October 31, 2010

Sejenak Keluar dari Formalisme Belajar Sastra

Oleh Tri Purna Jaya

DI salah satu ruang kelas SMA Negeri 1 Gadingrejo, Pringsewu, Jumat (28-10) pagi, duduk bersimpuh di lantai kelas sekelompok anak-anak SMA yang terlihat serius menyimak penjelasan salah seorang seniman Lampung tentang penulisan puisi.

Sastrawan Iswadi Pratama menyampaikan materi penulis cerpen dalam klinik sastra Kemah Bahasa dan Sastra di SMAN 1 Gadingrejo, Pringsewu, Jumat (29/10). (LAMPUNG POST/KRISTIANTO)

Pertanyaan-pertanyaan kemudian mengalir seiring dengan teracungnya tangan. "Kak, bagaimana cara membuat puisi kita menjadi indah?" Sang seniman menjawab, "Bukan 'apa' yang mau disampaikan, melainkan 'bagaimana' cara menyampaikannya," kata seniman yang tidak lain yakni Ari Pahala Hutabarat, penggiat seni sastra dan teater dari Komunitas Teater Berkat Yakin (Kober) Lampung.

Tidak seperti pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah pada umumnya, pengetahuan mengenai bahasa dan sastra disampaikan dalam suasana yang santai. Puisi-puisi atau cerpen dibacakan pemateri, kemudian didiskusikan dengan para peserta pelatihan. Lalu pertanyaan-pertanyaan mengalir lagi.

Pagi itu Ari serta beberapa sastrawan, seniman, dan budayawan Lampung lainnya berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka mengenai dunia sastra. Sebutlah sastrawan Iswadi Pratama yang memberikan materi coaching clinic (klinik pelatihan) penulisan cerpen. Lalu ada akademisi Unila Ali Imron yang mentransfer pengetahuannya tentang budaya Lampung.

Selain itu, Hermansyah dan Syafril Yamin (seniman tradisi) berbagi ilmu tentang sastra lisan Lampung. Sementara itu, Zulkarnain Zubairi mencoba memperkenalkan kerja jurnalistik dan melatih peserta menulis artikel di media massa.

Klinik pelatihan sastra tersebut merupakan salah satu acara dalam Kemah Bahasa dan Sastra 2010 yang diadakan di SMA Negeri 1 Gadingrejo, Kamis—Sabtu (28—30 Oktober). Sebuah acara bernuansakan bahasa dan sastra yang dikonsepkan dengan kemah di alam terbuka. Sekitar 270 siswa SMA dari seluruh Lampung mengikuti acara tersebut.

Suka Sastra

Beberapa peserta Kemah Bahasa dan Sastra mengaku sangat antusias dengan acara yang digagas SMA Negeri 1 Gadingrejo, Universitas Kristen Indonesia, dan Lampung Post itu. Nurkholis Saputra, salah seorang peserta dari SMA 1 Cukuhbalak, misalnya, mengaku kemah itu sangat menarik dan banyak pengetahuan tentang dunia sastra yang bisa ia peroleh. "Saya menjadi lebih mengerti," ujarnya.

Nurkholis sangat menyenangi sastra. Meski mengaku masih kesusahan untuk membuat puisi ataupun cerpen, ia selalu berusaha untuk membuat sebuah karya sastra, khususnya puisi. "Idenya susah. Kalau sudah dapat, biasanya mentok pas mau nulisnya biar kelihatan indah," ujarnya.

Kemah Bahasa dan Sastra, kata dia, memberikan nilai positif baginya, khususnya tentang cara penulisan karya sastra. "Para pemateri bilang, tulis saja, jangan mikir-mikir," ujarnya. Menurut dia, itu merupakan saran yang paling bagus karena ia selalu berpikir panjang, apakah puisinya bagus atau tidak. "Kalau sekarang, ya, saya tulis-tulis saja, enggak peduli deh bagus atau tidak. Yang penting nulis, hehe," kata dia.

Adiansa Hidananta dari SMAN 1 Metro juga mengatakan pendapat yang sama. Menurut dia, Kemah Bahasa dan Sastra sangat membantunya dalam memahami sastra dan cara-cara mengarang. Terlebih lagi, kata dia, ia bisa bertukar pikiran dengan para seniman.

Mentah

Sastra barangkali bisa disebut negasi dari formalitas-formalitas. Oleh karena itu, program Kemah Sastra didesain untuk menerabas formalitas dan kekakuan proses ajar.

Yang perlu diterabas pertama-tama yakni "meniadakan" benda pembatas semacam dinding yang melingkupi peserta dalam proses pembelajaran. Tetapi, masih terlihat jarak antara peserta dengan para pemateri, seperti masuk sekolah, membuka buku, dan mencatat apa yang dikatakan oleh pemateri.

Meskipun rata-rata mengaku sangat antusias, terlihat sekali para peserta begitu awam dengan dunia sastra dan bahasa. Dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan, baik itu dalam sesi diskusi maupun pelatihan, tampak pengetahuan mereka tentang sastra hanya sekelumit, hanya sebatas apa yang sudah diajarkan melalui buku-buku dan sekolah.

Apriana Fitri, siswi MAN 1 Pringsewu, mengaku sama sekali belum mengetahui sastra. Baginya, sastra merupakan buku cerita atau tulisan-tulisan indah saja. "Yang saya tahu tentang sastra, ya, kalau bukan Marah Roesli, ya Hamka. Karena, itu yang diajarkan di sekolah," ujar dia.

Keterpakuan para peserta dengan hal-hal teoritis seperti yang diajarkan di sekolah terlihat pula dari pelatihan penulisan cerpen. Beberapa peserta mengaku ingin lebih mendalami persoalan teori-teori, seperti struktur atau tema, laiknya pelajaran sekolah.

Padahal, Iswadi Pratama yang mengisi materi penulisan cerpen mengatakan sebaiknya menulis tidak terlalu memperhatikan aturan-aturan yang ada. "Terlalu memikirkan teori malah akan menghambat proses penulisan. Tulis, tulis, dan tulis," kata Iswadi.

Sumpah Pemuda

Terkait dengan Oktober sebagai Bulan Bahasa dan Hari Sumpah Pemuda, banyak kalangan menyambut positif kegiatan Kemah Sastra tersebut. Pjs. Bupati Pringsewu Sudarno Eddi mengatakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi, terutama di kalangan anak muda, sudah semakin terdistorsi. Menurut dia, Kemah Sastra tersebut menjadi salah satu sarana yang sangat bagus untuk mengajak kembali, khususnya generasi muda, agar kembali menghargai bahasa Indonesia.

Tentang sastra, Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Hermin Budiarsi mengungkapkan sastra memiliki peran penting untuk membentuk identitas dan karakter.

Pembantu Dekan I FKIP Unila yang menjadi pembicara dalam dialog kebahasaan Mulyanto Widodo menuturkan hal yang pertama kali dirumuskan dalam Sumpah Pemuda 82 tahun silam yaitu bahasa persatuan. "Saat itu Indonesia masih terpecah-pecah, ada Jong Sunda, Jong Ambon, Jong Jawa, dan lain-lain," kata dia.

Bahasa Indonesia (bahasa Melayu kala itu), kata dia, menjadi satu-satunya solusi bentuk komunikasi agar semua pemikiran para pemuda dari seluruh Indonesia bisa saling dimengerti satu sama lain. "Jadi, sudah sewajarnya pemuda yang melestarikan bahasa Indonesia," kata dia.

Kemah Bahasa dan Sastra itu, menurut Mulyanto, merupakan kegiatan yang sangat bagus sebagai sebuah cara menghormati bahasa Indonesia. "Bahasa Indonesia adalah lambang identitas bangsa," ujarnya.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment