MENETAPKAN seseorang menjadi tokoh atau pahlawan tidaklah mudah. Perlu definisi dan kriteria yang jelas agar seseorang itu bisa diterima secara umum menjadi tokoh atau pahlawan.
Definisi dan kriteria tokoh dan pahlawan daerah itu dikupas dalam sarasehan sehari yang digelar Pemprov Lampung bekerja sama dengan Harian Umum Lampung Post, Kamis (17-11). Sebanyak lima narasumber yang dipandu akademisi dari Universitas Lampung Syafaruddin mencoba mengupas definisi dan kriteria ketokohan dan kepahlawanan dari daerah.
Kelima narasumber itu adalah guru besar IAIN Raden Intan Bandar Lampung Fauzi Nurdin, sejarawan dari Unila Maskun, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat, akademisi dari Unila Arizka Warganegara, dan jurnalis Oyos Saroso H.N.
Saat memaparkan definisi dan kriteria tokoh dan pahlawan daerah, Fauzi Nurdin yang mencoba mengupas dari sisi kajian akademis mengatakan pemberian gelar tokoh dan pahlawan daerah itu perlu dikaji. "Ada semacam bias atau kebohongan jika gelar tokoh atau pahlawan daerah itu diberikan tanpa ada kajian akademis," kata guru besar bidang sosiologi itu.
Karena itu, pengkajian, menurut Fauzi, harus didasarkan pada nilai-nilai akademis, kejujuran, dan kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah diperlukan karena masyarakat secara sosiologis cenderung lebih menyukai pembenaran daripada kebenaran.
"Kebenaran adalah kesesuaian antara yang dipilih dengan fakta yang terjadi. Ketidaksesuaian antara yang dipilih dengan fakta yang terjadi, maka menimbulkan pembenaran. Karena itu, untuk menetapkan seseorang menjadi tokoh atau pahlawan, harus melalui pengkajian kebenaran yang koherensi. Kebenaran ini adalah kesesuaian antara fakta yang terjadi," kata Fauzi.
Secara khusus Fauzi mendefinisikan pahlawan adalah orang yang tetap konsisten melakukan kebenaran dan menegakkan keadilan dalam koridor Negara Republik Indonesia. "Landasan moral juga harus menjadi tolok ukur pemberian gelar pahlawan. Karena itu, diperlukan sikap objektif dan kejujuran dalam menetapkan tokoh pahlawan," ujar dia.
Fauzi dalam pemaparan itu sepakat dibentuknya Dewan Gelar yang akan mengkaji nilai-nilai ketokohan dan kepahlawan dari seseorang. Pada kesimpulan akhir, Fauzi mengungkapkan untuk menilai kepahlawanan seseorang harus melalui tiga tolok ukur, yakni nilai-nilai fundamental seperti keberanian dan kejujuran.
Kemudian tolok ukur kedua adalah instrumental. Perlu adanya alat yang bisa mengukur seseorang itu bisa menjadi tokoh atau pahlawan. Ketiga, tolok ukur fraksis yakni nilai kepahlawanan tidak bisa diukur dengan nilai-nilai materialistis.
Semasa Hidup
Sejarawan dari Unila Maskun mengatakan tidak ada konsep yang baku tentang definisi pahlawan daerah seperti konsep pahlawan nasional. Sebab itu, perlu peraturan daerah (perda) yang bisa mendefinisikan pahlawan daerah itu yang tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 201 Tahun 2009 tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan.
Berdasarkan konsep pahlawan nasional, Maskun mendefinisikan pahlawan adalah orang yang biasa yang tidak egois, baik rakyat jelata, bangsawan, ilmuwan, politisi, militer, maupun sipil yang semasa hidupnya berbuat luar biasa untuk bangsa dan negaranya.
Pahlawan menurut Maskun, yang secara khusus menggarisbawahi frasa “yang semasa hidupnya”, tidak terbatas pada kurun waktu tertentu, serta tidak terbatas pada bidang tertentu, dan juga tidak dibatasi jenis kelamin.
Sedangkan definisi tokoh, Maskun mengadopsi dari kamus online Yahoo Answer. Tokoh adalah seseorang terkemuka atau kenamaan di bidangnya atau seseorang yang memegang peranan penting dalam satu bidang atau aspek kehidupan tertentu dalam masyarakat. Seseorang tersebut berasal, dibesarkan, dan hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu.
Dari hal-hal tersebut, Maskun menyampaikan tujuh kriteria pahlawan daerah, yakni pertama warga Lampung yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya berjuang dengan senjata saat perang kemerdekaan, melahirkan gagasan atau pemikiran yang dapat menunjang pembangunan Lampung, serta telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat di daerah Lampung.
Kedua, pengabdian dan perjuangan berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat). Perjuangannya menjangkau seluruh daerah Lampung. Keempat, memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi. Kelima, memiliki akhlak dan moral yang tinggi, tidak menyerah pada lawan atau musuh dalam perjuangan. Ketujuh, tidak pernah melakukan perbuatan tercela selama hidupnya, yang bisa merusak nilai perjuangan.
Pahlawan Sipil
Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat dalam pemaparannya mengatakan selama ini pemahaman tentang kepahlawanan lebih didominasi oleh Pemerintah Pusat. "Daerah seakan-akan tidak punya hak untuk mengangkat pahlawan. Padahal, lokalitas saat ini sangat penting untuk mengangkat keunggulan daerah-daerah. Karena itu sangat perlu untuk mengangkat tokoh-tokoh daerah dalam kancah nasional untuk memajukan Lampung," ujar Djadjat.
Menurut Djadjat, butuh keberanian mengungkapkan tokoh-tokoh Lampung untuk memajukan daerah dalam kancah nasional dan internasional. "Buku 100 Tokoh yang diterbitkan Lampung Post menjadi titik awal untuk membuka tokoh dan pahlawan yang berjasa di Lampung. Buku ini sebagai pintu masuk mengenal tokoh dan pahlawan Lampung," ujar dia.
Djadjat juga menyinggung definisi pahlawan yang selama ini sangat berbau militeristik. Padahal, 20 sampai 30 tahun ke depan dunia dibangun oleh masyarakat sipil. "Perlu ada rumusan baru, bagaimanakah pemakaman seorang pahlawan itu tidak harus memakai tembakan salvo yang menunjukkan militeristik. Bisa saja pemakaman seorang pahlawan dengan diiringi biola sehingga sangat kentara nilai-nilai sipilnya," ujar dia.
Pergunjingan
Jurnalis Oyos Saroso dalam pemaparannya mengatakan perlu pendifinisian kembali kata pahlawan dan orang-orang yang dianugerahi gelar pahlawan. "Hal ini agar publik mendapat penjelasan tentang orang-orang yang layak dianugerahi gelar pahlawan sehingga tidak menimbulkan pergunjingan. Kedua, agar kepahlawanan memiliki kontekstualitas dengan perkembangan zaman," ujar Oyos.
Secara gamblang Oyos mengatakan kalau Indonesia adalah negeri dengan begitu banyak gelar pahlawan. Ada 156 pahlawan nasional dibandingkan 50 pahlawan di Amerika Serikat.
Pada akhir pemaparannya, Oyos mengatakan jangan sampai orang yang semestinya mendapat gelar pahlawan, tidak masuk karena perbedaan pandangan politik.
Dosen FISIP Unila Arizka Warganegara mengatakan penelusuran sosok pahlawan Lampung menghadapi sejumlah tantangan karena riset lokal Lampung sangat lemah. Praktis jejak Lampung periode 1945—1964 belum tereksplorasi. Sehingga ada kesan Lampung baru muncul pada 1964, padahal jauh sebelumnya Lampung telah memiliki sejarahnya sendiri.
Selain itu, Pemerintah Provinsi maupun kabupaten/kota masih lemah memunculkan simbol-simbol sejarah, misalnya menggunakan nama pahlawan untuk nama jalan, rumah sakit, atau gedung dan fasilitas umum lainnya. "Masih jarang jalan protokol memakai nama pahlawan Lampung," ujarnya.
Arizka mengemukakan sejumlah kriteria pahlawan menurut Kamus Cambridge, Webster, maupun Nobel Price. Dari ketiga sumber tersebut, ia merumuskan empat kriteria pokok pahlawan yakni sosok yang bermanfaat bagi kemanusiaan, inspiratif, dan punya karya. (KIS/IDO)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 November 2011
No comments:
Post a Comment