July 23, 2009

Lampung, Menuju Ekonomi Kreatif

Oleh Arif Febriyanto

ADA yang perlu disikapi dari kabar bahwa tapis tembus pasar luar negeri (Lampung Post, 25 Juni 2009). Nigeria menjadi salah satu Negara yang siap menerima tapis Lampung sebagai komoditas tekstil untuk dipakai sesuai gaya berbusana masyarakat negara tersebut. Hal ini perlu diwaspadai. Bukan apa-apa, terbetik kabar hak paten sulaman usus Lampung ternyata dimiliki Sumatera Utara (Lampung Post, 25 Januari 2005).

Kabar tapis telah tembus pasar luar negeri rasanya harus disikapi dengan skeptis. Bukan karena antiluar negeri. Sebab, tak bisa dimungkiri keadaan tersebut (tapis tembus pasar luar negeri) pun dapat membawa dampak yang positif bagi kemajuan produk budaya Lampung itu sendiri. Dan secara ekonomi hal tersebut sangatlah menguntungkan.

Berpikir skeptis di sini dimaksudkan agar kejadian serupa (hak paten sulaman usus Lampung dimiliki Sumatera Utara) tidak terulang. Bagaimana caranya?

Dosen Fakultas Hukum Unila Wahyu Sasongko mengatakan bahwa perlu ada perlindungan hukum hak kekayaan intelektual terhadap tapis dan sulam usus Lampung tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hak kekayaan intelektual yang dapat dikenakan terhadap kain tapis dan sulam usus di antaranya paten, desain industri, hak cipta, dan merek.

Namun jika melihat persyaratan kumulatif yang harus dimiliki suatu produk untuk mendapatkan paten, sangatlah sulit. Karena harus memenuhi unsur-unsur yaitu (1) ada kebaruan teknologi (novelty), (2) mengandung langkah inventif (inventive step), dan (3) dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable).

Hal yang memungkinkan lainnya, menurut Wahyu Sasongko, adalah dengan mendaftarkannya menjadi hak cipta, desain industri, dan indikasi geografis. Kenapa Hak Cipta? Karena kain tapis dan sulam usus mengandung karya seni (artistic work) yang memiliki keindahan (estetika) pada corak dan ragam hiasnya yang atas inspirasi pencipta (the creator) melahirkan suatu karya berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk khas dan bersifat pribadi.

Dalam hal ini kain tapis dan sulam usus termasuk karya seni asli (indigenous art) dan warisan budaya (cultural heritage) dilindungi hukum.

Atau desain industri, karena kain tapis dan sulam usus berbentuk dua dimensi (two-dimensional artistic work) yang menurut UU desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna. Atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan yang dibuat secara massal (mass production).

Kain tapis dan sulam usus juga dapat didaftarkan sebagai indikasi geografis (geographical indication) atau indikasi asal (indication of origin) yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis.

Dulu Wahyu Sasongko menyayangkan pranata hukum dari indikasi geografis dan indikasi asal belum memiliki peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksananya. Namun, hal itu kini telah terjawab dengan adanya PP No. 51/2007. PP yang belum lama ditetapkan, yaitu pada 4 September 2007 yang lalu ini disusun untuk mengatur secara menyeluruh ketentuan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek mengenai Indikasi Geografis.

Dalam PP ini, indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Indikasi geografis ini mempunyai lingkup berupa barang hasil pertanian, produk olahan, dan hasil kerajinan tangan.

Kain tapis dan sulam usus merupakan kerajinan tangan, sehingga termasuk juga dalam lingkup indikasi geografis yang jika didaftarkan dilindungi selama karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar bagi pemberian perlindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada. Jadi, setelah didaftarkan hingga karakteristik khas dan kualitas masih ada, tidak ada seorang pun yang dapat menggunakan hak indikasi geografis ini.

Apabila sebelum atau pada saat dimohonkan pendaftaran sebagai indikasi geografis, kain tapis dan sulam usus telah dipakai dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak menggunakan indikasi geografis, pihak lain tersebut dapat menggunakan tanda dimaksud untuk jangka waktu dua tahun sejak didaftarkan sebagai indikasi geografis. Dengan syarat, pihak lain tersebut menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang dan menjamin bahwa pemakaian tanda dimaksud tidak akan menyesatkan indikasi geografis terdaftar.

Di sinilah peran Pemda Lampung untuk mengidentifikasi dan menginventarisasi semua kekayaan intelektual dan warisan budaya Lampung, termasuk kain tapis dan sulam usus apa saja yang dapat didaftarkan sebagai indikasi geografis. Setelah itu, pihak Pemda juga jangan melupakan pendaftaran untuk semua bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) seperti paten, hak cipta, desain industri, dan merek (indikasi geografis), agar tidak ada lagi celah bagi pihak luar untuk memanfaatkan dan mengakuinya sebagai produk buatannya. Seperti sulam usus yang katanya telah dipatenkan oleh Sumatera Utara.

Lampung masih mempunyai kesempatan untuk memiliki HKI dari sulam usus. Caranya dengan mendaftarkan sulam usus untuk bidang HKI lainnya, seperti indikasi geografis.

Upaya tersebut memang memerlukan prosedur dan biaya-biaya tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Berkenaan dengan hal itu Pemda Lampung dapat membantu mengalokasikan anggaran daerahnya. Hal ini sebagai wujud perhatian pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan usaha di daerah. Secara teknis, pemerintah dapat memfasilitasi setiap usaha yang bertujuan mengembangkan produk lokal khazanah kebudayaan bangsa, seperti usaha kecil menengah (UKM) dengan menyediakan bahan baku produk. Untuk kemudian diproduksi dan dipasarkan secara bersama-sama, juga dalam hal pembiayaan dan manajemen perusahaan.

Pemda juga harus bertanggung jawab mendorong minat masyarakat dalam negeri untuk mengonsumsi produk lokal kebudayaan bangsa sendiri. Daripada menggunakan jas buatan luar negeri, lebih baik menggunakan jas bermotif tapis. Implementasinya memang tak mudah, tetapi sebagai langkah awal pemda lampung dapat memanfaatkan hukum sebagai daya paksa.

Contohnya dengan pembuatan peraturan daerah (perda) tentang penggunaan hasil kerajinan tangan daerah Lampung. Hal ini akan menguntungkan bukan hanya bagi pelaku usaha tapis dan sulam usus, melainkan Pemda Lampung dan juga masyarakatnya pun ikut diuntungkan. Setidaknya agar karya intelektual dan produk warisan budaya Lampung tidak bersinar di negeri orang, namun padam di negeri sendiri.

Peran pemda di sini cukuplah besar, karena daerahlah yang mengerti kondisi budaya masing-masing untuk dikembangkan. Akan tetapi tidak terlepas juga kerja sama dengan UKM sebagai industri ekonomi kreatif yang paling menyentuh masyarakat kebanyakan, dan kaum intelektual yang mencoba memberikan analisis terhadap suatu kejadian.

Hal ini sinergi dengan konsep Indonesia kreatif yang sedang didengung-dengungkan pemerintah di tahun 2009 ini. Di mana inti konsep tersebut adalah sinergi antara pemerintah, kaum usaha, dan kaum intelektual yang menyangkut pengembangan ekonomi kreatif.

Kain tapis dan sulam usus sebagai kerajinan yang merupakan kekayaan intelektual dan produk lokal khazanah bangsa termasuk dalam 14 subsektor industri ekonomi kreatif tersebut selain periklanan, arsitektur, pasar seni, dan barang antik, desain, fashion, video/film/animasi/fotografi, game, musik, seni pertunjukan (showbiz), penerbitan/percetakan, perangkat lunak, televisi/radio (broadcasting) serta riset dan pengembangan. Sehingga saat memungkinkan untuk terus dikembangakan sebagai pilar penopang perekonomian daerah pada khususnya dan nasional pada umumnya.

Dengan demikian, produk budaya Lampung dapat terus dilestarikan dan selalu memunculkan inovasi-inovasi baru untuk Lampung Tapis Berseri dan Indonesia selalu jaya.

* Arif Febriyanto, Mahasiswa Fakultas Hukum, Pemimpin Redaksi UKPM 'Teknokra' Unila

Sumber: Lampung Post, Kamis, 23 Juli 2009

No comments:

Post a Comment