May 3, 2013

Rembuk Seniman Lampung: Membangun 'Ruang Kreatif' Seniman

ADOLF Ayatullah Indrajaya bersemangat menceritakan pengalamannya bersama sekelompok musisi yang menggelar cetik on street pada Ramadan tahun lalu. Ketika itu, para seniman ini mencari pengusaha swasta sebagai sponsor kegiatan cetik on the street untuk mengisi acara ngabuburit. Tentunya dengan kesepakatan mereka mereka harus mempromosikan produk perusahaan tersebut.

Namun sayang, sponsorship itu batal karena nego harga yang ditolak mentah-mentah oleh pihak pengusaha. “Waduh, gara-gara nego harga dari Rp10 juta menjadi Rp11 juta, kita malah ditolak,” ujar Adolf yang juga Pemimpin Redaksi Lampung Ekspres Plus ini mengutip keluhan teman-temannya waktu itu.


Padahal, jika dihitung-hitung, aksi memainkan cetik (alat musik pukul khas Lampung) selama satu bulan, bahkan tidur pun harus di jalanan, dana sebesar itu tidak sebanding. Namun, apa daya, apresiasi pihak swasta pun belum begitu tinggi dalam mendukung kreatifitas para seniman Lampung. “Ya mau gimana lagi? Kalau cuma mengharapkan bantuan pemerintah dan swasta, kita malah jadi mandeg, nggak bakal berkarya-berkarya,” ujar Adolf.

Akhirnya dengan keyakinan tinggi, mereka tetap melakukan aksi cetik on the street tersebut tanpa bantuan dan pemerintah atau sponsorship dari pihak swasta manapun. “Alhamdulillah, kami tidak menyangka, teryata apresiasi masyarakat cukup tinggi,” ujarnya. Diiringi tawa lebar, Adolf menyebutkan nominal uang yang mereka peroleh dari hasil kegiatan itu, melebihi nilai yang ditawarkan oleh perusahaan swasta sebelumnya.

Begitulah Adolf menggambarkan mirisnya nasib seniman Lampung yang tak lagi memiliki ‘ruang’ layak untuk diapresiasi. Jika di kota gudeg Yogyakarta dan beberapa provinsi lain, para seniman dan budayawan masuk dalam pusat-pusat kegiatan. Bertolak belakang dengan Lampung, para seniman dan budayawan cenderung terpinggirkan.

Kalaupun ada even-even seni seperti Festival Krakatau, Festival Waykambas, atau lainnya, cenderung top down, kegiatan yang dipaksakan dari atas ke bawah. Sehingga, lama kelamaan, kegiatan ini kehilang ruh dan menjadi acara seremonial belaka. Para seniman Lampung seperti memakan buah simalakama, mati segan hidup tak mau. Banyak seniman yang terus memperjuangkan idealisme sambil mengikat tali pinggang erat-erat menahan rasa lapar. Akan sampai kapan?

Sikap optimis ditunjukkan sastrawan Syaiful Irba Tanpaka. Dia mengatakan ‘ruang’ itu harus diciptakan sendiri oleh para seniman lewat konsistensi berkarya. Dia mencontohkan Iswadi Pratama yang konsisten berkarya hingga mengantarkan teater satu sampai ke pentas dunia. Atau Isbedy Stiawan yang cukup dikenal karya puisinya di tingkat nasional. “Apapun, kita harus mengakui kemampuan Iswadi dan Isbedy, kenapa mereka bisa seperti itu? Karena mereka konsisten terus berkarya,” ujar Syaiful Irba. Konsistensi inilah yang seharusnya dicontoh oleh para seniman, sastrawan dan budayawan di Lampung ini.

Terkotak-kotak
Isu terkotak-kotaknya para seniman dan sastrawan Lampung juga mencuat dari diskusi yang dihadiri puluhan seniman Lampung ini. Asarpin, penerima Hadiah Sastra Rancage 2010, menyatakan prihatin dengan kondisi seniman Lampung yang terkotak-kotak. “Ya, seni tradisi jalan sendiri, seni sastra sendiri, seni teater sendiri, semuanya jalan sendiri-sendiri. Yang ini ke sana, yang satunya lagi entah ke mana, seniman kita ini tidak pernah bersatu, memiliki satu visi. Ini juga masalah krusial di Lampung ini,” katanya.

Dia berharap ke depan, seniman Lampung bisa bersatu, saling sharing, dan saling mendukung untuk menghasilkan karya.

Dalam kondisi ini, menurut Alexander GB dari Komunitas Berkat Yakin (Kober), memang dibutuhkan sikap "keras kepala" untuk terus berkesenian dan berkarya. "Apa pun tanggapan orang, betapa pun rendahnya apresiasi masyarakat, atau alangkah sinisnya sebagian orang, kami tetap berupaya melakukan sesuatu. Kami sekarang sedang melakukan riset untuk menemukan gerak dasar Lampung menuju gerak dasar Melayu," kata cerpenis dan pekerja teater ini.

Di tengah keprihatinannya terhadap kondisi bahasa Lampung, cerpenis Arman A.Z. menempuh jalan sunyi melakukan penelusuran jejak orang yang berjasa terhadap bahasa Lampung. "Barang kali orang Lampung tidak tahu  Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894). Padahal, dialah pahlawan bahasa Lampung. van der Tuuklah yang pertama menyusun kamus Lampung setebal hampir 600 halaman. Kamus ini tersimpan di Pepustakaan Leiden," katanya.

Dari segi musik, I Wayan Sumerta Dana Arta, penemu laras pelog enam nada amolan pering Lampung dan pemegang hak Paten pada tahun 2010 mengatakan, musik tradional Lampung sangat potensial. "Saya beberapa kali memadukan aransemen lagu dari sub-subetnik Lampung, baik dari Pepadun maupu dari Saibatin. Hasilnya bagus kok," ujarnya.


Penghargaan bagi Seniman

Dalam rembuk itu juga mengemuka soal pentingnya penghargaan kepada seniman Lampung. I Wayan Sumerta Dana Arta selaku praktisi seni musik tradisional Lampung mengutarakan, pemberian penghargaan merupakan hal yang wajar dalam masyarakat seni.

"Hampir di setiap festival atau gelaran seni di Jawa ataupun di Bali ditutup dengan pemberian anugerah atau penghargaan pada para seniman. Di Bali dan jogja misalnya, para seniman sepuh diberi penghargaan dengan simbol cincin emas," ujarnya.

Upaya mengapresiasi para seniman dan sastrawan Lampung ini juga disambut baik sastrawan Asarpin Aslami. Saat ini bisa dikatakan Lampung mengalami penurunan produktivitas seni dan sastra, sehingga penghargaam diharapkan dapat menjadi vitamin bagi para pelaku seni dan sastra di Lampung.

"Yang patut diapresiasi Lampung Post adalah perannya dalam memberikan tempat bagi para seniman dan sastrawan Lampung, terutama dalam hal tulis menulis. Sehingga pemberian penghargaan berkala bagi mereka yang mampu menulis secara produktif dan berkualitas layak dikedepankan," tandasnya.

Iskandar GB mengingatkan agar penghargaan yang diberikan harus memiliki  persyaratan atau kriteria. "Tolak ukurnya harus jelas, netral, kompetitif, wajar dan layak," ujar GB.

Sementara Adolf Ayatullah Indrajaya penghargaan kepada seniman itu tak hanya bersifat award tetapi juga bisa langsung dari masyarakat. "Apresiasi dari masyarakat terhadap hasil karya merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi seniman," tandasnya.

(RINDA MULYANI/ABDUL GOFUR/P-1)

Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 Mei 2013

1 comment: