November 13, 2011

[Wawancara] Achmad Adhitya, Direktur Eksekutif Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4): 'Kami Bekerja untuk Indonesia’

RATUSAN ilmuwan hebat asal Indonesia bekerja di kampus-kampus di Amerika, Eropa, dan Asia. Mereka digunakan oleh negeri maju, tetapi kurang mendapat perhatian di negeri sendiri.



Ternyata, banyak anak bangsa Indonesia yang mempunyai kualitas luar biasa. Namun, di sisi lain, ada yang terasa janggal: mengapa nama mereka selama ini tidak dikenal di Indonesia dan kontribusi mereka buat Indonesia sepi-sepi saja.

Itulah yang kemudian membuat Achmad Adhitya, alumnus SMAN 2 Bandar Lampung yang sedang studi doktor bidang kelautan Universitas Leiden, Belanda, ini terpanggil untuk berbuat. Akhirnya, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) berdiri, dan ia menjabat direktur eksekutif. Kepada wartawan Lampung Post Adian Saputra, Adit, sapaan akrab Achmad Adhitya, membeberkan semuanya. Berikut petikan wawancara pada Selasa (8-11) di kantin kampus Darmajaya usai Adit memberikan kuliah soal kiat kuliah di luar negeri.

Apa gagasan Anda bersama ilmuwan lain dalam I-4 buat Indonesia?

Begini. I-4 dibentuk pada 5 Juli 2009 oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di seluruh dunia. Ikatan ini dibentuk dengan harapan menguatkan komunikasi antarilmuwan dan profesional Indonesia di luar negeri.

Dalam dua tahun pendiriannya, kami telah memiliki database sekitar 800-an ilmuwan Indonesia yang berkiprah di luar negeri. Dalam dua tahun ini, kami terlibat dalam kegiatan workshop, seminar, ataupun sosialisasi tentang pentingnya berkuliah sampai keluar negeri, menjalin kerja sama dengan sektor swasta, dan mendorong terbentuknya proyek riil di Indonesia.

Kami juga punya board director. Ada Dr. Andreas Raharso, konsultan kementerian kabinet Presiden Barack Obama yang berbasis di Singapura; Dr. Riza Muhida, dosen di Malaysia; Dr. Taruna Ikrar, dosen di Universitas California.

Berdasar pengalaman, apa yang Anda temukan dalam mengaplikasikan gagasan itu ke ranah konkret di Indonesia?

Ada dua hal yang menjadi kendala utama kami untuk menjadikan Indonesia sebagai bagian dan proyek penelitian internasional. Pertama soal sikap pemerintah. Yang kami kerjakan ini kan penelitian, riset. Masa belum apa-apa kami sudah ditantang untuk segera mengaplikasikan hasil riset di Indonesia. Yang begitu tentu tidak bisa karena riset kan butuh waktu, proses, tidak asal jadi.

Yang kedua birokrasi. Semua ilmuwan dalam I-4 terbiasa bekerja fokus pada objek yang diteliti. Akan sulit buat kami untuk mengurus semua perihal administrasi yang lapisannya sangat banyak. Kami kan saintis murni, mungkin itu yang menyulitkan kami jika mesti melewati semua pintu birokrasi. Meski demikian, kami tahu ada beberapa yang memang sudah prosedur, tetapi secara keseluruhan birokrasi Indonesia memang rumit.

Lalu, jika kondisinya demikian, apa yang dilakukan?

Maka itu, kami yang di I-4 juga melakukan pendekatan ke sektor swasta. Misalnya, kami dekati Shell untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa untuk program doktor. Mereka sepakat. Kami yang urus ke Kementerian Pendidikan Nasional. Kemudian kami juga sedang menjajaki Pertamina untuk program penyimpanan energi untuk rakyat. Mereka juga oke.
Dari pengalaman, ada kalanya kemudahan itu karena kita tepat memilih orang. Di birokrasi tidak semua ribet. Mantan Wakil Menteri Pendidikan Fasli Djalal kami pandang punya visi yang bagus soal aktivitas ini. Dia juga banyak membantu. Dia juga banyak memangkas sistem birokrasi yang rumit buat kemajuan ilmuwan Indonesia.

Bagaimana dengan nasib ilmuwan di dalam negeri, apakah termasuk dalam ranah kerja I-4?

Oh, kalau itu jelas. Desember lalu kami mengadakan interntional summit. Ini mempertemukan 500 ilmuwan dalam dan luar negeri. Tujuannya, menginisiasi proyek penelitian dan alhamdulillah sebagian besar berjalan. Ada karena kesamaan program penelitian, bisa digarap bareng. Kalau ini berjalan, kami yakin imbasnya luar biasa.

Keuntungan lain, teknologi di luar negeri yang dibikin anak banga bisa dipakai di Indonesia. Contoh, Dr. Khoirul Anwar, asisten profesor di Japan Institute of Science and Technology, sudah membikin cip 4-G yang setara dengan teknologi iPhone. Cip itu dipakai satelit di Jepang untuk menyiarkan berita. Bayangkan, kalau suatu waktu itu dipakai di Indonesia. Kita bisa bikin iPhone asli Indonesia, terserah namanya apa. Jumadi, misalnya. Tapi, performanya setara iPhone. Kita jelas bangga bahwa orang Indonesia sanggup membuat ini.

Tapi, syaratnya itu tadi, pemerintah tidak bisa menuntut dalam satu tahun barangnya sudah jadi. Bisa jadi ini riset sepuluh tahun, tetapi ketika jadi, akan jadi kebanggaan Indonesia. Cara pandang seperti inilah yang mestinya tertanam di benak birokrat Indonesia.

Soal penghasilan, di luar negeri tentu cukup baik, tetapi di Indonesia berdasar data terakhir peneliti paling senior saja cuma mendapat Rp5,2 juta. Bagaimana I-4 menyikapi ini?

Saya tidak menafikan itu. Saya amsalkan begini. Gaji saya sebagai peneliti di Belanda bersih 2.000 euro. Itu setara Rp25 juta. Sebulan saya masih bisa bersih menabung 1.000 euro atau Rp13 juta. Di Indonesia, orang selevel saya dihargai Rp4 juta. Culture shock sudah pasti. Dari yang punya uang sebesar itu tiba-tiba mesti dapat tax home pay kecil.

Itu satu. Kedua, soal kepuasan batin. Dengan uang yang cukup, kami bisa melakukan riset sesuai dengan keahlian kami, sedangkan jika kami pindah, tentu dana buat riset tak akan cukup dan itu tidak memuaskan batin kami. Ketiga, persoalan infrastruktur. Pemerintah tidak menyiapkan infrastruktur yang cukup untuk ilmuwan, semua terbatas dan belum ada kesungguhan untuk memenuhi itu. Namun, begini, kami juga bekerja buat Indonesia.

Keberadaan I-4 juga membuka akses buat mahasiswa Indonesia untuk belajar ke luar negeri. Kami berkeliling Indonesia, menjelaskan betapa ada peluang belajar dan berkarier di luar negeri. Itu darma bakti kami kepada Ibu Pertiwi. Kami ingin bertambah banyak orang Indonesia yang menjadi peneliti hebat di luar negeri dan suatu waktu mengaplikasikan risetnya di Indonesia. Kami juga bekerja untuk Indonesia.

Termasuk menangkis gugatan sebagian kalangan soal nasionalisme para ilmuwan Indonesia di luar negeri?

Begini. Kembali ke soal infrastruktur. Ada contoh. Di Universitas Berkeley, Amerika Serikat, ada Dr. George Anwar. Orang Indonesia. Dia doktor bidang mesin dan teknik nuklir. Dia berkata kepada saya, ia siap pulang ke Tanah Air. Meski gaji pas-pasan, ia tak masalah. Namun, infrastruktur di Indonesia tidak ada. Ia mau meneliti apa jika infrastrukturnya tidak disiapkan. Kalau mesti mengadakan semua oleh pribadi, jelas tidak mungkin.

Seorang teman sewaktu di Universitas Kiel di Jerman ngotot pulang. Ia ahli nanoteknologi. Setahun di Indonesia, ia balik ke Jerman. Kata dia, selama di Indonesia ia mengajar di bimbingan belajar Al Qolam. Bisa dibayangkan kan, seorang ahli nanoteknologi mengajar bimbel. Sayang ilmunya. Balik ke Jerman ia jadi project manager di Infineon.

Memang, soal infrastruktur bukan cuma kewajiban pemerintah, swasta juga mesti berperan. Sayangnya swasta di Indonesia ini ruang lingkupnya cuma dua: manufaktur dan menjual kembali. Risetnya enggak ada. Inilah pentingnya membangun intensitas antara ilmuwan Indonesia di dalam dan luar negeri.

Jadi, nasionalisme tak bisa diukur di mana kita beraktivitas?

Ya, menurut saya lebih kepada impact, dampaknya. Kami di I-4 mengupayakan itu semua. Nasionalisme tak bisa diukur dengan di mana kita meniti karier dan hidup. Asal ia punya impact buat bangsa, menurut kami itu lebih dari cukup. Ada cerita. Dr. Merlyna Liem, asli Indonesia juga. Dia profesor di Arizona State University. Kemudian ia pindah bekerja di Indonesia. Di Indonesia ia susah mencarikan beasiswa untuk mahasiswa program doktor.

Begitu ia balik lagi ke Arizona, dalam setahun ia bisa menolong tiga mahasiswa mengikuti program doktor di kampusnya. Nah, kita bisa timbang sendiri impact-nya buat Indonesia.
Bahkan, ilmuwan Indonesia di luar negeri itu dengan bangga mengatakan dirinya orang Indonesia dalam beragam konferensi internasional. Kampanye bahwa mereka orang Indonesia berjalan dengan baik.

Itu yang dilakukan Prof. Nelson Tansu, asli Sumatera Utara. Umur 26 tahun sudah profesor di Lehigh University, Amerika Serikat. Semua negara sudah ia kunjungi. Dan dalam setiap permulaan perkenalan sebelum presentasi, dia selalu bilang, "My name is Nelson Tansu and I am from Indonesia,". Bayangkan, stereotipe Indonesia soal terorisme, kemiskinan, dan stigma lain, luluh begitu tahu orang cerdas yang sedang berceramah itu asli Indonesia. Itu kan kebanggaan, nasionalis juga kan.

Bagaimana kans mahasiswa Indonesia, khususnya Lampung, untuk bisa kuliah di luar negeri?

Kami melihat secara SDM, kita bisa diadu. Anak Lampung juga beberapa sedang studi magister dan doktor di luar negeri. Sebetulnya kendala cuma dua, tapi ini urgen. Orang susah studi di luar negeri karena, pertama, informasi. Orang tidak tahu banyak. Bagaimana caranya, memulainya bagaimana, apa yang mesti disiapkan. Yang kedua, kesempatan. Beasiswa dari pemerintah kan minim, termasuk swasta yang memberi jalan untuk itu. Itulah sebab kami di I-4 sedang membuka jalan dan memberikan info seluas-luasnya buat mahasiswa Indonesia. Bahkan, semua kami berikan gratis. Kami juga siap membantu sampai mencarikan tempat hidup, mengenalkan dengan lingkungan sekitar, dan sebagainya.

Ini pengalaman. Sewaktu saya mau studi magister di Kiel, Jerman, saya mengeluarkan Rp50 juta hanya untuk "membeli" informasi soal studi, berkas, dan aplikasi yang mesti diisi, sampai tempat tinggal di sana. Sekarang, kalau ada mahasiswa Indonesia yang mau studi di Jerman atau Belanda, tak usah lagi menyewa biro jasa soal penyediaan informasi. Kami di I-4 siap membantu.

Apa yang paling membedakan kuliah di dalam dan luar negeri?

Kultur yang utama. Di luar, berdebat dengan dosen itu biasa. Kita tak perlu takut nilai bakal digencet karena banyak tanya. Di sini, berdebat dengan dosen acap berujung nilai kecil. Yang lain soal kemandirian. Kita bebas membaca buku apa saja dari ilmu yang kita pelajari. Dosen hanya motivator saja. Ia menerangkan yang umum, selanjutnya mahasiswa diberikan kebebasan. Itu yang langka di Indonesia.

Kemudian, di tingkat pendidikan dasar, level kecerdasan orang luar cenderung sama. Kalau di kita kan, bisa njomlang. Antara yang pintar dan yang enggak. Contoh, tukang sapu di luar bisa berbahasa asing minimal empat sampai lima, sementara di sini kan enggak. Itu karena pendidikan kita tidak membentuk manusianya dengan level kecerdasan yang rerata.
Kalau soal person to person, orang Indonesia bisa diadu kok, bahkan lebih unggul.

Oke, terakhir, apa bayangan Anda terhadap Indonesia dengan peran I-4?

Optimisme saya, jujur, meluap-luap ketika tahu betapa banyak orang pintar Indonesia berkiprah di luar negeri. Mereka akan kami manfaatkan untuk berbicara di depan mahasiswa Indonesia, bicara soal ilmu, bicara soal dunia.

Kami yakin, 400 ilmuwan the best of the best itu mau turun di musim panas mendatang. Ini akan membuat mahasiswa Indonesia bangga. Bayangkan kalau semua mahasiswa bisa bertemu Prof. Khoirul Anwar, Ken Soetanto, dekan non-Jepang pertama di Waseda University, Jepang, dan ratusan doktor lain. Pasti memberikan dampak luar biasa. Termasuk mendorong mahasiswa Lampung untuk belajar ke luar negeri. Kami di I-4 terus bekerja untuk itu.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 November 2011

No comments:

Post a Comment