May 19, 2013

Batu Batu Imaji Ari Susiwa Manangisi

 -- Christian Heru Cahyo Saputro

ARI Susiwa dalam diksi rupa pilihannya berkisah tentang peristiwa Mesuji dan Sidomulyo. Lukisan batu-batu masif saling bertumbukan dan setandan kelapa sawit segar yang ditarik-menarik tali dari berbagai penjuru bertajuk Mesuji ?Amuk? Sidomulyo terpajang di antara 115 karya rupa dalam pameran bertajuk Meta Amuk di Galeri Nasional Indonesia di Jalan Medan Merdeka Timur 14, Jakarta, dari 7?24 Mei 2013.

LUKISAN. "Spirit the Day" karya Ari Susiwa Manangisi
FOTO: DOKPRI ARI SUSIWA
Lukisan bertajuk Mesuji ?Amuk? Sidomulyo karya perupa Lampung, Ari Susiwa Manangisi, cukup menyita perhatian pengunjung pameran, setidaknya karena ukurannya yang lumayan provokatif.


Dalam pameran dua tahunan (bienalle), Ari Susiwa Manangisi merupakan satu-satunya perupa Lampung yang berhasil lolos dan punya kesempatan menaja karyanya dalam pameran bergengsi tersebut.

Pameran yang dibuka dibuka Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti ini digawangi duet kurator Kuss Indarto dan Asikin Hasan. Pameran yang digelar secara rutin oleh Galeri Nasional Indonesia sejak 2001 ini diikuti 402 nama/kelompok seniman yang mengajukan proporsal setelah melalui tahap kurasi berhasil meloloskan 94 karya perupa/kelompok. Di tambah 21 karya seniman jalur khusus undangan.

'Amuk' dalam Kacamata Ari Susiwa

Perupa Lampung yang pernah mendapat penghargaan The Gate: Pre Discourse dari Hue Bei Art College, Wu Han, China, tahun 2007 ini mengusung peristiwa kerusuhan di Mesuji dan Sidomulyo di atas kanvasnya dalam bahasa diksi rupa.

Menurut Ari, lukisan berukuran 320 x 210 cm terbagi dalam 12 keping panel lukisan ini memvisualkan tarik-menarik kepentingan yang terjadi dalam berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di Indonesia, khususnya di Mesuji dan Sidomulyo (Lampung).

Perupa kelahiran Lubuk Linggau, 10 Oktober 1952 ini memaparkan konsepnya, diujung karut-marut pendataan lahan penduduk yang tumpang tindih, maka meletuslah segala kemelut dendam.

Membakar, merusak, melampiaskan semua kesumat menggugat persoalan hukum dan keadilan. Pasalnya, selama ini yang terjadi adalah hukum rimba. Siapa yang kuat akan memangsa yang lemah. Para penguasa dengan kekuasaannya memecundangi kaum-kaum yang tak berdaya. Ini merupakan fakta yang terjadi dalam panggung kehidupan nyata di Mesuji.

?Keluarga saya pun jadi salah satu korban di Mesuji. Tanah seluas 15 hektare yang dibeli patungan hilang karena bukti dan kekuatan hukumnya dikalahkan,? ujar Ari, salah satu yang jadi alasan mengapa dia melahirkan karya Mesuji ?Amuk? Sidomulyo.

Peristiwa Mesuji dan Sidomulyo, lanjut Ari, merupakan bencana kemanusiaan berskala provinsi, tapi mungkin bisa merembet ke daerah lain dan bisa mengguncang Indonesia. Mesuji dan Sidomulyo hanya merupakan contoh kecil.

Peristiwa semacam ini bila tidak dituntaskan secara nyata dan dicarikan solusi secara sungguh-sungguh, bakal jadi bom waktu. Penyelesaian yang dibutuhkan bukan hanya penyelesaian politis dan sesaat demi menyenangkan penguasa atau sekadar sandiwara dengan memunculkan kambing hitam.

Kemudian menganggap selesai begitu saja dengan mendiamkan api dalam sekam itu tak terlihat dari luar. Padahal, sewaktu-waktu kesumat itu bisa menyala dan membakar yang ada. ?Ini yang saya khawatirkan. Sebagai perupa saya hanya bisa membahasakan dan menyuarakan lewat karya lukisan ini,? ujar Ari memaparkan makna yang tersirat dari karyanya.

Menurut Ari Susiwa, peristiwa Mesuji dan Sidomulyo kalau dibiarkan bakal mengancam Bhinneka Tunggal Ika yang sudah diugemi bangsa kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Diksi Batu Ari Susiwa

Menurut Ari Susiwa, yang juga mengakrabi dunia komik ini, dia merespons tema pameran Nusantara yang disodorkan Galeri Nasional untuk tahun 2013, Meta Amuk. Saya mencoba menangkap peristiwa amuk Mesuji dan Sidomulyo dengan diksi batu.

Peristiwa amuk Mesuji dan Sidomulyo, menurut dia, adalah penaka batu-batu yang yang bertumbukan. Kekerasan beradu kekerasan itu fakta yang ada dan terjadi. ?Mengapa saya memilih diksi berupa batu-batu dalam memvisualkan dan membingkai peristiwa itu dalam karya rupa. Karena yang ada semata adalah kekerasan dalam rimba amuk seperti batu-batu yang bertumbukan. Tak ada lagi rasa toleransi dan kasih terhadap sesama,? kata perupa yang giat mengampanyekan melukis dengan media kopi ini.

Ribuan hektare tanah dikaveling-kaveling disigi ada yang bos yang membiayai ?amuk? yang terjadi. Kasus Mesuji dijadikan tunggangan banyak pihak, kasus Mesuji dipertaruhkan oleh banyak kepentingan. Chaos yang terjadi seperti batu-batu yang bertumbukan. ?Mereka tak lagi memikirkan rakyat yang jadi korban. Mereka tak mau dengar dan peduli. Ada sistem yang salah yang mengakibatkan krisis nasionalisme,? ujar Ari Susiwa menarasikan karya.

Karya-karya Ari Susiwa yang mengusung batu-batu sebagai bahasa ungkapnya bukan baru pertama kali ini. Tetapi pada era 2008-2009, Ari sudah mengusung diksi batu dalam karya rupanya. Dalam catatan saya pada pameran Spirit The Day tahun 2008 di Taman Budaya Lampung, Ari Susiwa menyodorkan beberapa karyanya, antara lain Spirit Gelembung Sabun yang menyoal tentang supremasi hukum. Kemudian karya bertajuk Spirit The Day menggambarkan semangat hidup dengan bahasa visual seekor semut yang mengusung batu.

?Simbol batu sering saya pakai sebagai bahasa visual untuk menggambarkan kehidupan ini keras. Kita ini terkadang menghadapinya dengan berkepala batu dan berhati batu. Karena persoalan hidup yang terus berkelindan mengkristal dan membatu,? ujar Ari Susiwa yang bermimpi untuk menghidupkan komunitas komik dan juga membuat komik dengan tokoh lokal.

Christian Heru Cahyo Saputro, pengamat Seni Rupa

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Mei 2013

No comments:

Post a Comment