensi kesejarahan dan keilmuan.


Ini PR yang ditawarkan Udo yang sangat interest terhadap eksistensi Lampung secara universal. Banyak premis yang diintrodusir dalam buku ini, misalnya saja, pencarian serius terhadap kesejerahan Lampung dalam proporsi yang sebenarnya. Artinya, Udo ingin mengajak kita semua merajut ulang benang kusut ”kelampungan dalam konteks yang lebih luas. Hal ini ditawarkan Udo karena secara ironi “dikerdilkan” sendiri oleh para tokoh Lampung, seperti dengan murahnya kita memberi gelar, sebagaimana yang dipaparkan pada hlm. 57-60.

Bisa saja kita mengernyitkan dahi ketika membaca buku ini. Mengernyitkan dahi, karena kita berperasangka bahwa variabel yang dimunculkan bagai utopis. Tetapi saya memandang kernyitan dahi itu, justru menggugah cakrawala kita semua, bagaimana kita seserius mungkin memaknai centang peranangnya pihak-pihak yang berkompeten dalam menggali berbagai aspek penting yang menyangkut kesusastraan, budaya bahkan lebih dari itu di Propinsi ini.
   
Apabila kegelisahan Udo Z Karzi, direspon dengan kepala dingin, maka buku setebal 144 halaman ini, memberi pelajaran terbaik bagi kita, inilah buku janin awal bagi usaha membesarkan bayi Lampung di berbagai aspek. Apakah batasan-batasan membesarkan bayi Lampung itu melalui ideologi, politik, sosial, ekonomi dan budaya yang berakar dari sejarah dan atau pencarian nilai-nilai kesejarahan lewat empati para tokoh Lampung, atau setidaknya, sosok yang berkompeten dan punya kewajiban moral bagi tumbuh kembangnya Lampung. Kalau kegelisahan Udo direspon oleh pihak-pihak dimaksud, maka janin yang telah ada dapat dibesarkan oleh suatu kekuatan pemikiran dan perspektif baru agar bayi Lampung itu tumbuh sehat.

Respon terhadap kegelisahan seorang penulis, seyogyanya dicarikan garis batas baru bagi pencarian tak berkesudahan tentang pola dasar Lampung. Dan, saya melihat Udo menginginkan pembesaran itu dari pemetaan kesejarahan secara sistemik melalui epistimologi yang faktual, sehingga Lampung tidak terjebak oleh serpihan semata. Dengan sistematika epistimologi sains sosial dan kesejarahan, Udo optimis, bahwa Lampung tidak lagi sekadar puzle yang terpencar (meminjam istilah Firdaus Agustian alm).
   
Pekerjaan itu, dus tidak mudah, melalui kegelisahannya Udo mengintrodusir berbagai masalah, semisal pada halaman 28, Udo menuturkan, budaya sebagai wujud material kebudayaan yang dapat menghasilkan interaksi secara dinamis dan reflektif antara jati diri bangsa dan modernitas. Pada titik ini Udo, kiranya menguatkan jati diri kita agar memantapkan keberadaan Lampung dalam konteks kebesaran suatu etnisitas yang mengkristal dan bersinggungan dengan kebudayaan, konsistensi ini diyakini Udo, bila kita melihat banyaknya footnote yang ditawarkan olehnya. 

Gugusan yang dibangun lewat Feodalisme Modern, adalah gugusan yang tidak menyederhanakan atmosfer Lampung, tetapi kita semua dituntut memperkaya khazanah agar Lampung tidak punah. Pilihan cemerlang Udo ini, tentu saja lagi lagi menuntut kita memanggul tanggung jawab dalam wilayah yang terkordinatif, yakni melalui penelitian serius dengan metoda yang terencana.

Kalaulah ini dipahami secara baik oleh kita, khususnya ilmuan, dan kesadaran mutlak para birokrat untuk memproyeksikan pemikiran pemikiran Udo dalam buku ini, niscaya dapatlah kita menemukan koridor yang nyata dan konprehensif bagi terwujudnya konfigurasi, dimana, konfigurasi Lampung akan terbentuk selaras dengan kemajuan bangsa bangsa di dunia. Lontaran ini sungguh tidak mengada ada, mengingat bangsa bangsa besar di dunia, seperti Yunani tumbuh besar karena literasi toh bisa berkompetisi, bersenyawaan dan mengharmonisasikan diri dengan bangsa Romawi yang nota bene berindikator artefak etnisitas yang didukung geopolitik dan olah pikir.

Demikian pula masyarakat Lampung yang juga kaya dengan literasi (baca: aksara), wellcome terhadap pendatang, mampu menata keharmonisan dengan berbagai etnis, dan adanya prasasti di Lampung Barat serta kepahlawanan Raden Intan, adalah elemen elemen signifikan, yang bukan hanya menjanjikan, tetapi lebih jauh lagi indikator itu merupakan tolok ukur konkret, bahwa Lampung bisa besar di atas kebersamaan kita dalam berbangsa dan bernegara, apabila kita mampu menterjemahkan, menjawab pertanyaan pertanyaan besar dan kegelisahan Udo dalam buku ini.

Lampung Bisa Punah

Tetapi di balik itu semua, Lampung, pun bisa saja punah bila derajat permainan dan atau keseriusan kita hanya berada pada pilar pilar seremoni, infra struktur kepariwisataan tidak terurus, masyarakat adat hanya menjadi komoditi politik, dan banyak lagi reduksi terhadap nilai nilai kelampungan yang akan membuat kita punah atau hanya menjadi sumbai (tamu) di provinsi kita sendiri.

Maka, apa yang digagas Udo dalam buku Feodalisme Modern Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan ini, lagi-lagi tidak hanya menggugah cakrawala kita melalui variable vatiabel yang disinggung dimuka, tetapilebih dari itu, Udo, meski sangat berhati-hati pada esensinya ingin meletakkan pondasi bagi usaha menacapkan tiang pancang  berdirinya Lampung dengan tatanan yang jelas. Dengan kata lain, buku ini dapat menjadi jembatan berpikir untuk menghilangkan noktah yang kerap diciptakan oleh para birokrat terhadap nilai nilai keLampungan.

Di atas itu semua, karena pemahaman terhadap suatu kekuatan tidak terletak pada siklus yang term termnya berada pada wilayah serius, secara menggelitik Udo juga mencoba mengajukan kampus, agar menjadi pilar terpenting untuk merenda keberadaan Lampung melalui fakultas ilmyu budaya yang harus ada di Unila.

Kendati sebagai suatu gagasan yang beragam premis dan idiomnya, buku ini dapatlah dikatakan gotro yang kelak diharapkan menjadi embrio, bagi lahirnya bayi sehat yang berwujud dan membawa anasir anasir penting dalam upaya menegakkan keberadaan masyarakat Lampung, utamanya propinsi Lampung. Mengkaji ulang kegelisahan Udo yang selalu concerned dengan kegelisahannya untuk menjadikan Lampung besar.

Secara implicit Udo mengajak kita untuk tidak menjadikan Lampung bukan hanya sebagai mitos, Lampung bukan hanya sekedar serpihan serpihan seremoni yang terbengkalai dalam baskom dikotomi saibatin dan pepadun, tetapi Lampung akan menggeliat di atas kawah candra dimuka ditengah kelebihan bangsa  bangsa di dunia atau setidaknya mampu mengharmonisasikan diri, dan menjadi bagian integral dari Propinsi Propinsi lain di di negeri ini. Selamat Do, teruskan perjuangan. Lamon mak kham sapa lagi.

Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation

Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 Mei 2013

No comments:

Post a Comment