October 17, 2010

Kusut Masai Demokrasi di Lampung

Oleh Reni Permatasari

SEARUS dengan jalannya reformasi sejak 1998, harus diakui Lampung memiliki dinamika politik (baca: demokratisasi) luar biasa. Riuh rendahnya perjalanan politik dan pemerintahan membuat Lampung tidak pernah "sepi". Wajar saja kalau Negeri Ujung Pulau ini dianggap sebuah laboratorium politik senyatanya dari praktek demokrasi, jalannya pemerintahan, dan pluralisme.

Apakah demokrasi? Agaknya, memang terlalu banyak yang salah sangka tentang demokrasi atau jangan-jangan tidak paham demokrasi atau malah sengaja memelintir demokrasi untuk kepentingan sendiri, keluarga, dan klan. Buktinya paling dekat adalah bagaimana pemilu, pilkada, penyusunan kabinet atau struktur pemerintah daerah, dan perilaku politisi (baca: kepala daerah, politisi, dan kau elite) berjalan relatif demokrasi, tetapi sesungguhnya jauh dari esensi demokrasi.

Meminjam istilah Donny Gahral Adian, demokrasi berlaku tanpa substansi. Harold Lasswell menyebutnya politik sebagai "siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana" (who gets what, when and how). Politik (baca: demokrasi) dan kekuasaan memang seperti dua sisi dari sebuah mata uang logam, tidak terpisahkan. Namun, ada nilai-nilai kebaikan bagi kemaslahatan publik dari sebuah proses demokrasi, ada etika (fatsun) seharusnya menjadi panduan bagi jalannya demokrasi yang bermartabat. How (bagaimana) setidaknya menjadi penting saat politik dan demokrasi dijalankan. Kalau tidak, yang terjadi adalah praktek politik menghalalkan segara cara (Machiavellian).

***

Terlepas dari berbagai definisi, substansi demokrasi adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak akan mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Mereka berhak memperhitungkan pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika menyimpang. Substansi ini memberikan bentuk dan beberapa sistem praktis, seperti pemilihan umum, meminta pendapat rakyat, menetapkan ketetapan mayoritas, multipartai politik, kebebasan pers, dan mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan, dan sebagainya.

Dalam kenyataannya, demokrasi yang kita anggap sebagai sebuah sistem politik terbaik, terlalu banyak melahirkan paradoks. Tak terkecuali di Lampung. Beberapa paradoks itu di antaranya demokrasi seharusnya menjadi cara yang bermartabat untuk mencapai tujuan, tetapi dalam pelaksanaannya selalu timbul cara-cara yang menipu, tidak jujur, dan bertentangan dengan hukum. Demokrasi adalah sebuah jalan damai menuju sebuah tatanan politik, tetapi realitasnya penyelenggaraan sebuah pesta demokrasi misalnya, penuh dengan pemaksaan, teror, intimidasi, bahkan kekerasan. Demokrasi adalah sebuah bentuk dari persebaran (distribusi) kekuasaan ke banyak pihak dan bukan penumpukkan ke satu kelompok atau satu tangan, tetapi "demokrasi" justru menjelma menjadi oligopoli semacam pembentukan dinasti politik.

***

Buku Demokrasi Bermasalah, Catatan Dinamika Politik Lampung karya Syarief Makhya yang diterbitkan Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, setidaknya membawa kita berefleksi kembali mengenai apa yang telah, sedang, dan kemungkinan akan terjadi dari peristiwa (sejarah?) politik di Bumi Ruwa Jurai. Tidak semua peristiwa politik terekam dalam buku setebal 252 halaman yang memuat 60 artikel opini yang pernah dimuat Lampung Post dalam kurun 2000—2010. Sebab—seperti diakuinya dalam pengantarnya— sejak 1987 Syarief Makhya telah menulis lebih dari 200 opini untuk harian ini. Namun, secara garis besar buku staf pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung (Unila) ini menjadi semacam pemulih ingatan dan tetap relevan untuk menjadi "pelajaran" bagi siapa pun, terutama pihak yang tengah menjalankan amanah rakyat di lembaga-lembaga negara di provinsi ini.

Disusun secara kronologi terbalik—Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya menganjurkan untuk membaca dari belakang—buku karya Penerima Kamaroeddin Award 2010 dari Alianji Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung ini banyak "menelanjangi" perilaku para politisi dan pejabat di Lampung.

Dua tulisan awal (dari belakang), secara kritis Syarief Makhya menyoroti ketegangan antara legislatif dan eksekutif di tingkat Provinsi Lampung dan Kabupaten Tulangbawang. Untuk kasus pertama, yaitu upaya DPRD Lampung menjatuhkan Gubernur Sjachroedin Z.P., Syarief Makhya dengan tegas menulis: Tindakan memboikot oleh sebagian anggota DPRD untuk tidak membahas Raperda APBD 2006, jelas-jelas merupakan manuver politik untuk menjatuhkan Gubernur Lampung. Tindakan ini di samping melawan hukum, juga mengganggu roda pemerintahan, membahayakan kelangsungan perkembangan demokratisasi di daerah, dan berpotensi menciptakan instabilitas pemerintahan di Lampung." (hlm. 251)

Sedangkan untuk kasus kedua, Kudeta Bupati Tulangbawang, Syarief, antara lain mengatakan: "Kasus Santori sangat mungkin terjadi di kabupaten lain karena persoalan di Tulangbawang memiliki kesamaan dengan kabupaten lain, antara lain warisan ekonomi politik Orde Baru dan kepemimpinan kepala daerah yang tidak memperoleh dukungan politik rakyat." (hlm. 247)

Secara gamblang pesan tersirat dari dua artikel Syarief adalah Jangan Main-main dengan Politik atau Jangan Mempermainkan Politik. Dalam arti politik dan demokrasi toh pada akhirnya memang harus diabdikan bagi kepentingan masyarakat luas. Bukan politik sekadar merebut, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan.

Pada bagian lain, Syarief Makhya menyoroti soal maraknya korupsi di DPRD dan eksekutif, proses pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilu yang bermasalah, masukan kepada legislator yang baru terpilih, kritik kepada gubernur, evaluasi pemerintahan daerah, penilaian terhadap partai politik, buruknya kinerja birokrasi, efektivitas kepemimpinan daerah, kusut-masai keuangan daerah, peranan media massa hingga isu terbaru pasca- Pilkada Lampung 2010 mengenai kepemerintahan lingkungan dan bagaimana mengefektifkan modal politik kepala daerah.

***

Membaca buku ini, terlihat kemampuan pengamat politik yang dikenal "dingin" ini membaca peta dan pergerakan politik Lampung. Lampung—Lampung Post terutama—beruntung memiliki Syarief Makhya dan pengamat-penulis andal lain, seperti sekadar menyebut beberapa nama Nanang Trenggono, Jauhari Zailani, Hertanto, Ari Darmastuti, Sudjarwo, dan Asrian Hendi Caya.

Kelebihan Syarief dalam menulis adalah dia mampu memadukan teori/konsep politik dengan riil politik yang berlaku dengan bahasa yang tidak njlimet tanpa harus menggurui atau menguliahi pembacanya. Dari artikel-artikel yang ditulis Syarief Makhya segera tampak—sebagaimana judul buku ini—bahwa di tengah pujian bahwa demokrasi dan demokratisasi di Lampung berjalan baik dan kesadaran politik rakyat yang semakin baik; ternyata demokrasi kita menyimpan banyak masalah. Masalah-masalah ini kalau tidak dibenahi akan terus menggerogoti demokrasi. Akibatnya kualitas demokrasi akan terus melorot di negeri ini—Lampung khususnya. Semoga tidak!

Reni Permatasari, pembaca buku, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment