October 9, 2010

Temu Sastra Nusantara: Mengapresiasi Festival Pertunjukan Puisi PPIA

Oleh Viddy AD Daery


TEMU Sastra Nusantara MPU (Mitra Praja Utama), adalah salah satu bentuk forum sastra-budaya kerjasama antar provinsi anggota MPU, di samping kerjasama di bidang lain meski sampai sekarang baru beranggotakan 10 Provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Banten, Jawa Tengah, DI Jogjakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa atenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Para peserta yang bergembira dapat mengakrabkan diri dengan teman-teman dari daerah lain, mengharapkan provinsi lain segera bergabung, terutama provinsi-provinsi yang seniman-sastranya kurang terdengar, misalnya Bengkulu, Maluku, Sulawesi Utara, Gorontalo, Papua, dan sebagainya.

Dalam Temu Sastra MPU ke V (lima), yang diselenggarakan di Bandar Lampung 1-3 Oktober 2010, di samping forum diskusi yang seru membahas isu-isu mutakhir sastra Indonesia ditengah globalisme, yang amat menarik dicermati dan dikembangkan adalah forum Apresiasi Seni yang berupa parade pertunjukan puisi atau teatrikalisasi puisi atau musikalisasi puisi atau pengembangannya.

Terkenang Festival Puisi PPIA

Menyaksikan Forum Apresiasi Seni MPU, saya terkenang Festival Puisi PPIA yang sangat terkenal di Surabaya sejak tahun 70-an hingga berakhir di tahun 2000-an, karena tidak lagi didukung dana oleh Amerika Serikat, sebagai sponsor utama PPIA (Pehimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika).

Festival Puisi PPIA pada masanya, sangat fenomenal dan merupakan ajang yang ditunggu-tunggu oleh publik pecinta sastra budaya Jawa Timur dan Bali sampai tahun 90-an dan mulai diperluas ke seluruh Indonesia mulai 90-an hingga matinya menjelang tahun 2000.

Kesamaannya dengan Festival Apresiasi Seni MPU adalah pada bentuk penampilan penyair yang merupakan adu inovasi dalam pemanggungan puisi atau memaksimalkan konsep pertunjukan puisi.

Saya masih teringat pada tahun 1981, saya memasukkan unsur music piano yang dimainkan teman saya Vera dan gitar dimainkan Bambang untuk mengiringi pembacaan puisi saya, dengan latar belakang slide-slide hasil karya Syaiful Irwan, wartawan Surabaya Post saat itu.

Pertunjukan puisi tahun 1981 itu dianggap inovasi besar, sehingga melambungkan nama saya, sehingga mendapat hadiah penghargaan PPIA, juga penghargaan dari Walikota Surabaya Dr. Purnomo Kasidi, dimuat di Koran-koran utama Jawa Timur saat itu, dan dipanggil untuk syuting puisi-klip untuk disiarkan di TVRI Surabaya.

Semua yang saya mulai itu di tahun 1981 sampai 1983, akhirnya banyak dikembangkan oleh penyair nasional, misalnya puisi-puisi cerpen saya muncul di tingkat nasional lewat karya-karya Afrizal Malna di tahun 90-an dan Nukila Amal di tahun 2000-an.

Sedang pertunjukan puisi dengan latar slide (waktu itu belum ada komputer) akhirnya kini dikembangkan oleh Asrizal Nur dan Remmy Novaris dengan pertunjukan puisi dengan latar video-klip.

Nah,semua yang telah saya mulai itu,tiba-tiba kini saya saksikan kembali pada Forum Apresiasi Seni MPU di Taman Budaya Bandar Lampung.

Delegasi Provinsi Bali, menembangkan musikalisasi puisi, aku pun terkenang permainan Vera dan Bambang yang mengiringiku di Pentas PPIA puluhan tahun lalu.

Delegasi Jawa Barat dan DKI Jakarta yang memainkan teaterikalisasi puisi dengan cantik dan bertenaga, dengan irama yang terjaga, meski masih nampak beberapa improvisasi mendadak karena "kecelakaan tempo permainan" maupun gangguan peralatan, mengingatkan aku pada beberapa penampilanku di forum-forum PPIA selanjutnya,yang terkadang didukung oleh teman-teman Teater Patriana, kadang malah didukung oleh penampilan improvisasi dari Arifin, staf dari Pak Rudi Isbandi, Direktur Program Budaya PPIA tahun 90-an, menggantikan almarhum Khrisna Mustajab yang merintis Forum Festival Puisi PPIA yang fenomenal itu.

Sehingga penyair dan wartawan Jawa Pos saat itu, Jill P Kalaran, menulis bahwa "Viddy adalah penyair yang berkonsep paling sadar akan Puisi sebagai Sebuah Konsep Pertunjukan", dibanding penyair-penyair lainnya.Jill sekarang adalah sutradara dan editor film-film documenter di sebuah PH di Jakarta.

Forum Puisi PPIA itu telah melahirkan penyair-penyair yang kini mempunyai nama besar dan pengabdian sastra yang panjang, seperti D.Zawawi Imron, Sabrot D Malioboro, M.Anis, Viddy AD Daery, Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda, Rusdi Zaki, Yusuf Susilo Hartono, Medy Lukito dan banyak lagi.

Akankah Forum Apresiasi Seni MPU juga akan mencapai taraf sebagai Festival Penampilan Puisi yang sangat ditunggu-tunggu seperti Festival Puisi PPIA ?

Tentu prospek itu akan sangat cerah, jika pembenahan konsep pemanggungan puisi disiapkan lebih serius lagi,mungkin dengan latihan berbulan-bulan, dengan pengetatan tempo dan irama pertunjukan yang rapid an dengan kerjasama yang baik antara konseptor pertunjukan puisi dengan panitia yang harus menyediakan berbagai fasilitas kelengkapan pertunjukan (tentunya sesuai plafon anggaran yang disediakan).

Forum Sastra MPU juga harus memperlebar audiens, jangan hanya ditonton dan dinikmati oleh sesama delegasi seniman-sastrawan, namun mengundang juga guru sastra, murid SMA dan mahasiswa sebagai persemaian forum apresiasi dalam arti yang sesungguhnya.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 9 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment