February 27, 2011

[Perjalanan] Berburu Ikan di Rawa-Rawa Menggala

MENGGALA dikenal sejak zaman Belanda sebagai daerah ikan. Rawa-rawa yang menghampar di sejumlah wilayah Way Tulangbawang adalah lumbung ikan air tawar.



FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/GUNTUR TARUNA

Jumat (25-2), di kawasan rawa-rawa Bawanglatak, Menggala. Berada di lokasi itu, pandangan mata hanya tertumbuk kepada alam terbuka yang menyejukkan. Pada musim hujan seperti sekarang, rawa-rawa itu penuh dengan air. Dan ikan akan “bertamasya” ke rawa-rawa ini dari lebung asalnya, Way Tulangbawang.

Di beberapa sudut, banyak orang-orang seolah mencari tempat terbaik untuk menyepi. Mereka asyik dan seperti bertapa sambil manteng kepada senar dan joran yang dipegangnya dengan takzim. Ya, daerah ini adalah salah satu tujuan memancing ikan oleh orang-orang yang gemar dengan olahraga kesabaran dan penikmat kedut joran ini.

Saat Lampung Post bertandang ke lokasi itu, “segerombolan” pemancing yang mengaku dari Way Jepara, Lampung Timur, sedang menepi. Mereka berhasil mengentaskan berkilo-kilo ikan dari rawa sebagai upah dari kerja kerasnya. “Ya, lumayanlah. Selain dapat ikan, memancing juga bisa ngilangin stres,” kata Abdul Gafur (50), salah satu dari mereka.

Di Tulangbawang, lokasi seperti ini cukup banyak. Antara lain di Cakatraya, Bujungtenuk, Bawanglatak, juga Way Tulangbawang. Jika ada investor mau mengelola secara profesional, lokasi ini akan lebih menarik dari sekadar pamandangan.

Rawa-Rawa

Areal berawa ribuan hektare di Kelurahah Bujungtenuk, Kecamatan Menggala, ini jika dikelola dengan baik bisa menjadi wisata tahunan. Ketika musim hujan, ribuan hektare rawa ini dipenuhi air, menyerupai laut atau danau luas. Jika musim kemarau, tanah rawa ini menjadi savana, lapangan luas dengan rumput hijau.
Lokasinya juga sangat stategis karena berada di pinggir jalintim.

Tidak kalah menariknya keberadaan rawa Bawanglatak. Baik di musim hujan dan kemarau selalu banyak dikunjungi pemancing dari dalam dan luar daerah. Lahan hamparan berawa ribuan hektare ini dikenal para pemancing banyak menyimpan berbagai jenis ikan.

Lampung Post mencoba melihatnya dari dekat, Jumat (25-2), sekitar pukul 16.00 dari kejauhan di sekitar jembatan Bawanglatak yang beberapa ratus meter badan jalannya terbuat dari beton ini sangat disukai pemancing. Para pemancing bisa melemparkan kailnya ke kanan dan kiri jalan yang langsung berhadapan dengan hamparan rawa jauh lepas mata memandang.

Abdul Gafur membawa rombongan ke rawa Bawanglatak. Bersama teman-temannya sejak pagi hari dan langsung menyiapkan pancing beserta umpan cacingnya.

Baru saja beberapa jam memancing, kantong jaring tempat menyimpan ikannya sudah penuh ikan. “Kebanyakan nila. Tidak terlalu besar, hanya setelapak tangan,” kata dia yang membawa lima teman itu.

Menurut Abdul Gafur, dia sangat senang memancing di rawa Bawanglatak. Para pemancing ini mengaku senang dan baru pertama kali mencoba memancing di daerah rawa Bawanglatak ini, kabar dari teman-temannya ternyata benar. “Rawa Bawanglatak Tulangbawang top deh,” ujar pemancing ini.

Jika ingin menjajal memancing ikan air tawar yang lebih menantang, susurilah Way Tulangbawang. Sungai besar ini juga menyimpan ikan-ikan khas, seperti baung, gabus, dan lembat. Saking panjangnya sungai, membuat Anda leluasa mencari lokasi yang tepat sampai ke hilir dan bermuara di Kualateladas dan langsung berhadapan dengan laut Jawa.

Bila kita ingin melihat-lihat riuh pukuknya para nelayan dan indahnya Laut Jawa, kita bisa memulai perjalanan dari Dermaga Bugis, Kecamatan Menggala. Untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan kendaraan air speed boat bisa menghabiskan waktu tiga jam, di sepanjang perjalanan menyelusuri sungai ini banyak yang bisa kita lihat.

Beraneka jenis burung air pun bisa dilihatnya dengan mudah. Seperti burung bangau, burung berleher panjang, burung belekok, belibis, dan monyet pun banyak terlihat bergelantungan di pepoponan di pinggiran sungai. Di sepanjang perjalanan kita juga bisa melihat rumah-rumah penduduk nelayan dan bisa juga singgah membeli ikan dan kepiting.

Banyak orang menyebutnya keberadaan muara Kualateladas ini seperti mulut naga. Daerah ini juga sangat potensial dikembangkan tempat pariwisata, di daerah ini juga sudah terdapat dermaga yang bisa untuk merapat kapal-kapal besar.

Selain bisa melalui perjalanan air, juga bisa melalui jalan darat. Mulai masuk Portal PT SIL, Menggala, untuk sampai ke Kualateladas, kita harus menempuh perjalanan sejauh 100 km, di sepanjang perjalanan kita juga bisa menikmati hamparan kebun tebu dan bisa melihat-lihat bagaimana seseorang membakar kebun tebu dan memanennya.

Bagaimana tebu-tebu ini bisa dikirim sampai pabrik dan menjadi gula putih? Ini semua bisa dinikmati dalam perjalanan berpariwisata. Namun, Pemkab Tulangbawang belum banyak memiliki modal untuk sektor hiburan ini. Semoga tahun mendatang bisa. (GUNTUR TARUNA/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Februari 2011

[Inspirasi] Belasan Panggung Raray dalam Usia Sebelas

NAMANYA Raray Masae Soca Wening Ati. Di panggung lakon Nyai Ontosoroh yang megah, beberapa waktu lalu, bocah 11 tahun ini tak canggung. Memainkan perannya sebagai May Maraise bersama para senior di Teater Satu, Raray tampak sejajar. Dengan lantang ia ucapkan dialog-dialognya dalam bahasa Prancis.

Raray (IST)

Putri tunggal pasangan Iswadi Pratama dan Imas Sobariah ini adalah pemain paling belia di Teater Satu. Jika tampak terampil di atas panggung, itu lumrah. Sebab, sejak usia dua setengah tahun ia telah terbiasa mengikuti aktivitas kedua orang tuanya di berbagai ajang pementasan teater di Tanah Air.

Raray telah mencicipi belasan panggung teater di Indonesia. Di Teater Utan Kayu, Teater Salihara, The Japan Foundation, Gedung Graha Bhakti, dan Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, Gedung Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Societet The Harmonie Yogyakarta dan Makassar, Lembaga Indonesia Prancis Yogyakarta, Gedung Kesenian Pekanbaru, dan lain-lain.

Dari sekian banyak perjalanan pentasnya itu, Raray mengaku paling berkesan dengan pementasan Nyai Ontosoroh, adaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang disutradarai sang ibu. Juga di pementasan Aruk Gugat karya dan sutradara Iswadi Pratama.

Bahkan, menurut sang bapak, Raray sudah minta dilibatkan menjadi pemain sejak usia 3 tahun. “Ketika itu, Teater Satu mementaskan lakon Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Dia merengek mau ikut main lantaran ada peran anak dalam naskah itu. Tapi itu enggak mungkin, soalnya naskah itu masih terlalu berat buat dia,” kata Iswadi.

Mengapa merengek? Raray hanya tertawa dan bilang, “Kalau aku enggak minta, Bapak enggak pernah nawari. Alasannya, takut aku kecapean. Ya, jadi aku maksa. Habis asyik sih Om. Maen teater itu seru, apalagi kalau bagus dan dapat aplaus penonton. Rasanya seneng banget,” ujar Raray.

Masalah pelajaran di sekolah, Raray mengaku tak pernah kerepotan meskipun aktivitasnya cukup banyak. “Aku juga pernah ikut klub model dan pernah dapat juara favorit, ikut kursus biola, ikut kursus balet, dan ikut bimbingan belajar,” kata Raray yang sejak masih di play group tak pernah dipatok jadwal belajar oleh orang tuanya.

“Bapak dan ibu selalu bilang, kalau mau pinter dan maju harus belajar. Mereka tak pernah melarang aku ikut kegiatan macem-macem selama bisa membagi waktu. Jadi, kalau nilai pelajaranku jelek, aku sendiri yang harus tanggung risikonya.”

Saat ini, Raray masih aktif di berbagai kegiatan. Ia ikut latihan di Teater Satu, kursus bahasa Inggris, mengaji, dan melatih kemampuannya menulis puisi. “Pulang sekolah aku langsung ikut bimbel. Pulang bimbel, aku istirahat atau main sebentar dengan temen-temen, terus ikut latihan Teater Satu. Malemnya, sebelum buka-buka pelajaran sekolah, aku privat ngaji dengan Om Jayen (salah seorang aktor Teater Satu, red). Habis ngaji, baru belajar. Dan kalau belum ngantuk aku buka-buka buku cerita, novel, atau nonton TV, atau nulis puisi,” kata Raray.

Dalam usianya yang baru 11 tahun, Raray sudah khatam membaca novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, dua kumpulan cerita pendek terbaik Kompas, beberapa buku kumpulan puisi karya Pablo Neruda, Goenawan Mohamad, Sapardi Joko Damono, buku puisi Isbedy Stiawan Z.S., dan banyak lagi. “Enggak semua buku yang kubaca itu aku mudeng. Banyak juga yang berat. Tapi kata Bapak, enggak apa-apa, enggak harus ngerti isinya. Anggep aja ngelancarin bahasa Indonesia.”

Raray juga pernah menyabet juara II lomba cipta puisi yang diadakan Kantor Bahasa Provinsi Lampung tahun 2009. “Waktu itu, aku masih kelas III. Yang ikut lomba anak-anak SD kelas V dan VI. Aku daftar atas kemauan sendiri, bukan sekolah. Alhamdulillah, dapet juara,” kata Raray.

Menulis puisi dan cerpen sudah dilakukan Raray sejak kelas II sekolah dasar. “Bapak enggak pernah ngajarin. Jadi, aku suka nguping kalau Bapak sedang kasih pelajaran menulis sastra sama siapa saja yang datang ke rumah,” kata Raray.

Menurut sang ayah, Raray juga sering memberi kritik jika ada sesuatu yang tidak pas di hatinya. “Yang paling sering dia mengkritik ekspresi saya sehari-hari. Begitu dia lihat wajah saya tegang, dia langsung bilang ‘Pak, Senyum’. Jadi keliatan cerah dunia ini…,” kata Iswadi tertawa.

Saat usia 9 tahun, Raray juga pernah membuat kaget Ibu Lisabona, mantan Konsulat RI di Portugal. “Waktu itu ada bazar buku di Jakarta, kami habis pertunjukan di Teater Utan Kayu. Raray diajak belanja buku oleh Ibu Lisa. Dan dia memilih beberapa novel sastra, di antaranya Jatuhnya Sang Imam karya Nawal El Saadawi. Ibu Lisa langsung menemui saya dan bertanya, apa novel-novel seperti itu dibaca Raray? Saya bilang ya, dia sudah biasa.”

Meskipun banyak terlibat di Teater Satu yang notabene dilakukan oleh orang-orang dewasa, Raray tetap tak kehilangan dunia anak-anaknya. Sehari-hari ia tetap bermain bersama teman-teman sebayanya. Melatih mereka menyanyi, menari, membantu teman-temannya bikin Facebook, e-mail, menggambar, bergaya bak foto model. (IYAR JARKASIH/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Februari 2011

Labirin Produktivitas

Oleh Beni Setia


Jangan hanya mengikuti ilusi syahwat karya terpublikasikan—dan karena itu lebih bersuntuk mencari yang autentik secara orsinal.

MEMAHAMI kasus Dadang Ari Murtono, cerpenis Jawa Timur, yang pada catur wulan akhir 2010 dan awal 2011 sangat produktif mempublikasikan karya di beberapa media massa cetak nasional dan lokal, bermakna belajar memahami "sihir psikologi" dari kepuasan melihat karya terpampang di halaman koran dan majalah. Sesuatu yang membuat seorang cerpenis kesohor pun terpukau dibandingkan dengan hanya melihat manuskrip tulis yang belum dipublikasikan, atau hanya terpampang di blog.

Jarak di antaranya itu yang disebut Budi Darma, di forum TSI 2010 di Tanjungpinang, sebagai laku kritik redaksional (redaktur) media massa yang tersembunyi tak pernah berterang mengumumkan kriterianya—generasi 1980, dengan mengutip Paulo Freire menyebutnya sebagai "kritik bisu", dan Saut Situmorang menyebutnya sebagai politik sastra. Ketika sebuah cerpen dari sekian cerpen yang ditulis dan ditawarkan ke media massa di-acc serta terpampang di halamannya, maka sihir kemenangan di satu sisi, dan sukses penaklukan kriteria redaksional membubung. Bahkan terkadang menjadi kebanggaan legitimatif karena dimuat di koran X atau majalah Z dan bukan yang lain.

Celakanya, kebanggaan itu terkadang ditempelak yang lain sebagai kebetulan—mengutip tetangga Jawa saya—salah mangsa, tak berkompetisi ketat karena pada saat bersamaan tidak ada naskah yang baik untuk pembanding komparatif. Sebab itu, satu pemuatan mendorong melakukan penulisan berikut, serta sekaligus syahwat pemuatan berikut, untuk membuktikan yang pertama bukan kebetulan dan yang berikutnya akan menunjukkan kekhasan si bersangkutan—

karena itu itu menjadi ikon khazanah sastra mutakhir. Itu yang barangkali mendorong Dadang Ari Murtono tak hanya kreatif dan produktif menulis, tetapi ingin lebih sering dan beruntun (karya) terpublikasikan.

Ilusi yang diikuti dengan membuta, terutama saat cerpen Lelaki Sepi Kompas, (14-10-2010) membuat beberapa kawan di Jawa Timur terperangah dan bangga punya cerpenis unggulan masa depan. Sementara cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon yang lebih dulu terbit di Lampung Post justru memberi indikasi lain: ada bagian yang mirip teks cerpen Akutagawa—yang berasal dari satu cerita lisan di Jepang, yang juga mengilhami film Kurusawa. Di titik ini kita dipaksa berhati-hati dengan menyebutkan: Dadang melakukan kutipan tapi lupa etika menuliskan "dari mana kutipan itu berasal" di catatan kaki. Selain: apa ada upaya sadar melakukan deformasi serta dekonstruksi (teks) yang menyebabkan bisa dianggap karya sendiri—seperti si pelukis menggambar (ulang) Monalisa atau kaleng Coca Cola dengan teknik penggambaran ulang berbeda.

Sayangnya "pembenaran" itu dimentahkan oleh fakta, cerpen itu dimuat (lagi) di Kompas, yang menimbulkan ledakan kemarahan akan ketidakdisiplinan menawarkan satu cerpen ke satu media massa. Meskipun mungkin cerpen itu tertahan lama, kemudian ditawarkan ke media massa lain—masalah teknis. Tapi yang menohok, menelanjangi pola kreasi Dadang di satu sisi dan syahwat karya dimuat di media berwibawa di sisi lain, justru kasus cerpen Para Penutur Akutagawa Horison, Januari 2011. Sebuah cerpen yang jelas merupakan pengetikan ulang dari bagian novelet Kappa, karena itu S. Joga mengatakan Dadang hanya tukang ketik, sambil menghadirkan cerpen Dadang dan penggalan novelet Kappa dalam blog-nya.

Fenomena yang menunjukkan kala produktivitas menulis (cerpen) itu tidak pernah berbanding lurus dengan kreativitas dan orsinilitas (karya) yang menghasilkan tulisan yang diakui bermutu media massa cetak—dipampangkan di halaman seni-budayanya. Kreativitas itu satu hal, kadang berada di luar produktivitas, sedang orisinilitas selalu sulit diperoleh meski tiap pengarang selalu berusaha untuk tidak menulis dengan tata kalimat dan gaya yang sama ketika menuliskan topik yang sama. Ketaksadaran akan kodrat alamiah itu menyebabkan pengarang terjebak syahwat dimuat dan ada mau lagi dimuat agar mendapatkan legitimasi yang kukuh. Padahal setiap ilham dan setiap ujud teks orsinil itu tidak melulu milik si pengarang tapi milik mutlak Allah swt., dan jadi sesuatu yang diwangsitkan sebagai berkah dan kemurahan.

Berdimensi rahasia ilahiah, karena itu banyak cerpenis yang berbakat tetapi cuma menghasilkan beberapa karya. Seperti cerpenis Jawa Timur yang lain, Sony Karsono, yang dua dekade sebelumnya menunjukkan teknik dan cara bercerita yang orsinil, tapi setelah beberapa cerpen tidak terlihat memaksakan diri untuk menulis cerpen lagi. Ia merasa gagal, tak punya bakat menulis cerpen lagi, meski ia secara intelektual sangat gemilang dengan meneruskan potensi akademiknya di bidang psikologi—ia mendapat beasiswa, kuliah di Amerika Serikat, dan menulis disertertasi tentang sikap batin wong Jawa. Itu jalan lurus dari kesadaran akan keterbatasan, sekaligus mengembangkan apa yang lebih nyata dari anugerahkan Allah swt.

Hal yang sebenarnya dengan sangat halus disampaikan R. Giryadi pada Dadang, agar tak tergoda ilusi over produktif—sekaligus terjebak syahwat selalu terpampang di lembaran media massa cetak. Bersabar meniti tahap demi tahap kematangan. Karena tudingan bahwa karya plagiat atau menelad karya lain bahkan bisa jadi cambuk untuk maju, dengan lebih kreatif dan orsinil menulis. Di 1954, cerpen Ajip Rosidi, Malam Jika Tiba dan Perjanjian dengan Maut dianggap meniru cerpen Stepen Vinet Benet, sedang Perhitungan dengan Diri Sendiri dituduh meniru cerpen Maxim Gorki. Ajip Rosidi bereaksi secara khas: ia tidak mempercayai lagi fantasi dan menulis cerpen dan novel berdasar pengalaman autobiografik yang unik serta personal—kumpulan cerpen Di Tengah Keluarga, misalnya.

Atau sastrawan Sunda Godi Suwarna, yang di dekade 1980 cerpen pertamanya tembus Kompas, dan lalu dianggap curian dari penggalan novel S. Sinansari Ecip, Kursi Pemilu, karena itu di-blacklist. Ia lari ke sastra Sunda, dan jadi si salah satu sastrawan kontemporer Sunda terkuat, yang puisi, cerpen, sereta novelnya diakui paten. Dengan kata lain, jangan hanya mengikuti ilusi syahwat karya terpublikasikan—dan karena itu lebih bersuntuk mencari yang autentik secara orsinal. n

Beni Setia, pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Februari 2011

February 26, 2011

Mata Uang Ke-seni(rupa)-an

Oleh Syaiful Irba Tanpaka


PADA 17 Februari lalu saya mengikuti diskusi di Taman Budaya Lampung (TBL) sekaitan dengan Pameran Lukisan Lampung Art Adventure 2011 yang memajang karya pelukis Lampung dan Jakarta, yakni Syahnagra Ismail, Salvator Yen Joenaidy, Atuk, Semut Prasidha, dan Lilis Suryati Syahputeri. Suatu pameran yang didedikasikan untuk mempertemukan antara seni, pariwisata, dan kebudayaan yang bertumpu pada potensi-potensi alam dan kearifan lokal daerah Lampung sebagaimana sambutan Direktur Jenderal Pemasaran Pariwisata, Sapta Nirwandar, yang tertulis dalam katalog pameran.

Diskusi dengan tajuk Mengancang Masa Depan Jagat Seni Rupa di Lampung itu menghadirkan narasumber Syahnagra Ismail dan pengamat seni rupa Christian Heru Cahyo Saputro yang telah merangkum pemikirannya dalam tulisan yang diterbitkan Lampung Post, 19 Februari 2011.

Dengan audiens yang cukup merepresentasikan berbagai kalangan terkait, seperti para pelukis, pengelola Menara Siger, pengurus Dewan Kesenian Lampung (DKL), pengelola galeri, kalangan guru serta pihak swasta lainnya; diskusi yang dipandu Kepala TBL Helmi Azhari itu mencoba mengancah persoalan-persoalan yang selama ini "menempurungi" perkembangan jagat seni rupa khususnya dan kesenian pada umumnya.

Dari perbincangan yang berlangsung segar dan menarik dalam diskusi itu, saya menyimpulkan dua hal pokok sebagai modal membangun masa depan ke-seni(rupa)-an di Lampung. Sengaja saya menuliskan kata ke-seni(rupa)-an dengan maksud bahwa wacana ini selain secara khusus ditujukan untuk bidang seni rupa, tapi juga terbuka sebagai wacana membangun dunia kesenian secara umum.

Kedua hal pokok itu adalah energi dan sinergi. Seperti yang dilontarkan Syahnagra bahwa seorang pelukis (baca: seniman) harus selalu memiliki energi untuk menghasilkan karya-karyanya. Energi untuk menghayati setiap momen kehidupan sebagai sumber inspirasi, energi untuk terus mencari menemukan dan mengasah konsepsi estetiknya, yang dikatakan Christian Heru sebagai potensi sumber daya manusia.

Dalam pandangan saya bahwa energi merupakan faktor internal yang memiliki pengaruh mendasar bagi setiap perupa dan seniman umumnya dalam suatu proses kreatif. Karena itu wajib dijaga dan dipelihara untuk melahirkan kegelisahan demi kegelisahan berkarya secara konsisten. Menelantarkan energi serupa ini sesaat saja sama dengan membuang kesempatan berharga untuk mengekspresikan diri. Maka risiko yang paling mungkin adalah minimnya kreativitas dan produktivitas.

Dalam ranah seni rupa berarti memperpanjang waktu untuk sampai pada pengenalan eksistensi diri melalui pameran tunggal. Ini menjadi satu persoalan tersendiri bagi para perupa di Lampung yang mengemuka dalam diskusi karena ternyata bisa dihitung dengan jari perupa yang sudah memiliki lebih dari 50 karya. Sementara di daerah-daerah lain, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali diungkapkan Christian Heru sudah berorientasi pada pameran dan membidik pasar lewat balai lelang.

Dengan kata lain bahwa energi kreatif ini belum menyala dengan baik di tungku perapian kreativitas para perupa Lampung. Tentu akibatnya berpengaruh pada persoalan profesionalisme. Sebab, bagaimana bisa kita bicara profesionalisme bagi para kreator dengan energi kreatif yang hidup segan mati tak mau?

Hal kedua adalah mengenai sinergi. Ini merupakan faktor eksternal, lantaran sudah bicara mengenai menejerial dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pada titik ini harus ada komunikasi dua arah yang bersimbiosis mutu alistis. Pihak-pihak terkait mestilah sama-sama berperan secara aktif untuk membangun sinergisitas dalam satu visi membangun ke-seni(rupa)-an di Lampung. Baik itu pihak pemerintah daerah yang diwakili dinas instansi terkait, lembaga kesenian, seperti DKL, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Lampung, pihak-pihak swasta, museum dan galeri, guru-guru kesenian maupun kalangan perupa sendiri.

Selama ini bukan tidak terjalin kemitraan di antara unsur-unsur itu, melainkan kemitraan yang terjadi mayoritas masih bersifat parsial. Artinya setiap unsur itu belum secara bersama-sama membangun komitmen untuk mencerahkan masa depan ke-seni(rupa)-an.

Padahal jika sinergi itu terjadi secara terpadu merupakan peluang yang potensial menyongsong pengembangan ekonomi kreatif yang dapat diandalkan menjadi alternatif peningkatan pendapatan nasional, seperti yang telah dibuktikan pemerintahan Inggris yang dikenal sebagai pelopor pengembangan ekonomi kreatif.

Maka layak dipertimbangkan memprakarsai unsur-unsur itu untuk bersama-sama membentuk satu komitmen membuat rantai sinergi. Bagaimana misalnya membangun hubungan antara perupa dan lembaga kesenian yang ada, antara perupa, museum, dan galeri, antara perupa dan guru-guru kesenian, antara lembaga kesenian, museum, dan galeri, dst.

Dengan demikian, antara energi (internal) dan sinergi (eksternal) akan menciptakan sekeping mata uang yang memberikan nilai lebih bagi jagat ke-seni(rupa)-an, baik secara intrinsik maupun nominal.

Secara intrinsik merupakan nilai yang harus dibayar dalam memperjuangkan visi bersama sehingga setiap unsur dapat bermitra dengan harmonis. Sedangkan hasil yang dicapai dari kemitraan (sinergisitas) itu menjadi harga nominal yang bisa dinikmati, berupa lahirnya karya-karya seni rupa yang berkualitas. Peningkatan apresiasi masyarakat (kolektor) dan kalangan pelajar, adanya pameran tunggal atau bersama secara berkala, bergairahnya kehidupan museum dan galeri, dan naiknya harga karya-karya seni rupa.

Untuk itu, diperlukan pertemuan-pertemuan yang digagas melalui pameran dan diskusi yang dapat membuka distribusi pemikiran yang saling menggairahkan sebagai pemantik era baru yang diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah klasik dan elementer. Tabik pun. n

Syaiful Irba Tanpaka, Sastrawan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Februari 2011

February 24, 2011

MPAL Berikan Gelar Adat kepada Menteri Perak

Bandarlampung, 24/2 (ANTARA) - Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL) akan memberikan gelar adat kepada Menteri Besar Negara bagian Perak, Malaysia, Datok Sri Zambry Abdul Kadir beserta isterinya, pada Senin (28/2).

"Pemberian gelar itu dilakukan di sela-sela kunjungan kerja menteri itu bersama rombongan ke Lampung," kata Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Lampung Akmal Jahidi di Bandarlampung, Kamis.

Ia menyebutkan, berdasarkan jadwal, pemberian gelar adat itu direncanakan berlangsung di Mahan Agung, pada Senin (28/2) pagi yang ditandai dengan penyerahan punduk atau pusaka serta piagam.

Kunjungan kerja Menteri Besar Negara bagian Perak, Malaysia, beserta rombongan pengusaha dari negara serumpun itu direncanakan pada 28 Februari 2011.

Mereka akan menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Pemerintah Provinsi Lampung terkait sejumlah investasi antara lain pembangunan pembangkit listrik tenaga air atau mikrohidro.

Sumber: Antara, Kamis, 24 Februari 2011

February 20, 2011

[Perjalanan] Tilas Sejarah di Bumi Menggala (2-Habis)

BERBAGAI jejak yang masih bertakhta meneguhkan bahwa Menggala memang kota tua di Lampung. Banyak tempat dan tilas-tilas di bantaran Way Tulangbawang itu masih menyimpan cerita yang menyejarah.

Aspek menonjol pada peninggalan sejarah salah satunya adalah arsitektur. Mencermati rumah-rumah panggung di Menggala selintas mirip dengan rumah-rumah bangsawan Jawa tempo dulu. Terbuat dari kayu tembesu yang panjang mencapai 20 meter menambah eksotis rumah panggung keluarga Warganegara.

Di beranda yang luas kita akan disambut beberapa furnitur khas awal abad ke-18 dan 19. Di antaranya kursi kayu dan beberapa perabot rumah tangga. Yang unik adalah tempat untuk meletakkan topi dan tongkat menir-menir Belanda pada masa kolonial terlihat dengan anggunnya. Selain itu, ada sebuah kursi putar yang terbuat dari kayu menambah lengkap nuansa klasik tempo dulu.

Menurut catatan tertulis yang terdapat di rumah bersejarah tersebut, terakhir kali rumah direnovasi oleh Pangeran Warganegara IV pada 1879. Setelah itu dilakukan perbaikan, tapi tidak mengubah bentuk dan keaslian bangunan.

Masuk ke dalam rumah kita akan disambut dengan pepadun Sutan Ngukup (Pangeran Warganegara IV) yang dibuat pada abad ke-19 serta beberapa benda lainnya seperti talam pemenganan bertarikh tahun 1650—1727 (semacam talam untuk makan) milik Krio Warganegara (Menak Kesuhur) yang merupakan leluhur dari Pangeran Warganegara IV (1852-1927).

Di sebelah pepadun tersebut terdapat sebuah kamar yang dahulunya ditempati oleh seorang dokter asal Surabaya bernama dr. Kajat. Dia merupakan dokter pertama di Lampung yang pernah menjabat sebagai kepala Kantor Kesehatan pertama Karesidenan Lampung di era Residen Pertama Lampung Mr. A. Abbas, jauh sebelum masyarakat Lampung berkenalan dengan sosok dokter asal Padang Panjang-Sumatera Barat, Abdul Moeloek.

Setiap bulan di era tahun 1940-1950-an, dr. Kajat mengunjungi Menggala untuk memberikan pengobatan bagi masyarakat Tulangbawang dan sekitarnya pada masa tersebut. Hubungan persaudaraan yang erat antara Kepala Mega (anak dari Pangeran Warganegara IV) dengan dr. Kajat menjadikan masyarakat Tulangbawang mendapat akses untuk memeroleh pengobatan kala itu.

Tidak hanya eksotisme rumah bersejarah itu yang membuat kami kagum. Ketika sang empunya rumah, Maulana, menunjukkan beberapa pusaka keluarga Warganegara berupa beberapa bilah keris membuat hati terperanjat. Maklum, untuk sebagian orang Lampung barang-barang pusaka hanya bisa dilihat dan dinikmati oleh keturunan-keturunannya saja. Tapi hari itu kami beruntung, Maulana mau mengeluarkan beberapa bilah keris pusaka keluarganya. Memang tidak semua koleksi keluarga diperlihatkan oleh Maulana, tapi dari beberapa koleksi yang diperlihatkan sudah membuat hati kami riang. Hilang semua kepenatan yang kami rasakan hampir tiga jam berkendara dari Bandar Lampung menuju menggala.

Karena keris-keris tersebut bersejarah dan sedikit keramat, saya pun bergegas untuk meminta izin dengan empunya rumah untuk berkulonuwun. Setelah itu, Maulana memperlihatkan 10 (sepuluh) buah keris yang merupakan jejak serta peninggalan leluhurnya.

Mata kami terarah pada sebilah keris yang paling besar dan agak unik. Keris itu bernama keris Traju Domas milik Menak Kemala Bumi (leluhur dari Pangeran Warganegara I).

Keris tersebut berusia hampir 500 (lima ratus) tahun bertarikh tahun 1587. Menak Kemala Bumi merupakan luluhur dari Pangeran Warganegara I, menurut silsilah keluarga ini Menak Kemala Bumi masih merupakan keturunan dari Prabu Siliwangi terakhir. Keunikan Keris Traju Domas, di samping keris itu terlihat besar dari pada keris lainnya, juga terdapat 2 (dua) tanda patri emas di ujung keris dan di pangkal keris.

Konon menurut sejarahnya Keris Traju Domas adalah salah satu pusaka yang dipakai oleh Pangeran Warganegara I pada awal abad ke-18 untuk merebut Benteng Petrus Albertus. Sejarahnya, tahun 1668 penjajah Belanda mendirikan benteng pertama di Menggala dengan nama Petrus Albertus. Benteng tersebut tempat menyimpan hasil bumi terutama lada, dan dijaga oleh opas yang dipersenjatai dan diberi meriam.

Pada 1752 Belanda mendirikan kembali benteng Petrus Albertus Muda di tiyuh (Kampung) Kibang. Pada 1774 Pangeran Warganegara I, Pangeran Anggadijaya, Pangeran Saja Laksana, Pangeran Wirajaya, dan Natadiraja (mereka berlima adalah penggawa lima Tulangbawang, seba (menghadap) ke Sultan Banten meminta bantuan pasukan keamanan yang akan ditempatkan di DKibang. Bait sejarah ini tertulis dalam sebuah piagam yang tersimpan di Perpustakaan Nasional (tanda surat Pangeran Andikanegara, Mangku Bumi Sultan Banten). Setahun kemudian, tepatnya 1775, Benteng Petrus Albertus Muda di Kampung Kibang dapat rebut oleh penduduk Kibang dan diratakan dengan tanah.

Kembali pada koleksi keris-keris kuno tersebut, kami juga tertarik dengan sebilah keris kecil yang terbuat dari kuningan yang dahulunya menjadi salah satu keris kesayangan dari Demang Kepala Mega. Di samping ukurannya yang kecil dan terbuat dari kuningan yang membuat kami bertanya-tanya adalah terdapat tulisan Arab dan China di badan keris tersebut. Sayang, Maulana tidak bisa menjelaskan apa makna di balik tulisan Arab dan China tersebut. Dalam kesehariannya yang banyak mengetahui soal keris ini adalah Darsani. Pada malam tertentu ada ritual yang dilakukan beliau dan anak-anaknya terhadap keris-keris tersebut.

Setelah melihat-lihat beberapa keris pusaka milik keluarga Warganegara kami bergegas tertarik menyusuri keadaan lain dari rumah panggung yang luas ini. Di beberapa bagian kami melihat beberapa keramik-keramik tua peninggalan zaman kolonial yang bercorak negeri Belanda dan bahkan terdapat keramik yang bercorak Tiongkok peninggalan Dinasti Ming.

Memang mengurus rumah bersejarah seperti ini perlu pengabdian dan dana yang tidak kecil. Tetapi menurut Maulana, hal itu mesti dilakukan sebagai bagian dari pengabdian kepada keluarga. Bahkan dia dan keluarga sangat senang saja ketika banyak orang mengunjungi rumah ini hanya untuk berfoto dan melihat-lihat. “Kami sudah terbiasa menerima tamu untuk melihat-lihat dan baru-baru ini saja salah satu stasiun televisi swasta nasional meliput keberadaan dan jejak rumah bersejarah ini,” kata Maulana.

Setelah puas melihat koleksi rumah milik keluarga Warganegara kami pun bergegas. Maklum ada dua lagi tempat yang kami ingin kunjungi, yaitu Masjid Agung Kibang yang didaulat sebagai masjid tertua di Lampung. Juga Tangga Raja, yang konon merupakan tempat sandar dan tempat menaiki perahu bagi raja-raja Tulangbawang.

Tidak jauh dari rumah keluarga Warganegara, kami akhirnya tiba di Masjid Agung Kibang. Sebuah masjid tertua di Lampung dan telah mengalami beberapa kali pemugaran.

Menurut sejarah, pada hari Minggu tanggal 1 Pahing bulan Syakban 1194 H (awal abad ke-18) di Kibang, Menggala, Pangeran Warganegara I, Pangeran Anggadijaya, Pangeran Saja Laksana, Pangeran Wirajaya dan Natadiraja (mereka berlima adalah penggawa Lima Tulangbawang) dibantu oleh Pangeran Muterjagad, Pangeran Robbana, dan Marga Liyu mendirikan Masjid pertama di Desa Kibang, Menggala.

Masjid tersebut berbentuk pangung bertiang terbuat dari papan dan kayu yang dikerjakan secara gotong royong oleh penduduk Kibang. Masjid sederhana ini diresmikan tepat pada 1 Syawal 1194 H, tepatnya hari Rabu dengan Marbot H. Ratu Bagus Mujahidin. Sedangkan Imam pertama Syekh Zulaipah dan beberapa orang ustaz, seperti Tuan Alim, Tubagus M. Ali.

Tahun 1825 asisten residen Du Bois memerintahkan agar Kota Menggala dibangun. Tak luput Masjid Kibang harus dipindahkan ke Kibang Libou dan pada 1829 dibangun Masjid Kibang.

Masjid Agung Kibang diresmikan tahun 1830 dengan Marbot pertama H.M. Thahir Banten. Menara Masjid Agung Kibang dibangun tahun 1913 M (1332 H) dan dipugar tahun 1938 (1357 H) dengan ketua panitia Pangeran Warganegara V (cucu dari Pangeran Warganegara IV/Sutan Ngukup), Sekretaris M. Umar, Keuangan H.M. Said. Setelah itu atau lebih tepatnya pascakemerdekaan sudah beberapa kali masjid ini mengalami renovasi.

Tempat terakhir kami dalam perjalanan ini adalah mengunjungi Tangga Raja. Menurut hikayat masyarakat setempat, Tangga Raja adalah sebuah tangga atau jalan setapak yang dahulu kala dipakai oleh raja-raja Tulangbawang untuk turun ke perahu dan berlayar. Posisi Tangga Raja memang tepat berada di hilir Sungai Tulangbawang.(SUSI, ARIZKA, DIDI, ASEP, RIZKI/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Februari 2011

February 19, 2011

Tantangan Dewan Kesenian Lampung

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar

PADA 16 Februari 2011 bertempat di Balai Keratun, Bandar Lampung, berlangsung Musyawarah Dewan Kesenian Lampung yang dihadiri sekitar 70-an peserta dari 118 seniman-budayawan yang diundang. Di samping memilih pengurus Dewan Kesenian Lampung (DKL) periode 2011—2014, musyawarah juga membahas program dan organisasi. Namun, rekomendasi mengenai pembaruan struktur organisasi yang digagas Komisi A gagal disahkan karena dalam pemungutan suara hanya disetujui oleh 21 peserta, sementara 24 peserta menolak.

Sejatinya, pembaruan struktur organisasi yang ditawarkan justru untuk memperkuat DKL mengingat terdapat kelemahan pada periode lalu, khususnya dalam hal kehumasan, pencarian sumber dana di luar APBD, dan kurang efektifnya bagian penelitian dan pengembangan sehingga perlu dikembangkan menjadi bidang program, yang akan bertugas menyerasikan program yang diusulkan komite-komite dan perlunya program antarkomite.

Penolakan itu kiranya dapat menjadi catatan bagi pengurus terpilih untuk membenahi kelemahan yang ada meskipun tidak muncul pada struktur. Artinya, fungsi kehumasan, pencarian sumber dana, dan efektivitas program dapat dikerjakan oleh sekretariat bersama-sama para ketua bidang.

Dalam hal program, rekomendasi yang ditawarkan oleh Komisi B yang sebagian besar diterima oleh peserta musyawarah kiranya benar-benar dapat diaplikasikan dalam penyusunan program DKL mendatang. Di antara usulan itu adalah bahwa program DKL harus lebih membumi dengan melihat realitas yang ada di tingkat komunitas-komunitas kesenian. Dalam hal ini, komite sebagai ujung tombak kiranya dapat menyusun program berdasarkan realitas yang ada.

Misalnya saja, perlunya menerbitkan buku sastra daerah Lampung setiap tahun. Hal ini merupakan langkah strategis demi menyelamatkan sastra Lampung dari ancaman kepunahan. Pada 1994, Amran Halim yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa meramalkan bahwa dalam 25 tahun ke depan sastra daerah akan punah. Dan itu akan terjadi pada 2019, berarti sekitar 8 tahun lagi. Menghadapi tantangan serius itu, kiranya DKL tergugah untuk ikut menyelamatkannya. Program penerbitan buku tidaklah membutuhkan dana kelewat banyak, dan karena itu DKL pasti mampu melaksanakannya.

Penerbitan buku sastra Lampung setiap tahun tersebut juga dimaksudkan agar tidak terputus. Baru-baru ini terbetik kabar menyedihkan bahwa tahun 2011 Lampung gagal memperoleh Hadiah Sastra Rancage karena tidak ada buku sastra Lampung yang terbit sepanjang tahun 2010. Padahal Lampung sudah dua kali memperoleh hadiah itu melalui kumpulan puisi Lampung modern Udo Z. Karzi bertitel Mak Dawah Mak Dibingi dan kumpulan cerita gubahan Asarpin Aslami bertajuk Cerita-cerita jak Bandar Negeri Semuong.

Tantangan lain bagi pengurus DKL terpilih adalah agar bisa aktif menjalankan tugasnya dan belajar berorganisasi dengan baik. Betapa pun, Anda mengemban amanah yang dipercayakan oleh para seniman untuk berperan sebagai katalistor terhadap segenap potensi kesenian yang ada di Lampung. Bila terjadi friksi dan konflik di lingkungan internal pengurus DKL, harus diatasi dengan baik dan secara dewasa. Harapan Ketua Umum terpilih Hj. Syafariah Widianti (Atu Ayi) dalam pidato penutupan yang menandaskan perlunya kekompakan, kerja sama yang baik antarpengurus, dan pentingnya kerja keras, mesti benar-benar dicamkan dan diejawantahkan dalam dinamika kerja pengurus DKL.

Tentu saja pekerjaan rumah yang belum sudah bagi pengurus DKL adalah mendorong Pemerintah Provinsi Lampung dan DPRD untuk melanjutkan pembangunan gedung kesenian. Gedung kesenian yang terletak di kompleks PKOR Way Halim, Bandar Lampung itu, sudah mulai dibangun sejak 2008 dan terus dibangun pada tahun-tahun berikutnya. Konon sudah menyita dana sebesar Rp3,1 miliar. Kiranya dalam satu-dua tahun ke depan gedung kesenian ini dapat selesai dibangun dan dapat dipergunakan baik untuk mempergelarkan pertunjukan kesenian maupun sebagai kantor DKL. Selama ini DKL seperti kucing beranak karena mesti pindah-pindah kantor.

Di atas itu semua, gedung kesenian adalah suatu mimpi panjang yang belum sudah mengejawantah. Sejak kepengurusan DKL periode pertama pada 1993, harapan para seniman untuk adanya gedung kesenian yang representatif sudah diusulkan kepada Gubernur Lampung Poedjono Pranyoto. Namun, sampai masa jabatan beliau berakhir, gelagat akan dibangunnya gedung kesenian itu tak kunjung tampak. Para seniman pun sudah sering melontarkah hal ini lewat pers. Tetapi tiada tanggapan. Pada Temu Teater 1995 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Lampung, hal itu pun dipersoalkan. Termasuk mengundang Gubernur dan Bappeda Provinsi Lampung. Dalam sambutan Gubernur waktu itu dikatakan bahwa keuangan Pemprov belum memungkinkan.

Dalam tulisan saya untuk buku Pedjono Pranyoto: Kesan dan Pandangan dari Sahabat (1997) yang disunting oleh Amin Fauzi A.T., saya menulis, “Bagi saya, sebelum gedung kesenian itu dibangun, berarti gubernur punya utang budaya. Alangkah idealnya, jika utang budaya itu dilunasi tanpa harus ditagih terlebih dulu. Disadari bahwa membangun gedung kesenian itu mahal, dan mungkin pula tidak menguntungkan secara ekonomi. Tapi ingin diingatkan kembali di sini bahwa ada hal-hal yang mungkin sama sekali tidak menguntungkan secara ekonomi, tapi secara kebudayaan harus ada karena kehidupan membutuhkannya. Termasuk di sini gedung kesenian dan kesenian itu sendiri. Keuntungan yang diraih kesenian pertama-tama bukanlah uang, melainkan kebahagiaan bersama, hikmah pencerahan, hiburan, dan keuntungan imaterial lainnya. Pendeknya, gedung kesenian itu penting sekali sebagai tempat terjadinya katalisasi kesenian dan sekaligus sebagai panggung bagi kinerja kesenian.”

Mengawali tulisan itu, saya mengutip gurauan Pak Poedjono ketika saya dan teman-teman seniman beraudiensi untuk melaporkan rencana pendirian DKL. Beliau berkomentar, “Wah … tuan-tuan terlambat lima tahun. Mengapa baru sekarang terpikir membentuk Dewan Kesenian Lampung.” Kata “terlambat” maksudnya karena baru pada periode kedua masa jabatannya kami menyampaikan hal itu. Mengakhiri tulisan itu, saya justru menulis, “Jika pada awal tulisan Poedjono Pranyoto bergurau bahwa DKL terlambat dibentuk, pada akhir tulisan ini saya akan menangis kalau pembangunan gedung kesenian di Lampung terlambat.”

Menurut selentingan, Pak Poedjono terusik oleh tulisan saya itu, dan berjanji akan menyampaikan “utang budaya” itu kepada penggantinya. Tetapi, gedung kesenian itu toh tetap kekal sebagai mimpi panjang. Baru pada 2008 Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. tergugah untuk membangunnya. Itu berarti, sudah dimulai pada masa DKL dipimpin oleh Pak Herwan Achmad, dan terus dilanjutkan ketika DKL dipimpin oleh Atu Ayi.

Atu Ayi sendiri dalam pidato penutupan Musyawarah DKL dengan lantang berkata bahwa dalam periode jabatannya yang kedua ini diharapkan gedung kesenian sudah dapat berdiri. "Kita harus menerima ini sebagai amanah dan tantangan," tandas Atu Ayi.

Tantangan yang dilontarkan Atu Ayi itu kiranya dapat disambut oleh para pengurus DKL terpilih untuk terus mendorong pembangunan gedung kesenian, yang kelak berfungsi juga sebagai oasis bagi "padang tandus" Bandar Lampung yang telanjur menjadi kota sejuta ruko ini. Tabik, selamat bekerja, puun. n

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 19 Februari 2011

Masa Depan Seni Rupa Lampung

Oleh Christian Heru Cahyo Saputro

KETIKA kita membincangkan masa depan jagat seni rupa Lampung, kita harus berhadapan dengan potensi yang dimiliki Lampung. Dalam hal ini tentunya perupa sebagai sumber daya manusia sebagai modal utama.

Menurut kurator dan kritikus seni rupa almarhum Mamannoor, jagat seni rupa Lampung sangat potensial. Lampung kaya ragam rupa lokal yang bisa dijadikan ikon, salah satunya ragam hias tapis. Mestinya perupa mau menyelami ragam budaya yang dimiliki Lampung untuk mewarnai karyanya dengan spirit of Lampung ((roh ke-Lampung-an).

Selain itu, Lampung juga kaya pesona alam, baik berupa keindahan pantai maupun bentang alam serta flora dan fauna. Yang bisa menginspirasi para perupa untuk “mengkanvaskan” kearifan lokal dan keindahan yang memesona menjadi nilai tambah (value added) dalam karya rupanya.

Kang Maman pernah memberi sentuhan pada perjalanan jagat seni rupa Lampung. Jagad seni rupa Lampung pada waktu itu mengalami kemajuan signifikan. Tak hanya dalam karya, juga dalam olah wacana. Upaya yang dilakukan, selain gelar karya, diskusi, dan dialog pun menjadi ajang mengolah rasa juga tempat menggodok berbagai gagasan.

Selain itu, perkembangan jagat seni rupa Lampung tidak terlepas dari berbagai macam elemen pendukung yang hadir menjadi infrastruktur dari sebuah medan sosial seni. Di antaranya lembaga-lembaga seni, seperti Taman Budaya, Museum, Dewan Kesenian, institusi (akademi seni rupa), galeri, kritikus seni rupa, kurator, art dealer, dan kolektor. Masing-masing dari elemen yang disebutkan tadi berfungsi sesuai dengan porsinya (tufoksi) masing-masing.

Institusi akademi, mencetak calon seniman dengan menawarkan keberagaman karyanya, hingga akhirnya masuk ke dalam galeri yang dikemas dalam sebuah pameran dengan keterlibatan kurator di dalamnya.

Setelah itu, giliran publik yang mengapresiasi. Publik di sini berarti masyarakat umum yang di dalamnya terdapat wartawan, kritikus, kolektor, pengamat, dan masyarakat awam.

Wartawan, kritikus, dan pengamat menjalankan fungsinya melalui media menginformasikan dan mengapresiasi karya yang ditaja. Sedangkan kolektor menyerap karya dengan membeli dan mengoleksi sebuah karya dari seorang seniman pada sebuah pameran (pasar).

Ilustrasi di atas menggambarkan alur dari proses transaksi ekonomi dan juga transaksi kultural (pembelajaran) dalam jagat seni rupa seniman, galeri, kurator, kritikus, media, dan kolektor akhirnya membentuk mekanisme dari sebuah pasar dalam dunia seni. Semua saling berhubungan dan saling menguntungkan (simbiose mutualisme).

Sebagus apa pun kondisi pasar, tidak akan bertahan lama apabila tidak disertai dengan penyebaran informasi dan pengembangan pengetahuan (transaksi kultural) akan mekanisme pasar bagi calon pengelola galeri, seniman, kurator, kritikus, pengamat dan kolektor. Jadi, ajang pameran bukan hanya sebagai pasar transaksi ekonomi (wacana pasar), melainkan juga sebagai pasar wacana, yaitu tempat pembelajaran kultural alias ngangsu kawruh.

Juga sejauh mana kurator, kritikus, pengamat, dan wartawan yang ada dapat berperan dengan memberikan pengetahuan atau informasi yang cerdas bagi pengapresiasi.

Perkembangan seni rupa di Lampung tidak diimbangi infrastruktur pendukung, antara lain gedung pameran yang representatif, sekolah tinggi kesenian, kolektor, dan galeri.

Lampung belum memiliki tokoh seni rupa (lokal) yang bisa dijadikan panutan yang punya gagasan-gasan cerdas dan memiliki jejaring dengan poros-poros seni rupa yang ada diberbagai kota dan mancanegara.

Kendala lainnya, yang dihadapi perupa Lampung adalah sulitnya memperoleh prasarana garap seni rupa, seperti kanvas, cat minyak, apalagi untuk material patung, grafis, dan kriya seni.

Persoalan lainnya yang juga penting, Lampung juga tidak memiliki kritikus seni rupa yang mengangkat persoalan-persoalan jagat seni rupa Lampung ke pentas nasional. Lampung juga belum memiliki galeri yang representatif dan memiliki kurator, yang ada baru sebatas studio gallery dan art dealer.

Sedangkan sponsor dalam jagat seni rupa Lampung masih menjadi kendala. Para sponsorship lebih tertarik menyokong pergelaran musik dan olahraga ketimbang seni (rupa). Ke depan ini merupakan pekerjaan rumah untuk menciptakan stakeholder yang mau mendukung event seni rupa.

Ini mungkin salah satu yang membuat perupa Lampung kurang fight berkompetisi dalam berkarya untuk menancapkan eksistensi dengan berpameran tunggal (solo exibition).

Persoalan karya baik secara kuantitas maupun kualitas juga menjadi kendala bagi perupa Lampung untuk bersaing di ranah seni rupa nasional.

Sedangkan media yang diharapkan bisa mendongkrak dunia rupa belum sepenuhnya mendukung publikasi yang apresiatif. Publikasi yang membangun agar para pelaku yang berkubang di jagat seni rupa menjadi kreatif dan cerdas. Di Lampung kuratorial pameran pun juga masih menjadi persoalan penting.

Padahal peran kurator sangat penting agar pameran punya konsep yang jelas dan tak sekadar ramai-ramai mengusung karya.

Ke depan, Lampung sangat membutuhkan institusi pendidikan seni rupa yang berfungsi menjadi semacam penjaga gawang agar institusi pendidikan sebagai salah satu infrastruktur dari sebuah konstelasi dunia seni rupa dapat memberikan kontribusi dalam membangun suprastruktur yang lebih baik dan sehat.

Dalam artian, ke depan sangat dibutuhkan keterbukaan dari setiap elemen yang ada di dalamnya. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa perkembangan dalam jagat seni rupa di Lampung secara khusus harus disikapi dengan sikap terbuka oleh seluruh elemen yang ada di dalamnya.

Keterbukaan adalah hal yang wajib dalam arti penyebaran informasi, pengembangan, penelitian seni rupa, dan edukasi seni. Demi kemajuan jagat seni rupa Lampung, keterbukaan adalah nilai-nilai yang tidak bisa ditawar dan kita abaikan. Semuanya adalah harapan yang ditumpukan pada setiap insan yang peduli dan punya "kegelisahan" akan nasib dunia seni rupa Lampung di masa depan.

Kita masih harus belajar banyak dari para perupa daerah lain Jakarta, Bandung, Yogya, dan Bali. Perupa daerah lain sudah berorientasi berpameran dan membidik pasar lewat balai lelang bergengsi di mancanegara. Sedangkan perupa Lampung masih tertatih beringsut bak siput tersandung masalah-masalah klasik dan elementer.

Di ranah seni rupa nasional Lampung baru sebatas “penonton”. Mari kita bersama menata diri untuk membangun jagat seni rupa Lampung agar setara dan bisa duduk sejajar dengan daerah lainnya.

Mak gham siapa lagi. Mak ganta kapan lagi. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi.

Christian Heru Cahyo Saputro, Pengamat Seni Rupa, tinggal di Lampung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 19 Februari 2011

[Profil] Agus Sri Danardana.: Riau Punya Potensi Besar

Oleh Hary B Kori'un, Pekanbaru
hbkoriun@riaupos.com

SEBAGAI daerah asal lahirnya Bahasa Indonesia, Riau memiliki peran besar dalam perkembangan dan pembentukan bangsa Indonesia. Ketika kekayaan kebudayaan Indonesia banyak diakui oleh negara lain, seperti Malaysia, Riau sebenarnya juga memiliki potensi sebagai benteng, terutama kekayaan bahasa. Menurut Drs Agus Sri Danardana MHum, Kepala Balai Bahasa Riau, banyak upaya yang bisa dilakukan untuk melindungi dan melestarikan kekayaan budaya tersebut, dan itu memang harus dilakukan dengan bekerja keras.

Berikut pandangan-pandangan mantan Kepala Kantor Bahasa Lampung tersebut dalam perbincangan dengan Riau Pos dalam beberapa kesempatan, termasuk Rabu (19/8) pekan lalu. Petikannya:

Sebenarnya fungsi Balai Bahasa itu untuk apa?

Balai Bahasa itu UPT (Unit Pelaksana Teknis) dari Pusat Bahasa Jakarta. Kami sesungguhnya bertanggung jawab langsung ke Menteri Pendidikan Nasional melalui sekretariat jenderal Depdiknas. Di daerah, hampir semua provinsi ada, meski belum semuanya. Tugas kami tentu saja adalah kepanjangan Pusat Bahasa di daerah, yang tugasnya mengelola masalah-masalah kebahasaan dan kesusasteraan di daerah. Untuk di Riau, itulah tugas kami. Selain melakukan penelitian kebahasaan dan kesusasteraan, juga melakukan pemasyarakatan bahasa dan kesusasteraan.

Latar belakang pendirian lembaga ini berdasarkan pertimbangan apa?

Begini, dulu masalah kebahasaan tidak dianggap penting. Dulu UPT Pusat Bahasa itu hanya ada tiga, yakni di Denpasar, Jogjakarta dan Makassar. Menjelang Reformasi 1998, muncul gonjang-ganjing akan adanya beberapa wilayah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan itu membuat bahasa dianggap sebagai masalah penting yang kemudian membuat pemerintah punya niat mendirikan balai-balai bahasa di daerah. Ini yang menarik, ketika instansi lain melakukan penciutan, Pusat Bahasa malah melakukan pemekaran. Sekarang sudah berdiri 30 Balai dan Kantor Bahasa di 30 provinsi. Yang belum adalah di Sulawesi Barat dan Papua Barat.

Dalam menjalankan tugasnya, apa yang dilakukan Balai Bahasa karena setiap daerah memiliki persoalan dan spesifikasi masing-masing?

Sebenarnya Riau menjadi unik –apalagi sebelum terpecah menjadi Riau dan Kepulauan Riau— karena berbatasan langsung dengan negara tetangga. Balai Bahasa Riau diharapkan menjadi benteng karena isu-isu pencaplokan atau pengakuan hak cipta oleh negara tetangga terhadap kebudayaan kita terus berlangsung. Sebenarnya, ada indikasi Bahasa Indonesia ini jika tidak kita pelihara juga bisa saja dicaplok. Sebab, ternyata, secara diam-diam sekarang ini banyak negara yang membuka jurusan Bahasa Melayu, bukan Bahasa Indonesia, sementara Bahasa Indonesia dasarnya berasal dari Bahasa Melayu, meskipun pada kenyataannya memang sudah berbeda. Usaha-usaha memperkokoh kemelayuan ini sesungguhnya secara politis, barangkali, agak lengah. Ini menurut pendapat banyak pakar bahasa. Karena sesungguhnya semua yang berbau Indonesia, bisa saja diakui sebagai Melayu.

Mungkin mereka sadar bahwa bahasa adalah simbol sebuah kebudayaan dan identitas bangsa?

Sebenarnya kita menang, dalam hal bahwa Bahasa Indonesia sudah diakui. Secara hukum kita punya dasar bahwa Bahasa Indonesia-lah sebagai bahasa negara. Sementara di Malaysia, sebenarnya mereka sudah terlanjur mengumumkan bahwa bahasa negara mereka adalah Bahasa Inggris, bukan Bahasa Melayu. Tetapi sekarang ini di Malaysia ada fenomena yang berbeda dengan pemerintah dengan muncul sebuah kesadaran berbahasa, yakni ingin Bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa negara. Ini yang harus kita waspadai, karena selama ini kita banyak kecolongan dari mereka. Yang sedang hangat sekarang adalah tari Pendet milik masyarakat tradisional Bali, sudah diklaim oleh mereka dalam kampanye wisatanya. Sebelumnya wayang, batik, reog Ponorogo dan sebagainya. Memang penyebabnya mungkin kemelaratan kita.

Dulu ada Kamus Nusantara yang membuat Brunei Darussalam. Yang mengagetkan, hampir 70 persen isinya adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) milik kita. Nah, kabarnya Malaysia juga sedang menyusun kamus Bahasa Melayu. Nah, yang sebenarnya hal seperti ini terjadi karena kita kalah dalam hal promosi, yang membuat secara internasional kita bisa kecolongan. Sementara, sebagian masyarakat kita menganggap abai masalah kebahasaan ini karena menurut mereka bahasa hanya dianggap sebagai alat komunikasi, padahal untuk bangsa ini Bahasa Indonesia bukan hanya sekadar alat komunikasi, tapi identitas bangsa ini.

Kemudian, tanggung jawab Balai Bahasa dalam menjaga keragaman bahasa lokal masing-masing daerah bagaimana?

Kalau keragaman, sesungguhnya ingin kami lestarikan, karena sesungguhnya keberagaman itu keniscayaan untuk bangsa ini dan harus kita syukuri. Keberadaan kami sesungguhnya juga untuk hal itu, meskipun sebenarnya secara hukum sejak era otonomi daerah, masalah bahasa lokal atau bahasa daerah menjadi kewenangan secara otonomi daerah masing-masing. Tapi justru itu kami siap karena sesungguhnya kami tahu bahwa persoalan-persoalan teknis masalah kebahasaan sebenarnya ada di lembaga ini, bukan di pemerintah daerah. Oleh karena itu kami sangat berharap Balai Bahasa bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah.

Untuk Riau, karena Bahasa Indonesia lahir dan disepakati berdasarkan Bahasa Melayu dan itu lahir di tanah ini sebagai bahasa masyarakat sehari-hari, secara spesifik apa yang dilakukan Balai Bahasa Riau untuk Bahasa Melayu?

Sebetulnya kami mencoba untuk menyamakan dan kami mengakui bahwa Bahasa Indonesia itu berasal dari Bahasa Melayu, tetapi kami tetap memperlakukan Bahasa Melayu sebagai bahasa daerah, dan kami akan melakukan inventarisasi. Belakangan ini muncul semacam hujatan bahwa KBBI bukan lagi Bahasa Indonesia, tapi Bahasa Jawa, karena banyak kosa kata dari Bahasa Jawa. Nah, untuk mengurangi tuduhan seperti itu, sejak beberapa tahun belakangan ini –ini tergantung Balai Bahasa masing-masing daerah—kami mencoba menginventarisasi kosa kata bahasa-bahasa daerah. Saya belum bisa bicara banyak tentang Bahasa Melayu, yakni dialek-dialeknya, tetapi teman-teman sudah melakukan itu dan akan mencoba memasukkannya dalam KBBI. Keberadaan Bahasa Melayu tentu saja akan memperkaya Bahasa Indonesia. Sekali lagi, ini tidak mengurangi rasa hormat bahwa Bahasa Melayu adalah dasar dari Bahasa Indonesia, meski pada perkembangan selanjutnya memang terjadi banyak penambahan dan perubahan.

Di Riau banyak dialek Bahasa Melayu yang mungkin agak berbeda antara daerah pesisir dengan daratan.

Itu sangat kami perhatikan, terutama sering ada istilah-istilah yang tak bisa diterjemahkan. Artinya secara konsep dia harus dijelaskan, bukan semata-mata diterjemahkan, terutama kosa kata arkhaik yang banyak terjadi dalam Bahasa Melayu

Balai Bahasa Riau ini sebenarnya berdiri dan ada sejak lama, tetapi banyak masyarakat yang tak tahu secara jelas sebenarnya lembaga apa ini. Sebagai kepala yang baru, apa yang akan Anda lakukan untuk memberi pemahaman itu?

Mungkin kalau memang kenyataan seperti itu, lokasi (kantor, red) ini juga menentukan. Banyak orang menganggap Balai Bahasa Riau ini bagian dari Universitas Riau (Unri). Itu masalah pertama. Kemudian, saya juga tidak tahu sesungguhnya yang terjadi sebelumnya, tetapi menurut saya mungkin kami belum melakukan sosialisasi yang benar untuk menanamkan eksistensi ke masyarakat. Tetapi menurut saya, segala sesuatu itu sebenarnya tidak perlu diiklankan, karena masyarakat akan mengetahui kalau kita berkarya. Mudah-mudahan ke depan karya-karya itu akan segera diketahui oleh masyarakat dan tentu saja kami tidak ingin berada di menara gading. Masih mending kalau di menara gading, kalaupun tidak dikenal masyarakat, tempat kami masih enak. Ini celakanya, sudah tidak di menara gading dan tidak dikenal.

Karya yang seperti apa yang akan di-publish agar masyarakat mengenal lembaga ini?

Ini persoalan semua daerah, saya kira. Yang mendesak adalah, kami akan melakukan pemetaan bahasa, dan sebenarnya itu sudah dimulai. Kami sedang betul-betul melakukan penelitian tentang jumlah bahasa, dan sekarang ini untuk seluruh Indonesia kami baru bisa mengatakan jumlahnya baru sekitar 460 bahasa, ini belum termasuk bahasa-bahasa di wilayah timur Indonesia, dan sekarang masih terus dilakukan penelitian dan pemetaan.

Sebagai orang baru yang ditugaskan Pusat Bahasa untuk memimpin Balai Bahasa Riau, tentu Anda belum menguasai medan dan mungkin akan banyak tantangan yang muncul. Apa yang akan Anda lakukan?

Yang pertama saya lakukan adalah melihat kekuatan kami di dalam lembaga ini, berapa penelitinya, sertifikasinya bagaimana, kemampuannya bagaimana dan sebagainya. Keluar, saya akan mendatangi beberapa komponen masyarakat yang memiliki perhatian terhadap kebahasaan dan kesusasteraan. Mungkin teknisnya bisa saya langsung menemui beliau-beliau itu, atau mereka kami undang ke sini dalam sebuah kegiatan yang akan kami buat, dan di sana nanti kami akan share pengalaman. Saya sadar, sebagai orang baru, tak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan teman-teman, terutama kalangan sastrawan, tokoh kebahasaan dan kalangan jurnalis di Riau ini.

Pola seperti ini juga pernah Anda lakukan di Lampung?

Ya, saya memakai pola seperti ini saat saya diangkat menjadi Kepala Kantor Bahasa Lampung tahun 2004. Yang pertama saya dekati bersama teman-teman di kantor adalah kalangan sastrawan, wartawan, dan budayawan.

Support seperti apa yang akan diberikan oleh Balai Bahasa kepada kalangan sastrawan ketika Anda di Lampung?

Kami akan melibatkan mereka. Kami ajak melaksanakan kegiatan itu dan kami menyatu. Itu yang memudahkan kami, sampai-sampai kami dikenal masyarakat secara luas.

Di Riau, mungkin berbeda dengan Lampung, dan sifatnya sangat spesifik, karena mungkin Anda akan menempuh daerah-daerah yang jauh dan terisolir dalam melakukan pemetaan bahasa, misalnya. Apa yang akan Anda lakukan?

Hal itu sebenarnya bisa ditempuh dengan beberapa hal. Misalnya seperti tadi, kami undang tokoh di daerah itu, lalu kami kumpulkan teman-teman dan meminta sang tokoh untuk berceramah. Model seperti itu yang saya pakai di Lampung. Dan alhamdulillah berhasil. Ada dua hal yang bisa kami lakukan, kami bisa mengorek ketokohannya, dan sekaligus mendapatkan informasi tentang tempat tinggal daerah tokoh tersebut. Hal ini sangat efektif, karena kalau kami datang ke daerah tersebut, kami tak bisa memberangkatkan seluruh petugas peneliti kami, sementara kalau diundang, semuanya bisa mendengar langsung. Dan di Lampung, dengan pola itu, yang akrab dan kenal dengan tokoh sastra dan bahasa maupun wartawan bukan hanya saya, tetapi seluruh pegawai jadi kenal dan akrab dan ini memudahkan pekerjaan kami. Selama ini yang muncul di masyarakat, Balai Bahasa Riau seolah-olah menjadi lembaga yang eksklusif. Kalangan sastrawan, media massa dan masyakat belum melihat peran penting lembaga ini. Ini pekerjaan yang tak ringan bagi Anda.

Secara umum satu-satunya jalan adalah, kami yang mengajak bicara masyarakat, seperti yang saya jelaskan tadi. Karena sesungguhnya, tokoh sastra –baik modern maupun tradisional—, tokoh bahasa dan lain sebagainya adalah yang paling tahu dengan kondisi daerahnya. Kami akan memaksimalkan kerja sama, syukur-syukur kami bisa memberikan fasilitas kepada mereka untuk berkarya.

Sebenarnya pekerjaan secara teknis pegawai di Balai Bahasa ini seperti apa? Apakah konsen di penelitian, pelayanan, atau penyuluhan?

Kalau yang resminya, diharapkan tenaga teknis itu menjadi peneliti karena lembaga ini sebenarnya adalah lembaga penelitian. Ada “profesi” lain, yakni menjadi penyuluh dan penyunting. Penyuluh itu mirip dengan mengajar meskipun ada perbedaan, sedang penyunting itu mungkin sama dengan editor di surat kabar. Nah, saya belum tahu apakah dua hal itu sudah berjalan, tetapi di Jakarta misalnya, kami sudah kewalahan. Di bidang penyuluhan misalnya, tidak semua itu keinginan kami, tetapi instansi-instansi baik swasta maupun negara, sudah sadar dan memerlukan tenaga kami. Misalnya mereka melakukan pelatihan-pelatihan untuk karyawan maupun pegawainya, mata saji bahasa pasti ada dan itu diberikan kepada kami sebagai tenaga pengajarnya. Di DPR misalnya, saat pembahasan undang-undang, itu juga harus ada pendampingnya dari Pusat Bahasa. Di Riau, saya belum tahu, karena saya baru beberapa hari di sini. Biasanya, hal yang paling sering diminta oleh jajaran pemerintah daerah, adalah membantu dalam penulisan bahasa surat-menyurat. Ini nampaknya sepele, tetapi masih banyak yang salah yang tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.

Selama ini, hasil penelitian Balai Bahasa di Pekanbaru, dipublikasikan ke mana?

Salah satu publikasi yang efektif menurut saya adalah jurnal, tetapi saya lihat kami di sini belum memiliki jurnal. Secepatnya ini akan kami buat. Selain itu, mestinya diterbitkan dalam bentuk buku dan disebarkan ke masyarakat, mungkin lewat perpustakaan daerah, universitas atau sekolah-sekolah. Di Balai Bahasa lain, penerbitan jurnal dan buku-buku tersebut sudah terjadi dan rutin, tetapi di sini saya lihat masih sangat terbatas. Ini pekerjaan yang harus saya lakukan ke depan.

Supporting kepada kalangan sastrawan bagaimana? Pusat Bahasa setiap tahun memilih karya terbaik dari para sastrawan, begitu juga di Jogjakarta dan daerah lain. Ke depan di Riau bagaimana?

Pemikiran ke sana ada. Saya kira, itu sangat penting. Pertama, karena tidak banyak lembaga yang memperhatikan masalah sastra, dan kalau lembaga ini berkecimpung di bidang bahasa dan sastra jadi aneh kalau tidak memperhatikan mereka yang berkecimpung langsung di bidang itu. Tapi karena selama ini belum, maka kami di Balai Bahasa akan mencoba melakukannya, teknisnya kami akan mencontoh yang sudah melakukannya seperti Jogjakarta, Pontianak, Banjarmasin dan beberapa daerah lainnya.***


BIODATA

Drs. Agus Sri Danardana, M.Hum.,
Lahir : Sragen, 23 Oktober 1959,
Agama : Islam,
Jabatan : Kepala Balai Bahasa Riau,
Istri : Rustiningsih,
Anak : Naratungga Indit Prahasita

Jabatan Sebelumnya
• Pegawai Pusat Bahasa Jakarta (1988-2004)
• Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung (2004-2009)
• Pengajar di Universitas Trisakti (1991-2004)
• Pengajar di Universitas Nasional (2002-2004)
Pendidikan
• Magister (S-2) Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (2003)
• Sarjana (S-1) Linguistik Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (1978)
• SMA Negri 1 Sragen (1975)
Karya Buku
• Pelanggengan Kekuasaan: Analisis Teks Dramatik Lakon Semar Gugat Karya N Riantiarno (Bandung: Kepustakaan Eja Insani, 2004)
• Pandangan Dunia Motinggo Busye (Bandarlampung: Kantor Balai Bahasa Lampung, 2007)
• Laras Bahasa: Fobia Bahasa Indonesia (Bandarlampung: Kantor Balai Bahasa Lampung, 2008)
• Ensiklopedia Sastra Lampung (Bandarlampung: Kantor Balai Bahasa Lampung, 2008)
• Struktur Drama Indonesia Modern 1980-1990 (Jakarta: Pusbinbangsa, 1995)
• Drama Indonesia Modern dalam Majalah Indonesia, Siasat, dan Zaman Baru Tahun 1945-1965 (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003)
• Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920-1950 (Jakarta: Pusat Bahasa 1997)
• Peran Majalah Hiburan Tahun 1970-1989 dalam Perkembangan Kesusastraan Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2004)
• Sastra Miruda (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Pusat Bahasa, 1999)

February 18, 2011

Pameran Rupa: 'Biar Gayus Korupsi, Seniman Jangan'

BANDAR LAMPUNG—Dunia kesenian adalah dunia bersih. Karena itu tidak boleh dicemari. "Biarkan Gayus-Gayus korupsi. Tapi, seniman jangan," kata perupa Syahnagra Ismail dalam diskusi bertema Mengancang jagad seni rupa Lampung di Taman Budaya Lampung (TBL), Kamis (17-2).

DISKUSI SENI RUPA. Pelukis Syahnagra Ismail (tengah) tengah berbicara dalam diskusi Mengancang Jagad Seni Rupa Lampung di Taman Budaya Lampung (TBL), Kamis (17-2). Pembicara lain pengamat seni rupa Christian Heru Cahyo Saputro (kiri) dengan moderator Helmi Azhari (kanan). (LAMPUNG POST/HENDRIVAN GUMALA)

Diskusi yang dimoderatori Helmi Azhari ini diselenggarakan dalam rangkaian pameran lukisan Lampung Art Adventure 2011 yang berlangsung hingga 20 Februari. Lima perupa yang memamerkan lukisan adalah Syahnagra Ismail, Salvator Yen Joenaidy, Lilis Suryati Syahputeri, Atuk, dan Semut Prasidha.

Menurut Syahnagra, kesenian harus dibangun dengan energi. Cara membangun energi bisa mencontoh Raden Saleh. "Ketika menghadapi tekanan Belanda, dia (Raden Saleh) pacari wanita Belanda," kata Syahnagra.

Dia mengatakan seniman tidak perlu menunggu ilham untuk berkarya. Pria kelahiran Telukbetung, 18 Agustus 1953, itu mengajak pelukis Lampung membangun semangat artistik. Semua dari alam.

Meskipun demikian, Syahnagra mengakui zaman telah berubah, pelukis yang mulai jarang menggambarkan keindahan alam. Dalam suasana kontemporer sekarang, dia meminta seniman mesti cerdas melihatnya. "Dari alam saya lihat dialog-dialog. Saya lihat garis-garis," ujarnya.

Kesenian itu, kata dia, tidak bisa tumbuh tanpa keringat. Wawasan seniman bisa diasah dengan perpustakaan. "Karena perpustakaan bisa meluruskan pemikiran-pemikiran," ujarnya.

Menurut warga Kompleks Poris A2-15 Pondok Gede, Jakarta, itu kelemahan seni rupa terletak pada event. Dibandingkan karya sastra, seniman lukisan jarang mengadakan acara. Di Lampung, seni rupa nyaris tidak ada gerakan. "Saya prihatin ketika datang ke Pasar Seni, Enggal. Berumput. Jorok," kata Syahnagra menyayangkan.


PERUPA kawakan ini meminta pelukis di Lampung membentuk organisasi seni rupa. Lalu, pengurusnya dipilih dengan orang-orang yang punya prestasi. "Jangan baru menyelam ngakunya seniman. Ini bisa merusak tatanan," kata Syahnagra yang menegaskan pentingnya pameran tunggal bagi seniman.

Masalah lain, menurut dia, tak kalah pentingnya adalah menghilangkan semangat proyek di kalangan seniman. Sebab, hal tersebut menyebabkan seniman kehilangan identitas. "Biarkanlah itu ada di Dewan Kesenian. Tapi, jangan sampai semangat proyek ada di batin kita," kata dia.

Pembicara lain, Christian Heru Cahyo Saputro, memandang masa depan seni rupa Lampung tidak terlepas dari sumber daya manusianya. "Kita sebagai seniman yang dilihat adalah harganya. Tapi, hidup adalah pilihan," ujarnya.

Lampung, kata Heru, sangat potensial bagi pengembangan seni rupa. Hal tersebut bisa dibuktikan dari ragam tapis, bentang alam seperti Teluk Kiluan dan tarian lumba-lumba. "Ini siapa yang menjual? Kita bisa menawarkan Lampung ke dunia," kata dia.

Masalah lainnya soal seni rupa ialah sponsor. Pihak sponsor lebih memilih musik atau olahraga ketimbang seni rupa. "Pameran lukisan bukan semata transaksi ekonomi. Tapi, juga transaksi multikultural. Bagaimana menjadikan masyarakat supaya cerdas," kata Heru.

Surip, salah satu peserta diskusi menimpali. Guru Taman Siswa itu berterus terang tidak mengerti seni rupa. Namun, dia sedih bila seni rupa tidak dilestarikan. Sebab, anak-anak yang notabene penerus bangsa tidak mengenal kesenian. Surip menyarankan seni lukis diajarkan di sekolah-sekolah.

Menurut Surip, mestinya ada anggaran untuk Taman Budaya supaya dapat menggerakkan seniman. "Cuma saya enggak ngerti masalah anggaran karena saya bukan orang negara," kata Surip polos disambut tepuk tangan dan gelak tawa peserta diskusi. Baginya, sangat aneh bila seorang seniman tidak mengadakan pentas.

Menanggapi hal itu, Syahnagra mengatakan di Amerika para seniman dilindungi dengan undang-undang. Di sana, guru-guru lukis adalah seniman. "Paling tidak di Lampung mari kita buat seniman menjadi guru-guru TK, SD, SMP, dan SMA. Sudah tidak zaman lagi seniman merendah untuk menjual karyanya," kata dia. (HENDRY SIHALOHO/P-1)

Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 Februari 2011

February 17, 2011

Atu Ayi Kembali Pimpin DKL

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Syafariah Widianti, yang lebih dikenal dengan panggilan Atu Ayi, kembali menjadi ketua umum Dewan Kesenian Lampung (DKL) periode 2011—2014 setelah terpilih secara aklamasi dalam Musyawarah DKL di Balai Keratun, Rabu (16-2).

Ketika membuka Musyawarah DKL, Atu Ayi sempat menolak dicalonkan kembali dengan alasan memiliki kesibukan. Namun, 118 peserta rapat dan tujuh komite tetap meminta Atu Ayi kembali memimpin DKL Lampung.

"Dalam rapat antarkomite yang dilakukan tadi malam (Selasa, red) kami sepakat untuk mendukung Atu Ayi kembali menjadi Ketua Umum DKL periode 2011—2014," kata Dana E. Rahmat dari Komite Senirupa DKL yang membacakan pandangan Komite mewakili seluruh komite.

Dalam sidang dipimpin Hermansyah G.A., Iswadi Pratama, dan Wawan Darmawan juga langsung diadakan sidang formatur untuk menetapkan kepengurusan DKL periode 2011—2014.

Rapat Tim Formatur yang dipimpin Atu Ayi akhirnya menetapkan Hari Djayaningrat sebagai Ketua Harian DKL; Ari Pahala Hutabarat sebagai Ketua Komite Sastra; Ahmad Jusmar sebagai ketua Komite Teater; Dede S. Wijaya sebagai ketua Komite Film, Agus Salim sebagai ketua Komite Musik, Komite Tradisi diketuai Sutan Purnama, Ketua Seni Rupa Salvator Yen Junaedi, dan Litbang Oyos Saroso H.N.

Menurut Atu Ayi, DKL mempunyai peran yang cukup penting dan posisi yang cukup terpandang di mata Dewan Kesenian yang ada di Indonesia. Ini dapat dilihat dari berbagai kegiatan DKL kepengurusan 2007—2010, seperti menggagas terbentuknya Dewan Kesenian se-Indonesia.

DKL telah mempunyai event-event berskala nasional, seperti Festival Seni se-Sumatera, Krakatau Award, atau Temu Dewan Kesenian se-Indonesia yang akan dipertahankan serta lebih dikembangkan lagi di masa kepengurusan baru.

"Saya mengharapkan kerja sama dari seluruh pengurus. Karena tidak akan tercapai tanpa dukungan dari para pengurus. Dan semoga Gedung Kesenian Lampung akan segera berdiri," kata dia.

Menurut Ketua Panitia Ch. Sapto Wibowo, musda juga bertujuan mengevaluasi kinerja pengurus selama satu periode. (MG13/D-2)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 Februari 2011

February 16, 2011

Pameran Lukisan: Rekam Denyut Dusun Tengor di Tanggamus

BANDAR LAMPUNG -- Lima pelukis, tiga dari Lampung dan dua asal Jakarta, melakukan perjalanan ke Pekon Tengor, Putihdoh, Kabupaten Tanggamus, akhir Januari lalu.

Mereka ingin menyatu, merekam denyut nadi, dan merasakan rasa hati warga desa tak berlistrik dan tanpa televisi itu untuk kemudian dikibaskan ke atas kanvas. Mereka adalah Syahnagra Ismail, Atuk, Yen Joenaidy, Lilis Suryati, dan Semut Prashida.

Lima jam perjalan dengan van cukup melelahkan. Jalur Gedongtataan, Kedondong, dan seterusnya hingga menembus laut itu adalah tantangan sekaligus spektakulasi. Jalan sempit beraspal buruk, tikungan meliuk, tanjakan terjal, turunan curam, dan sejumlah hambatan. Namun, kearifan lokal dan pemandangan alamiah menjadi penyeimbang.

Meskipun berat, alam Tengor tak mengecewakan. Pantai berpasir putih, debur ombak, batu karang di laut, dan laut biru bersih adalah tebusan. Masyarakat alamiah begitu ramah meskipun tinggal di rumah-rumah yang mengundang desah.

Lampung Post tidak serta dalam ekspedisi tiga hari itu. Namun, memandangi 66 lukisan hasil karya mereka di “pertapaan” yang dipamerkan mulai hari ini (16-2) di Taman Budaya Lampung, cukup mewakili deskripsi tentang Tengor. Dengan tajuk Lampung Art Adventure 2011, mereka menggelar hasil ekspresi tentang Tengor di atas kanvas.

“Ada satu pelukis tamu yang kami ajak. Namanya Rifa Nabila Putri. Umurnya baru 11 tahun,” kata Syahnagra di sela-sela persiapan pameran, kemarin.

Menyimak lukisan mereka, terlihat napas kebebasan para perupa berekspresi. Syahnagra, pelukis kelahiran Telukbetung yang telah menasional, mempertahankan gaya impresifnya meski disuguhi objek lukisan natural.

Ia tampak lebih tertarik dengan kerumuk rumah-rumah bersahaja tempat bersatunya keluarga-keluarga dalam komunitas yang tenteram. Beberapa menara masjid ditonjolkan sebagai identitas rasa bahagia yang tak terukur dengan materi.

Perupa Atuk terasa lebih menikmati adventure. Dua lukisan pertama digarap naturalis dengan proporsi anatomi yang cukup baik. Ia sepertinya berdecak dan langsung menggoreskan kuasnya begitu melihat alam yang demikian memukau. Namun, pada empat lukisan lainnya, ia terhanyut pada motif-motf dan simbol-simbol yang ditangkap dari Tengor.

Sama dengan Atuk, Yen Joenaidy terlihat benar-benar merekam keindahan alam Tengor. Sedangkan muridnya, Lilis, begitu menikmati suasana. Ada sunset dengan warna jingga yang membakar, ada siluet kelam, dan beberapa pemandangan.

Sedangkan Semut Prashida mencomot realitas yang ia tangkap untuk kemudian berusaha direkonstruksi dengan imajinasinya yang kuat. Ini terlihat dari lukisan impresif dengan latar depan lautan luas yang di tengahnya ada feri dengan asap putih tebal sedang melaju.

Tengor, desa nun di ujung Tanggamus dan berhadapan di Teluk Semaka itu menjadi subjek yang mendamaikan. “Saya bangga dengan warganya yang tetap cerdas, meskipun jauh dan tanpa televisi. Saya pikir, kita rusak justru karena televisi,” kata Syahnagra. (SUDARMONO/D-1)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Februari 2011

February 14, 2011

Seni: Lima Perupa Pameran Bersama

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lima perupa akan menggelar karyanya dalam pameran bersama di Gedung Pamer, Taman Budaya Lampung, 16—21 Februari mendatang.

Perupa Salvator Yen Joenaedy mengatakan lima perupa yang akan menggelar karyanya, yaitu Syahnagra Ismail, Salvator Yen Joenaedy, Semut Prasidha, Atuk, dan Lilis Suryati.

Selain itu, juga akan ditampilkan karya pelukis cilik Rifa Nabilah Putri (11), murid SD Al Kautsar. Rifa merupakan pelukis cilik yang sering mengantongi juara Lomba lukis daerah dan nasional.

Perupa yang pernah masuk finalis Philip Morris Award yang menggagas kegiatan ini mengatakan para perupa berikhtiar menganvaskan serta mengangkat potensi ekonomi dan pariwisata berupa kawasan pantai dan bentang alam di Kabupaten Tanggamus.

"Kabupaten Tanggamus ini memiliki bentang alam dan garis pantai elok dan masih perawan. Potensi bentang alam dan keindahan di kawasan ini, layak untuk diabadikan dalam kanvas. Ini bisa dijadikan promosi pariwisata Lampung umumnya, Kabupaten Tanggamus khususnya," kata pemilik Gallery Bentara Seni Lampung ini.

Diskusi

Berkaitan dengan event ini akan digelar diskusi di Taman Budaya Lampung, Rabu (17-2). Diskusi kreatif yang mengusung tema Merancang masa depan jagat seni rupa Lampung itu akan menghadirkan pembicara Syahnagra Ismail (perupa) dan Christian Heru Cahyo Saputro (pengamat seni rupa) dipandu langsung oleh Kepala Taman Budaya Lampung Helmi Azhari.

Perupa kelahiran Lampung, Syahnagra Ismail, yang sudah melanglang dan pameran di mancanegara yang juga ikut dalam event ini mengatakan Lampung memiliki pantai dan lanskap yang indah dan masih alami. "Saya akan berusaha mengampanyekan keindahan Lampung ke kawan-kawan di mancanegara," ujarnya.

Nagra mengatakan event LACP dan pameran ini bisa dijadikan agenda tahunan, pesertanya tentunya tak terbatas untuk pelukis Lampung. "Kita bisa mengundang pelukis dari daerah lain dan mancanegara. Membangun jejaring sekaligus mempromosikan Lampung." (MG14/K-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, 14 Februari 2011

FMGI-KOber Helat Pelatihan Sastra

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Way Kanan menggandeng Komunitas Berkat Yakin menyelenggarakan pelatihan teater dan sastra bagi guru. Kegiatan berlangsung pada Minggu—Selasa (13—15 Februari) di aula SMAN 1 Baradatu, Kabupaten Way Kanan.

Ketua Panitia Taufiqurahman dalam rilisnya yang dikirim kepada Lampung Post, Minggu (13-2), mengatakan kegiatan ini bertujuan agar pembelajaran sastra tidak monoton. Selain itu, agar siswa dan guru mampu membuat pertunjukan.

Sekaligus merangsang dan membuat siswa lebih proaktif dalam kegiatan pembelajaran melalui teater dan sastra. Sebab, dalam pembelajaran atau pertunjukan teater dan sastra siswa terlibat langsung di dalamnya.

"Pembelajaran teater dan sastra adalah salah satu alternatif membuat pembelajaran menjadi menyenangkan di kelas. Naskah drama atau teater bisa dijadikan alat yang efektif untuk media pembelajaran oleh guru Bahasa Indonesia dan guru Kesenian," kata Taufiqurahman.

Aan Frimadona Roza, salah satu panitia penyelenggara, mengatakan seminar dan lokakarya teater dan sastra ini merupakan yang pertama kalinya diadakan di Kabupaten Way Kanan. Kegiatan ini didukung Dinas Pendidikan Way Kanan. Kegiatan ini diharapkan membawa dampak positif bagi perkembangan teater dan sastra di Way Kanan.

Kepala Dinas Pendidikan Way Kanan Gino Vanolie di sela-sela kesibukannya mengatakan sangat mendukung kegiatan ini. Gino menuturkan guru dalam melakukan pelayanan pendidikan harus lebih berwarna di sekolah.

Bukan hanya baca tulis saja, melainkan sekolah adalah pusat kebudayaan. Hal ini menuntut guru mampu menawarkan media pembelajaran yang menyenangkan, salah satunya dengan kegiatan teater sebagai perangsang dalam merespons materi pembelajaran.

Selain itu juga teater bisa dijadikan sarana menahan gempuran penyimpangan-peyimpangan yang dilakukan pelajar dengan memperbanyak kegiatan positif, misalnya saja kegiatan ekstrakurikuler yang salah satunya bermain teater. (MG14/S-2)

Sumber: Lampung Post, Senin, 14 Februari 2011

February 13, 2011

Apa Kabar Megaproyek JSS?

Oleh Chairullah Gultom

MENGAPA jadwal pemancangan tiang pertama jembatan Selat Sunda (JSS) molor terus tanpa kepastian? Jawabannya sederhana, pemimpin kita kurang memahami bagan alur proses pembangunan, serta gamang dan gagapnya para staf dalam mengemukakan pendapatnya.

Seorang junior kami yang berprofesi sebagai konsultan teknik menanyakan kepada saya: Bang apakah JSS dapat dimulai pembangunannya pada tahun ini? Secara guyon dan sekenanya pertanyaan tersebut kami tanggapi, kenapa hal tersebut ditanyakan kepada Abang, kan sebaiknya ditanyakan saja kepada rumput yang bergoyang.

Junior kami tersebut menanyakan lagi lagi dengan lebih serius.

Bang, sedikit banyaknya kan Abang pernah menjadi perencana, pelaksana dan pemimpin proyek infra struktur dengan skala besar, serta beberapa kali pula menghadiri pertemuan pembahasan JSS pada saat Prof. Habibie menjadi Menristek/Ketua BPPT sekitar tahun 1997.

Saya jawab lagi, kalau ya, kenapa? Akhirnya junior kami tersebut menyampaikan keluhannya, para pemimpin kita saat ini seperti tidak memahami dengan baik manajemen pembangunan, sehingga masyarakat dijejali dengan informasi yang berubah-ubah berkaitan dengan jadwal pemancangan tiang pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan JSS. Semula pemancangan tiang pertama akan dilaksanakan pada 2010, berubah menjadi tahun 2011, dan mungkin akan berubah lagi.

Sebagai seniornya, saya berkewajban untuk memberikan pencerahan kepada junior kami yang sedang sewot dan mengeluh tersebut, tanpa berniat menggurui dan menyalahkan siapa pun.

Sebelum saya memberikan pencerahan, kami melakukan kesepakatan terlebih dahulu dengan tentang terminologi atau pengertian "pemancangan tiang pertama" dalam pembangunan infrastruktur/konstruksi.

Kami sependapat untuk mengartikannya bahwa pemancangan tiang pertama atau peletakan batu pertama adalah suatu momen yang bersifat seremonialitas sebagai tanda dimulainya kegiatan konstruksi suatu proyek pembangunan; dilaksanakannya acara tersebut setelah seluruh kegiatan pendahuluan dan kegiatan persiapan selesai dilaksanakan, seluruh kegiatan mengikuti bagan alur proses pembangunannya.

Pada kesempatan kami mendapatkan kuliah dari Prof. Hyckling di Institute Hydraulic Engineering (IHE) Delf Belanda dalam mata kuliah Proyek Management sekitar 1985, beliau mengajarkan bahwa manajemen itu adalah ilmu (science), seni (art), dan teknik (technique). Manajemen sebagai ilmu dan seni sudah sering kita mendengarnya, tapi manajemen sebagai suatu teknik merupakan hal yang baru bagi saya pada waktu itu.

Manajemen pembangunan sebagai suatu teknik ternyata adalah suatu metode pengelolaan pola pikir yang dilakukan secara rasional dan utuh dalam suatu alur yang teratur dan terukur, yang dimanifestasikan dalam bentuk bagan alur pembangunan.

Untuk proyek-proyek infrastruktur yang sederhana dapat disusun dalam bentuk barchart yang mengambarkan hubungan kegiatan dan waktu; pada proyek-proyek yang lebih rumit dapat dipergunakan networks planing atau critical part Of method (CPM) atau dalam bentuk lainnya.

Pencerahan yang kami berikan kepada junior kami dalam bentuk bagan alur proses pembangunan sebagai berikut:

Pertama, kegiatan awal yang mendahului pembangunan suatu proyek adalah kegiatan survei (S) dan investigasi (I); hasil dari kedua kegiatan tersebut dikenal secara umum sebagai prafeasibility study dan feasibility study (FS). FS atau studi kelayakan adalah suatu kajian untuk mengetahui suatu proyek layak atau tidak layak untuk dibangun.

Studi kelayakan tersebut haruslah mengambarkan secara lengkap dan komprehensif terhadap hal-hal yang bersifat teknis, ekonomi, hukum, sosial, kewilayahan, lingkungan dan lain-lainnya yang berhubungan.

Semua kita menginginkan pembangunan JSS tersebut sukses adanya dan tidak menginginkan JSS menjadi sebuah proyek yang megamubazir dan gagal teknologi. Seperti kita ketahui bahwa belum pernah di dunia ini dibangun sebuah jembatan sepanjang dan serumit JSS, terletak pada Selat Sunda yang merupakan jalur lalu lintas internasional, daerah patahan/tektonik serta vulkanik yang sangat aktif (GAK).

Studi kelayakan untuk megaproyek sekelas JSS haruslah dilaksanakan oleh para ahli di bidangnya (expert) yang telah memunyai pengalaman yang cukup panjang di bidang pembangunan yang sejenis; para expert tersebut haruslah menjunjung tinggi sikap profesionalisme/tidak ada konflik kepentingan.

Untuk megaproyek seperti JSS yang akan melibatkan investor asing/internasional dalam pendanaan pembangunannya, FS tersebut seharusnya dilakukan oleh suatu konsorsium konsultan internasional yang joint association dengan konsultan dalam negeri dalam rangka transfer ilmu pengetahuan.

Apabila FS tersebut dilaksanakan konsultan dalam negeri saja melalui penunjukan langsung (direct appointment) tanpa ada term of reference (TOR) yang jelas terhadap para expert yang akan direkrut untuk mengerjakan FS tersebut, akan sulit bagi kita meyakinkan calon investor asing untuk memercayai FS tersebut dan tentu akan sulit pula untuk mendapatkan investornya.

Untuk melaksanakan FS tersebut di atas diperkirakan membutuhkan waktu sekitar lima tahun, yang mencakup penyusunan TOR, rekrutmen, dan mobilisasi para expert, pengumpulan data-data awal, pendalaman terhadap data yang ada dan lapangan, analisis setiap kondisi, pradesain konstruksi, analisis ekonomi (benefit cost ratio dan internal rate of return), dan lain-lain.

FS akan mencakupi jembatan dan viaduk JSS, jalan tol, jalan kereta api, dan pengembangan/pembangunan wilayah serta infrastruktur lainnya yang akan mendukung nilai ekonomi pembangunan JSS sebagai suatu kesatuan yang utuh. FS harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi karena kegiatan yang satu dan lainnya akan saling memengaruhi.

Kedua, setelah FS selesai dan bila JSS tersebut dinyatakan layak (feasible), detailled engineering design (DED) dapat dimulai. DED adalah suatu kegiatan perencanaan teknis secara detail terhadap seluruh konstruksi yang akan dibangun, seperti beberapa Jembatan Gantung dan viaduk spanjang 29 km yang menghubungi Pulau Jawa dan Pulau Sumatera yang melalui Pulau Ular—Pulau Sangiang—Pulau Prajurit sampai dengan Ketapang di sekitar Bakauheni dan pembangunan tol antara Anyer/Ciwedan—Cilegon di Jawa, Ketapang, Bandar Lampung dan Metro di Lampung, Jalan Kereta Api Ketapang—Bandar Lampung dan lain-lainnya.

Pengadaan/rekrutmen konsultan perencana untuk DED sekelas JSS biasanya dilaksanakan melalui tender internasional atau international competitive bidding ( ICB ); melihat skop pekerjaannya tender ICB untuk DED memerlukan waktu sekitar dua tahun.

Di samping perencanaan teknis rinci, DED akan mencakupi pula pembuatan spesifikasi teknis, perkiraan biaya konstruksi, sumber material yang akan digunakan, gambar situasi dan luas lahan yang perlu dibebaskan. Pendataan kepemilikan tanah, bangunan dan tanam tumbuh akan dilaksanakan oleh tim yang dibentuk kemudian oleh pemerintah.

Mengingat cakupan DED sedemikian luasnya dan diperlukan tenaga ahli yang cukup banyak dengan multidisiplin ilmu, seluruh DED (termasuk ICB) diperkirakan baru rampung 5—6 tahun.

Ketiga, setelah DED selesai, pembebasan tanah (land acquisition/LA) dapat dimulai. Pembebasan tanah sebaiknya ditangani pemerintah; pada umumnya investor (dalam/luar negeri) keberatan menanamkan modalnya sepanjang pembebasan tanah belum selesai.

Dari pengalaman yang terjadi pada pembangunan proyek infrastruktur skala besar, pembebasan tanah merupakan penghambat terbesar; regulasi tentang pembebasan tanah untuk kepentingan umum dalam bentuk undang undang perlu disegerakan. Seluruh pembebasan tanah (LA) diperkirakan baru dapat diselesaikan dalam 7—8 tahun.

Keempat, setelah DED dan LA selesai dan investor yang mendanai JSS tersebut didapatkan, pelaksanaan konstruksi dapat dimulai. Mengawali pelaksanaan konstruksi biasanya dilaksanakan pemancangan tiang pertama atau peletakan batu pertama.

Pelaksanaan konstruksi terhadap jembatan, jalan tol, jalan kereta api serta pembangunan/pengembangan wilayah dan lain-lainnya dapat dilakukan secara bersamaan (simultaneous program) agar masa pelaksanaannya lebih singkat dan pemanfaatannya dapat lebih cepat.

Kelima, apabila sebagian pelaksanaan konstruksi tersebut selesai dibangun dan telah dapat dimanfaatkan, hasil pelaksanaan konstruksi tersebut dapat mulai dioperasikan (O)/dimanfaatkan. Akibat pengoperasiannya, pekerjaan maintenance (M) mulai dilaksanakan.

Sehubungan dengan pencerahan ringkas kami tersebut di atas terlihat Junior kami manggut-manggut dan secara cerdas merangkum sendiri pencerahan yang kami sampaikan.


1. Berdasarkan bagan alur proses pembangunan tersebut diatas maka bagan alur kegiatan pembangunan secara berurutan menjadi survei, investigasi, desain, pembebasan tanah, konstruksi, operasional, dan perawatan.

2. Berdasarkan jadwal waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap kegiatan dalam bagan alur tersebut, pemancangan tiang pertama sebagai awal dimulainya pelaksanaan konstruksi baru dapat dilakukan sekitar 2026 atau lima belas tahun yang akan datang. Itu pun terjadi sekiranya FS mulai dikerjakan dan hasilnya menyatakan bahwa JSS layak untuk dilaksanakan. Sampai dengan saat ini FS tersebut belum dilaksanakan.

3. Publikasi dan informasi yang disampaikan kepada publik oleh para pemimpin mengenai pemancangan tiang pertama megaproyek JSS sebaiknya dihentikan dan secepatnya mengkaji kembali seluruh kebijakan pemerintah.

4. Kekeliruan dalam memberikan informasi tentang jadwal pembangunan JSS dapat menimbulkan efek negatif terhadap penyusunan dan pelaksanaan program pembangunan jangka menengah dan jangka panjang bidang perhubungan yang menghubungkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa; peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana perhubungan dan unsur pndukungnya dijalur tersebut akan menjadi stagnant, demikian juga dengan pengembangan wilayahnya.

Chairullah Gultom, Mantan Ketua KPU, Kadis PU, Asisten II Pemprov Lampung

Sumber: Lampung Post, Senin, 14 Februari 2011

Kopi Luwak dari Gang Pekonan

DENGAN hidungnya yang basah berair, Wingky mengendus buah kopi nan merah dan ranum dari piring besi yang disodorkan Gunawan. Gerakannya agresif, agak beringas dan tak bisa diam, menunjukkan tabiat hewan liar yang masih membekas pada musang yang populer disebut luwak ini.

”Ayo Wingky, ck ck ck ck,” bujuk Gunawan. Ia pun meraup buah kopi dan menyorongkannya langsung kepada Wingky yang kepalanya menjulur dari pintu pada kandang berukuran sekitar 1 meter X 1,5 meter itu.

Ritual makan buah kopi berlangsung di malam hari. Sementara siang hari musang diberi makan pisang dan kadang dikombinasi dengan asupan daging seperti bekicot dan ikan. Sekali-sekali musang pun diberi susu. Kandangnya pun harus selalu bersih karena ketika hidup liar di kebun kopi, musang hanya akan membuang feses (kotoran) pada tempat yang bersih.

Musang juga harus dikandangkan sendiri-sendiri karena cenderung saling menyerang. Bila musang luka, luka tersebut biasanya jarang sekali bisa sembuh sehingga bisa berakhir dengan kematian.

Musang yang dahulu dianggap hama karena menyerang ayam di perkampungan kini menjadi hewan berharga yang diburu. Biaya pemeliharaannya pun tak murah. Di sejumlah rumah di kawasan Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat, mereka yang memiliki modal kecil mungkin hanya memiliki empat musang. Namun, yang bermodal lebih besar bisa memiliki 15 hingga 25 musang.

Industri rumah tangga ini sebagian besar berada di Gang Pekonan. Mereka adalah Gunawan S, mantan pengelola parkir yang kini mengemas kopinya dengan merek dagang Raja Luwak; Sapri, mantan petani sayuran, dengan merek Ratu Luwak; dan Sukardi dengan merek Kupi Musong Liwa. Di mulut gang itu masih ada lagi merek Duta Luwak Brother’s Link yang dimiliki Mega Setiawan.

Cara memelihara musang hingga pemasaran dijalankan lewat percobaan jatuh bangun. Mereka berjalan dengan yakin atas kepopuleran kopi luwak sebagai minuman yang telah mendunia. Di Jakarta, harga kopi luwak bisa mencapai Rp 89.000-Rp 100.000 per gelas. Sementara di pasar internasional harga kopi luwak bisa menembus Rp 7 juta-Rp 32 juta per kilogram.

Tak hanya diseduh langsung oleh Oprah Winfrey dalam acara talk show-nya pada Oktober 2003, pengakuan juga datang dari majalah Forbes dan Guinness Book of Records yang menyatakan kopi luwak sebagai kopi termahal di dunia.

(Lasti Kurnia/Yulvianus Harjono)

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Februari 2011

Musik Indie: Tak Penting di Bawah Label Besar

BANDAR LAMPUNG—Band indie Lampung hendaknya jangan hanya berorientasi menyandang predikat band major label sebagai tujuan utama. Menjadi raja di perhelatan musik lokal pun bisa berkembang dengan baik.

"Besar itu tidak harus berorientasi nasional atau label, tapi bagaimana mengedepankan kualitas dan menjadi raja di daerah sendiri," kata Ahmad Sobari, penanggung jawab program Djadin Production di sela-sela acara festival musik di pelataran parkir GM Musik, Jalan Gadjah Mada, Tanjungkarang Timur, Bandar Lampung, Sabtu (12-2).

Menurut Sobari, tidak ada perbedaaan antara band major label dan indie. Tapi bagaimana kualitas bermain musik. "Sebenarnya banyak band indie Lampung yang berkualitas, tapi masih berorientasi label," kata Sobari.

Dia tidak menyangkal kebutuhan band terhadap manajemen rekaman sangat besar. Berada di bawah naungan label, kata Sobari, band punya manajemen dalam pengembangan bakat dan sisi komersial. "Namun di Lampung belum ada label rekaman berskala nasional," kata Sobari.

Namun, bagi Manajer Promosi Kafe Babe, Awan, band indie Lampung lebih maju karena tidak hanya menguasai dan mengatur musik, tetapi mengetahui karakter suara dengan baik. Sayangnya, masih minim tempat untuk menyalurkan bakat dan potensinya.

Itu sebabnya, sejak setahun terakhir, pihaknya mencoba memfasilitasi dan menjadi wadah bagi band indie untuk bisa tampil dan mengasah kemampuan bermain musik. "Kami mencoba bekerja sama dengan band indie dengan menyediakan tempat untuk dapat tampil. Saat ini ada lebih dari 20 band yang aktif tampil di sini (Kafe Babe, red)," kata Awan.

Dalam seminggu, yakni setiap Kamis, Sabtu, dan Minggu, disediakan khusus untuk penampilan band indie. Satu kali acara, kata Awan, ditampilkan minimal lima grup. "Tidak ada syarat khusus, semua band bisa tampil di sini. Tapi harus layak tampil karena untuk menghibur pengunjung," kata Awan.

Panggung lain yang dapat dimanfaatkan, menurut Sobari, adalah ajang festival. Pada festival yang digelar kemarin, misalnya, ada enam band indie yang tampil, di antaranya Vulture band, Five Daung, Sunrise, dan Four boys. Menurut Sobari, pihaknya menghadirkan festival musik khusus indie setiap dua minggu sekali. "Semua band bisa ikut festival ini. Syaratnya tidak sulit, cukup punya lagu sendiri," ujar dia.

Menurut Sobari, hingga saat ini yang tergabung dalam Top Chart program Unjuk Gigi ada 25 band indie. Mayoritas grup masuk dapur rekaman dan membuat videoklip meski sebatas muatan lokal. (MG18/R-3)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Februari 2011

Berkibar di Pentas ‘Indie’

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Jalur indie kini menjadi pilihan berekspresi dan pentas mengibarkan panji musik. Namun, idealisme itu masih dibayangi budaya arus utama.

JALUR ‘INDIE’. Sejumlah musisi band indie meneriakkan ekspresi kebebasan usai mengisi acara di Cafe Babe, Bandar Lampung, Jumat (11-2) malam. Jalur ini bukan kelas dua, tapi sebagai pilihan untuk bebas berekspresi dan tidak bergantung pada perusahaan rekaman musik. (LAMPUNG POST/IKHSAN)

Geliat musik indie di Bumi Ruwa Jurai yang bergema sejak 2005, mengantarkan sejumlah nama ke pentas nasional. Sebut saja, Kangen Band dan Hijau Daun. Kini, Lampung tak lagi dicap sebagai gudang musik kampung.

Sekumpulan anak muda Lampung yang mengusung jalur indie juga tinggal menunggu waktu berkibar di pentas nasional, seperti Apolo Band, StereoKim, Tanya Band, The Pencil Band, The Krotjo, dan Olive Band. Aliran musik yang dipilih mulai pop country, pop alternatif, power pop, hingga jazz.

Menurut pemain bas Olive Band, Heri, Lampung memiliki potensi band yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Grup musik beraliran power pop yang digawangi Elly pada vokal, Oky (gitar), Heri (bas), dan Joy (drum) ini dua kali menjadi finalis A Mild Contest Regional Lampung-Palembang dan menjadi finalis LA Lighht Regional Jakarta. "Kami menciptakan 30 lagu," kata Heri di Kafe Babe Way Halim, Bandar Lampung, Jumat (11-2) malam.

Band indie lainnya, The Krotjo, tidak kalah berprestasi. Band yang digawangi Reno pada vokal dan lead guitar, Rio (rhythm), Aulia (drum), dan Andre (bas) ini pernah masuk 10 besar Remz Produkction, 10 besar Sumatera XL Indispired, dan Best Guitar Country Sound of Adventure. "Lagu kami ada di album kompilasi dan RBT dari 10 band se-Sumatera," kata Reno.

Band yang didirikan pada 4 Mei 2007 ini bermula dari nol. Mengawali karier dengan kemampuan minim, membawa The Krotjo menjadi salah satu band indie Lampung yang disegani. "Intinya, jangan malu mengekspresikan aksimu," kata Aulia, cewek drumer The Krotjo.

Umumnya, band indie terbentuk karena kesamaan hobi bermusik. Pop Garden, pendatang baru yang digawangi Saskia pada vokal, Andi (gitar) Boim (drum), Arif (keyboard) dan Wisnu (bas), misalnya, terbentuk dari hobi para personel. Meskipun tidak menampik tujuan utama mendapatkan penghasilan dan popularitas di bidang musik, mayoritas band indie Lampung berorientasi pada pengembangan bakat dan menyalurkan hobi bermusik.

"Tampilkan dulu yang terbaik, baru berpikir penghasilan. Kami bangga bisa menghibur masyarakat Lampung," kata Andi, gitaris Pop Garden.

Pilih Jalur ‘Indie’

Mengusung idealisme bermusik di jalur indie bukan dominasi para pemula. Lepas dari label besar, juga menjadi tren band arus utama sekelas Kla Project. Pentolan Kla Project, Katon Bagaskara, mengaku memilih jalur indie demi kebebasan bermusik.

"KLa kembali ke indie. Masih banyak yang menganggap indie adalah pelarian atau kelas dua. Bagi kami, ini jalan alternatif. Lewat indie, kami menemukan kebebasan bermusik," kata Adi, personel Kla, pada persiapan konser Exellentia di Hotel Novotel, Bandar Lampung, Jumat (11-2).

Katon mengatakan banyak perbedaan di bawah perusahaan label. Indie menurutnya adalah jalan kebebasan. Musisi sebagai seniman memiliki kebebasan berkarya. "Biarlah karya seni menjadi seni itu sendiri," kata Katon.

Menurut dia, kontrak dan perjanjian dengan major label tidak pernah bisa memberi keuntungan yang adil antara perusahaan rekaman dan musisi. Major label tidak pernah berpikir perkembangan band di bawah naungannya.

Mereka berinvestasi selama musik yang dimainkan diterima pasar. Jika tak berpoduktif, akan ditinggalkan. "Sampai kapan pun musisi dalam posisi yang diirugikan," kata Katon. (MG18/MG14/R-3)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Februari 2011