November 4, 2011

[Surat Pembaca] Bahasa Lampung Telah Mati?

MUNGKIN terlalu dini untuk dikatakan demikian. Dewasa ini banyak sekali kalangan yang mengklaim bahasa Lampung akan punah dalam waktu kurang lebih tujuh puluh tahun ke depan.

Faktanya, kini Lampung Barat masih menjadi kiblat bagi bertahannya bahasa, tradisi, seni, dan budaya Lampung. Dan tujuh puluh tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk hilangnya semua itu dari Lambar. Kontras memang, tapi itulah informasi.

Ada 13 bahasa daerah yang penuturnya lebih dari 1 juta orang di Indonesia saat ini, yaitu Jawa, Sunda, Minangkabau, Madura, Bugis, Makassar, Batak, Melayu, Aceh, Lampung, Rejang, Sasak, dan Bali.

Tidak ada bahasa Palembang atau bahasa Betawi. Lalu apakah kecemasan berlebih kita selama ini penting? Toh penulis belum pernah mendengar adanya opini bahwa bahasa Palembang terancam punah.

Yang mestinya kita lakukan sebagai warga Lampung yang baik adalah bagaimana membiasakan berbahasa Lampung yang dimulai dari diri sendiri. Bukan "latah" mengikuti pendapat tentang bahasa Lampung yang selama ini subjektif, karena hanya melihat perkembangan bahasa Lampung di Bandar Lampung saja atau tidak keseluruhan daerah di Lampung.

Bandar Lampung sebagai kota dengan populasi tertinggi ke-9 di Indonesia adalah kota yang berpenduduk heterogen dengan mobilitas tinggi. Ada beberapa persamaan kota ini dengan Jakarta.

Pertama, penduduk Bandar Lampung dan Jakarta berasal dari etnis heterogen. Kedua, tidak pernah terjadi perselisihan antarsuku (penduduk yang terbuka, cerdas, dan saling menerima). Ketiga, Bandar Lampung dan Jakarta adalah kota baru yang tidak memiliki banyak peninggalan seni dan budaya daerah.

Sebagaimana kita tahu, Kepaksian Sekala Brak terletak di dataran tinggi kaki Gunung Pesagi atau Lambar. Berbeda dengan Bandar Lampung, Lampung Barat khususnya Liwa, Kembahang, Suoh, Batubrak, Sukau, Ranau, Belalau, Sekincau, dan Krui adalah daerah pusat bahasa dan seni budaya Lampung.

Dalam kesehariannya, masyarakat Sekala Brak selalu menggunakan bahasa Lampung untuk berbincang-bincang atau bertegur sapa. "Haga mid dipa Alak?", "Singgah pai Mangah!", "Mid dipa Kantek?" adalah beberapa contoh kalimat yang biasa dipakai warga Sekala Brak dalam menegur teman atau saudara.

Juga hal-hal konvensional dan tradisi adat lain seperti sekura, jebus, muwayak, bedikekh, nyambai, lempar selendang, nayuh (upacara pernikahan, penetahan adoq, dan khitanan) dan lain sebagainya merupakan bukti eksistensi bahwa masyarakat Sekala Brak masih terus-menerus melestarikan bahasa, seni, dan budaya Lampung.

Jadi, tidaklah objektif bila kita semua beranggapan bahwa masyarakat Lampung sudah tidak bangga, bahkan cenderung meninggalkan bahasa dan budayanya. Karena orang-orang non-Lampung mengira provinsi ini sama dengan Kalimantan Selatan dengan Banjarmasinnya, Sumatera Barat dengan Padangnya, Sulawesi Selatan dengan Makassarnya, DI Yogyakarta dengan Yogyanya, dan lain-lain yang ibu kota provinsinya sekaligus pusat peninggalan budaya dan kerajaan.

Faktanya tidak! Ingat, Sekala Brak terletak di Lampung Barat, bukan Bandar Lampung. Bandar Lampung hanya bagian kecil dari Lampung yang selama ini kita tahu, dan tidak mewakili segalanya.

Eldi Natakembahang

Kerabat Lamban Bandung
Paksi Bejalan di Way Sekala Brak
Tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Jumat, 4 November 2011

No comments:

Post a Comment