May 18, 2013

Merenungkan Keluhuran Adat Lampung

Oleh Novan Saliwa


BAGI seorang pemuda yang ingin belajar banyak tentang makna Lampung dan kelampungan, sangat baik kiranya dapat menjalin komunikasi terhadap sosok Udo Z. Karzi yang telah lebih dahulu berkecimpung di berbagai forum dan analisis tentang Lampung. Dia juga mendokumentasikan segala bentuk persepsi masyarakat mengenai Lampung melalui blog ulunlampung. Bahkan, Udo Zul telah menerbitkan buku tentang kelampungan.

Komunikasi itu mampu membuka cakrawala kita mengenai Lampung dari sudut pandangnya selaku sastrawan, yang juga telah lama hidup berdampingan dengan tradisi Lampung di tanah kelahirannya, Pekon Negarabatin, masuk wilayah adat Marga Liwa. Ini terbukti dengan terbitnya buku Feodalisme Modern Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan (diterbitkan Indepth Publishing, April 2013).


Ini sempat menjadi perbincangan berbagai pihak, baik di media sosial maupun Lampung Post. Sebuah seremoni Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) 24 Juli 2010, yaitu pelantikan Gubernur Lampung sebagai pimpinan adat tertinggi Lampung dengan penganugerahan adok (gelar) Kanjeng Yang Tuan Suntan Mangkunegara Junjungan Pemangku Sai Bumi Ruwa Jurai.

MPAL mencoba melegitimasi dirinya layaknya begawan yang mampu merangkum semua elemen adat di seluruh Lampung. Padahal, sejatinya tidak begitu masuk akal jika bayi yang baru belajar merangkak mencoba menuntun kakek buyutnya berjalan.

Keberadaan lembaga adat Lampung pada setiap masing-masing daerah di Lampung jauh lebih dahulu ada dan terus mempertahankan tradisinya mengayomi setiap masyarakat adatnya, menyentuh langsung kepersoalan masyarakat adat ketimbang menampung aspirasi kepentingan para elite penguasa.

Merayakan (Kembali) ‘Adok’

Wacana tentang Lampung yang begitu seksi sehingga menjadi perhatian publik. Selain tentang perdebatan mengenai sejarah asal-mula Lampung, yang perlu disikapi nasib bahasa (kebudayaan) Lampung  di tengah zaman modern adalah masalah penganugerahan adok. Sebab, yang lebih gencar muncul di media dan digembar-gemborkan sebagai bagian dari kebanggaan program MPAL adalah penganugerahan gelar kebangsawanan.

Hal yang menarik bagi penulis adalah mengapa adok yang dijadikan sarana untuk memberikan kesan kepada seseorang terhadap Lampung? Siapa pun orang yang dianggap penting bagi segelintir kepentingan, yang muncul sebagai pengikat adalah pemberian adok. Setidaknya banyak tokoh yang diberikan MPAL adok, tetapi apa pula yang mampu didapat adat atas disumbangkannya adok tersebut. Itu pula yang harus menjadi perhatian.

Dari pertanyaan tersebut, harus pula menghadirkan pertanggungjawaban yang memuaskan bagi adat itu sendiri. Sebab, selama ini adat telah dihadirkan, Udo menyebutnya diobral habis, dengan kesan sebagai pemuas nafsu mereka para penganugerah adok atau penyimbang kemawasan (meminjam istilah Irfan Anshory, tokoh adat dari Talangpadang, Tanggamus).

Untuk perenungan kita, tulisan Udo dihadirkan kembali sebagai santapan pemikiran yang dihidangkan di depan mata. Tata petiti adok sering dipersonifikasikan oleh orang tua dahulu seperti tungku, yaitu tiga buah batu perapian untuk memasak. Berposisi segitiga sama sisi, satu batu di utara, satu batu di barat, dan yang satu lagi di timur. Sedangkan dari selatan adalah untuk kayu bakarnya.

Itulah penggambaran suatu perapian yang dapat dipergunakan untuk memasak, letak dan posisi ketiga batu itu haruslah seimbang tidak boleh ada yang lebih tinggi. Sebab, jika permukaan dari ketiga batu tersebut tidak rata, belanga atau apa pun yang ada di atas tungku itu tidaklah kokoh. Apalagi bila salah satu dari batu itu tidak ada atau tidak tercukupi, dapat dipastikan sesuatu yang di taruh di atasnya tidaklah bisa dipergunakan.

Demikianlah adok bisa disandangkan kepada seseorang yang jika dan hanya jika ketiga syarat tungku itu terpenuhi. Menuruti kaidahnya tata petiti itu berbunyi, “Adok nitutuk tutor, tutor nutuk dijujjor” yang terjemahannya adalah gelar diikuti panggilan, panggilan mengikut kedudukan/nasab/garis keturunan. Jadi, antara adok, tutor, dan jujjor adalah tiga hal yang saling keterkaitan satu dengan yang lainnya.

Penulis berharap pemuda bisa belajar memahami Lampung secara menyeluruh. Setidaknya, mampu memandang keberagaman sebagai rahmat dari Tuhan sehingga segala bentuk kreativitas selalu menghormati aturan adat yang beragam dan tidak mengusik rasa kebersamaan satu sama lainya. Neram Sang Bumi Juraini Wat Ruwa (kita sebumi jurainya ada dua). Lampung itu satu, tetapi ada berbagai macam keragaman yang patut dihormati.

Adok-tutor jadi kehangguman, adok dan tutor menjadi kebanggaan sebagai bagian dari adat istiadat Lampung. Sebab, di dalam adat ada kesetiaan, saling menghormati, bertanggung jawab atas amanah, kesadaran diri menjadi pemimpin, dan menjadi yang dipimpin. Tiga tungku di dalam adok sejatinya mengajarkan kita untuk itu. n

Novan Saliwa, seniman asal Liwa, Lampung Barat, saat ini tinggal di Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 Mei 2013

No comments:

Post a Comment