May 29, 2013

Mengkaji Lampung secara Komprehensif

Oleh Parjiono


MEMBACA opini Andry Saputra (Lampost, 11 Mei 2013) berjudul Horison Lampung untuk Kaum Muda, sebelumnya opini Darojat Gustian Syafaat (Lampost, 24 April 2013) yang berjudul Menyegarkan (Kembali) Rumusan Kelampungan, dan tulisan Hardi Hamzah (Lampost, Jumat 5 Mei 2013) berjudul Obsesi Punahnya Lampung?, tampaknya ketiga penulis tersebut belum secara komprehensif mengulas buku Udo Z. Karzi, Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan (2013).

Mengapa saya katakan belum komprehensif, karena banyak kajian yang menggigit dalam buku itu secara esensial belum terbahas. Misalnya saja pada halaman 22 dan 23, Udo Z. Karzi menulis dengan subjudul Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung. Di situ dituturkan Udo tentang kekhawatirannya terhadap kepunahan bahasa Lampung.


Dengan mengutip pakar sosiolinguistik UI Asim Gunarwan, bahasa Lampung bisa punah 75 atau 100 tahun lagi. Dengan kerisauan itu, Udo juga mengutip beberapa pakar, seperti pengamat sastra Lampung A. Effendi Sanusi dan "Rajo Cetik" Syapril Yamin, yang juga mengeluhkan kesirnaan Lampung.

Dari banyaknya catatan kaki, jelas Udo Z. Karzi ingin meyakinkan kita semua secara komprehensif, bagaimana kita wajib sama-sama berontak untuk membahas Lampung secara komprehensif. Bahkan, tegas-tegas Udo mengatakan kita jangan sebatas cawa-cawa. Ia tidak menampik ada juga yang konkret dengan menekuni tari, musik, sastra, dan juga berbagai bentuk tradisi kelisanan, tetapi secara ironis dan kecewa, Udo mengatakan jangan-jangan orang Lampung itu "cuma pintar ngomong doang".

Dalam khazanah yang lebih serius lagi, ketiga penulis terdahulu juga tidak mengkaji bagaimana Udo dengan banyaknya footnote, Udo mengutip berbagai tapak tilas dengan kritis pada halaman 41 dan 42, yakni apa yang dilakukan oleh Fachrudin dan A. Ichlas Syukuri, maka Udo kemudian menganalisis dengan cermat, dengan mengatakan saya pikir bukti-bukti sejarah seperti itu lebih menarik untuk diteliti lebih lanjut ketimbang berdebat soal yang memang masih debatable.

Dengan kritis, Udo berasumsi -- sepakat dengan A. Ichlas Syukuri --bahwa untuk mencari jejak kebudayaan ulun Lampung, bukan dengan mencari bukti atau menapak tilas semacam ke Kesultanan Kecirebonan. Sebab, masih ujar Udo, kebudayaan Lampung menjadi semakin termarginal dan semakin tidak memiliki makna apa apa.

Pada titik inilah, jiwa pendobrak Udo tidak dikaji oleh tiga penulis sebelumnya (Darojat Gustian Syafaat, Hardi Hamzah, dan Andry Saputra). Bahkan, secara lebih revolusioner pada halaman 115-116, Udo melihat dan mengkaji berdasarkan pengalamannya, melalui bacaan sebuah artikel Abdullah Khusaeri di rubrik buku berjudul Membangun Melayu dengan Buku (Padang Ekspres, 30 November 209). Isinya tentang sebuah pesta, bukan pesta bir atau hura hura, melainkan pesta buku.

Dalam konteks yang sama revolusionernya, Udo juga mengungkap rentang Malam Anugerah Sagang yang digelar Yayasan Sagang di hotel Ibis Pekanbaru. Udo melihat pentingnya acara itu, pun juga menguyah-uyah buku yang mendapat anugerah kalau Udo boleh jadi bersemangat di tengah kekecewaannya, mengingat implisit Udo melihat betapa sepinya masyarakat Lampung kalau sudah bicara buku. Di sini muncul nilai baru dan semangat yang serius dari Udo agar kita mampu membangun Lampung dengan buku.

Butir-butir revolusioner untuk menggugah cakrawala kita dalam upaya menyikapi eksistensi Lampung telah disemai sedemikian rupa oleh Udo. Kehadiran buku yang kaya catatan kaki (baca: sarat bacaan) menjadi titik interaksi signifikan bagi kita yang berkehendak untuk pengembangan budaya Lampung, tentu ini kalau kita mau. Saya tidak ingin mengobok-obok birokrasi yang berkompeten untuk mengantisipasi dinamika yang muncul dalam polemik tentang buku ini meski memang tidak tertolakkan. Dengan kata lain, political will atau good will.

Khazanah kekayaan tradisi, budaya, kesejarahan, bahkan ekonomi, sosial, dan politik Lampung harus digali. Aksentuasi saya lebih berusaha agar inilah atau lebih tepatnya inilah buku jalan pembuka bagi kita semua yang dituntut mempunyai kewajiban moral dan bertanggung jawab, mengingat kelampungan saat ini hanya dikembangkan lewat eksebisi material. Itulah sebabnya kita harus berani bersikap agar Lampung tidak sirna.

Apa kita tidak malu, dalam setiap festival lagu-lagu daerah di tingkat nasional, lagu Lampung jarang sekali dilombakan, ini akibat bangganya kita dengan instrumentalia pop yang menggeser gitar klasik Lampung. Contoh ini adalah suatu bagian kecil saja, bahwa demi mempopkan Lampung, tanpa sadar kita telah melacurkannya di pasaran bebas dan tidak juga komersial alias laku.

Cita-cita dan hasrat besar Udo Z. Karzi hendaknya bukan dianggap sebagai suatu pentas polemik yang berhenti sampai pada kepuasan batin tanpa arti serta menghiasinya hanya dengan ornamen gajah, siger sebagai tempelan tanpa makna.

Walaupun hal ini juga penting, hendaknya kepentingan yang juga penuh arti itu dipenuhi pula oleh saratnya makna. Maka, kita patut menjawab pertanyaan besar: "Sebagai orang Lampung, pemaknaan apa yang tekah kita torehkan secara komprehensif, sehingga Lampungologi benar-benar dapat terwujud?"

Parjiono, peminat masalah sosial budaya tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Rabu, 29 Mei 2013

No comments:

Post a Comment