July 12, 2009

Desentralisasi Wilayah (Adat) Istimewa

Oleh Febrie Hastiyanto

BILA kita membincangkan desentralisasi, isu utama yang mengemuka adalah otonomi pelaksanaan pemerintahan di kabupaten/kota, dan belakangan hendak ditarik ke level provinsi. Hampir tidak ada yang berminat mendiskusikan desentralisasi pada kesatuan hukum pemerintahan (dan adat) yang bersifat istimewa.

TARI SIGER PENGUTEN. Muli-muli menarikan Siger Penguten sebagai penghormatan dan ucapan selamat datang kepada tamu. (LAMPUNG POST/M. REZA)

Istimewa bila dilihat dari hak-hak asal-usul daerah yang telah ada sebelum republik berdiri (Pasal 18 UUD 1945 (asli)). Isu utama "wilayah istimewa" ini sering merujuk pada Aceh (kini Nanggroe Aceh Darussalam), Yogyakarta, Papua, dan Jakarta (Daerah Khusus Ibu Kota). Padahal, di samping kawasan dalam struktur provinsi dan kabupaten/kota, masih ada wilayah istimewa berbentuk nagari, desa pakraman, desa perdikan, marga, dusun, maupun gampong (penjelasan Pasal 18 1945 (asli)).

Kesatuan pemerintahan (adat) ini sering terlewat, boleh disebut diabaikan dalam diskursus desentralisasi kita yang telah diatur dalam pelbagai undang-undang, sejak UU No. 1/1945, UU No. 22/48, UU No. 1/1957, UU No. 18/65, UU No. 5/1974, UU No. 22/1999, dan UU No. 32/2004 yang telah beberapa kali direvisi.

Sejarah Marga

Masyarakat Lampung mengenal struktur dan sistem kemasyarakatan berbentuk marga. Marga merupakan kesatuan hukum adat masyarakat Lampung, yang dalam perkembangannya mengalami modifikasi struktur dan sistem. Dari catatan yang ada setelah era Kerajaan Tulangbawang, Sekampung atau Sekala Brak yang masih diteliti kebenarannya, kuat diduga kesatuan hukum adat di Lampung tidak berbentuk kerajaan, tapi berbentuk keratuan (Soebing, 1988 dalam Saptono, 2005). Keratuan adalah kesatuan hukum yang tunduk pada kerajaan yang lebih besar, dalam hal ini berturut-turut Sriwijaya, Melayu Jambi, Majapahit, dan Banten.

Secara de facto kekuasaan kerajaan dilaksanakan oleh keratuan yang dalam perkembangannya kekuasaan keratuan secara de facto berada di tangan buay (kesatuan adat berdasarkan garis keturunan) yang terdiri dari sejumlah paksi (kesatuan adat inti berdasarkan garis genealogi) dan marga (kesatuan adat berdasarkan kewilayahan kampung) (Hadikusuma, 1989).

Sistem pemerintahan marga diduga berakar pada tradisi Sriwijaya, atau setidaknya memodifikasi sistem marga yang digunakan Kerajaan Palembang Darussalam. Dalam satu marga terdapat sejumlah tiuh, pekon, atau prowatin. Setiap tiuh atau pekon terbagi lagi dalam sejumlah umbul.

Ketika VOC membentuk distrik Lampung (Lampongsche Districten) pada tahun 1817 yang berkedudukan di Terbanggi sebelum kemudian dipindahkan ke Telukbetung, struktur masyarakat adat belum diubah. Baru tahun 1826 Belanda mengubah struktur adat marga yang sebelumnya otonom, kemudian berada di bawah dan tunduk pada kekuasaan Residen.

Tahun 1928 Belanda menetapkan ordonansi Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan. Dengan peraturan ini, marga diberi legitimasi struktural dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kepala-kepala marga (pesirah) dipilih dari para pemimpin adat tingkat marga (Saptono, 2007).

Melalui ordonansi marga Regering Voor de Lampungche Districten Belanda membagi Lampung dalam 84 (delapan puluh empat) marga berikut batas-batas teritorialnya. Sebanyak 78 (tujuh puluh delapan) dari 84 marga ini merupakan masyarakat etnis Lampung. Sisanya merupakan pendatang, utamanya dari Sumatera Selatan.

Melalui regulasi ini pula Belanda mengubah sistem kebuayan yang semula bersifat genealogis-teritorial pada paksi-paksi, menjadi sistem marga yang bersifat teritorial-genealogis.

Pada masa setelah perang kemerdekaan, sistem pemerintahan marga mengalami sejumlah perubahan. Tahun 1947, sistem pemerintahan marga dihapus karena dianggap warisan kolonial. Sebagai gantinya pada tahun 1953 diberlakukan sistem pemerintahan nagari sebagaimana lembaga nagari di Sumatra Barat.

Sistem nagari ternyata tidak dapat berkembang di luar wilayah Minangkabau. Tahun 1970, sistem pemerintahan marga berbentuk nagari dipersiapkan sebagai Daerah Tingkat III, atau setingkat kecamatan (Hadikusuma, 1985--1986). Belum sempat menjadi Daerah Tingkat III, sistem marga berbentuk nagari secara resmi dibubarkan tahun 1976. Terbitnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1975 tentang Pengaturan Pemerintahan Daerah menghapus sistem pemerintahan tradisional di seluruh Indonesia.

Meski demikian, hingga kini struktur marga dan buay masih hidup dalam masyarakat sebagai sistem kebudayaan lokal meskipun perannnya semakin terbatas dan masyarakat pendukungnya semakin menipis.

Masa Depan Marga

Secara konstitusional keberadaan marga diakui, meskipun dalam peraturan perundangan tentang Pemerintahan Daerah kesatuan-kesatuan teritorial dan adat cenderung diabaikan. Pascareformasi, mulai muncul kesadaran dan keinginan untuk mengakomodasi sistem dan struktur kesatuan adat dalam pemerintahan. Di Lampung misalnya, sejumlah kabupaten mulai menggunakan nomenklatur lokal sebagai pengganti nama organik desa seperti pekon di Lampung Barat, maupun kampung di Way Kanan.

Namun, ikhtiar ini masih berwujud perubahan nama, belum sampai pada perubahan identitas, karakteristik, struktur, dan sistem pemerintahan.

Wacana desentralisasi kesatuan adat istimewa juga mengemuka di sejumlah daerah. Di Bali, misalnya, akomodasi terdapat sistem nasional dan adat dimaterialkan dengan keberadaan desa dinas sebagai desa dalam struktur pemerintahan negara, dan desa pakraman sebagai "desa adat". Dualisme struktur ini disertai pembagian peran dan fungsi masing-masing desa dalam masyarakat. Di Sumatera Barat, wacana desentralisasi kesatuan adat disambut dengan mengefektifkan kembali kelembagaan nagari.

Mengefektifkan kelembagaan adat tentu bukan ide yang sederhana. Setidaknya ada tiga pertanyaan mendasar yang perlu dijawab untuk kita mengefektifkan kelembagaan lokal yang pernah ada. Pertama, regulasi. Regulasi yang telah ada baru mengatur desentralisasi hingga level kabupaten/kota, meskipun amanat konstitusi secara eksplisit menyebut desentralisasi hingga level kesatuan adat istimewa, meskipun undang-undang yang secara khusus mengaturnya belum ada.

Kedua, kita telah hampir tiga dekade tidak mengenal sistem kesatuan adat istimewa di tengah masyarakat. Generasi muda hanya mengenalnya dari literatur dan cerita tutur, sedangkan generasi tua telah mulai uzur sehingga sangat mungkin terjangkit penyakit lupa. Kondisi ini menyebabkan kita kesulitan mencari model dan rujukan atau referensi seperti apa sistem, struktur, peran dan fungsi kesatuan adat yang pernah ada.

Ketiga, persepsi publik. Desentralisasi wilayah adat istimewa ini tentu tidak hanya dijadikan sebagai usaha-usaha romatik mengembalikan sistem adat, sedangkan publik mungkin telah nyaman dengan sistem pemerintahan nasional yang ada. Kenyamanan ini dapat disebabkan dua hal: benar-benar nyaman, atau tidak tahu bila ada alternatif sistem pemerintahan adat. Alternatif sistem pemerintahan lokal ini pun masih perlu dikaji: masih diperlukan dan dibutuhkankah bagi publik hari ini?

* Febrie Hastiyanto, putera Way Kanan, bergiat komunitas milis etnografi_lampung.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juli 2009>

No comments:

Post a Comment