October 29, 2010

Otonomi Daerah Lampung (3): Putra Daerah dan Aristokrasi Politik

PROVINSI Lampung memiliki kondisi geopolitik unik, dikenal sebagai daerah transmigrasi terbesar di Tanah Air selama berpuluh-puluh tahun. Ini mengakibatkan kuatnya tarikan politik antara pribumi dan warga pendatang, khususnya Jawa.

Mayoritas penduduk di Provinsi Lampung adalah transmigran, khususnya dari Jawa. Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, adalah salah satu wilayah yang banyak dihuni pendatang. Keunikan kondisi geopolitik tersebut membuat Lampung dijuluki sebagai miniatur Indonesia. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)

Tarikan itu kian menguat pada era reformasi dan otonomi daerah, mulai dari percaturan pengurus partai, pertarungan gubernur dan bupati/wali kota, hingga ke urusan aparatur pemerintahan daerah.

Dikenal sebagai ”miniatur” Indonesia, komposisi penduduk di Provinsi Lampung sangatlah heterogen. Dari 7,6 juta penduduknya saat ini, populasi suku Jawa masih sangat mendominasi, yaitu hingga 61 persen, lalu diikuti suku Sunda sekitar 11 persen. Sementara penduduk asli (Lampung) hanya 25 persen.

Kuatnya dominasi masyarakat Jawa membuat Lampung kerap dijuluki ”Jawa Utara”. Mulai dari nama daerah hingga jalan sangat kental dengan nuansa Jawa. Begitu pula dengan pemimpin daerahnya. Berpuluh-puluh tahun Lampung dikuasai pemimpin berlatar belakang etnis Jawa.

Kondisi mulai berubah pada era reformasi dan otonomi daerah. Putra-putra daerah mulai berani tampil seiring semangat membangun daerahnya sendiri. Putra daerah macam Alzier Dianis Thabrani, lalu Sjachroedin ZP, tampil mendominasi percaturan politik di Lampung.

Pada masa Sjachroedin ZP menjadi gubernur sejak 2004, banyak perubahan besar yang dilakukan terkait dikotomi pribumi dan nonpribumi. Sjachroedin yang dikelilingi orang-orang berdarah Jawa di dekatnya, seperti istri dan wakilnya, yaitu Joko Umar Said, melakukan gebrakan besar, antara lain mengubah simbol-simbol pemerintahan yang semula bernuansa Jawa kini lebih menapak ke Sang Bumi Ruwai Jurai (Lampung).

Nama rumah dinas gubernur yang dulu dinamai pendapa diubah menjadi Mahan Agung. Begitu pula ruang-ruang kantor sekretariat Pemerintah Provinsi Lampung lainnya, namanya diganti dengan nuansa Lampung. Putra daerah juga lebih berkesempatan berkarier sebagai pejabat di pemerintahan.

Dengan kondisi geopolitik semacam itu, partai-partai bernuansa nasionalis lebih mendapat tempat dalam masyarakat Lampung. Hasil pemilu di Lampung menjadi barometer hasil di nasional. Ini setidaknya dibuktikan sejak 1999. Partai yang menang di Lampung juga akan menang secara nasional.

Dalam percaturan politik di kabupaten/kota, tarikan antara putra daerah dan etnis pendatang terlihat sangat kuat. Pemilu kepala daerah (pilkada) 30 Juni 2010 yang dilangsungkan serentak di lima kabupaten/kota di Lampung membuktikannya. Kombinasi Jawa-Lampung hampir selalu muncul.

Sampai-sampai, karakteristik geopolitik suatu daerah di Lampung bisa direpresentasikan dari kepala daerah yang memenangi pilkada. Di Kota Metro yang mayoritas penduduknya beretnis Jawa, misalnya, pilkada dimenangi Lukman Hakim dan Saleh Chandra yang berdarah Jawa.

Di Kabupaten Pesawaran yang komposisi etnisnya masih berimbang antara Lampung dan Jawa, pemenangnya adalah Aries Sandi (berdarah Lampung) dan Musiran (berdarah Jawa). Hal sama terlihat di Lampung Timur. Meskipun berstatus tersangka, Satono yang berdarah Jawa mendominasi suara di tengah masyarakat yang 60 persen beretnis Jawa.

Aristokrasi politik

Kondisi masyarakat yang primordial-tradisional juga menyuburkan praktik aristokrasi politik di Lampung. Banyak calon di kabupaten/kota yang mendompleng ketokohan orangtuanya. Di Pesawaran, terpilihnya Aries Sandi (34) sebagai bupati tidak lepas dari pamor ayahnya, Abdurachman Sarbini, yang menjabat Bupati Tulang Bawang dan Ketua DPD Partai Amanat Nasional Lampung.

Lebih unik lagi di Lampung Selatan. Rycko Menoza, anak tertua Sjachroedin ZP, merupakan Bupati Lampung Selatan. Bisa jadi, dia satu-satunya bupati yang dilantik oleh ayahnya sendiri.

Banyak spekulasi beredar, Rycko tengah ”dipersiapkan” ayahnya untuk menjadi gubernur masa depan. Program strategis yang dicanangkan Sjachroedin, yaitu pembangunan Kota Baru Way Hui dan Jembatan Selat Sunda yang berada di wilayah Lampung Selatan, memiliki dua keuntungan pencitraan sekaligus, yaitu manifestasi kepemimpinan Sjachroedin dan putra daerah, sekaligus keberhasilan putranya itu.

Jika itu yang terjadi, selama tiga generasi berturut-turut, keluarga besar Sjachroedin pernah menduduki jabatan gubernur. Ayah Sjahroedin ZP, yaitu Zainal Abidin Pagar Alam, adalah Gubernur Lampung periode 1966- 1972. Kini, Sjachroedin juga tengah mendorong putra ketiganya, Handitya Narapati, untuk maju sebagai calon bupati di Pringsewu. (Yulvianus Harjono/M Fajar Marta)

Sumber: Kompas, Jumat, 29 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment