November 12, 2011

Bahasa Lampung Bahasa Indo

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar PADA tahun 2009 muncul polemik mengenai kata sang pada seloka Lambang Daerah Provinsi Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai, yang diklaim bukan kata bahasa Lampung sehingga mesti diganti dengan sai. Alhasil, seloka pun diubah menjadi Sai Bumi Ruwa Jurai sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Perda Provinsi Lampung No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Perda Provinsi Lampung No. 01/Perda/I/DPRD/71-72 tentang Bentuk Lambang Daerah Provinsi Lampung yang diundangkan pada 5 Mei 2009, yang berbunyi, “Ketentuan dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Lampung Nomor: 01/Perda/I/DPRD/71-72 tentang Bentuk Lambang Daerah Propinsi Lampung yaitu pada penjelasan Peraturan Daerah, Pasal 2 angka 1 huruf b, penulisan kata dan pemaknaan arti tulisan Sang Bumi Ruwa Jurai diubah menjadi sebagai berikut: b. Sai Bumi Ruwa Jurai: Rumah tangga agung jurai adat pepadun dan jurai adat saibatin.” Selanjutnya dalam Peraturan Gubernur Lampung No. 31 Tahun 2009 yang merupakan petunjuk pelaksanaan Perda No. 4 Tahun 2009, Pasal 4 huruf i dijelaskan bahwa motto “Sai Bumi Ruwa Jurai” mengandung makna bahwa Bumi Lampung dilambangkan sebagai rumah tangga agung yang didiami oleh dua jurai masyarakat adat, yaitu jurai adat pepadun dan jurai adat saibatin. Mengapa diubah? Pada konsiderans “menimbang” huruf b disebutkan bahwa makna tulisan Sang Bumi Ruwa Jurai pada lambang daerah Lampung adalah rumah tangga yang didiami oleh dua unsur serba buai (keturunan kerabat). Kemudian pada huruf c disebutkan bahwa mengingat lambang daerah merupakan gambaran pandangan hidup yang melandasi pemikiran dan perilaku masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, makna tulisan dan kata Sang Bumi Ruwa Jurai sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak dapat lagi dipertahankan. Selanjutnya, pada bagian penjelasan umum ditegaskan “beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah tersebut khususnya yang berkenaan pemaknaan istilah dan penggunaan kata “Sang” pada “Sang Bumi Ruwa Jurai”, perlu diubah. Bahwa perubahan tersebut dimaksudkan agar arti tulisan tersebut dapat atau mencerminkan kebanggaan daerah.” Alasan perubahan yang dikutip di atas adalah alasan resmi. Di samping itu, terdapat alasan lain yang muncul pada suasana kebatinan (geistliche hintergrund) saat pembahasan raperda tersebut. Pertama, alasan kebahasaan, yaitu bahwa kata “sang” diklaim sebagai bukan bahasa Lampung. Kedua, alasan kesejarahan, bahwa jauh sebelum tahun 1905 yaitu titimangsa migrasi orang Jawa ke Lampung, tidak ada masyarakat Lampung asli dan masyarakat Lampung pendatang, yang ada hanya satu (sai [bahasa Lampung]). Hal ini terungkap misalnya pada saat sosialisasi Perda No. 4/2009 tersebut di Sukadana, Lampung Timur, pada 2 Desember 2009. Sementara itu, pendapat lain mengatakan bahwa “sang” adalah kata bahasa Lampung. Dalam Kamus Bahasa Lampung (1994) susunan Hilman Hadikusuma, pada halaman 121 terdapat kata sang yang termasuk ke dalam dialek nyow Tulangbawang yang berarti ‘yang dihormati.’ Hilman mencontohkan sebuah cerita rakyat Lampung berjudul “Sang Haruk,” artinya ‘yang mulia yang yatim’ dan Sang Bumi Ruwa Jurai yang berarti ‘bumi yang mulia dari dua keturunan.’ Dalam bukunya yang lain Bahasa Lampung (1997) yaitu pada Bab X di bawah subjudul Kamus Kecil Indonesia-Lampung, kata sang diartikan tutuw hurmat (hlm 198). Sekaitan ini, kata sang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan kata yang dipakai di depan nama orang, binatang, atau benda yang dianggap hidup atau dimuliakan. Kalaupun sang bukan kata asli bahasa Lampung melainkan kata serapan dalam bahasa Lampung, mengapa mesti ditolak. Bahasa Indonesia sendiri, menurut Alif Danya Munsyi (Remy Sylado), sangat banyak lema – ibarat 9 dari 10 – dalam bahasa Indonesia yang melintas ke sini dari bahasa-bahasa asing dengan cara yang khas, alih-alih, istimewa, dan bahkan lucu. Bahasa Lampung nyatanya juga tidak bebas dari unsur serapan. Untuk menguji bahwa bahasa Lampung adalah bahasa Indo alias bahasa gado-gado kian kemari marilah diselisik sejumlah kata bahasa Lampung. Amat banyak kata dalam bahasa Indonesia yang diserap oleh bahasa Lampung. Banyak kata-kata Melayu Indonesia dipakai menjadi bahasa Lampung dengan perubahan ucapan, kata Hilman Hadikusuma. Bahkan nama ‘Lampung’ sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Cina yaitu Lang P’o-hwang (Lampung). Demikian pula nama-nama gelar orang Lampung seperti pangeran atau kiay aria yang pada awalnya diambil dari bahasa Sunda Banten ketika melakukan seba (audiensi) kepada Sultan Banten pada abad ke-17 (ketika itu daerah Lampung berada di bawah pengaruh kesultanan Islam Banten). Van Hoevel menjelaskan bahwa gelar-gelar yang digunakan oleh para penyimbang (pemimpin/kepala) di Lampung adalah atas pemberian Sultan Banten. Nama-nama pada keluarga besar Buay Bulan memperlihatkan ciri nama Jawa, terutama Banten, misalnya Warganegara, Kesumayuda. Demikian pula gelar-gelar yang digunakan oleh orang Menggala, misalnya Minak Ratu Junjungan, Ngabehi Tua, Pangeran Tihang Mego. Dan masih banyak lagi. Pengaruh bahasa Jawa pun terdapat dalam bahasa Lampung seperti pada kata hurik (Jawa: urip) yang berarti ‘hidup’. Kata-kata bahasa Sunda juga melintas ke dalam bahasa Lampung semisal tihang, jelma, saba (Lampung: tihang, jelma, seba/siba/sebow/sibow) berati tiang, orang, menghadap. Badik (Bugis-Makasar: badik) berarti pisau untuk berkelahi. Tuping (Bali: topeng) berarti penutup muka (dari kayu, kertas, dsb) yang menyerupai muka orang, binatang, dsb. Padan (Minangkabau: padan) berarti imbang, banding. Pattun (Melayu: pantun) berarti pantun. Layin (Kawi: liyan) berarti bukan. Jel (Inggris: jail) penjara. Ini muncul dalam bahasa Lampung orang Lampung Barat yang dulu di bawah pengaruh kolonial Inggris yang berpusat di Bengkulu. Ketaro atau kuntara (Sanskerta: kuntara atau kutara) berarti naskah hukum. Kusuma (Sanskerta: kusuma) berarti bunga. Sekin; suttan, piil (Arab: sekin; sultan, fi’il) berarti pisau; gelar tertinggi menurut adat pepadun; perilaku. Api, matei, pari, mentimun, babui (Campa: afei, mati, padi, timun, babi) berarti apa, mati, padi, mentimun, babi. Tuha, tohow (ejaan orang Belanda: tuha) berarti tua. Rukuk (Belanda: roken) berarti rokok. Melalui senarai kata di atas, kita melihat begitu banyak kata serapan dalam bahasa Lampung yang disauk dari berbagai bahasa asing termasuk bahasa daerah lain. Maka, kita perlu bersikap hati-hati manakala melakukan penggalian ke masalalu seperti terjadi pada kasus kata sang dan sai di atas. Maksudnya, supaya kita tidak kecele menggali masalalu yang malah menunjukkan ketidakaslian kita. Sebaiknya kita tidak dibebani usaha gali-menggali, tetapi justru melihat apa yang harus dihasilkan untuk masadatang. Berpikir budaya bukan menyempit di kubu tradisional, tetapi melayani progresi untuk membangun suatu kebudayaan sukubangsa yang bermanfaat bagi kemanusiaan am. Menolak atau menafikan kata serapan dalam bahasa Lampung tentu saja memantulkan sikap sembrono, kaku, dan irasional. Sikap seperti ini galibnya adalah tribalistis. Dalam sikap tribalisme, orang tidak sejati menggunakan nalar untuk melihat perbandingan bahwa di dunia yang luas ini terdapat bermacam pendirian, bakat, dan kemampuan – yang patut dipelajarinya untuk dijadikan ilmu bagi kebajikan dirinya dan kemudian manusia mendunia, am, universal. Demikian Remy Sylado. Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan Sumber: Lampung Post, Sabtu, 12 November 2011

No comments:

Post a Comment