May 2, 2013

[Inspirasi] Djuhardi Basri: Pendidik yang Juga Sastrawan Lampung

Oleh Lukman Hakim


Djuhardi Basri dan istri
BAGI pria satu ini, puisi adalah menangkap kata-kata yang menggetarkan sehingga diksi menjadi unsur yang sangat penting dalam menciptakan puisi. Siapa lagi kalau bukan Djuhardi Basri. Dia dilahirkan di Kotabumi, 27 November 1960, putra dari pasangan Basri K.A. dan Nurhayati yang merupakan ulun (orang) Lampung asli. Ketekunan Djuhardi membaca karya-karya puisi Prancis semasa kuliah membawanya terinspirasi membuat karya-karya puisi sendiri.

Masa sekolahnya dari tingkat SD hingga SMA dia selesaikan di Lampung. Setelah itu, dia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Dia juga pernah kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas Slamet Riyadi, Solo, tetapi tidak diselesaikan.


Saat kuliah, Djuhardi banyak bersentuhan dengan karya-karya puisi Prancis. Ketekunannya dalam membaca puisi-puisi terjemahan tersebut membuatnya terinspirasi dalam menulis karya-karyanya sendiri. Menurut dia, berpuisi adalah menangkap kata-kata yang menggetarkan sehingga diksi menjadi suatu unsur yang sangat penting dalam menciptakan puisi.

Kegemarannya bersastra membuahkan hasil yang cukup membanggakan, misalnya Djuhardi pernah mewakili Solo pada ajang Forum Puisi Indonesia 1987 yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta. Saat di bangku kuliah pula, Djuhardi aktif berkarya di bidang sastra dan teater. Pada tahun 1982, dia bergabung dengan Teater Gidag-Gidig, Solo.

Selain berpuisi/sastra, ternyata pria kalem ini juga keranjingan berteater. Tidak heran, kala itu dia juga rajin berlatih dan aktif mengikuti berbagai pentas teater. Djuhardi pernah bergabung bersama Teater Keliling Jakarta dan berpentas dari kampus ke kampus mengelilingi pulau Jawa. Hal itu dia geluti sampai tahun 1987.

Pada tahun yang sama, dia bersama beberapa rekan di kampusnya mendirikan Teater Sastra di Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas Negeri Sebelas Maret. Waktu itu dia memiliki pemikiran dengan berdirinya teater itu akan makin menggairahkan kehidupan kesenian di kampus dan berpotensi memunculkan bakat-bakat baru.

Dia pun makin giat menghidupkan kegiatan teater yang dibentuknya. Saat yang bersamaan pula, dia harus memikirkan kuliahnya juga. Namun, aktivitasnya di teater dan kuliahnya dapat berjalan bersama. Hasil karyanya itu pun dapat dia saksikan sampai saat ini, aktif membina sastrawan-sastrawan muda yang lahir dari kampus itu.

Djuhardi pun terus berkarya. Selain berpentas memerankan karya-karya orang lain, dia juga menulis dan menggarap naskah teater. Banyak naskah teater yang dibuatnya dan sudah dipentaskan, di antaranya Matahari Kembar, Pertiwi (Sebuah Luka yang Membusuk), Labirin 1, Labirin 2, Armageddon 1, Armageddon 2, Demokrasi Kaki Lima, Bilal bin Rabah, dan Ibrahim Singa Padang Pasir.

Bahkan, naskah Bilal bin Rabah karya Djuhardi membawanya meraih peringkat IV pada Festival Anak Saleh Nasional di Jakarta dengan menyutradarai karyanya sendiri. Dia pun makin produktif menciptakan karya-karya sastra. Adapun karya-karya Djuhardi antara lain manuskrip yang sederhana, yaitu Langgam Kesunyian (1992), Peta yang Terbakar (1994), Dzikir Semesta (1995), dan Catatan Bahasa Manusia. Sementara puisi-puisi Djuhardi juga tergabung dalam antologi bersama, seperti Konstruksi Roh, Warna-Warna Roh, Ziarah Ekstase dan Kota Tuhan, Potret Manusia, Upacara Kamar, Festival Puisi XII-XIV (PPIA Surabaya), Festival Januari, Jung, Dari Bumi Lada, Kebangkitan Nusantara II, serta Konser Penyair Ujung Pulau (DKL, Januari 1995).

Mencetak Sastrawan-Sastrawan Muda

DJUHARDI memang terlahir dengan bakat seni yang tinggi. Bahkan, dia pun turut mewarnai sastra di Lampung dan nasional sebagai bagian dari kesusastraan modern. Dia menilai saat ini generasi muda Lampung kebanyakan sudah lupa akan adat istiadat Lampung sehingga pelestarian sastra tradisional dan adat serta tradisi Lampung menjadi penting baginya sebagai ulun Lampung.

Selain itu, Lampung cukup produktif dalam mencetak sastrawan-sastrawan muda dan Pemerintah Provinsi Lampung juga turut berpartisipasi dalam membina kegiatan kesenian dan kesastraan di Lampung. Djuhardi sendiri pernah aktif berkiprah di Dewan Kesenian Lampung. Bahkan, dia pernah mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan DKL, salah satunya dia pernah meraih predikat sebagai sutradara terbaik pada festival teater yang diadakan Dewan Kesenian Lampung.

Saat ini dia aktif di Dewan Kesenian Lampung Utara dan kegiatan yang sedang ditekuninya adalah mengajar puisi dan drama serta menggarap berbagai naskah sastra dan teater bersama sanggar yang dibinanya. Selain mengembangkan sastra, saat ini Djuhardi juga sedang berkutat menyelesaikan tesis S-2-nya.

Sewaktu bergumul dengan dunia kesenian di Solo, Djuhardi Basri lebih dikenal dengan nama Adri Kotami (merupakan akronim anak dari Kotabumi). Sekembalinya dari studi di Solo, mendirikan Komunitas Teko (Teater Kotabumi) yang sempat muncul dua kali menjadi teater terbaik pada festival teater yang digagas dan diadakan DKL.

Dia juga pernah membawa tim seni pertunjukan yang mewakili Lampung dalam Festival Pertunjukan Rakyat yang diadakan Kementerian Penerangan dan berhasil meraih peringkat V nasional. Bukan itu saja, dia juga berhasil membawa kelompok teater anak-anak pada Festival Anak Soleh Nasional di Jakarta dan mendapat peringkat keempat. "Saat ini, selain sebagai pendidik, saya juga terus berkarya mengembangkan sastra."

Djuhardi mengakui dia pernah mencoba bermain-main di wilayah politik, saat munculnya gerakan reformasi yang dimotori Amien Rais. Bersama kawan-kawan Muhammadiyah di Kotabumi, dia membentuk dan membangun Partai Amanat Nasional. Terakhir dalam organisasi politik itu, dia pernah menjadi wakil ketua.

"Ternyata sejarah kembali membuktikan bahwa Muhammadiyah memang pandai membentuk sebuah wadah, tetapi setelah terbentuk ia segera tergeser dan digeser," kata dia.

Bahkan, beberapa karya lakonnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran politik, seperti naskah Pertiwi yang Terluka merupakan respons dan simpati pada Megawati Soekarnoputri (mantan Presiden RI) yang pada awalnya merupakan tokoh yang ditindas.

Sedangkan Labirin 1 dan Labirin 2 merupakan respons terhadap pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Indonesia yang sampai sekarang kebingunan merumuskan demokrasi bagi rakyatnya. "Hingga pada akhirnya muncullah karya saya dengan judul Demokrasi Kaki Lima."

Bersama rombongan saudara-saudara muslimnya yang ingin memperbaiki diri, dalam sebuah jemaah tablig, hasil persentuhan spiritual ini melahirkan naskah-naskah lakon religius keagamaan, seperti Singa Padang Pasir, Bilal bin Rabbah, Ibrahim 1, dan Ibrahim 2.

Ajari Mahasiswa Sastra dan Teater

DJUHARDI makin mengukuhkan eksistensinya di dunia sastra, khususnya di Lampung dan nasional umumnya. Karya-karya puisinya pun banyak dimuat di media lokal dan nasional, di antaranya Suara Pembaruan, Berita Buana, Republika, Swadesi, Suara Merdeka (Semarang), Bernas (Yogyakarta), Trans Sumatera, Lampung Post, Sriwijaya Post, dan lain-lain.

Setelah berkelana selama bertahun-tahun di Pulau Jawa, Djuhardi kembali ke kampung halamannya pada 1990. Dia pulang dengan membawa buah tangan yaitu istri yang dinikahinya. Djuhardi menikah dengan Hariyanti dan dikaruniai empat anak. Kembalinya Djuhardi ke Lampung, membawa harapan besar ingin membangun kesenian di kampung halamannya sendiri.

Dia mulai berkiprah dan bergabung dengan sesama sastrawan di Lampung.

Pada tahun berikutnya, Djuhardi dan istrinya mengabdikan diri dengan menjadi staf pengajar di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah, Kotabumi. Di tempatnya mengajar, Djuhardi tetap bergiat dalam mengajarkan puisi dan teater. Dia pun mendirikan sanggar sastra dan teater yang dinamakannya Sanggar Kreativitas Mahasiswa Muhammadiyah Kotabumi (Sangkar Mahmud).

Sebagai orang Lampung asli, Djuhardi memberikan perhatian khusus bagi perkembangan sastra Lampung. Djuhardi mengingatkan bahwa sastra tradisional Lampung adalah salah satu yang mendasari sejarah rakyat Lampung.

Menurut ayah empat anak itu, naskah-naskah klasik itu menjadi cerminan masa lalu Lampung. Untuk itu, sastra tradisional patut diperhatikan keberadaannya. "Siapa lagi yang akan melestarikan sastra tradisional, kalau bukan kita sendiri sebagai orang asli Lampung," kata dia.

Seiring dengan berjalannya usia, Djuhardi berusaha menularkan ilmunya terhadap generasi muda yang diasuhnya. Baginya, sangat penting agar generasi muda turut berkarya menghidupkan kesastraan di Lampung. Apalagi, Lampung dengan keragaman etnis memiliki budaya yang khas, yang tidak dijumpai di daerah lain. (S2)

BIODATA
Nama : Djuhardi Basri
Lahir : Kotabumi, 27 November 1960
Pekerjaan : Pengajar di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah, Kotabumi
Istri : Hariyanti
Anak : 4 Orang
Ayah : H. Basri A.K.
Ibu : Hj. Nurhayati

Karya-Karya : Selain banyak menulis puisi yang diterbitkan dalam antopoligi bersama teman-temannya, dia juga banyak menghasilkan karya naskah lakon, di antaranya:
1. Pertiwi yang Luka,
2. Labirin 1
3. Labirin 2
4. Armagedon 1
5. Armagedon 2
6. Demokrasi Kaki Lima
7. Raden Jambat Hangkirat
8. Dayang Rindu
9. Bilal bin Rabbah
10. Ibrahim 1
11. Ibrahim 2

Sumber: Lampung Post, Kamis, 2 Mei 2013

No comments:

Post a Comment