October 30, 2010

Otonomi Daerah Lampung (4): Saatnya Bisa Lepas Landas

Oleh M Fajar Marta dan Yulvianus Harjono

PROVINSI Lampung dikaruniai Tuhan kekayaan alam melimpah, mulai dari komoditas perkebunan, hasil laut dan tambang, hingga panorama indah. Sayang, modal kekayaan itu belum bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagian warga Lampung masih miskin. Dari 7,6 juta warga, penduduk miskin mencapai 1,5 juta orang (19 persen). Ini di atas angka kemiskinan nasional 13 persen.

Sejumlah upaya pemekaran daerah, yang salah satunya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, ternyata belum membuahkan hasil. Menurut pengamat otonomi daerah Lampung, Syarif Makhya, sejumlah kabupaten hasil pemekaran 10 tahun silam, seperti Way Kanan, Lampung Barat, Lampung Timur, dan Tulang Bawang, hingga kini masih termasuk kabupaten tertinggal.

Kondisi itu terjadi salah satunya karena pemekaran daerah kerap menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada perebutan sumber daya finansial antara lembaga legislatif dan eksekutif. ”Dalam praktiknya, uang yang umumnya berasal dari pemerintah pusat justru dipakai sebagai alat tawar-menawar dan kompromi antara pemerintah daerah dan DPRD, tanpa memedulikan kesejahteraan rakyat,” ujar Syarif.

Anggota DPRD Lampung, Khamamik, menjelaskan, ketidakmampuan pemda kabupaten menjaring pendapatan asli daerah (PAD) salah satunya karena pemda tidak bisa mengumpulkan retribusi resmi dari pelaku usaha. Salah satunya karena uang setoran dari pelaku usaha masuk ke kantong oknum pejabat pemda.

Menurut Khamamik, anggota DPRD kabupaten umumnya juga tak memiliki kemampuan dalam membuat dan mengawasi anggaran. ”Kalau sudah kebagian ’jatah’, mereka tidak lagi kritis terhadap anggaran yang diajukan bupati. Padahal, anggaran yang dibuat bupati kerap tak memihak kepada rakyat,” ujarnya.

Bupati Pesawaran Aries Sandi, yang baru dilantik sebulan lalu, berencana membuat peraturan daerah tentang penarikan retribusi terhadap dunia usaha. Bahkan, dia juga akan mengatur dana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Dana CSR akan diarahkan untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak.

Akibat ketidakmampuan pemerintah kabupaten mengoptimalkan PAD, mereka pun akhirnya bergantung pada dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat. Minimnya PAD membuat kabupaten di Lampung tidak bisa membangun dirinya sendiri, terutama infrastruktur. Dana perimbangan tentu habis untuk gaji pegawai dan pengeluaran rutin lain. Dampaknya, belanja modal yang merupakan biaya pembangunan menjadi minim.

Dengan dana pas-pasan, pemda pun gagal membangun infrastruktur yang memadai sehingga akhirnya investor enggan masuk membawa modal.

Jika pemerintah daerah secara kreatif bisa menggali PAD, potensi kabupaten untuk berkembang tentu bisa dipercepat. Pasalnya, perekonomian di tingkat masyarakat sebenarnya telah cukup menggeliat.

Kepala Cabang Astra International-Daihatsu Lampung Junaidy Jirajaya mengatakan, penjualan otomotif, terutama mobil niaga, tumbuh pesat dalam dua tahun terakhir. ”Kondisi ini terjadi seiring naiknya harga komoditas, seperti kopi dan sawit, di pasaran internasional,” ujarnya. Penjualan kendaraan niaga produksi Daihatsu meningkat 60 persen dalam kurun waktu Agustus 2009-Agustus 2010.

”Kami merevisi target penjualan untuk tahun 2010. Sebab, target awal untuk keseluruhan tahun 2010 terlampaui dalam setengah tahun,” katanya. Maraknya penjualan kendaraan niaga tak hanya terjadi pada pabrikan Daihatsu, tetapi juga untuk pabrikan lain.

Seiring kuatnya daya beli masyarakat, penjualan otomotif di Lampung untuk pertama kalinya bisa menembus angka 1.000 unit per bulan. ”Meski volumenya masih kecil, peningkatan penjualan di Lampung termasuk tertinggi untuk tingkat nasional,” ujar Junaidy.

Maraknya kegiatan ekonomi juga terlihat dari penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan data Bank Indonesia, posisi kredit perbankan untuk Lampung per Agustus 2010 mencapai Rp 27,36 triliun. Angka itu tumbuh 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Pemimpin Bank Bukopin Cabang Lampung, Mashuril Hidayat, di Bandar Lampung, pekan lalu, menjelaskan, pelaku usaha di Lampung didominasi usaha mikro, kecil, dan menengah. Koperasi juga berkembang. Karena itu, untuk meningkatkan pangsa pasar, Bukopin menerapkan strategi dengan menggandeng koperasi membentuk Swamitra, sejenis lembaga keuangan simpan-pinjam.

Swamitra mendapatkan dana dari Bukopin, yang lalu disalurkan kepada anggota koperasi. Hingga kini, Bukopin membentuk tujuh Swamitra di Bandar Lampung dan Lampung Selatan dengan total kredit mencapai Rp 13,3 miliar per September 2010.

Marwan, Manajer Swamitra Bahagia di Natar, Lampung Selatan, mengakui, kredit disalurkan ke usaha mikro yang berkembang di pedesaan, seperti peternakan, pertanian, dan industri pengolahan rumah tangga. Salah satu debitor Swamitra Bahagia yang sukses adalah industri pengolahan limbah plastik. Swamitra di Lampung lainnya, Kendi Artha, ikut membiayai ekspor arang ke Norwegia.

Jelaslah, kata peneliti Lembaga Survei Rakata Institute di Lampung, Eko Kuswanto, untuk membangun Lampung diperlukan pemimpin yang bertipe seperti chief executive officer (CEO) di korporasi swasta sehingga kreatif membangun daerah sesuai peluang yang ada.

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment