Berikut adalah para penulis (yang menggunakan by line) yang tulisannya ter-cover oleh ulun lampung hingga 31 Desember 2007.
Aan Kridolaksono, wartawan Lampung Post
Abdul Wahab, Peneliti Bahasa
Achmad Faizal, Reporter Indosiar
A. Ichlas Syukurie, Editor pada Penerbit Matakata
Agus Utomo, Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila, Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung
Ahmadun Yosi Herfanda, Penyair, Wartawan Republika
Andreas Harsono, Wartawan, Ketua Yayasan Pantau
Anton Kurniawan, Pencinta sastra. Bergiat di Sanggar Komunitas Akasia SMA Negeri 1 Abung Semuli, Lampung Utara
Asaroeddin Malik Zulqornain, Sastrawan
Asarpin, Bergiat di Sastra 147 Lebakbudi, Lampung
A.S. Wibowo, .....
B Josie Susilo Hardianto, Wartawan Kompas
Budi Hutasuhut, Wartawan Lampung Post
Budisantoso Budiman, Wartawan LKBN Antara
Dian Anggraini, Staf Pembinaan Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Endri Y., Ketua Seni Budaya PW Pemuda Muhammadiyah Provinsi Lampung
Eri Anugerah, Wartawan Media Indonesia
Erwan Suryanegara bin H Asnawi, perupa
Erwin Nizar T., Bupati Lampung Barat (sekarang mantan)
Esti Malasofia, Editor
Fachruddin, Peneliti Kebudayaan Independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung
Fina Sato, lahir di Subang 16 Februari 1984. Menulis cerpen, naskah drama, esai, sajak, dan membuat “drawing”. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung. Aktif di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI Bandung, MnemoniC-gank mnuliz-, Komunitas Selasar, Komunitas Babad Bumi, Komunitas Ruang Aksara, dan Komunitas Anak Malam Independen.
Firdaus Augustian, Peminat masalah kebudayaan
Frans Sartono, Wartawan Kompas
Haji Munawarah, Wartawan Teknokra
Helena F Nababan, Wartawan Kompas
Ilham Djamhari, Wartawan Media Indonesia
Irfan Anhory (Batin Kesuma Ningrat), Drs. H., Penyimbang Pekon Sukabanjar, Gunung Alip, Kabupaten Tanggamus, peminat masalah agama dan kebudayaan
Iskandar GB, aktor dan peneliti teater pada Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung.
Iswadi Pratama, Penyair
Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan
Juwendra Asdiansyah, Editor, Jurnalis Seputar Indonesia
Maman S Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok
Maria Hartiningsih, Wartawan Kompas
M Arief Mahya, KH, Ulama, tinggal di Bandar Lampung
Mohd Isneini, Dosen Jurusan Teknik Sipil Unila
Muhajir Utomo, Guru Besar Unila dan Ketua Umum DPP PATRI
Muhammad Ma'ruf, Wartawan Teknokra
Mukhammad Isnaeni, Staf Pembinaan Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Mustaan, Wartawan Lampung Post
Nanang Trenggono, Dosen FISIP Universitas Lampung
Ninuk Mardiana P, Wartawan Kompas
Rahmat Sudirman, Wartawan Lampung Post
Oyos Saroso H.N., Jurnalis The Jakarta Post, Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta
Pulung Swandaru, Perupa
Sarip, Alumnus Fakultas Hukum Unila 2007
Siswoyo, Wartawan Teknokra
Sunardi, Guru SMA Negeri 9 Bandar Lampung, Alumnus FKIP Unila
Syafnijal Datuk Sinaro, wartawan Sinar Harapan
Teguh Prasetyo, Wartawan Lampung Post
Udo Z. Karzi, Sastrawan
Yulia Sapthiani, Wartawan Kompas
Zulkarnain Zubairi (lihat: Udo Z. Karzi)
December 31, 2007
December 30, 2007
Catatan Akhir Tahun: Puisi Membuat Lampung Lebih Berharga
-- Teguh Prasetyo
PROVINSI Lampung kerap disebut oleh para penyair di Indonesia sebagai negerinya para penyair. Sebab, di daerah ini, sejak era 80-an lahir banyak penyair yang sudah mendobrak pentas nasional dengan karyanya. Bahkan, di era 90an akhir dan tahun 2000-an awal, mulai bermunculan para penyair muda yang notebene perempuan dari Lampung.
Fenomena ini tentu saja sangat menarik untuk menjadi perhatian. "Geliat dunia sastra di Lampung sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Saat itu eranya AM Zulkarnaen dan Isbedy Stiawan ZS. Kemudian disusul Iwan Nurdaya Djafar," kata Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka.
Setelah itu, di era awal tahun 1990-an, kata Syaiful muncul berbagai nama yang berasal dari kampus seperti Iswadi Pratama, AJ Erwin, Panji Juperta Utama. "Kemudian masa mereka dilanjutkan dengan kemunculan Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga. Lalu terdapat Lupita Lukman, Anton Kurniawan, Hendri Rosevelt, hingga yang terbaru adalah Fitri Yani."
Penyair Ari Pahala Hutabarat menilai penyair-penyair yang baru, bisa dikatakannya yang paling menonjol karyanya dibandingkan dengan para penyair muda Lampung lainnya yang saat ini mulai bermunculan adalah Lupita Lukman, Anton Kurniawan, dan Hendri Rosevelt. "Ketiganya merupakan penyair muda yang paling berbakat. Ini bisa dilihat dari kuantitas karyanya yang bisa dilihat di berbagai koran daerah dan nasional secara kontinyu. Sehingga menyebutnya sebagai trisula penyair muda."
Selain dari segi kuantitas karya yang banyak tersebar, menurut Ari, karya ketiga penyair muda ini bisa dikatakan sangat berkualitas. "Sebab memang dalam melakukan pemilihan penyair muda yang bisa dimasukan dalam trisula penyair muda, kami juga mempertimbangkan kualitas karya yang dihasilkan. Jadi tidak semata-mata kuantitasnya yang banyak menyebar di berbagai media," katanya.
Namun memang kemunculan penyair perempuan asal Lampung di pentas nasional tidaklah lepas dari seorang Inggit Putria Marga. Cerpenis, M.Arman AZ, mengemukakan bahwa Inggit merupakan pioner penyair perempuan di Lampung dikancah dunia sastra nasional. "Karena dengan Inggit akhirnya sekarang ini mulai bermunculan penyair-penyair perempuan Lampung yang karyanya dimuat di media nasional dan mampu berbicara di pentas bertaraf nasional hingga internasional."
Bahkan, penyair yang juga seorang jurnalis, Oyos Saroso mengatakan, Inggit bisa dikatakan sebagai penyair perempuan yang berkarakter kuat di Indonesia. "Pada akhir 90-an dan awal 2000-an, banyak pembuat puisi perempuan yang tidak kuat. Paling tercatat Dorothea, dan dia pun menurut saya mengembangkan puisi Sapardi. Dan, Inggit termasuk yang kuat."
Menurut dia, awal berkaryanya, Inggit melahirkan puisi-puisi yang pendek-pendek saja. "Namun akhirnya entah ikut trend atau tidak, akhirnya mulai menulis puisi panjang. Tapi kelebihan Inggit, dia sama sekali tidak kedodoran atau menjadikan puisinya menjadi seperti prosa yang saat ini banyak bermunculan di media massa. Makanya saya melihat bahwa Inggit sudah memiliki pola tersendiri yang sangat Inggit," ujarnya.
Bahkan, Oyos berani mengatakan bahwa untuk penyair seangkatan Inggit, dia adalah yang terbaik. "Inggit sudah memiliki pola ucap tersendiri, kuat, dan berdasarkan penilaian subyektifnya, saya sangat mudah untuk menikmati puisi karyanya. Menjadi pertanyaan bisakah dia memiliki nafas panjang setelah menikah dan menyelesaikan urusan dosmetiknya?"
Selain itu juga, Oyos mengatakan bahwa karya Inggit memang layak dibicarakan. Karena selain tipografi puisinya yang cantik, juga sebagai penyair perempuan, dia telah memberikan warna lain bagi peta perpuisian Indonesia, meski pada awalnya masih samar terhalang pendahulunya namun kemudian sudah menancap jelas. Malahan dikemukakan dia, Inggit termasuk penyair Indonesia yang masih memperhatikan semantik dan gramatika.
Kultur Kepenyairan Lampung
Syaiful Irba Tanpaka mengatakan, maraknya dunia kepenyairan di Lampung ini disebabkan kultur kepenyairan yang sangat bagus yang terbangun di Lampung. "Ini tidak lain dikarenakan adanya penyair yang ditokohkan, yakni Isbedy Stiawan ZS yang hingga saat ini masih terus melahirkan karyanya. Kondisi ini memberikan motivasi tersendiri bagi para penyair untuk bisa mengejarnya."
Kondisi ini sangat berbeda di era Syaiful. "Dulu ketika di masa saya, yang menjadi patron atu panutan adalah mereka penyair asal luar daerah. Kami waktu itu hanya berpatron para penyair luar yang karyanya dimuat di media massa nasional," kata Syaiful.
Bahkan, dia mengatakan bahwa keadaan tersebut bisa ditemui di Padang. "Di sana culture kepenyairannya sudah sangat berkembang dikarenakan memang banyak sekali terdapat penyair yang menjadi tokoh karena sudah banyak bermunculan di pentas nasional. Makanya, dimana ada tokoh yang sudah bertaraf nasional, bahkan internasional, bisa dipastikan akan tumbuh subur dunia kepenyairannya."
Hal itupun dibenarkan Inggit Putria Marga. Peraih penghargaan puisi terbaik Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 2006 serta juara pertama Karya Cipta Puisi Peksiminas tahun 2004 dan juara kedua puisi Krakatau Award 2004 ini mengatakan bahwa proses kreatif dalam menulis puisi diawali sejak tahun 2000.
"Ketika itu saya mengikuti workshop penulisan puisi di UKMBS yang menghadirkan empat pembicara Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan ZS, Ahmad Yulden Erwin, dan Ari Pahala Hutabarat. Di situlah saya mulai bersentuhan dengan puisi. Karya pertama saya langsung dimuat di Harian Umum Lampung Post."
Dia mengatakan, keempat penyair itulah yang kemudian menjadi salah satu 'semangat' untuk melahirkan karya-karya puisinya. Setelah itu, begitu banyak karya puisinya yang menghampar bebas di berbagai media massa, baik nasional maupun daerah seperti Kompas, Media Indoensia, Koran Tempo, Horizon, Republika, dan Pikiran Rakyat. Ditambah lagi dengan termuatnya puisi karyanya dalam berbagai buku antologi puisi seperti Living Together (TUK, Jakarta), Gerimis Dalam Lain Versi" (DKL), Konser Ujung Pulau (DKL), Gemilang Pesona Musim, Narasi dari Pesisir (DKL), Surat Putih 2 (Risalah Badai, Jakarta), dan 142 Penyair Menuju Bulan (Banjarmasin).
Pengalaman yang sama juga dialami oleh penyair Jimmy Maruli Alfian yang saat ini sedang sibuk menggarap buku kumpulan puisinya, Mata Maya. Dia mengatakan bahwa karya yang kali dipublikasikan di media massa darinya ternyata bukan karya puisi. "Saya kali pertama membuat tulisan yang diperuntukkan bagi publik adalah resensi buku Cerpen Sutarji Calzoum Bachri, "Hujan Menulis Ayat". Begitu juga dengan tulisan esai mengenai Chairil Anwar dan Bung Karno. Ketika itu saya mulai banyak diberi bimbingan oleh Isbedy Stiawan ZS."
Jimmy mengakui bahwa dirinya mulai bersentuhan dengan dunia seni ketika memasuki dunia kampus dan aktif dalam UKMBS Unila. "Saya mulai melakukan aktivitas berkesenian ketika kali pertama memasuki kampus kuliah. Karena ketika itu saya mulai aktif dalam kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila. Bahkan, ketika itu saya kerap dibilang teman saya bahwa saya berkuliah di UKMBS. Tapi, ekstrakurikulernya saya di Fakultas Hukum Unila," kata Jimmy.
Namun ketika awal bersentuhan dengan dunia seni tersebut, Jimmy mengatakan kalau dirinya lebih awal bersentuhan dengan dunia teater. "Barulah kemudian setelah berinteraksi dengan banyak banyak teman-teman seperti Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, Muhammad Yunus, dan lainnya, saya mulai bersentuhan dengan dunia sastra," ujarnya.
Di samping itu, membangun culture kepenyairan juga bisa dilakukan dengan melakukan roadshow ke kampus dan sekolah-sekolah. Salah satunya yang dilakukan Syaiful Irba Tanpaka yang memperkenalkan buku terbarunya yang berjudul "Karena Bola Matamu" yang diterbitkan Bukupop Jakarta. Pada kegiatannya ini, Syaiful tidak hanya menghadirkan para pelajar yang membacakan puisi karyanya, tetapi juga menghadirkan para penyair Lampung lainnya untuk membedah puisi karyanya itu.
Roadshow-nya dilakukan di 15 sekolah, yakni diawali dari SMA di Bandar Lampung, antara lain SMA Taman Siswa, SMAN 11, SMAN 3, SMAN 10, dan SMA Perintis. Kemudian SMAN 1 Gadingrejo, Tanggamus, SMAN 1 Gunungsugih (Lampung Tengah), SMAN 1 Menggala (Tulangbawang), SMAN 2 Kalianda (Lampung Selatan), dan SMAN 3 Kotabumi, Lampung Utara. Lalu STKIP Muhammadiyah Kotabumi, Universitas Muhammadiyah Metro, Perguruan Tinggi Teknokrat, STMIK Darmajaya, dan IAIN Raden Intan, Bandar Lampung.
Kegiatan ini, menurut penyair Lampung Y. Wibowo memiliki arti penting karena sangat mencerdaskan dan bisa memberikan ruang yang lebih kepada pelajar untuk mengenal dunia kesusastraan terutama puisi.
Mungkin, apa yang dikatakan Goenawan Mohamad di bawah ini, bagi masyarakat awam hanyalah sebatas kalimat lalu saja. Namun ternyata bagi mereka yang menjadi penyair, bisa jadi kalimat ini bisa menjadi semacam motivator untuk terus berbuat dan berkarya dalam kerja-kerja kreatifnya guna melahirkan karya sebagai sebuah perwujudan eksistensi kepenyairannya. Boleh dikatakan, dengan puisi dan karya, penyair Lampung ingin menunjukkan kalau Lampung itu ada.
"Puisi merupakan tempat serta upaya untuk membuat sesuatu yang tampak sia-sia menjadi berharga," kata Goenawan.
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 Desember 2007
PROVINSI Lampung kerap disebut oleh para penyair di Indonesia sebagai negerinya para penyair. Sebab, di daerah ini, sejak era 80-an lahir banyak penyair yang sudah mendobrak pentas nasional dengan karyanya. Bahkan, di era 90an akhir dan tahun 2000-an awal, mulai bermunculan para penyair muda yang notebene perempuan dari Lampung.
Fenomena ini tentu saja sangat menarik untuk menjadi perhatian. "Geliat dunia sastra di Lampung sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Saat itu eranya AM Zulkarnaen dan Isbedy Stiawan ZS. Kemudian disusul Iwan Nurdaya Djafar," kata Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka.
Setelah itu, di era awal tahun 1990-an, kata Syaiful muncul berbagai nama yang berasal dari kampus seperti Iswadi Pratama, AJ Erwin, Panji Juperta Utama. "Kemudian masa mereka dilanjutkan dengan kemunculan Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga. Lalu terdapat Lupita Lukman, Anton Kurniawan, Hendri Rosevelt, hingga yang terbaru adalah Fitri Yani."
Penyair Ari Pahala Hutabarat menilai penyair-penyair yang baru, bisa dikatakannya yang paling menonjol karyanya dibandingkan dengan para penyair muda Lampung lainnya yang saat ini mulai bermunculan adalah Lupita Lukman, Anton Kurniawan, dan Hendri Rosevelt. "Ketiganya merupakan penyair muda yang paling berbakat. Ini bisa dilihat dari kuantitas karyanya yang bisa dilihat di berbagai koran daerah dan nasional secara kontinyu. Sehingga menyebutnya sebagai trisula penyair muda."
Selain dari segi kuantitas karya yang banyak tersebar, menurut Ari, karya ketiga penyair muda ini bisa dikatakan sangat berkualitas. "Sebab memang dalam melakukan pemilihan penyair muda yang bisa dimasukan dalam trisula penyair muda, kami juga mempertimbangkan kualitas karya yang dihasilkan. Jadi tidak semata-mata kuantitasnya yang banyak menyebar di berbagai media," katanya.
Namun memang kemunculan penyair perempuan asal Lampung di pentas nasional tidaklah lepas dari seorang Inggit Putria Marga. Cerpenis, M.Arman AZ, mengemukakan bahwa Inggit merupakan pioner penyair perempuan di Lampung dikancah dunia sastra nasional. "Karena dengan Inggit akhirnya sekarang ini mulai bermunculan penyair-penyair perempuan Lampung yang karyanya dimuat di media nasional dan mampu berbicara di pentas bertaraf nasional hingga internasional."
Bahkan, penyair yang juga seorang jurnalis, Oyos Saroso mengatakan, Inggit bisa dikatakan sebagai penyair perempuan yang berkarakter kuat di Indonesia. "Pada akhir 90-an dan awal 2000-an, banyak pembuat puisi perempuan yang tidak kuat. Paling tercatat Dorothea, dan dia pun menurut saya mengembangkan puisi Sapardi. Dan, Inggit termasuk yang kuat."
Menurut dia, awal berkaryanya, Inggit melahirkan puisi-puisi yang pendek-pendek saja. "Namun akhirnya entah ikut trend atau tidak, akhirnya mulai menulis puisi panjang. Tapi kelebihan Inggit, dia sama sekali tidak kedodoran atau menjadikan puisinya menjadi seperti prosa yang saat ini banyak bermunculan di media massa. Makanya saya melihat bahwa Inggit sudah memiliki pola tersendiri yang sangat Inggit," ujarnya.
Bahkan, Oyos berani mengatakan bahwa untuk penyair seangkatan Inggit, dia adalah yang terbaik. "Inggit sudah memiliki pola ucap tersendiri, kuat, dan berdasarkan penilaian subyektifnya, saya sangat mudah untuk menikmati puisi karyanya. Menjadi pertanyaan bisakah dia memiliki nafas panjang setelah menikah dan menyelesaikan urusan dosmetiknya?"
Selain itu juga, Oyos mengatakan bahwa karya Inggit memang layak dibicarakan. Karena selain tipografi puisinya yang cantik, juga sebagai penyair perempuan, dia telah memberikan warna lain bagi peta perpuisian Indonesia, meski pada awalnya masih samar terhalang pendahulunya namun kemudian sudah menancap jelas. Malahan dikemukakan dia, Inggit termasuk penyair Indonesia yang masih memperhatikan semantik dan gramatika.
Kultur Kepenyairan Lampung
Syaiful Irba Tanpaka mengatakan, maraknya dunia kepenyairan di Lampung ini disebabkan kultur kepenyairan yang sangat bagus yang terbangun di Lampung. "Ini tidak lain dikarenakan adanya penyair yang ditokohkan, yakni Isbedy Stiawan ZS yang hingga saat ini masih terus melahirkan karyanya. Kondisi ini memberikan motivasi tersendiri bagi para penyair untuk bisa mengejarnya."
Kondisi ini sangat berbeda di era Syaiful. "Dulu ketika di masa saya, yang menjadi patron atu panutan adalah mereka penyair asal luar daerah. Kami waktu itu hanya berpatron para penyair luar yang karyanya dimuat di media massa nasional," kata Syaiful.
Bahkan, dia mengatakan bahwa keadaan tersebut bisa ditemui di Padang. "Di sana culture kepenyairannya sudah sangat berkembang dikarenakan memang banyak sekali terdapat penyair yang menjadi tokoh karena sudah banyak bermunculan di pentas nasional. Makanya, dimana ada tokoh yang sudah bertaraf nasional, bahkan internasional, bisa dipastikan akan tumbuh subur dunia kepenyairannya."
Hal itupun dibenarkan Inggit Putria Marga. Peraih penghargaan puisi terbaik Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 2006 serta juara pertama Karya Cipta Puisi Peksiminas tahun 2004 dan juara kedua puisi Krakatau Award 2004 ini mengatakan bahwa proses kreatif dalam menulis puisi diawali sejak tahun 2000.
"Ketika itu saya mengikuti workshop penulisan puisi di UKMBS yang menghadirkan empat pembicara Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan ZS, Ahmad Yulden Erwin, dan Ari Pahala Hutabarat. Di situlah saya mulai bersentuhan dengan puisi. Karya pertama saya langsung dimuat di Harian Umum Lampung Post."
Dia mengatakan, keempat penyair itulah yang kemudian menjadi salah satu 'semangat' untuk melahirkan karya-karya puisinya. Setelah itu, begitu banyak karya puisinya yang menghampar bebas di berbagai media massa, baik nasional maupun daerah seperti Kompas, Media Indoensia, Koran Tempo, Horizon, Republika, dan Pikiran Rakyat. Ditambah lagi dengan termuatnya puisi karyanya dalam berbagai buku antologi puisi seperti Living Together (TUK, Jakarta), Gerimis Dalam Lain Versi" (DKL), Konser Ujung Pulau (DKL), Gemilang Pesona Musim, Narasi dari Pesisir (DKL), Surat Putih 2 (Risalah Badai, Jakarta), dan 142 Penyair Menuju Bulan (Banjarmasin).
Pengalaman yang sama juga dialami oleh penyair Jimmy Maruli Alfian yang saat ini sedang sibuk menggarap buku kumpulan puisinya, Mata Maya. Dia mengatakan bahwa karya yang kali dipublikasikan di media massa darinya ternyata bukan karya puisi. "Saya kali pertama membuat tulisan yang diperuntukkan bagi publik adalah resensi buku Cerpen Sutarji Calzoum Bachri, "Hujan Menulis Ayat". Begitu juga dengan tulisan esai mengenai Chairil Anwar dan Bung Karno. Ketika itu saya mulai banyak diberi bimbingan oleh Isbedy Stiawan ZS."
Jimmy mengakui bahwa dirinya mulai bersentuhan dengan dunia seni ketika memasuki dunia kampus dan aktif dalam UKMBS Unila. "Saya mulai melakukan aktivitas berkesenian ketika kali pertama memasuki kampus kuliah. Karena ketika itu saya mulai aktif dalam kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila. Bahkan, ketika itu saya kerap dibilang teman saya bahwa saya berkuliah di UKMBS. Tapi, ekstrakurikulernya saya di Fakultas Hukum Unila," kata Jimmy.
Namun ketika awal bersentuhan dengan dunia seni tersebut, Jimmy mengatakan kalau dirinya lebih awal bersentuhan dengan dunia teater. "Barulah kemudian setelah berinteraksi dengan banyak banyak teman-teman seperti Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, Muhammad Yunus, dan lainnya, saya mulai bersentuhan dengan dunia sastra," ujarnya.
Di samping itu, membangun culture kepenyairan juga bisa dilakukan dengan melakukan roadshow ke kampus dan sekolah-sekolah. Salah satunya yang dilakukan Syaiful Irba Tanpaka yang memperkenalkan buku terbarunya yang berjudul "Karena Bola Matamu" yang diterbitkan Bukupop Jakarta. Pada kegiatannya ini, Syaiful tidak hanya menghadirkan para pelajar yang membacakan puisi karyanya, tetapi juga menghadirkan para penyair Lampung lainnya untuk membedah puisi karyanya itu.
Roadshow-nya dilakukan di 15 sekolah, yakni diawali dari SMA di Bandar Lampung, antara lain SMA Taman Siswa, SMAN 11, SMAN 3, SMAN 10, dan SMA Perintis. Kemudian SMAN 1 Gadingrejo, Tanggamus, SMAN 1 Gunungsugih (Lampung Tengah), SMAN 1 Menggala (Tulangbawang), SMAN 2 Kalianda (Lampung Selatan), dan SMAN 3 Kotabumi, Lampung Utara. Lalu STKIP Muhammadiyah Kotabumi, Universitas Muhammadiyah Metro, Perguruan Tinggi Teknokrat, STMIK Darmajaya, dan IAIN Raden Intan, Bandar Lampung.
Kegiatan ini, menurut penyair Lampung Y. Wibowo memiliki arti penting karena sangat mencerdaskan dan bisa memberikan ruang yang lebih kepada pelajar untuk mengenal dunia kesusastraan terutama puisi.
Mungkin, apa yang dikatakan Goenawan Mohamad di bawah ini, bagi masyarakat awam hanyalah sebatas kalimat lalu saja. Namun ternyata bagi mereka yang menjadi penyair, bisa jadi kalimat ini bisa menjadi semacam motivator untuk terus berbuat dan berkarya dalam kerja-kerja kreatifnya guna melahirkan karya sebagai sebuah perwujudan eksistensi kepenyairannya. Boleh dikatakan, dengan puisi dan karya, penyair Lampung ingin menunjukkan kalau Lampung itu ada.
"Puisi merupakan tempat serta upaya untuk membuat sesuatu yang tampak sia-sia menjadi berharga," kata Goenawan.
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 Desember 2007
Teater di Bandar Lampung Mencari 'Iman' dan 'Imam'
Bandarlampung, 30/12 (ANTARA) - Dunia teater di Bandarlampung saat ini tidak mulus berkembang, diantaranya terkendala ketiadaan keyakinan diri dari pegiat teater terutama dari kelompok muda dan pemula.
"Mereka belum memiliki "iman", dan teladan atau "imam"," kata Ari Pahala Hutabarat, saat berbicara dalam Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) yang digelar Komite Teater Dewan Kesenian Kota Bandarlampung (DKKBL) di Taman Budaya Lampung, Sabtu.
Kegiatan itu merupakan bagian dari "Apresiasi dan Refleksi Seni Budaya DKKBL 2007" yang berlangsung sejak Kamis (27/12).
Selain Ari Pahala Hutabarat, sejumlah pegiat teater di Bandarlampung, juga turut dalam diskusi itu, diantaranya Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, dan D Pramudya Mukhtar.
Para seniman itu umumnya menyampaikan keprihatinan yang sama atas kondisi teater di Lampung yang belum menggembirakan.
Padahal potensi pemain teater dan pegiat teater di Provinsi Lampung lebih dari cukup. Namun umumnya hanya berkembang dan hidup setengah jalan, setelah itu luruh dan mati.
Ari Pahala menyebutkan, persoalan mendasar yang dihadapi para pegiat teater di Bandarlampung itu, antara lain ketiadaan keyakinan kuat untuk terus menunjukkan eksistensi.
"Kebanyakan pegiat teater itu, baru menghadapi kendala dan benturan masalah sedikit saja sudah enggan mengembangkan dirinya," ujar Ari.
Menurut Iswadi yang hingga kini terus berkarya teater, dunia teater di Bandarlampung dan Provinsi Lampung saat ini memerlukan figur yang intens dan konsisten dalam berkarya, dan tidak mengeluh meski dananya sedikit.
"Kerdil dan kekanak-kanakan kalau berdalih enggan lagi berteater karena menghadapi kendala serta benturan ekonomi," ujar dia.
Dunia teater Bandarlampung membutuhkan sosok sebagai "imam" atau pemimpin yang tidak mudah menyerah ketika diterpa masalah serta tidak "cengeng".
Namun, menutut Komite Teater DKKBL, M Yunus, permasalahan dunia teater
di Bandarlampung tetap harus dipetakan, agar kemudian bisa dicarikan jalan keluarnya.
"Potensi para pegiat teater yang ada cukup besar harus dioptimalkan.
Kendala serta masalah yang masih dihadapi perlu diupayakan dapat diatasi
bersama-sama," kata Yunus.
Apresiasi dan Refleksi
Mengakhiri tahun 2007, Dewan Kesenian Kota Bandarlampung (DKKBL) menggelar "Apresiasi dan Refleksi Seni Budaya DKKBL Tahun 2007", di Taman Budaya Lampung (TBL).
Pagelaran itu berisi rangkaian kegiatan dialog sastra dan teater,
lokakarya dan pameran seni rupa, serta pemutaran dan diskusi film Indie.
Ketua Harian DKKBL, Syaiful Anwar menyatakan pihaknya merasa
bertanggungjawab untuk mengembangkan seni dan budaya di Bandarlampung.
"Kegiatan ini adalah salah satu wujud pertanggungjawaban DKKBL dalam
mendukung pencanangan Kota Bandarlampung menjadi Kota Seni dan Budaya,"
kata seniman pencipta lagu daerah Lampung itu.
Acara puncak "Apresiasi dan Refleksi Seni Budaya" itu dihadiri penyair Isbedy Stiawan ZS yang membacakan dua puisinya, "Kota Sarang Laba Laba", dan "Rumah Judi". Tari Kakhot, salah satu tarian tradisional Lampung juga turut ditampilkan.
Sebelumnya, pada Kamis-Jumat (27-28/12), Komite Sastra, Komite Teater,
Komite Seni Rupa, dan Komite Film DKKBL menyelenggarakan dialog sastra dan teater, pelatihan dan pameran seni rupa, serta pemutaran dan diskusi film Indie berjasama dengan Harian Umum Lampung Post dan Harian Umum Radar Lampung.
Sumber: Antara, 29 dan 30 Desember 2007
"Mereka belum memiliki "iman", dan teladan atau "imam"," kata Ari Pahala Hutabarat, saat berbicara dalam Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) yang digelar Komite Teater Dewan Kesenian Kota Bandarlampung (DKKBL) di Taman Budaya Lampung, Sabtu.
Kegiatan itu merupakan bagian dari "Apresiasi dan Refleksi Seni Budaya DKKBL 2007" yang berlangsung sejak Kamis (27/12).
Selain Ari Pahala Hutabarat, sejumlah pegiat teater di Bandarlampung, juga turut dalam diskusi itu, diantaranya Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, dan D Pramudya Mukhtar.
Para seniman itu umumnya menyampaikan keprihatinan yang sama atas kondisi teater di Lampung yang belum menggembirakan.
Padahal potensi pemain teater dan pegiat teater di Provinsi Lampung lebih dari cukup. Namun umumnya hanya berkembang dan hidup setengah jalan, setelah itu luruh dan mati.
Ari Pahala menyebutkan, persoalan mendasar yang dihadapi para pegiat teater di Bandarlampung itu, antara lain ketiadaan keyakinan kuat untuk terus menunjukkan eksistensi.
"Kebanyakan pegiat teater itu, baru menghadapi kendala dan benturan masalah sedikit saja sudah enggan mengembangkan dirinya," ujar Ari.
Menurut Iswadi yang hingga kini terus berkarya teater, dunia teater di Bandarlampung dan Provinsi Lampung saat ini memerlukan figur yang intens dan konsisten dalam berkarya, dan tidak mengeluh meski dananya sedikit.
"Kerdil dan kekanak-kanakan kalau berdalih enggan lagi berteater karena menghadapi kendala serta benturan ekonomi," ujar dia.
Dunia teater Bandarlampung membutuhkan sosok sebagai "imam" atau pemimpin yang tidak mudah menyerah ketika diterpa masalah serta tidak "cengeng".
Namun, menutut Komite Teater DKKBL, M Yunus, permasalahan dunia teater
di Bandarlampung tetap harus dipetakan, agar kemudian bisa dicarikan jalan keluarnya.
"Potensi para pegiat teater yang ada cukup besar harus dioptimalkan.
Kendala serta masalah yang masih dihadapi perlu diupayakan dapat diatasi
bersama-sama," kata Yunus.
Apresiasi dan Refleksi
Mengakhiri tahun 2007, Dewan Kesenian Kota Bandarlampung (DKKBL) menggelar "Apresiasi dan Refleksi Seni Budaya DKKBL Tahun 2007", di Taman Budaya Lampung (TBL).
Pagelaran itu berisi rangkaian kegiatan dialog sastra dan teater,
lokakarya dan pameran seni rupa, serta pemutaran dan diskusi film Indie.
Ketua Harian DKKBL, Syaiful Anwar menyatakan pihaknya merasa
bertanggungjawab untuk mengembangkan seni dan budaya di Bandarlampung.
"Kegiatan ini adalah salah satu wujud pertanggungjawaban DKKBL dalam
mendukung pencanangan Kota Bandarlampung menjadi Kota Seni dan Budaya,"
kata seniman pencipta lagu daerah Lampung itu.
Acara puncak "Apresiasi dan Refleksi Seni Budaya" itu dihadiri penyair Isbedy Stiawan ZS yang membacakan dua puisinya, "Kota Sarang Laba Laba", dan "Rumah Judi". Tari Kakhot, salah satu tarian tradisional Lampung juga turut ditampilkan.
Sebelumnya, pada Kamis-Jumat (27-28/12), Komite Sastra, Komite Teater,
Komite Seni Rupa, dan Komite Film DKKBL menyelenggarakan dialog sastra dan teater, pelatihan dan pameran seni rupa, serta pemutaran dan diskusi film Indie berjasama dengan Harian Umum Lampung Post dan Harian Umum Radar Lampung.
Sumber: Antara, 29 dan 30 Desember 2007
Apresiasi: Teater Lampung, Masalahnya Bukan pada Fasilitas
-- Teguh Prasetyo
PERSOALAN ketiadaan leadership atau imam bagi satu grup teater menjadi satu persoalan utama yang menyebabkan mati surinya grup teater kontemporer yang ada di Kota Bandar Lampung khususnya dan Provinsi Lampung pada umumnya. Sebab, boleh dibilang sampai saat ini hanya tiga grup teater Lampung yang eksis, yakni Teater Satu, Teater Kurusetra UKMBS Unila, dan Komunitas Berkat Yakin (KoBER).
Padahal di era tahun 90-an hingga tahun 2000 awal, masih banyak dijumpai grup-grup teater modern di Bandar Lampung yang intens. Sebut saja nama Teater Kuman dengan pentolannya Edy Samudra Kertagama, Teater Jaman dengan pentolannya Sri Jalu Mampang, Forum Semesta yang dulunya terdapat Iswadi Pratama dan Juperta Panji Utama sebelum akhirnya berdiri Teater Satu, Teater Mentari, Teater Bocah, dan grup teater lainnya yang pernah eksis.
Dengan tersisanya tiga grup teater yang masih eksis berkarya hingga saat ini, tentu saja
mendatangkan satu buah pertanyaan yang sangat krusial ada apa dengan para penggiat serta grup teater tersebut? Lalu, mencari penyebab atas persoalan tersebut serta mencoba mencari solusi yang terbaik guna mengatasinya.
Hal tersebut mengemuka dalam focus group discussion yang digelar Dewan Kesenian Kota Bandar Lampung (DKKBL) yang digelar di HU Lampung Post, Kamis (27-12). Kesimpulan tersebut kemudian dijadikan acuan sebagai pembentukan kerangka kerja yang akan dilaksanakan Komite Teater DKKBL kedepannya.
Direktur Artistik Teater Satu Lampung, Iswadi Pratama mengemukakan bahwa selama ini persoalan tersebut terjadi dikarenakan bahwa banyaknya yang mengganggap bahwa seorang sutradara merupakan leader dari sebuah grup teater.
"Bahkan selama ini, konsep pemimpin grup teater yang melekat di masyarakat adalah sutradara. Akibatnya akhirnya hidup dan geraknya teater tersebut sangat bergantung pada mood dari sutradara itu sendiri," kata Iswadi.
Contohnya ketika akan melakukan pementasan satu naskah teater, maka yang menentukan adalah sutradaranya. Begitu juga dengan apa yang akan dilakukan grup teater itu sendiri kedepannya, mau seperti apa, semuanya bergantung pada otak sutradara. Padahal menurut dia, seharusnya ada satu manajemen yang tepat dalam tubuh teater tersebut.
"Tidak mungkin bagi saya untuk juga memikirkan tentang manajemen keuangan. Karena bisa saja melakukannya, karena banyak orang yang akan suka dengan itu, tetapi organisasi dipastikan tidak akan lama. Sebab, saya memiliki keterampilan dalam bidang artistik teater," ujar Iswadi lagi.
Untuk itulah, menurut Iswadi, dibutuhkan satu bentuk manajemen kepemimpinan yang baik bagi para penggiat teater ini. Paling tidak dengan adanya manajemen yang baik, maka visi dan missi dari teater akan berjalan dengan sangat baik. Bahkan, di sini pula dapat dirancang program kerja apa yang akan dilakukan oleh grup teater ini satu tahun kedepannya. Sebab, rancangan kegiatan serta target yang akan dibuat, sudah bisa terjalin.
Meskipun bisa saja, kepedulian para sutradara ini sangat besar. Namun Iswadi mempertanyakan tentang seberapa keras usaha yang dilakukan untuk mengejawantahkan keperdulian tersebut. "Bisa saja itu hanyalah sebatas obsesi dari para sutradara sendiri, karena usia kreatif seorang sutradara biasanya hanya lima tahun. Ini disebut sebagai usia puber. Karena bisa masanya sudah berlalu, maka sudah tidak ada lagi mimpi."
Selain itu juga, dia melihat bahwa selama ini, grup teater yang ada belum menjadi satu komunitas. "Grup teater yang ada belum dikelola sebagai satu organisasi atau sebagai satu kumpulan komunitas. Sebab teater dipandang sebagai satu ajang menunjukkan ekspresi semata saja."
Sedangkan Edy Samudra Kertagama menilai bahwa persoalan banyaknya grup teater di Lampung yang mengalami mati suri disebabkan masih kurangnya kepedulian tokoh teater terhadap grup-grup teater yang baru muncul. "Makanya saat ini sangat bisa dihitung dengan jari grup-grup teater kontemporer yang ada di Bandar Lampung yang masih intens dalam melakukan pertunjukan."
Walaupun diakuinya, saat ini berkembang grup-grup teater pelajar yang berkancah pada Liga Teater Pelajar yang digelar setiap tahunnya oleh Taman Budaya Lampung. "Tapi grup teater pelajar ini belum bisa menjadi satu embrio. Karena umumnya mereka yang aktif hanya sebatas kelas 1 dan 2 saja. Sedangkan ketika mereka memasuki kelas 3, maka biasanya mereka sudah berhenti untuk beraktivitas karena disibukan dengan alasan menghadapi ujian," ujarnya.
Pun hal sama juga terjadi pada kelompok teater dari kampus. Meski dibeberapa kampus lawas seperti Unila, yang sudah banyak melahirkan tokoh teater, ini tidak menjadi persoalan. "Sehingga kemudian kami membuat satu wadah Jaringan Teater Pelajar dan Mahasiswa Lampung. Namun ternyata hanya berjalan sesaat saja."
Sementara penggiat cinema Lampung yang sebelumnya juga aktif di teater, Pramudya, mengatakan bahwa teater sebagai wadah pengenalan potensi diri serta media komunikasi masih berjarak dengan penonton. "Padahal seharusnya teater ini haruslah mengikuti perkembangan zaman yang ada."
Kondisi tersebut pun dibenarkan penggiat KoBER yang juga anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) Ari Pahala Hutabarat. Dia menilai bahwa apa yang terjadi pada para penggiat teater Lampung saat ini hanyalah melakukan impolutif atau onani terhadap dirinya sendiri.
"Akhirnya teater tidak bia berbicar dan berkomunikasi dengan zamannya. Padahal event teater banyak digelar. Tidak seperti sastra, teater di Lampung belum bisa dibentuk sebagai jagad ataupun gelombang," katanya.
Selain itu juga, menurut aktivis Dongeng Dakocan Ivan Sumantri Bonang, teater hingga saat ini belum menjadi satu kebutuhan masyarakat. "Ini dikarenakan teater belum menjadi satu daya tarik. Syaratnya memang harus adanya timbal balik dengan masyarakat itu sendiri."
Karena itu Ivan sangat tidak sepakat apabila kemudian dipersoalkan masalah tempat ataupun fasilitas yang ada. Sebab masalahnya menurut dia, bukan di situ, tetapi merupakan persoalan dari daya tarik teater itu.
Namun paling tidak, ada satu kegelisahan yang amat sangat nampak dari para penggiat teater di Kota Bandar Lampung untuk bisa lebih mengembangkan dan berbuat lebih banyak demi majunya dunia teater di Bandar Lampung khususnya dan Lampung pada umumnya. Dengan begitu, ke depannya Lampung tidak hanya dikenal sebagai negeri para penyair, tetapi juga subur dan akan lahir banyak aktor-aktor serta sutradara teater andal. Semoga saja.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2007
PERSOALAN ketiadaan leadership atau imam bagi satu grup teater menjadi satu persoalan utama yang menyebabkan mati surinya grup teater kontemporer yang ada di Kota Bandar Lampung khususnya dan Provinsi Lampung pada umumnya. Sebab, boleh dibilang sampai saat ini hanya tiga grup teater Lampung yang eksis, yakni Teater Satu, Teater Kurusetra UKMBS Unila, dan Komunitas Berkat Yakin (KoBER).
Padahal di era tahun 90-an hingga tahun 2000 awal, masih banyak dijumpai grup-grup teater modern di Bandar Lampung yang intens. Sebut saja nama Teater Kuman dengan pentolannya Edy Samudra Kertagama, Teater Jaman dengan pentolannya Sri Jalu Mampang, Forum Semesta yang dulunya terdapat Iswadi Pratama dan Juperta Panji Utama sebelum akhirnya berdiri Teater Satu, Teater Mentari, Teater Bocah, dan grup teater lainnya yang pernah eksis.
Dengan tersisanya tiga grup teater yang masih eksis berkarya hingga saat ini, tentu saja
mendatangkan satu buah pertanyaan yang sangat krusial ada apa dengan para penggiat serta grup teater tersebut? Lalu, mencari penyebab atas persoalan tersebut serta mencoba mencari solusi yang terbaik guna mengatasinya.
Hal tersebut mengemuka dalam focus group discussion yang digelar Dewan Kesenian Kota Bandar Lampung (DKKBL) yang digelar di HU Lampung Post, Kamis (27-12). Kesimpulan tersebut kemudian dijadikan acuan sebagai pembentukan kerangka kerja yang akan dilaksanakan Komite Teater DKKBL kedepannya.
Direktur Artistik Teater Satu Lampung, Iswadi Pratama mengemukakan bahwa selama ini persoalan tersebut terjadi dikarenakan bahwa banyaknya yang mengganggap bahwa seorang sutradara merupakan leader dari sebuah grup teater.
"Bahkan selama ini, konsep pemimpin grup teater yang melekat di masyarakat adalah sutradara. Akibatnya akhirnya hidup dan geraknya teater tersebut sangat bergantung pada mood dari sutradara itu sendiri," kata Iswadi.
Contohnya ketika akan melakukan pementasan satu naskah teater, maka yang menentukan adalah sutradaranya. Begitu juga dengan apa yang akan dilakukan grup teater itu sendiri kedepannya, mau seperti apa, semuanya bergantung pada otak sutradara. Padahal menurut dia, seharusnya ada satu manajemen yang tepat dalam tubuh teater tersebut.
"Tidak mungkin bagi saya untuk juga memikirkan tentang manajemen keuangan. Karena bisa saja melakukannya, karena banyak orang yang akan suka dengan itu, tetapi organisasi dipastikan tidak akan lama. Sebab, saya memiliki keterampilan dalam bidang artistik teater," ujar Iswadi lagi.
Untuk itulah, menurut Iswadi, dibutuhkan satu bentuk manajemen kepemimpinan yang baik bagi para penggiat teater ini. Paling tidak dengan adanya manajemen yang baik, maka visi dan missi dari teater akan berjalan dengan sangat baik. Bahkan, di sini pula dapat dirancang program kerja apa yang akan dilakukan oleh grup teater ini satu tahun kedepannya. Sebab, rancangan kegiatan serta target yang akan dibuat, sudah bisa terjalin.
Meskipun bisa saja, kepedulian para sutradara ini sangat besar. Namun Iswadi mempertanyakan tentang seberapa keras usaha yang dilakukan untuk mengejawantahkan keperdulian tersebut. "Bisa saja itu hanyalah sebatas obsesi dari para sutradara sendiri, karena usia kreatif seorang sutradara biasanya hanya lima tahun. Ini disebut sebagai usia puber. Karena bisa masanya sudah berlalu, maka sudah tidak ada lagi mimpi."
Selain itu juga, dia melihat bahwa selama ini, grup teater yang ada belum menjadi satu komunitas. "Grup teater yang ada belum dikelola sebagai satu organisasi atau sebagai satu kumpulan komunitas. Sebab teater dipandang sebagai satu ajang menunjukkan ekspresi semata saja."
Sedangkan Edy Samudra Kertagama menilai bahwa persoalan banyaknya grup teater di Lampung yang mengalami mati suri disebabkan masih kurangnya kepedulian tokoh teater terhadap grup-grup teater yang baru muncul. "Makanya saat ini sangat bisa dihitung dengan jari grup-grup teater kontemporer yang ada di Bandar Lampung yang masih intens dalam melakukan pertunjukan."
Walaupun diakuinya, saat ini berkembang grup-grup teater pelajar yang berkancah pada Liga Teater Pelajar yang digelar setiap tahunnya oleh Taman Budaya Lampung. "Tapi grup teater pelajar ini belum bisa menjadi satu embrio. Karena umumnya mereka yang aktif hanya sebatas kelas 1 dan 2 saja. Sedangkan ketika mereka memasuki kelas 3, maka biasanya mereka sudah berhenti untuk beraktivitas karena disibukan dengan alasan menghadapi ujian," ujarnya.
Pun hal sama juga terjadi pada kelompok teater dari kampus. Meski dibeberapa kampus lawas seperti Unila, yang sudah banyak melahirkan tokoh teater, ini tidak menjadi persoalan. "Sehingga kemudian kami membuat satu wadah Jaringan Teater Pelajar dan Mahasiswa Lampung. Namun ternyata hanya berjalan sesaat saja."
Sementara penggiat cinema Lampung yang sebelumnya juga aktif di teater, Pramudya, mengatakan bahwa teater sebagai wadah pengenalan potensi diri serta media komunikasi masih berjarak dengan penonton. "Padahal seharusnya teater ini haruslah mengikuti perkembangan zaman yang ada."
Kondisi tersebut pun dibenarkan penggiat KoBER yang juga anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) Ari Pahala Hutabarat. Dia menilai bahwa apa yang terjadi pada para penggiat teater Lampung saat ini hanyalah melakukan impolutif atau onani terhadap dirinya sendiri.
"Akhirnya teater tidak bia berbicar dan berkomunikasi dengan zamannya. Padahal event teater banyak digelar. Tidak seperti sastra, teater di Lampung belum bisa dibentuk sebagai jagad ataupun gelombang," katanya.
Selain itu juga, menurut aktivis Dongeng Dakocan Ivan Sumantri Bonang, teater hingga saat ini belum menjadi satu kebutuhan masyarakat. "Ini dikarenakan teater belum menjadi satu daya tarik. Syaratnya memang harus adanya timbal balik dengan masyarakat itu sendiri."
Karena itu Ivan sangat tidak sepakat apabila kemudian dipersoalkan masalah tempat ataupun fasilitas yang ada. Sebab masalahnya menurut dia, bukan di situ, tetapi merupakan persoalan dari daya tarik teater itu.
Namun paling tidak, ada satu kegelisahan yang amat sangat nampak dari para penggiat teater di Kota Bandar Lampung untuk bisa lebih mengembangkan dan berbuat lebih banyak demi majunya dunia teater di Bandar Lampung khususnya dan Lampung pada umumnya. Dengan begitu, ke depannya Lampung tidak hanya dikenal sebagai negeri para penyair, tetapi juga subur dan akan lahir banyak aktor-aktor serta sutradara teater andal. Semoga saja.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2007
December 28, 2007
Teater: Tiga Terbaik Workshop Keaktoran Tampil di GSG STAIN Metro
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hari ini, tiga peraih gelar aktor terbaik dalam parade monolog Dewan Kesenian Lampung (DKL) 2007 tampil di workshop keaktoran dalam apresiasi monolog akhir tahun di Gedung Serbaguna (GSG) STAIN Metro.
Ketua Komite Teater DKL A. Zilalin mengemukakan hal tersebut, Kamis (27-12), dan menjelaskan aktor yang akan ditampilkan adalah yakni Ruth Marini dan Sugianto dari Teater Satu Lampung serta Robi Akbar dari Teater Hitam Putih.
"Harapan dari kegiatan ini, dengan menampilkan tiga aktor terbaik di Metro, bisa memberikan stimulan atau angin segar terhadap dunia perteateran di Kota Metro," kata Zilalin.
Menurut dia, iklim berteater di Kota Metro akan lebih hidup lagi dan bergairah. "Dipilihnya Metro sebagai kota pementasan dikarenakan letaknya yang strategis dan saat ini sudah banyaknya kelompok teater yang tumbuh dan berkembang di sana. Selain juga ini memberikan sebuah apresiasi bagi kalangan pencinta seni di Metro."
Penampilan kali ini, para aktor tetap membawakan lakon yang sama dengan kegiatan parade monolog sebelumnya. "Robi dengan lakon 'Aut' karya Putu Wijaya. Sugianto mengusung 'Kali Mati' karya Ardianata, serta Ruth Marini dengan lakon 'Wanci' karya Imas Sobariah. Sedangkan untuk narasumbernya di workshop keaktoran akan menampilkan Edy Samudra Kertagama," ujarnya.
Dia mengatakan penyelenggaraan ini lebih penting karena DKL merasa pada penyelenggaraan Parade Monolog yang lalu jumlah peserta asal kabupaten dan kota lain sangat minim. "Peserta pada kegiatan kemarin hanya berasal dari Kota Bandar Lampung. Sehingga sangat terlihat kesenjangan tingkat apresiasi yang cukup jauh."
Bila kondisi tersebut dibiarkan, kata Zilalin, ditakutkan dapat memicu kemandekan sebuah perkembangan seni teater di daerah lain. "Kenyataan ini memang cukup pahit tetapi harus diakui secara bersama-sama bahwa hal tersebut bia saja terjadi," kata dia.
Kegiatan ini digelar atas kerja sama antara Komite Teater DKL dan Komite Sastra Dewan Kesenian Metro (DKM). n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 28 Desember 2007
Ketua Komite Teater DKL A. Zilalin mengemukakan hal tersebut, Kamis (27-12), dan menjelaskan aktor yang akan ditampilkan adalah yakni Ruth Marini dan Sugianto dari Teater Satu Lampung serta Robi Akbar dari Teater Hitam Putih.
"Harapan dari kegiatan ini, dengan menampilkan tiga aktor terbaik di Metro, bisa memberikan stimulan atau angin segar terhadap dunia perteateran di Kota Metro," kata Zilalin.
Menurut dia, iklim berteater di Kota Metro akan lebih hidup lagi dan bergairah. "Dipilihnya Metro sebagai kota pementasan dikarenakan letaknya yang strategis dan saat ini sudah banyaknya kelompok teater yang tumbuh dan berkembang di sana. Selain juga ini memberikan sebuah apresiasi bagi kalangan pencinta seni di Metro."
Penampilan kali ini, para aktor tetap membawakan lakon yang sama dengan kegiatan parade monolog sebelumnya. "Robi dengan lakon 'Aut' karya Putu Wijaya. Sugianto mengusung 'Kali Mati' karya Ardianata, serta Ruth Marini dengan lakon 'Wanci' karya Imas Sobariah. Sedangkan untuk narasumbernya di workshop keaktoran akan menampilkan Edy Samudra Kertagama," ujarnya.
Dia mengatakan penyelenggaraan ini lebih penting karena DKL merasa pada penyelenggaraan Parade Monolog yang lalu jumlah peserta asal kabupaten dan kota lain sangat minim. "Peserta pada kegiatan kemarin hanya berasal dari Kota Bandar Lampung. Sehingga sangat terlihat kesenjangan tingkat apresiasi yang cukup jauh."
Bila kondisi tersebut dibiarkan, kata Zilalin, ditakutkan dapat memicu kemandekan sebuah perkembangan seni teater di daerah lain. "Kenyataan ini memang cukup pahit tetapi harus diakui secara bersama-sama bahwa hal tersebut bia saja terjadi," kata dia.
Kegiatan ini digelar atas kerja sama antara Komite Teater DKL dan Komite Sastra Dewan Kesenian Metro (DKM). n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 28 Desember 2007
Bandar Lampung Kembangkan Wisata Pendidikan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung akan mengembangkan beberapa kawasan menjadi kawasan wisata pendidikan. Hal ini untuk menunjang program pendidikan terutama tentang satwa, tanaman, dan berbagai peninggalan sejarah yang ada di beberapa kawasan wisata di Kota Tapis Berseri.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat Saad Asnawi mengatakan salah satu kawasan wisata yang akan dijadikan menjadi lokasi wisata pendidikan adalah hutan monyet yang berlokasi di Tirtosati, Sumur Batu, Telukbetung Utara. Selain itu, juga kawasan Batu Putu yang saat ini sedang dikembangkan. "Kawasan ini selain menyimpan potensi wisata satwa, juga banyak tanaman langka dan peninggalan sejarah," kata dia, Kamis (27-12).
Selain itu, kawasan tersebut sangat dekat dengan wilayah perkotaan, sehingga mudah dijangkau oleh semua kalangan. "Kita berharap kawasan ini bisa berkembang, dan para siswa dari Bandar Lampung maupun luar Lampung bisa berdatangan di objek wisata di daerah kita seperti mereka mendatangi Kebun Raya Bogor," papar dia.
Oleh karena itu, pihaknya menggandeng forum pecinta alam Lampung untuk bersama-sama meneliti habitat satwa, tumbuhan, dan berbagai peninggalan sejarah di beberapa objek wisata di Bandar Lampung. "Seperti di hutan monyet, ada gua jepang yang merupakan salah satu peniggalan sejarah," kata dia.
Di kawasan tersebut juga tumbuh salah satu tanaman langka yakni bunga bangkai (Amorphopallus titanum becc). "Di kawasan ini juga terdapat satwa langka yakni kera ekor panjang atau Macaca facilularia. Juga, terdapat gua jepang yang bercabang ke kanan dan ke kiri," kata dia.
Untuk menjadikan kawasan wisata alam sebagai kawasan wisata pendidikan, pihak Dinas Pariwisata akan memasangi setiap pohon dengan nama Indonesia dan nama Latin. "Kita juga akan mengusahakan ada pemandu yang mendampingi siswa yang berkunjung, agar mereka mendapat penjelasan lengkap mengenai setiap kawasan wisata yang mereka kunjungi," ujar dia. n UNI/S-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 28 Desember 2007
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat Saad Asnawi mengatakan salah satu kawasan wisata yang akan dijadikan menjadi lokasi wisata pendidikan adalah hutan monyet yang berlokasi di Tirtosati, Sumur Batu, Telukbetung Utara. Selain itu, juga kawasan Batu Putu yang saat ini sedang dikembangkan. "Kawasan ini selain menyimpan potensi wisata satwa, juga banyak tanaman langka dan peninggalan sejarah," kata dia, Kamis (27-12).
Selain itu, kawasan tersebut sangat dekat dengan wilayah perkotaan, sehingga mudah dijangkau oleh semua kalangan. "Kita berharap kawasan ini bisa berkembang, dan para siswa dari Bandar Lampung maupun luar Lampung bisa berdatangan di objek wisata di daerah kita seperti mereka mendatangi Kebun Raya Bogor," papar dia.
Oleh karena itu, pihaknya menggandeng forum pecinta alam Lampung untuk bersama-sama meneliti habitat satwa, tumbuhan, dan berbagai peninggalan sejarah di beberapa objek wisata di Bandar Lampung. "Seperti di hutan monyet, ada gua jepang yang merupakan salah satu peniggalan sejarah," kata dia.
Di kawasan tersebut juga tumbuh salah satu tanaman langka yakni bunga bangkai (Amorphopallus titanum becc). "Di kawasan ini juga terdapat satwa langka yakni kera ekor panjang atau Macaca facilularia. Juga, terdapat gua jepang yang bercabang ke kanan dan ke kiri," kata dia.
Untuk menjadikan kawasan wisata alam sebagai kawasan wisata pendidikan, pihak Dinas Pariwisata akan memasangi setiap pohon dengan nama Indonesia dan nama Latin. "Kita juga akan mengusahakan ada pemandu yang mendampingi siswa yang berkunjung, agar mereka mendapat penjelasan lengkap mengenai setiap kawasan wisata yang mereka kunjungi," ujar dia. n UNI/S-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 28 Desember 2007
December 27, 2007
Wisata: Hutan Monyet dan Gua Ditata
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemerintah Kota Bandar Lampung mengembangkan kawasan wisata ekologi terbaru Hutan Monyet di kawasan Sumurbatu, Telukbetung Utara. Kawasan seluas kurang lebih 5.000 meter persegi tersebut menyimpan habitat monyet ekor panjang (Macaca facilularis), peninggalan sejarah seperti gua jepang, dan bunga bangkai.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung Saad Asnawi mengatakan kawasan ini akan dijadikan kawasan wisata ekologi dan kawasan wisata pendidikan. "Kita ingin masyarakat yang mengunjungi kawasan ini tidak mengganggu habitat kera maupun tanaman yang ada di sini. Namun, mereka turut menjaga kawasan ini sehingga kawasan ini tetap terlindungi," kata Saad di sela-sela kunjungan ke Hutan Monyet, Rabu (26-12).
Dia mengatakan kawasan ini akan dikembangkan seperti kawasan Sangeh di Bali. Masyarakat atau wisatawan yang berkunjung bisa bersahabat dengan binatang yang menghuni kawasan itu. "Oleh karena itu sejak tanggal 1 Desember lalu kita mulai membiasakan monyet-monyet yang tinggal di sini untuk menerima makanan yang kita berikan seperti pisang," kata dia.
Untuk tempat berisitirahat dan duduk-duduk, Dinas Pariwisata membangun sebuah gazebo. Tempat ini juga dijadikan sebagai tempat untuk memberi makan kera.
Menurut Saad Asnawi, selain sebagai kawasan wisata ekologi, Hutan Monyet selama ini juga dikenal sebagai kawasan penangkap air atau cacthment area.
Iwan dari FPAL mengatakan habitat kera di kawasan ini mencapai 300 ekor. Dari jumlah tersebut yang paling banyak adalah monyet muda. Selain monyet kawasan ini juga menyimpan potensi wisata lain yakni gua jepang dan bunga bangkai yang banyak tumbuh.
Gua Jepang tersebut bercabang dua, ke kiri dan kanan. "Untuk cabang yang ke kanan tembus di Sukaraja Panjang, dan yang ke kiri tembus ke SMAN 2 Bandar Lampung," kata dia.
Oleh karena itu, kawasan ini ke depan bisa dijadikan kawasan wisata ekologi maupun kawasan wisata pendidikan untuk para siswa-siswi baik asal Bandar Lampung maupun luar Lampung. n UNI/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 Desember 2007
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung Saad Asnawi mengatakan kawasan ini akan dijadikan kawasan wisata ekologi dan kawasan wisata pendidikan. "Kita ingin masyarakat yang mengunjungi kawasan ini tidak mengganggu habitat kera maupun tanaman yang ada di sini. Namun, mereka turut menjaga kawasan ini sehingga kawasan ini tetap terlindungi," kata Saad di sela-sela kunjungan ke Hutan Monyet, Rabu (26-12).
Dia mengatakan kawasan ini akan dikembangkan seperti kawasan Sangeh di Bali. Masyarakat atau wisatawan yang berkunjung bisa bersahabat dengan binatang yang menghuni kawasan itu. "Oleh karena itu sejak tanggal 1 Desember lalu kita mulai membiasakan monyet-monyet yang tinggal di sini untuk menerima makanan yang kita berikan seperti pisang," kata dia.
Untuk tempat berisitirahat dan duduk-duduk, Dinas Pariwisata membangun sebuah gazebo. Tempat ini juga dijadikan sebagai tempat untuk memberi makan kera.
Menurut Saad Asnawi, selain sebagai kawasan wisata ekologi, Hutan Monyet selama ini juga dikenal sebagai kawasan penangkap air atau cacthment area.
Iwan dari FPAL mengatakan habitat kera di kawasan ini mencapai 300 ekor. Dari jumlah tersebut yang paling banyak adalah monyet muda. Selain monyet kawasan ini juga menyimpan potensi wisata lain yakni gua jepang dan bunga bangkai yang banyak tumbuh.
Gua Jepang tersebut bercabang dua, ke kiri dan kanan. "Untuk cabang yang ke kanan tembus di Sukaraja Panjang, dan yang ke kiri tembus ke SMAN 2 Bandar Lampung," kata dia.
Oleh karena itu, kawasan ini ke depan bisa dijadikan kawasan wisata ekologi maupun kawasan wisata pendidikan untuk para siswa-siswi baik asal Bandar Lampung maupun luar Lampung. n UNI/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 Desember 2007
December 25, 2007
Proses Kreatif: Penulisan Cerpen atau Novel Rendahkan Ego Pribadi
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Untuk menuangkan satu tulisan menjadi satu bentuk cerita pendek atau novel sebenarnya bukan hanya berkaitan dengan ide. Akan tetapi, yang terpenting dalam menulis adalah merendahkan ego pribadi yang melekat pada diri untuk bisa mengerti orang lain.
Cerpenis Yanusa Nugroho mengemukakan hal tersebut di sela-sela kegiatan Workshop Cerpen yang digelar Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) di Gedung Olah Seni Taman Budaya Lampung, Sabtu (22-12).
Dia mengatakan seorang penulis itu minimal harus memiliki keinginan menjadi pendengar yang baik dahulu.
"Jadi jangan ngomong dahulu jika ingin menjadi penulis. Dan hal yang diupayakan adalah memperbanyak membaca karya orang lain dahulu. Sebab, bisa dikatakan ide memang hanya memegang 10 persen dari keseluruhan karya yang dihasilkan," kata Yanusa, yang pernah meraih penghargaan Multatuli dari Radio Nedherland lewat cerpennya "Kunang-Kunang Kuning" (tahun 1987) serta nomine hadiah sastra Khatulistiwa lewat kumpulan cerpennya Segulung Cerita Tua ini.
Selain itu, menurut dia, yang mesti dilakukan sebelum membuat satu cerita adalah melakukan observasi atau pengamatan. Observasi sangat penting untuk mendekatkan dengan tokoh yang akan diangkat ceritanya. Baru setelah melakukan observasi ini biasanya akan lahir empati.
"Jadi tidak semuanya merupakan hasil fantasi saja," ujar peraih Anugerah Kebudayaan 2006 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata lewat cerpennya "Wening" serta penghargaan sastra dari Pusat Bahasa pada tahun 2007 lewat novelnya Boma.
Tidak hanya itu, Yanusa juga mengemukakan beberapa unsur yang juga penting dalam penggarapan cerpen adalah berkaitan elemen dasarnya, yakni persoalan, tokoh, lokasi atau setting, serta alur cerita.
Ditambah lagi dengan deskripsi yang benar bisa menggunakan pembanding atau bisa menggunakan penggambaran langsung. Serta ditambah dengan mengenali teknik-teknik pengungkapannya.
Hal senada dikemukakan cerpenis yang juga pengurus Komite Sastra DKJ, Zen Hae. Unsur-unsur yang penting yang mesti ditentukan berkaitan dengan tema, tokoh, sudut pandang, alur atau plot, latar, serta gaya bahasa yang digunakan.
Ketua Umum DKL, Syafariah Widianti, dalam sambutan pembukaan mengaku sangat senang dengan antusias peserta yang mengikuti kegiatan yang digelar selama dua hari, hingga kemarin (23-12).
"Perkembangan dunia sastra di Lampung beberapa tahun terakhir ini sangatlah menggembirakan. Pertumbuhan pada jurai puisi seakan tak terbendung," kata dia.
Bahkan, ujarnya, F. Rahardi dalam tulisannya di Kompas pernah menyatakan hanya Bali, Jawa Timur, dan Yogyakarta yang bisa menyamai kesemarakan kepenyairan di Lampung,"
Kegiatan workshop ini diikuti 38 peserta dari target 25 orang. Adapun latar belakang peserta sangat beragam dari pelajar, mahasiswa, guru, hingga ibu rumah tangga dan asal peserta juga tidak hanya dari Kota Bandar Lampung, tapi juga dari berbagai daerah di Provinsi Lampung. n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 24 Desember 2007
Cerpenis Yanusa Nugroho mengemukakan hal tersebut di sela-sela kegiatan Workshop Cerpen yang digelar Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) di Gedung Olah Seni Taman Budaya Lampung, Sabtu (22-12).
Dia mengatakan seorang penulis itu minimal harus memiliki keinginan menjadi pendengar yang baik dahulu.
"Jadi jangan ngomong dahulu jika ingin menjadi penulis. Dan hal yang diupayakan adalah memperbanyak membaca karya orang lain dahulu. Sebab, bisa dikatakan ide memang hanya memegang 10 persen dari keseluruhan karya yang dihasilkan," kata Yanusa, yang pernah meraih penghargaan Multatuli dari Radio Nedherland lewat cerpennya "Kunang-Kunang Kuning" (tahun 1987) serta nomine hadiah sastra Khatulistiwa lewat kumpulan cerpennya Segulung Cerita Tua ini.
Selain itu, menurut dia, yang mesti dilakukan sebelum membuat satu cerita adalah melakukan observasi atau pengamatan. Observasi sangat penting untuk mendekatkan dengan tokoh yang akan diangkat ceritanya. Baru setelah melakukan observasi ini biasanya akan lahir empati.
"Jadi tidak semuanya merupakan hasil fantasi saja," ujar peraih Anugerah Kebudayaan 2006 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata lewat cerpennya "Wening" serta penghargaan sastra dari Pusat Bahasa pada tahun 2007 lewat novelnya Boma.
Tidak hanya itu, Yanusa juga mengemukakan beberapa unsur yang juga penting dalam penggarapan cerpen adalah berkaitan elemen dasarnya, yakni persoalan, tokoh, lokasi atau setting, serta alur cerita.
Ditambah lagi dengan deskripsi yang benar bisa menggunakan pembanding atau bisa menggunakan penggambaran langsung. Serta ditambah dengan mengenali teknik-teknik pengungkapannya.
Hal senada dikemukakan cerpenis yang juga pengurus Komite Sastra DKJ, Zen Hae. Unsur-unsur yang penting yang mesti ditentukan berkaitan dengan tema, tokoh, sudut pandang, alur atau plot, latar, serta gaya bahasa yang digunakan.
Ketua Umum DKL, Syafariah Widianti, dalam sambutan pembukaan mengaku sangat senang dengan antusias peserta yang mengikuti kegiatan yang digelar selama dua hari, hingga kemarin (23-12).
"Perkembangan dunia sastra di Lampung beberapa tahun terakhir ini sangatlah menggembirakan. Pertumbuhan pada jurai puisi seakan tak terbendung," kata dia.
Bahkan, ujarnya, F. Rahardi dalam tulisannya di Kompas pernah menyatakan hanya Bali, Jawa Timur, dan Yogyakarta yang bisa menyamai kesemarakan kepenyairan di Lampung,"
Kegiatan workshop ini diikuti 38 peserta dari target 25 orang. Adapun latar belakang peserta sangat beragam dari pelajar, mahasiswa, guru, hingga ibu rumah tangga dan asal peserta juga tidak hanya dari Kota Bandar Lampung, tapi juga dari berbagai daerah di Provinsi Lampung. n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 24 Desember 2007
December 23, 2007
Spektrum: Pesona Lampung Barat
-- Budisantoso Budiman
SEJUMLAH turis asing asyik bercengkrama di tengah deburan ombak Pantai Tanjung Setia, di Kecamatan Pesisir Selatan, 52 km dari Liwa, ibukota Kabupaten Lampung Barat (Lambar), Lampung.
Tugu Kayu Hagha di Bundaran Kota Liwa, yang menyimpan legenda Kerajaan Sekala Brak, asal-usul Suku Lampung.
Selain berselancar dan memancing, para turis bisa pula berkemah, berenang, atau berjemur menikmati pesona wisata andalan Lambar.
Lambar menawarkan keindahan wisata pantai dan bahari yang aman dan nyaman bagi keluarga, wisatawan domestik maupun mancanegara.
Pantai Tanjung Setia, cukup dikenal oleh para turis asing dan menjadi salah satu pilihan berwisata pantai dan berselancar. Dengan ombak setinggi 3-4 meter dan panjang mencapai 200 meter, menjadi arena ideal bagi peselancar.
Lambar yang memiliki 17 kecamatan, enam kelurahan, dan 189 pekon (kampung) dan pekon persiapan, dengan luas wilayah 4.950,40 km2 atau 13,99 persen dari luas wilayah Provinsi Lampung itu, memiliki garis pantai sepanjang 260 km.
Kabupaten itu termasuk dalam daerah tujuan wisata unggulan di Lampung yang tergabung dalam "segitiga emas" objek wisata utama Lampung seperti anak Gunung Krakatau di Lampung Selatan, Taman Nasional dan Pusat Latihan Gajah Way Kambas di Lampung Timur, dan Danau Ranau di Lambar.
Objek wisata di Lambar cukup lengkap seperti laut, danau, pegunungan, wisata alam, dan juga wisata petualangan maupun wisata budaya.
"Pariwisata merupakan salah satu andalan untuk mendongkrak perekonomian kabupaten ini," ujar Bupati Lambar Mukhlis Basri.
Mukhlis pada 10 Desember 2007 resmi dilantik memimpin kabupaten berpenduduk 410.848 jiwa (2006) itu.
Dengan luas 495.040 hektare, 64 persen wilayah Lambar merupakan hutan, sehingga hanya sebagian kecil dapat dikelola untuk pembangunan daerah tersebut.
"Tanpa pengelolaan sektor pariwisata dan pemanfaatan kawasan hutan itu secara lestari, tentu saja warga di sini akan tetap menjadi miskin," kata Mukhlis yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Lambar.
Struktur ekonomi Lambar menempatkan sektor pertanian dengan nilai kontribusi mencapai 64,65 persen, disusul perdagangan, hotel dan restoran (17,97 persen), pertambangan dan penggalian (14,81 persen), dan beberapa sektor pembangunan lain.
Damar Terbaik
Lambar selama ini dikenal sebagai penghasil damar mata kucing (Shorea javanica) terbaik di dunia, dengan luas areal kebun damar rakyat mencapai 17.500 hektare. Produksinya 5.000 ton/tahun.
Sekitar 80 persen produksi dan ekspor komoditas damar mata kucing Indonesia berasal dari Lambar. Damar digunakan sebagai stabilizer pada industri cat, tinta, farmasi (obat-obatan), dan kosmetik di beberapa negara di dunia.
Hampir seluruh wilayah pesisir Lambar, di Kecamatan Lemong, Pesisir utara, Karya Penggawa, Pesisir Tengah, Pesisir Selatan, Ngambur, Bengkunat, dan Bengkunat Belimbing terdapat kebun damar rakyat yang memasok pasaran ekspor ke India, Jerman, Filipina, Prancis, Belgia, Uni Emirat Arab, Banglades, Pakistan, dan Italia.
Selain damar, kabupaten itu juga menjadi daerah penghasil kayu medang, sengon, cempaka, afrika, karet, jati dan beberapa jenis kayu lainnya.
Selain itu Lambar juga dikenal sebagai penghasil tanaman gaharu, madu, sutra, dan kopi robusta unggulan Lampung.
"Tetapi kami memiliki keterbatasan untuk mengembangkan pembangunan di sektor pertanian dan perkebunan maupun industri, mengingat kawasan hutan yang ada di sini," kata Bupati.
Dalam kepemimpinannya selama lima tahun ke depan, Muhklis dan Wakil Bupati Dimyati Amin bertekad membangun daerah itu, selain tetap bertumpu pada sektor ekonomi produktif juga akan mengembangkan potensi sektor pariwisata yang belum optimal diusahakan.
Beberapa bulan lalu, Kawasan Wisata Terpadu Seminung Lumbok Resort di tepian Danau Ranau di Pekon Lumbok, Kecamatan Sukau, telah diresmikan menjadi cikal bakal kebangkitan sektor pariwisata Kabupaten Lambar.
Di sekitar Seminung Lumbok Resort, pengunjung dapat melihat hamparan air Danau Ranau yang membiru dengan latar belakang Gunung Seminung dan perbukitan menghijau di sekitarnya.
Kehangatan air panas di kaki Gunung Seminung, memancing di Danau Ranau, dan menikmati kekhasan warga lokal dalam membudidayakan sayur mayur menjadi daya tarik tersendiri untuk datang ke sana.
Pengunjung dapat menginap di Seminung Lumbok Resort yang berstandar hotel berbintang, dengan kolam renang, saung, restoran, dan ruang pertemuan.
Dalam waktu dekat pengelolaan Seminung Lumbok Resort diswastanisasi agar lebih bersaing dan efektif, kata Pelaksana Harian (Plh) Kabag Humas dan Protokol Kabupaten Lambar, Basuki Rahmat.
Pada tahun 2008, pemerintah Kabupaten Lambar menyiapkan pengembangan wisata agrobisnis taman buah.
Setiap bulan Juli, di Lambar digelar Festival Teluk Stabas yang berisi aneka lomba olahraga untuk melestarikan budaya daerah dan mempromosikan objek wisata seperti layang-layang, arung jeram, paralayang, jelajah alam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), atraksi Sekura (topeng), pacuan kambing, voli pantai, lomba tari, hadra, muayak, dan lomba lagu daerah.
Alam Lambar yang dikelilingi hutan TNBBS, menyimpan potensi wisata alam Gunung Pesagi di Belalau, "jungle run", air terjun Sepapa Kiri di Kubuperahu, dan arung jeram di Way Besai.
Lambar juga memiliki Pulau Pisang, sebuah pulau yang eksotik dengan keindahan pantai pasir putih dan terdapat ikan "blue marlin" yang dapat dipancing dari habitatnya di sana.
Adat budaya masyarakat Lambar yang dulu terdapat Kerajaan Sekala Brak - asal usul Suku Lampung - membuat slogan daerah itu sebagai "The Origin of Lampung" (Asal Mula Lampung).
Di Lambar terdapat upacara adat menyambut tamu agung (Alam Gemisikh), pengangkatan raja (Nyambai Agung), dan proses adat pernikahan secara tradisional.
Di daerah Belalau, Batu Brak, Balik Bukit, dan Sukau, terdapat Pesta Sekura yaitu pesta rakyat dengan menggunakan topeng pada wajah, yang dilakukan pada saat menyambut Hari Raya Idulfitri dan pesta mewujudkan rasa syukur setelah panen raya.
Terdapat pula objek wisata selam di bawah laut perairan Lambar, wisata sejarah dan budaya, legenda Makam Gajah Mada, rumah-rumah tradisional yang tetap terpelihara sejak ratusan tahun lalu.
"Kami yakin, dengan mengoptimalkan potensi wisata, rakyat kami bisa sejahtera dan tidak miskin lagi," kata Bupati.
Sebuah tantangan bagi Bupati atas pesona Lambar yang memikat. (T.B014)
Sumber: Antara, 22 Desember 2007
SEJUMLAH turis asing asyik bercengkrama di tengah deburan ombak Pantai Tanjung Setia, di Kecamatan Pesisir Selatan, 52 km dari Liwa, ibukota Kabupaten Lampung Barat (Lambar), Lampung.
Tugu Kayu Hagha di Bundaran Kota Liwa, yang menyimpan legenda Kerajaan Sekala Brak, asal-usul Suku Lampung.
Selain berselancar dan memancing, para turis bisa pula berkemah, berenang, atau berjemur menikmati pesona wisata andalan Lambar.
Lambar menawarkan keindahan wisata pantai dan bahari yang aman dan nyaman bagi keluarga, wisatawan domestik maupun mancanegara.
Pantai Tanjung Setia, cukup dikenal oleh para turis asing dan menjadi salah satu pilihan berwisata pantai dan berselancar. Dengan ombak setinggi 3-4 meter dan panjang mencapai 200 meter, menjadi arena ideal bagi peselancar.
Lambar yang memiliki 17 kecamatan, enam kelurahan, dan 189 pekon (kampung) dan pekon persiapan, dengan luas wilayah 4.950,40 km2 atau 13,99 persen dari luas wilayah Provinsi Lampung itu, memiliki garis pantai sepanjang 260 km.
Kabupaten itu termasuk dalam daerah tujuan wisata unggulan di Lampung yang tergabung dalam "segitiga emas" objek wisata utama Lampung seperti anak Gunung Krakatau di Lampung Selatan, Taman Nasional dan Pusat Latihan Gajah Way Kambas di Lampung Timur, dan Danau Ranau di Lambar.
Objek wisata di Lambar cukup lengkap seperti laut, danau, pegunungan, wisata alam, dan juga wisata petualangan maupun wisata budaya.
"Pariwisata merupakan salah satu andalan untuk mendongkrak perekonomian kabupaten ini," ujar Bupati Lambar Mukhlis Basri.
Mukhlis pada 10 Desember 2007 resmi dilantik memimpin kabupaten berpenduduk 410.848 jiwa (2006) itu.
Dengan luas 495.040 hektare, 64 persen wilayah Lambar merupakan hutan, sehingga hanya sebagian kecil dapat dikelola untuk pembangunan daerah tersebut.
"Tanpa pengelolaan sektor pariwisata dan pemanfaatan kawasan hutan itu secara lestari, tentu saja warga di sini akan tetap menjadi miskin," kata Mukhlis yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Lambar.
Struktur ekonomi Lambar menempatkan sektor pertanian dengan nilai kontribusi mencapai 64,65 persen, disusul perdagangan, hotel dan restoran (17,97 persen), pertambangan dan penggalian (14,81 persen), dan beberapa sektor pembangunan lain.
Damar Terbaik
Lambar selama ini dikenal sebagai penghasil damar mata kucing (Shorea javanica) terbaik di dunia, dengan luas areal kebun damar rakyat mencapai 17.500 hektare. Produksinya 5.000 ton/tahun.
Sekitar 80 persen produksi dan ekspor komoditas damar mata kucing Indonesia berasal dari Lambar. Damar digunakan sebagai stabilizer pada industri cat, tinta, farmasi (obat-obatan), dan kosmetik di beberapa negara di dunia.
Hampir seluruh wilayah pesisir Lambar, di Kecamatan Lemong, Pesisir utara, Karya Penggawa, Pesisir Tengah, Pesisir Selatan, Ngambur, Bengkunat, dan Bengkunat Belimbing terdapat kebun damar rakyat yang memasok pasaran ekspor ke India, Jerman, Filipina, Prancis, Belgia, Uni Emirat Arab, Banglades, Pakistan, dan Italia.
Selain damar, kabupaten itu juga menjadi daerah penghasil kayu medang, sengon, cempaka, afrika, karet, jati dan beberapa jenis kayu lainnya.
Selain itu Lambar juga dikenal sebagai penghasil tanaman gaharu, madu, sutra, dan kopi robusta unggulan Lampung.
"Tetapi kami memiliki keterbatasan untuk mengembangkan pembangunan di sektor pertanian dan perkebunan maupun industri, mengingat kawasan hutan yang ada di sini," kata Bupati.
Dalam kepemimpinannya selama lima tahun ke depan, Muhklis dan Wakil Bupati Dimyati Amin bertekad membangun daerah itu, selain tetap bertumpu pada sektor ekonomi produktif juga akan mengembangkan potensi sektor pariwisata yang belum optimal diusahakan.
Beberapa bulan lalu, Kawasan Wisata Terpadu Seminung Lumbok Resort di tepian Danau Ranau di Pekon Lumbok, Kecamatan Sukau, telah diresmikan menjadi cikal bakal kebangkitan sektor pariwisata Kabupaten Lambar.
Di sekitar Seminung Lumbok Resort, pengunjung dapat melihat hamparan air Danau Ranau yang membiru dengan latar belakang Gunung Seminung dan perbukitan menghijau di sekitarnya.
Kehangatan air panas di kaki Gunung Seminung, memancing di Danau Ranau, dan menikmati kekhasan warga lokal dalam membudidayakan sayur mayur menjadi daya tarik tersendiri untuk datang ke sana.
Pengunjung dapat menginap di Seminung Lumbok Resort yang berstandar hotel berbintang, dengan kolam renang, saung, restoran, dan ruang pertemuan.
Dalam waktu dekat pengelolaan Seminung Lumbok Resort diswastanisasi agar lebih bersaing dan efektif, kata Pelaksana Harian (Plh) Kabag Humas dan Protokol Kabupaten Lambar, Basuki Rahmat.
Pada tahun 2008, pemerintah Kabupaten Lambar menyiapkan pengembangan wisata agrobisnis taman buah.
Setiap bulan Juli, di Lambar digelar Festival Teluk Stabas yang berisi aneka lomba olahraga untuk melestarikan budaya daerah dan mempromosikan objek wisata seperti layang-layang, arung jeram, paralayang, jelajah alam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), atraksi Sekura (topeng), pacuan kambing, voli pantai, lomba tari, hadra, muayak, dan lomba lagu daerah.
Alam Lambar yang dikelilingi hutan TNBBS, menyimpan potensi wisata alam Gunung Pesagi di Belalau, "jungle run", air terjun Sepapa Kiri di Kubuperahu, dan arung jeram di Way Besai.
Lambar juga memiliki Pulau Pisang, sebuah pulau yang eksotik dengan keindahan pantai pasir putih dan terdapat ikan "blue marlin" yang dapat dipancing dari habitatnya di sana.
Adat budaya masyarakat Lambar yang dulu terdapat Kerajaan Sekala Brak - asal usul Suku Lampung - membuat slogan daerah itu sebagai "The Origin of Lampung" (Asal Mula Lampung).
Di Lambar terdapat upacara adat menyambut tamu agung (Alam Gemisikh), pengangkatan raja (Nyambai Agung), dan proses adat pernikahan secara tradisional.
Di daerah Belalau, Batu Brak, Balik Bukit, dan Sukau, terdapat Pesta Sekura yaitu pesta rakyat dengan menggunakan topeng pada wajah, yang dilakukan pada saat menyambut Hari Raya Idulfitri dan pesta mewujudkan rasa syukur setelah panen raya.
Terdapat pula objek wisata selam di bawah laut perairan Lambar, wisata sejarah dan budaya, legenda Makam Gajah Mada, rumah-rumah tradisional yang tetap terpelihara sejak ratusan tahun lalu.
"Kami yakin, dengan mengoptimalkan potensi wisata, rakyat kami bisa sejahtera dan tidak miskin lagi," kata Bupati.
Sebuah tantangan bagi Bupati atas pesona Lambar yang memikat. (T.B014)
Sumber: Antara, 22 Desember 2007
Bingkai: Perjalanan Komering di Lampung
-- Mohd Isneini*
PENULIS memberanikan diri membuat tulisan ini dimaksudkan memperkaya khazanah budaya Lampung. Mohon maaf pada tetua adat jika ada yang kurang berkenan.
Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan juga berupa pendapat pribadi maupun orang lain yang perlu diteliti kebenarannya. Namun, sebelumnya kami nukilkan dahulu tulisan yang diambil dari web page tentang Batak (Sekilas tentang Batak + Konvergensi dalam "Dalihan na T").
Batak adalah nama sebuah etnik. Kata itu berasal dari nama seseorang yang dipercayai sebagai cikal bakal etnik Batak, yaitu si Raja Batak. Suku Batak pada mulanya hanya mendiami daerah Toba. Kemudian karena pertambahan penduduk, sebahagian berpencar mencari daerah baru sebagai permukiman yang pada gilirannya menumbuhkan empat subetnik, yaitu Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak.
Induknya adalah Toba. Si Raja Batak mempunyai dua saudara. Seorang bernama Boni dan yang lain disebut Lapung. Boni pergi merantau ke Sulawesi Selatan. Di sana dia beranak pinak dan menjadi puak yang besar bernama Bone sesuai dengan nama kakek moyang mereka, dengan sedikit perubahan pada huruf terakhir, yaitu bunyi i berubah menjadi bunyi e.
Yang bungsu--Lapung--pergi ke Sumatera Selatan yang kemudian menurunkan suku Komering. Besar kemungkinan nama daerah Lampung berasal dari namanya. (Versi Batak).
Bicara mengenai Komering, akan tak terpisahkan dari suku Lampung karena ia merupakan bagian etnis Lampung seperti halnya Ranau, Cikoneng, yang terletak di luar batas administratif Provinsi Lampung.
Tak terelakkan lagi, banyak orang komering yang keluar dari daerah asal mereka di sepanjang aliran Way Komering untuk mencari penghidupan baru pindah ke wilayah yang dihuni etnis Lampung lain. Mereka membuka umbul maupun kampung (tiuh). Perpindahan kali pertama mungkin oleh marga Bunga Mayang yang kelak kemudian hari menjadi Lampung Sungkai/Bunga Mayang.
Seperti diutarakan Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997): "Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang komering di tahun 1800 M. pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada tahun 1818 s.d. 1834 M kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke seluruh kebuayan Abung."
Oleh Abung, Sungkai dinyatakan sebagai Lampung pepadun dan tanah yang sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang membawa nama kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering.
Dari sini kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya dsb. Di daerah Sungkai Utara, seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat kacabdin di daerah ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara. mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.
Perpindahan berikutnya, yang dilakukan Kebuayan Semendaway, khususnya Minanga. Menyebar ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah/Pulau Panggung, Bunglai, Cempaka (Sungkai Jaya) di Lampung Utara. Ke Sukadana Lampung Timur dekat Negeri Tuho. Juga masuk ke Pagelaran, Tanggamus.
Dua Kampung Komering di Lampung Tengah (Komering Agung/Putih), menurut pengakuan mereka, berasal dari Komering. Nenek Moyang mereka berbaur dengan etnis Abung di Lampung-Tengah. Akan tetapi, mereka kurang mengetahui asal kebuayan nenek moyangnya (mungkin orang yang penulis temui kebanyakan usia muda < 50 tahun). Mereka menyebut Komering yang di Palembang "nyapah" (terendam).
Kemungkinan mereka juga berasal dari Minanga. Karena kampong ini yang paling sering terendam air. Daerah Suka Banjar (Tiuh Gedung Komering. Negeri Sakti) Gedongtataan seperti diceritakan Herry Asnawi (56) dan Komaruzaman (70) (pensiunan BPN).
Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis) walaupun dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak menutup kemungkinan dari daerah lain di komering seperti Betung dsb., yang turut menyebar masuk daerah Lampung lain.
Melihat perjalanan dan penyebaran yang cukup panjang, peran dalam menyumbang etnis Lampung (Sungkai), serta menambah kebuayan Abung (Buay Nyerupa), tak ada salahnya kita mengetahui tentang dialek, tulisan, marga, maupun kepuhyangan yang ada di daerah Komering.
Bahasa Komering oleh sementara pengamat dikatakan banyak kesamaannya dengan bahasa Batak. Juga logatnya.
Ada cerita rakyat yang mengatakan Batak dan Komering berasal dari dua bersaudara. Antara kedua suku ini sering terdapat senda gurau untuk menyatakan masing-masing nenek moyang merekalah yang tertua (dalam Adat Perkawinan Komering Ulu, Hatta/Arlan Ismail).
Bahasa Komering dalam banyak literatur bahasa Lampung termasuk dialek "a". Sedangkan dialek bahasa Komering, menurut Abu Kosim Sindapati (1970), terbagi menjadi dialek Bengkulah, dialek Tanjung Baru, dialek Semendaway, dan dialek Buay Madang.
Kemudin Zainal Abidi Gaffar (1981) membagi menjadi dialek Martapura Simpang dan Buay Madang-Cempaka-Belitang. Perbedaan utama kedua dialek ini bahwa dialek Martapura Simpang memiliki fonem /e/ dan /?/ sedangkan Buay Madang-Cempaka-Belitang tidak.
Bahasa Komering juga memiliki tulisan yang disebut Ka-Ga-Nga. Akan tetapi, orang Komering sering pula menyebutnya tulisan Ulu/Unggak. Tulisan ini dipakai orang tua pada zaman dahulu. Sekarang tulisan ini hampir tidak pernah dipakai lagi dan generasi muda tidak seberapa mengenalnya.
Adapun marga yang terdapat di Komering Ulu, di antaranya marga Semendawai suku I/II/III dengan wilayah Minanga, Betung, Gunung Batu, Cempaka, dan sekitarnya. Marga Madang Suku I/II, Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dengan wilayahnya Rasuan, Kotanegara, Muncak Kabau, Marga Belitang I/II/III dengan wilayah Gumawang, Sumber Jaya, Kota Sari, Marga Buay Pemaca, Marga Lengkayap.
Marga Kiti dengan wilayah Simpang Tanjung, Gedung Pakuan, Marga Paku Sengkunyit. Marga Bunga Mayang. Marga Buay Pemuka Peliung dengan wilayah Martapura, Kambang Mas, Banton. Marga-marga tersebut kemungkinan tidak sesuai lagi dengan daerahnya karena adanya pemekaran wilayah.
Sementara itu, di daerah ilir, bahasa Komering dipakai di daerah Tanjung Lubuk, Pulau Gemantung, dan sebagainya. Sedangkan daerah Kayu Agung merupakan sebuah marga di Kecamatan Kayu Agung. Di daerah Kayu Agung terdapat dua bahasa, yaitu bahasa Kayu Agung (BKA) dan bahasa Ogan dialek /e/. Ada variasi dialek dalam BKA. Variasi dialek yang terdapat di dusun marga Kayu Agung dianggap sebagai variasi asli, yang merupakan suatu dialek mirip dengan bahasa Komering.
Adapun asal kepuhyangan/buay/marga yang ada di daerah Komering, seperti yang diuraikan dalam Adat Perkawinan Komering Ulu oleh Hatta/Arlan, Ismail. 2002: Riwayat etnis komering yang menyebar mendirikan tujuh kepuhyangan di sepanjang aliran sungai yang kini dinamakan Komering, ringkasnya sebagai berikut.
Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dataran tinggi Gunung Pesagi, Lampung Barat menyusuri sungai dengan segala cara seperti dengan rakit bambu, dan lain-lain. Menyusuri Sungai Komering menuju muara. Menyusuri/mengikuti dalam dialek komering lama adalah samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama Samandaway dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau menyusuri sungai.
Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian berpencar. Mencari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga kepuhyangan. Kepuhyangan pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga.
Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Sakala Bhra ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut Madang. Yang kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang.
Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan pada nama kepuhyangan mereka menjadi "Pemuka Peliung". Dari kepuhyangan ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu.
Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari, inilah cikal bakal Lampung Sungkai).
Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan nama Bhu-Way (buway).
Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Sakala Bhra Baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan "Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati.
Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan) serta cara mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai (samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama dan tertua. Orang-orang Samandaway menempati muara sampai di ujung tanjung (Gunung Batu).
Yang patut kita tiru akan rasa solidaritas yang tinggi di antara mereka mengingat akan asal-usul mereka berasal dari kelompok yang sama. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam melengkapi tentang marga etnis komering seperti yang telah dilakukan Unila dalam memetakan marga serta wilayah suku Lampung. Wassalam. Saran, kritik, informasi tambahan dapat dialamatkan ke isneini_m@yahoo.com. n
* Mohd Isneini, Dosen Jurusan Sipil Unila
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2007
PENULIS memberanikan diri membuat tulisan ini dimaksudkan memperkaya khazanah budaya Lampung. Mohon maaf pada tetua adat jika ada yang kurang berkenan.
Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan juga berupa pendapat pribadi maupun orang lain yang perlu diteliti kebenarannya. Namun, sebelumnya kami nukilkan dahulu tulisan yang diambil dari web page tentang Batak (Sekilas tentang Batak + Konvergensi dalam "Dalihan na T").
Batak adalah nama sebuah etnik. Kata itu berasal dari nama seseorang yang dipercayai sebagai cikal bakal etnik Batak, yaitu si Raja Batak. Suku Batak pada mulanya hanya mendiami daerah Toba. Kemudian karena pertambahan penduduk, sebahagian berpencar mencari daerah baru sebagai permukiman yang pada gilirannya menumbuhkan empat subetnik, yaitu Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak.
Induknya adalah Toba. Si Raja Batak mempunyai dua saudara. Seorang bernama Boni dan yang lain disebut Lapung. Boni pergi merantau ke Sulawesi Selatan. Di sana dia beranak pinak dan menjadi puak yang besar bernama Bone sesuai dengan nama kakek moyang mereka, dengan sedikit perubahan pada huruf terakhir, yaitu bunyi i berubah menjadi bunyi e.
Yang bungsu--Lapung--pergi ke Sumatera Selatan yang kemudian menurunkan suku Komering. Besar kemungkinan nama daerah Lampung berasal dari namanya. (Versi Batak).
Bicara mengenai Komering, akan tak terpisahkan dari suku Lampung karena ia merupakan bagian etnis Lampung seperti halnya Ranau, Cikoneng, yang terletak di luar batas administratif Provinsi Lampung.
Tak terelakkan lagi, banyak orang komering yang keluar dari daerah asal mereka di sepanjang aliran Way Komering untuk mencari penghidupan baru pindah ke wilayah yang dihuni etnis Lampung lain. Mereka membuka umbul maupun kampung (tiuh). Perpindahan kali pertama mungkin oleh marga Bunga Mayang yang kelak kemudian hari menjadi Lampung Sungkai/Bunga Mayang.
Seperti diutarakan Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997): "Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang komering di tahun 1800 M. pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada tahun 1818 s.d. 1834 M kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke seluruh kebuayan Abung."
Oleh Abung, Sungkai dinyatakan sebagai Lampung pepadun dan tanah yang sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang membawa nama kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering.
Dari sini kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya dsb. Di daerah Sungkai Utara, seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat kacabdin di daerah ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara. mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.
Perpindahan berikutnya, yang dilakukan Kebuayan Semendaway, khususnya Minanga. Menyebar ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah/Pulau Panggung, Bunglai, Cempaka (Sungkai Jaya) di Lampung Utara. Ke Sukadana Lampung Timur dekat Negeri Tuho. Juga masuk ke Pagelaran, Tanggamus.
Dua Kampung Komering di Lampung Tengah (Komering Agung/Putih), menurut pengakuan mereka, berasal dari Komering. Nenek Moyang mereka berbaur dengan etnis Abung di Lampung-Tengah. Akan tetapi, mereka kurang mengetahui asal kebuayan nenek moyangnya (mungkin orang yang penulis temui kebanyakan usia muda < 50 tahun). Mereka menyebut Komering yang di Palembang "nyapah" (terendam).
Kemungkinan mereka juga berasal dari Minanga. Karena kampong ini yang paling sering terendam air. Daerah Suka Banjar (Tiuh Gedung Komering. Negeri Sakti) Gedongtataan seperti diceritakan Herry Asnawi (56) dan Komaruzaman (70) (pensiunan BPN).
Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis) walaupun dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak menutup kemungkinan dari daerah lain di komering seperti Betung dsb., yang turut menyebar masuk daerah Lampung lain.
Melihat perjalanan dan penyebaran yang cukup panjang, peran dalam menyumbang etnis Lampung (Sungkai), serta menambah kebuayan Abung (Buay Nyerupa), tak ada salahnya kita mengetahui tentang dialek, tulisan, marga, maupun kepuhyangan yang ada di daerah Komering.
Bahasa Komering oleh sementara pengamat dikatakan banyak kesamaannya dengan bahasa Batak. Juga logatnya.
Ada cerita rakyat yang mengatakan Batak dan Komering berasal dari dua bersaudara. Antara kedua suku ini sering terdapat senda gurau untuk menyatakan masing-masing nenek moyang merekalah yang tertua (dalam Adat Perkawinan Komering Ulu, Hatta/Arlan Ismail).
Bahasa Komering dalam banyak literatur bahasa Lampung termasuk dialek "a". Sedangkan dialek bahasa Komering, menurut Abu Kosim Sindapati (1970), terbagi menjadi dialek Bengkulah, dialek Tanjung Baru, dialek Semendaway, dan dialek Buay Madang.
Kemudin Zainal Abidi Gaffar (1981) membagi menjadi dialek Martapura Simpang dan Buay Madang-Cempaka-Belitang. Perbedaan utama kedua dialek ini bahwa dialek Martapura Simpang memiliki fonem /e/ dan /?/ sedangkan Buay Madang-Cempaka-Belitang tidak.
Bahasa Komering juga memiliki tulisan yang disebut Ka-Ga-Nga. Akan tetapi, orang Komering sering pula menyebutnya tulisan Ulu/Unggak. Tulisan ini dipakai orang tua pada zaman dahulu. Sekarang tulisan ini hampir tidak pernah dipakai lagi dan generasi muda tidak seberapa mengenalnya.
Adapun marga yang terdapat di Komering Ulu, di antaranya marga Semendawai suku I/II/III dengan wilayah Minanga, Betung, Gunung Batu, Cempaka, dan sekitarnya. Marga Madang Suku I/II, Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dengan wilayahnya Rasuan, Kotanegara, Muncak Kabau, Marga Belitang I/II/III dengan wilayah Gumawang, Sumber Jaya, Kota Sari, Marga Buay Pemaca, Marga Lengkayap.
Marga Kiti dengan wilayah Simpang Tanjung, Gedung Pakuan, Marga Paku Sengkunyit. Marga Bunga Mayang. Marga Buay Pemuka Peliung dengan wilayah Martapura, Kambang Mas, Banton. Marga-marga tersebut kemungkinan tidak sesuai lagi dengan daerahnya karena adanya pemekaran wilayah.
Sementara itu, di daerah ilir, bahasa Komering dipakai di daerah Tanjung Lubuk, Pulau Gemantung, dan sebagainya. Sedangkan daerah Kayu Agung merupakan sebuah marga di Kecamatan Kayu Agung. Di daerah Kayu Agung terdapat dua bahasa, yaitu bahasa Kayu Agung (BKA) dan bahasa Ogan dialek /e/. Ada variasi dialek dalam BKA. Variasi dialek yang terdapat di dusun marga Kayu Agung dianggap sebagai variasi asli, yang merupakan suatu dialek mirip dengan bahasa Komering.
Adapun asal kepuhyangan/buay/marga yang ada di daerah Komering, seperti yang diuraikan dalam Adat Perkawinan Komering Ulu oleh Hatta/Arlan, Ismail. 2002: Riwayat etnis komering yang menyebar mendirikan tujuh kepuhyangan di sepanjang aliran sungai yang kini dinamakan Komering, ringkasnya sebagai berikut.
Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dataran tinggi Gunung Pesagi, Lampung Barat menyusuri sungai dengan segala cara seperti dengan rakit bambu, dan lain-lain. Menyusuri Sungai Komering menuju muara. Menyusuri/mengikuti dalam dialek komering lama adalah samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama Samandaway dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau menyusuri sungai.
Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian berpencar. Mencari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga kepuhyangan. Kepuhyangan pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga.
Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Sakala Bhra ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut Madang. Yang kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang.
Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan pada nama kepuhyangan mereka menjadi "Pemuka Peliung". Dari kepuhyangan ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu.
Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari, inilah cikal bakal Lampung Sungkai).
Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan nama Bhu-Way (buway).
Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Sakala Bhra Baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan "Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati.
Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan) serta cara mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai (samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama dan tertua. Orang-orang Samandaway menempati muara sampai di ujung tanjung (Gunung Batu).
Yang patut kita tiru akan rasa solidaritas yang tinggi di antara mereka mengingat akan asal-usul mereka berasal dari kelompok yang sama. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam melengkapi tentang marga etnis komering seperti yang telah dilakukan Unila dalam memetakan marga serta wilayah suku Lampung. Wassalam. Saran, kritik, informasi tambahan dapat dialamatkan ke isneini_m@yahoo.com. n
* Mohd Isneini, Dosen Jurusan Sipil Unila
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2007
Khazanah: Menelusuri Arsitektur Rumah Suku Komering
-- Erwan Suryanegara bin H Asnawi*
KOMERING merupakan salah satu suku atau wilayah budaya di Sumatra Selatan, yang berada di sepanjang aliran Sungai Komering. Seperti halnya suku-suku di Sumatra Selatan, karakter suku ini adalah penjelajah sehingga penyebaran suku ini cukup luas hingga ke Lampung.
Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, dan marga Semendawai. Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas jika dibandingkan dengan wilayah budaya suku-suku lainnya di Sumatra Selatan. Selain itu, bila dilihat dari karakter masyarakatnya, suku Komering dikenal memiliki temperamen yang tinggi dan keras.
Berdasarkan cerita rakyat di masyarakat Komering, suku Komering dan suku Batak, Sumatra Utara, dikisahkan masih bersaudara. Kakak beradik yang datang dari negeri seberang. Setelah sampai di Sumatra, mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan menjadi puyang suku Komering, dan sang adik ke utara menjadi puyang suku Batak.
Berdasarkan temuan dan analisa sejarah, Dusun Minanga Tuha, di daerah marga Semendawai Suku I, atau dusun keenam dari Dusun Gunung Jati diperkirakan merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya bagian awal. Sedangkan Palembang diyakini sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian tengah, dan Jambi sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian akhir. Kala itu, Minanga Tuha, sebagai kota pelabuhan, atau tempat berlangsungnya aktivitas bongkar dan muat barang serta bersandarnya kapal-kapal Sriwijaya maupun kapal-kapal asing yang memiliki baik hubungan dagang, politik, budaya, maupun religi dengan Sriwijaya.
Sejak abad pertengahan, suku Komering, sama halnya dengan rumpun Melayu lainnya, menerima Islam sebagai sebuah agama dan kepercayaan. Kedatangan Islam itu melahirkan mitos. Mitosnya mengenai seorang panglima dari bala tentara Fatahilah, Banten, bernama Tandipulau, yang menjadi tamu di daerah marga Semendawai Suku III. Ia datang menggunakan perahu menelusuri Sungai Komering. Tandipulau berlabuh dan menetap di daerah marga Semendawai Suku III, tepatnya di Dusun Kuripan. Keturunan Tandipulau membuka permukiman baru di seberang sungai atau seberang dusun Kuripan, yang disebut Dusun Gunung Jati. Selanjutnya, marga Semendawai disebut keturunan Tandipulau dari Dusun Kuripan.
Tandipulau dalam bahasa Komering berarti 'tuan di pulau'. Makamnya, yang terletak di Dusun Kuripan, hingga kini masih terpelihara. Masyarakat Komering, khususnya marga Semendawai, sering berziarah kubur ke makam tersebut.
Rumah tradisi Komering
Salah satu tanda kebudayaan Komering dari masa lalu, yang hingga kini tetap terjaga adalah rumah. Pada masyarakat Komering, khususnya marga Semendawai, memiliki atau mengenal dua jenis rumah tempat tinggal yang bersifat tradisional, yakni rumah ulu dan rumah gudang.
Berdasarkan struktur bangunan, antara rumah ulu dan rumah gudang pada prinsipnya sama, tapi pembangunan rumah gudang umumnya cenderung mengalami beberapa modifikasi, dan tidak patuh lagi seperti rumah-rumah ulu, terutama untuk arah hadap seperti hulu (utara), liba(selatan), darak (barat), dan laok (timur). Perbedaan lainnya, pada rumah gudang, selalu dibuat atau ada ventilasi yang posisinya tepat berada di atas setiap pintu dan jendela, sedangkan pada rumah ulu tidak mengenal ventilasi udara.
Baik rumah gudang maupun rumah ulu merupakan jenis rumah panggung atau rumah yang memiliki tiang penyangga. Bahan utama pembuatan rumah gudang dan ulu adalah kayu atau papan.
Lantaran rumah gudang Komering lebih muda jika dibandingkan dengan rumah ulu, rumah ini sudah mengenal dan menerapkan kombinasi antara bahan kayu dan paku, kaca, cat, porselen atau marmer, genteng, dan semen. Misalnya banyak tangga atau disebut ijan mukak rumah gudang yang terbuat dari semen berlapis keramik, atau daun pintu dan jendelanya sudah dikombinasikan dengan kaca. Bahkan, kecenderungan akhir-akhir ini, rumah gudang sudah menggunakan tiang penyangga teknik cor beton dan atau batu bata, yang sebelumnya dari gelondong. Dan, di antara tiang rumah umumnya sudah pula diberi dinding semi permanen atau permanen, kemudian dijadikan tempat tinggal atau lambahan bah (rumah bawah). Mengingat bahan kayu yang saat ini semakin langka dan mahal, tampaknya masyarakat Komering lebih banyak memilih atau membangun jenis rumah gudang.
Rumah ulu sepenuhnya menggunakan bahan kayu atau papan. Tiang penyangga menggunakan gelondongan, lalu tangga, dinding, pintu, dan jendela menggunakan papan. Atap rumah dibuat dari daun enau dengan teknik rangkai-tumpuk. Tapi mengingat daya tahan dan gampang terbakar, sekarang atap daun enau ini diganti atap genteng.
Sambungan kayu pada rumah ulu tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan pasak kayu atau bambu, termasuk untuk engsel pintu, dan jendelanya juga masih menggunakan teknik engsel pasak. Mengingat bahan kayu yang saat ini mahal dan langka, sejak tiga dasawarsa terakhir, masyarakat Komering mulai jarang membangun rumah ulu.
Berdasarkan struktur bangunannya, rumah ulu terbagi atas tiga bagian, yakni bagian depan (garang), rumah bagian tengah atau utama (ambin, haluan, dan kakudan) serta rumah bagian belakang (pawon). Bagi masyarakat Komering, rumah tengah atau utama bersifat sakral, sedangkan garang atau pawon bersifat profan sehingga pada pintu depan (rawang balak) dari garang ke haluan, dan juga pada pintu belakang (rawang pawon) dari kakudan ke pawon, konstruksi kusen pintunya dibuat tinggi atau ada langkahan (ngalangkah). Rumah tengah atau utama dibagi menjadi tiga ruang, yaitu ambin atau kamar tidur, haluan, dan kakudan.
Berdasarkan struktur lantai pada rumah ulu, dapat diketahui setiapruang memiliki hierarkis yang ditandai peninggian atau merendahkan lantai ruangannya.
Ambin memiliki kedudukan yang tertingggi (dunia atas), selanjutnya haluan dan kakudan (dunia tengah) serta garang dan pawon (dunia bawah). Untuk lantai haluan sama tinggi dengan lantai kakudan , dan di antara keduanya tidak terdapat dinding.
Berdasarkan hierarki rumah ulu, haluan memiliki tingkatan yang sama dengan kakudan, namun keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Haluan (perempuan) dan kakudan (laki-laki). Sebagai penanda bahwa adanya perbedaan fungsi antara haluan dan kakudanp>, di antara lantai haluan dan kakudan diberi kayu balok panjang yang posisinya melintang, dan di atasnya ada sangai (tiang), sebagai perantara haluan dengan kakudan.
Sedangkan untuk lantai garang dan pawon (dunia bawah) posisinya paling rendah baik dari lantai ambin, haluan, maupun kakudan. Haluan posisinya berada di tengah-tengah rumah ulu, diapit dari arah sebelah laok-darak (barat-timur) dan hulu-liba/hilir (utara-selatan), yakni oleh ambin-kakudan dan garang-pawon.
Ambin (kamar tidur) memiliki kedudukan tertinggi dan suci, sejalan dengan pandangan masyarakat Komering bahwa keluarga harus dijunjung tinggi kesucian dan kehormatannya. Karenanya, dalam struktur rumah ulu, posisi ambin di sebelah laok (barat=arah salat/kiblat).
Haluan adalah perempuan, sedangkan kakudan adalah laki-laki, itulah sebabnya balai pari (lumbung padi = perempuan) posisinya tepat di bawah haluan, dan kandang hewan berada di bawah kakudan (tanduk =laki-laki).
Dalam sebuah acara adat yang disebut Ningkuk, haluan hanya diperuntukkan bagi perempuan dan kakudan tempat laki-laki. Jika ada pemuda yang bertamu ke rumah seorang gadis, si pemuda hanya boleh duduk di kakudan, dan si gadisnya harus berada di haluan. Untuk tamu yang baru dikenal biasanya akan dijamu di garang, sedangkan untuk tamu-tamu yang sudah dikenal baik oleh tuan rumah, biasanya akan dipersilakan masuk dengan melangkah rawang balak (hubungan darah dan mentalitas kelompok atau keluarga).
Dalam upacara adat melamar, ketika pihak keluarga calon besan mempelai laki-laki baru datang, terlebih dahulu mereka akan ditempatkan di garang, setelah menjalani beberapa prosesi, barulah rombongan dapat dipersilakan masuk ke rumah tengah atau utama, dalam hal ini haluan untuk perempuan dan kakudan bagi laki-laki. Demikian pula pada saat akan melangsungkan akad nikah, posisi duduk calon mempelai laki-laki harus di kakudan, sedangkan calon mempelai wanita di haluan. Setelah selesai akad nikah, baru kedua mempelai dipersandingkan di pelaminan yang berada di ruang haluan, posisi atau arah hadap pelaminan tempat kedua mempelai bersanding biasanya ke utara atau hulu.
* Erwan Suryanegara bin H Asnawi, perupa
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 23 Oktober 2007
KOMERING merupakan salah satu suku atau wilayah budaya di Sumatra Selatan, yang berada di sepanjang aliran Sungai Komering. Seperti halnya suku-suku di Sumatra Selatan, karakter suku ini adalah penjelajah sehingga penyebaran suku ini cukup luas hingga ke Lampung.
Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, dan marga Semendawai. Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas jika dibandingkan dengan wilayah budaya suku-suku lainnya di Sumatra Selatan. Selain itu, bila dilihat dari karakter masyarakatnya, suku Komering dikenal memiliki temperamen yang tinggi dan keras.
Berdasarkan cerita rakyat di masyarakat Komering, suku Komering dan suku Batak, Sumatra Utara, dikisahkan masih bersaudara. Kakak beradik yang datang dari negeri seberang. Setelah sampai di Sumatra, mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan menjadi puyang suku Komering, dan sang adik ke utara menjadi puyang suku Batak.
Berdasarkan temuan dan analisa sejarah, Dusun Minanga Tuha, di daerah marga Semendawai Suku I, atau dusun keenam dari Dusun Gunung Jati diperkirakan merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya bagian awal. Sedangkan Palembang diyakini sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian tengah, dan Jambi sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian akhir. Kala itu, Minanga Tuha, sebagai kota pelabuhan, atau tempat berlangsungnya aktivitas bongkar dan muat barang serta bersandarnya kapal-kapal Sriwijaya maupun kapal-kapal asing yang memiliki baik hubungan dagang, politik, budaya, maupun religi dengan Sriwijaya.
Sejak abad pertengahan, suku Komering, sama halnya dengan rumpun Melayu lainnya, menerima Islam sebagai sebuah agama dan kepercayaan. Kedatangan Islam itu melahirkan mitos. Mitosnya mengenai seorang panglima dari bala tentara Fatahilah, Banten, bernama Tandipulau, yang menjadi tamu di daerah marga Semendawai Suku III. Ia datang menggunakan perahu menelusuri Sungai Komering. Tandipulau berlabuh dan menetap di daerah marga Semendawai Suku III, tepatnya di Dusun Kuripan. Keturunan Tandipulau membuka permukiman baru di seberang sungai atau seberang dusun Kuripan, yang disebut Dusun Gunung Jati. Selanjutnya, marga Semendawai disebut keturunan Tandipulau dari Dusun Kuripan.
Tandipulau dalam bahasa Komering berarti 'tuan di pulau'. Makamnya, yang terletak di Dusun Kuripan, hingga kini masih terpelihara. Masyarakat Komering, khususnya marga Semendawai, sering berziarah kubur ke makam tersebut.
Rumah tradisi Komering
Salah satu tanda kebudayaan Komering dari masa lalu, yang hingga kini tetap terjaga adalah rumah. Pada masyarakat Komering, khususnya marga Semendawai, memiliki atau mengenal dua jenis rumah tempat tinggal yang bersifat tradisional, yakni rumah ulu dan rumah gudang.
Berdasarkan struktur bangunan, antara rumah ulu dan rumah gudang pada prinsipnya sama, tapi pembangunan rumah gudang umumnya cenderung mengalami beberapa modifikasi, dan tidak patuh lagi seperti rumah-rumah ulu, terutama untuk arah hadap seperti hulu (utara), liba(selatan), darak (barat), dan laok (timur). Perbedaan lainnya, pada rumah gudang, selalu dibuat atau ada ventilasi yang posisinya tepat berada di atas setiap pintu dan jendela, sedangkan pada rumah ulu tidak mengenal ventilasi udara.
Baik rumah gudang maupun rumah ulu merupakan jenis rumah panggung atau rumah yang memiliki tiang penyangga. Bahan utama pembuatan rumah gudang dan ulu adalah kayu atau papan.
Lantaran rumah gudang Komering lebih muda jika dibandingkan dengan rumah ulu, rumah ini sudah mengenal dan menerapkan kombinasi antara bahan kayu dan paku, kaca, cat, porselen atau marmer, genteng, dan semen. Misalnya banyak tangga atau disebut ijan mukak rumah gudang yang terbuat dari semen berlapis keramik, atau daun pintu dan jendelanya sudah dikombinasikan dengan kaca. Bahkan, kecenderungan akhir-akhir ini, rumah gudang sudah menggunakan tiang penyangga teknik cor beton dan atau batu bata, yang sebelumnya dari gelondong. Dan, di antara tiang rumah umumnya sudah pula diberi dinding semi permanen atau permanen, kemudian dijadikan tempat tinggal atau lambahan bah (rumah bawah). Mengingat bahan kayu yang saat ini semakin langka dan mahal, tampaknya masyarakat Komering lebih banyak memilih atau membangun jenis rumah gudang.
Rumah ulu sepenuhnya menggunakan bahan kayu atau papan. Tiang penyangga menggunakan gelondongan, lalu tangga, dinding, pintu, dan jendela menggunakan papan. Atap rumah dibuat dari daun enau dengan teknik rangkai-tumpuk. Tapi mengingat daya tahan dan gampang terbakar, sekarang atap daun enau ini diganti atap genteng.
Sambungan kayu pada rumah ulu tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan pasak kayu atau bambu, termasuk untuk engsel pintu, dan jendelanya juga masih menggunakan teknik engsel pasak. Mengingat bahan kayu yang saat ini mahal dan langka, sejak tiga dasawarsa terakhir, masyarakat Komering mulai jarang membangun rumah ulu.
Berdasarkan struktur bangunannya, rumah ulu terbagi atas tiga bagian, yakni bagian depan (garang), rumah bagian tengah atau utama (ambin, haluan, dan kakudan) serta rumah bagian belakang (pawon). Bagi masyarakat Komering, rumah tengah atau utama bersifat sakral, sedangkan garang atau pawon bersifat profan sehingga pada pintu depan (rawang balak) dari garang ke haluan, dan juga pada pintu belakang (rawang pawon) dari kakudan ke pawon, konstruksi kusen pintunya dibuat tinggi atau ada langkahan (ngalangkah). Rumah tengah atau utama dibagi menjadi tiga ruang, yaitu ambin atau kamar tidur, haluan, dan kakudan.
Berdasarkan struktur lantai pada rumah ulu, dapat diketahui setiapruang memiliki hierarkis yang ditandai peninggian atau merendahkan lantai ruangannya.
Ambin memiliki kedudukan yang tertingggi (dunia atas), selanjutnya haluan dan kakudan (dunia tengah) serta garang dan pawon (dunia bawah). Untuk lantai haluan sama tinggi dengan lantai kakudan , dan di antara keduanya tidak terdapat dinding.
Berdasarkan hierarki rumah ulu, haluan memiliki tingkatan yang sama dengan kakudan, namun keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Haluan (perempuan) dan kakudan (laki-laki). Sebagai penanda bahwa adanya perbedaan fungsi antara haluan dan kakudanp>, di antara lantai haluan dan kakudan diberi kayu balok panjang yang posisinya melintang, dan di atasnya ada sangai (tiang), sebagai perantara haluan dengan kakudan.
Sedangkan untuk lantai garang dan pawon (dunia bawah) posisinya paling rendah baik dari lantai ambin, haluan, maupun kakudan. Haluan posisinya berada di tengah-tengah rumah ulu, diapit dari arah sebelah laok-darak (barat-timur) dan hulu-liba/hilir (utara-selatan), yakni oleh ambin-kakudan dan garang-pawon.
Ambin (kamar tidur) memiliki kedudukan tertinggi dan suci, sejalan dengan pandangan masyarakat Komering bahwa keluarga harus dijunjung tinggi kesucian dan kehormatannya. Karenanya, dalam struktur rumah ulu, posisi ambin di sebelah laok (barat=arah salat/kiblat).
Haluan adalah perempuan, sedangkan kakudan adalah laki-laki, itulah sebabnya balai pari (lumbung padi = perempuan) posisinya tepat di bawah haluan, dan kandang hewan berada di bawah kakudan (tanduk =laki-laki).
Dalam sebuah acara adat yang disebut Ningkuk, haluan hanya diperuntukkan bagi perempuan dan kakudan tempat laki-laki. Jika ada pemuda yang bertamu ke rumah seorang gadis, si pemuda hanya boleh duduk di kakudan, dan si gadisnya harus berada di haluan. Untuk tamu yang baru dikenal biasanya akan dijamu di garang, sedangkan untuk tamu-tamu yang sudah dikenal baik oleh tuan rumah, biasanya akan dipersilakan masuk dengan melangkah rawang balak (hubungan darah dan mentalitas kelompok atau keluarga).
Dalam upacara adat melamar, ketika pihak keluarga calon besan mempelai laki-laki baru datang, terlebih dahulu mereka akan ditempatkan di garang, setelah menjalani beberapa prosesi, barulah rombongan dapat dipersilakan masuk ke rumah tengah atau utama, dalam hal ini haluan untuk perempuan dan kakudan bagi laki-laki. Demikian pula pada saat akan melangsungkan akad nikah, posisi duduk calon mempelai laki-laki harus di kakudan, sedangkan calon mempelai wanita di haluan. Setelah selesai akad nikah, baru kedua mempelai dipersandingkan di pelaminan yang berada di ruang haluan, posisi atau arah hadap pelaminan tempat kedua mempelai bersanding biasanya ke utara atau hulu.
* Erwan Suryanegara bin H Asnawi, perupa
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 23 Oktober 2007
Apresiasi: Iseng Menjual Rindu dari Tokyo
Ada perasaan tidak percaya, takjub, ataupun bingung ketika Menara Lampung Production meluncurkan film televisi bertajuk "Rindu tak Hilang di Tokyo", di Pemprov Lampung, Senin (17-12). Sebab ide awal munculnya film ini adalah dari pemikiran iseng seorang Syaiful Irba Tanpaka.
Sepulangnya dari Jepang, dalam perbincangan kecil, Syaiful mengemukakan bahwa dirinya berencana membuat film dari hasil oleh-olehnya saat melakukan perjalanan misi budaya ke Jepang. "Saya pikir kapan lagi kita bisa mengambil setting di Tokyo kalau tidak sekarang ini. Sebab kalau tidak begini, biaya yang akan digunakan akan sangat mahal."
Untuk itulah, Ketua Harian DKL tersebut mencoba mengambil gambar berbagai sudut Kota Tokyo serta mencoba mencuri gambar beberapa adegan film yang di Tokyo. "Saya seketika itu saja muncul ide untuk membuat film ini. Makanya saya menggunakan pemain yang ada saat itu. ceritanya sendiri langsung saya buat saat itu juga di hotel," katanya beberapa waktu lalu saat ditemui di Sekretariat DKL.
Dan itu pula yang dikemukakan Syaiful saat melakukan peluncuran film tersebut di Ruang Pubian, Balai Keratun Pemprov Lampung, Senin (17-12) kemarin. Dia mengatakan penggarapan film ini sebenarnya dibuat sangat spontan muncul ketika akhir bulan Maret 2007 lalu saya beserta rombongan tim kesenian Lampung melawat ke Tokyo.
Syaiful mengatakan dirinya berpikir akan sangat sayang sekali apabila perjalanan ini tidak hanya berlalu saja. "Mengapa saya tidak membuat perjalanan ini berarti? Saya akhirnya mengambil inisiatif untuk membuat film. Toh, adegan yang lain bisa diselesaikan di Lampung begitu pikiran saya ketika itu."
Sehingga akhirnya, dia pun langsung melaporkan ide tersebut kepada Ketua Umum DKL, Atu Ayi. "Setelah mendapatkan persetujuannya, akhirnya saya mulai membuat film lintas budaya yang kami berikan tajuk "Rindu7 Tak Hilang di Tokyo" yang mengangkat dialog dalam bahasa Indonesia, Lampung, dan Jepang," katanya.
Ternyata ketika diluncurkan pada Senin kemarin, film yang berlatar belakang di Provinsi Lampung dan di Tokyo, Jepang ini, secara umum sudah lumayan. Karena di film yang juga digarap oleh Ibrahim Wardan (Boim) ini, kisahnya mampu diterima oleh penonton. Bahkan bisa dikatakan pesan tersebut mampu diterjemahkan dalam bahasa gambar yang lumayan baik. Sehingga penonton pun bisa mengambil pesan-pesan serta nilai yang terkandung dalam film tersebut.
Apalagi di dalam film ini, sutradara mencoba mengangkat nuansa kelokalan Lampung dengan mengambil setting tempat yang menunjukkan kekhasan Lampung. Di antaranya adalah penggunaan rumah kayu yang berarsitektur khas Lampung, Tugu Siger, Tugu Gajah, serta beberapa sudut pengambilan lainnya.
Pun juga dengan nilai-nilai kearifan lokal yang coba diketengahkan di film ini. Misalnya saja nilai untuk tetap menjaga tradisi Lampung serta memegang petuah para tetua oleh para generasi muda, sehingga mereka tidak terbawa oleh arus yang ditawarkan zaman. Bahkan meski akhirnya meski tinggal di kota metropolitan, kerinduan akan kampung halaman tetap ada.
Selain itu juga, dalam film ini pun, Syaiful yang juga merupakan penulis skenarionya mencoba memperkenalkan penggunaan bahasa Lampung dalam beberapa dialog yang dilakukan, terutama oleh nenek, om, dan tante. Bahkan tidak hanya itu saja, di film ini pun coba ditunjukan bagaimana sosok anak muda yang gaul karena berprofesi sebagai model kondang, tetapi tidak lalu melupakan bahasa ibu yang dimilikinya hanya karena ingin disebut modern ataupun gaul. Sehingga ini sangat pas sekali ketika film televisi ini diaksikan oleh anak muda.
Namun selain nilai plus dari film ini, beberapa kekurangan terutama dari sudut sinematografi masih sangat terasa. Kelemahan yang sangat terasa adalah ketika film ini berkisah di Tokyo, penggambaran sudut yang diambil selalu berulang beberapa kali. Walaupun sepertinya ini dilakukan sutradara untuk menunjukkan adegan yang dilakukan ber-setting di Tokyo. Tapi akhirnya malahan ini menjadi sangat kontraproduktif kepada film ini sendiri.
Selain itu juga, kelemahan yang juga sangat terasa adalah ketidakcermatan sutradara terhadap detail serta kurangnya melakukan riset tempat. Di beberapa adegan misalnya ketika ber-setting di sebuah diskotik di Jepang, sangat terlihat sekali sangat biasa sekali. Hanya penggambaran permainan lampu warna warni serta backsound lagu house music saja.
Untuk mencoba menunjukkan kalau diskotek tersebut berada di Jepang, hanya ditandai dengan tulisan huruf kanji yang banyak tertempel di tembok. Itu saja. Tapi kursi diskotek yang berbentuk kursi bulat dan terbuat dari kayu, tentu saja sudah menunjukan kalau itu bukan diambil di Jepang. Begitu juga dengan orang-orang yang berada di diskotek tersebut, kelihatan sekali hanya menggunakan orang-orang dekat pembuat saja, dimana wajahnya sangat Indonesia sekali. Padahal bisa saja untuk mendukung ajak saja pelajar ataupun mahasiswa keturunan China untuk bermain di sini.
Pun begitu juga dengan latar rumah makan Jepang. Meski setting-nya sudah sangat tepat karena mengambil salah satu sudut rumah makan Jepang, Tadanama di Telukbetung, tidak didukung dengan sosok pelayan. Sebab wajahnya masih sangat Indonesia. Sehingga seharusnya ini juga menjadi perhatian dari sutradara. Walaupun tidak juga menapikan bisa saja orang Indonesia atau Melayu bekerja di rumah makan Jepang bik secara part time ataupun TKI, seyogianya tetap saja detail ini juga yang mesti diperhatikan.
Tidak hanya itu saja, persoalan penokohan serta keaktoran yang ada juga masih sangat kurang. Mesti bisa dimaklumi ini dikarenakan ide awal penggarapannya datang begitu saja, serta diburu deadline tinggal hanya beberapa waktu saja di Tokyo, yang akhirnya menjadikan pemain yang ada ala kadarnya. Misalnya sosok Rindu yang diperankan Dina yang digambarkan sebagai sosok yang tegar dan kuat serta energik namun di dalam penggambarannya malahan terkesan sangat kalem, introver, serta cenderung melankolis.
Serta sosok Tanjung yang beperan sebagai Ken, kekasih Rindu. Sebagai sosok seorang eksekutif muda yang sukses, penggambarannya masih sangat kurang pas, baik itu dari dandanannya ataupun gaya yang dikenakannya.
Tokoh yang pas berperan adalah Monica Andriani yang memerankan sosok Harum, teman SMP Rindu yang kini menetap di Tokyo. Di sini terlihat Monica yang memang berprofesi sebagai penyiar radio ini mampu bermain secara natural sekali, baik dalam dialog yang dilontarkan juga lewat acting yang diperankan. Contohnya ketika beradegan merokok, mabuk, hingga bercakap secara santai kepada Rindu ataupun Tanaka (Ch. Heru) yang merupakan kekasih Harum.
Namun paling tidak, bila dibandingkan dengan film-film televisi ataupun film indie garapan sineas lokal Lampung, apa yang digarap Syaiful dan Boim ini lebih unggul. Karena memang terlihat sekali keseriusan dalam penggarapannya. Walaupun bila dibandingkan dengan FTV produk televisi swasta nasional ataupun film indie garapan sineas kota besar, masih kalah jauh.
Dan catatan yang sangat mengganjal ketika dilakukan pemutaran perdana saat launcing adalah terdapatnya penggalan-penggalan iklan casting lima menit sekali saat film diputar. Padahal seharusnya untuk ruang apresiasi, jangan terganggu dengan penggalan yang sanggat mengganggu seperti itu, Sehingga akhirnya ritme serta keasyikan saat menyaksikan film ini menjadi sangat terganggu.
Pimpinan produksi film ini, Christian Heru Cahyo Saputro mengatakan bahwa film ini dikerjakan semuanya oleh anak-anak Lampung. "Film ini akan ditayangkan di Lampung Televisi, Selasa (18-12) pukul 19.00 sedangkan di Siger TV akan ditayangkan pada hari Kamis (20-12) sekitar pukul 20.00. Selain itu bisa diakses pada ontv4us.com."
Heru juga mengatakan film ini didukung artis lokal seperti Dina, Mona, Tanjung, Aan Ibrahim, Berti Moegni, Atu Ayi, Nia, dan Susi. "Untuk eksekutif produser dalam film perdana besutan Menara Lampung Production ini adalah Hj. Syafariah Widiati, pimpinan produksi saya sendiri, sutradara selain Syaiful serta Ibrahim Wardin, dan Unit Manager Yunanda Saputra," ujarnya.
Film ini sendiri mengisahkan tentang Rindu (Dina) yang menjalin cinta dengan Ken (Tanjung). Namun karena berbeda prinsip hidup, akhirnya keduanya putus, dan Rindu pergi ke Tokyo, ke tempat tinggal nenek serta oom dan tantenya. Bahkan di sana dia bertemu dengan Harum (Mona) yang merupakan teman SMP yang sudah menetap di sana dan bergaya metropolis dan hedonis.
Namun karena Rindu masih mendapatkan perhatian serta pesan-pesan dari neneknya yang masih mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal, Rindu tak terbawa oleh arus yang ditawarkan Harum. Sampai akhirnya dia sadar memiliki kekangenan untuk kembali ke Lampung yang diibaratkannya sebagai kampungnya. n TEGUH PRASETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2007
Sepulangnya dari Jepang, dalam perbincangan kecil, Syaiful mengemukakan bahwa dirinya berencana membuat film dari hasil oleh-olehnya saat melakukan perjalanan misi budaya ke Jepang. "Saya pikir kapan lagi kita bisa mengambil setting di Tokyo kalau tidak sekarang ini. Sebab kalau tidak begini, biaya yang akan digunakan akan sangat mahal."
Untuk itulah, Ketua Harian DKL tersebut mencoba mengambil gambar berbagai sudut Kota Tokyo serta mencoba mencuri gambar beberapa adegan film yang di Tokyo. "Saya seketika itu saja muncul ide untuk membuat film ini. Makanya saya menggunakan pemain yang ada saat itu. ceritanya sendiri langsung saya buat saat itu juga di hotel," katanya beberapa waktu lalu saat ditemui di Sekretariat DKL.
Dan itu pula yang dikemukakan Syaiful saat melakukan peluncuran film tersebut di Ruang Pubian, Balai Keratun Pemprov Lampung, Senin (17-12) kemarin. Dia mengatakan penggarapan film ini sebenarnya dibuat sangat spontan muncul ketika akhir bulan Maret 2007 lalu saya beserta rombongan tim kesenian Lampung melawat ke Tokyo.
Syaiful mengatakan dirinya berpikir akan sangat sayang sekali apabila perjalanan ini tidak hanya berlalu saja. "Mengapa saya tidak membuat perjalanan ini berarti? Saya akhirnya mengambil inisiatif untuk membuat film. Toh, adegan yang lain bisa diselesaikan di Lampung begitu pikiran saya ketika itu."
Sehingga akhirnya, dia pun langsung melaporkan ide tersebut kepada Ketua Umum DKL, Atu Ayi. "Setelah mendapatkan persetujuannya, akhirnya saya mulai membuat film lintas budaya yang kami berikan tajuk "Rindu7 Tak Hilang di Tokyo" yang mengangkat dialog dalam bahasa Indonesia, Lampung, dan Jepang," katanya.
Ternyata ketika diluncurkan pada Senin kemarin, film yang berlatar belakang di Provinsi Lampung dan di Tokyo, Jepang ini, secara umum sudah lumayan. Karena di film yang juga digarap oleh Ibrahim Wardan (Boim) ini, kisahnya mampu diterima oleh penonton. Bahkan bisa dikatakan pesan tersebut mampu diterjemahkan dalam bahasa gambar yang lumayan baik. Sehingga penonton pun bisa mengambil pesan-pesan serta nilai yang terkandung dalam film tersebut.
Apalagi di dalam film ini, sutradara mencoba mengangkat nuansa kelokalan Lampung dengan mengambil setting tempat yang menunjukkan kekhasan Lampung. Di antaranya adalah penggunaan rumah kayu yang berarsitektur khas Lampung, Tugu Siger, Tugu Gajah, serta beberapa sudut pengambilan lainnya.
Pun juga dengan nilai-nilai kearifan lokal yang coba diketengahkan di film ini. Misalnya saja nilai untuk tetap menjaga tradisi Lampung serta memegang petuah para tetua oleh para generasi muda, sehingga mereka tidak terbawa oleh arus yang ditawarkan zaman. Bahkan meski akhirnya meski tinggal di kota metropolitan, kerinduan akan kampung halaman tetap ada.
Selain itu juga, dalam film ini pun, Syaiful yang juga merupakan penulis skenarionya mencoba memperkenalkan penggunaan bahasa Lampung dalam beberapa dialog yang dilakukan, terutama oleh nenek, om, dan tante. Bahkan tidak hanya itu saja, di film ini pun coba ditunjukan bagaimana sosok anak muda yang gaul karena berprofesi sebagai model kondang, tetapi tidak lalu melupakan bahasa ibu yang dimilikinya hanya karena ingin disebut modern ataupun gaul. Sehingga ini sangat pas sekali ketika film televisi ini diaksikan oleh anak muda.
Namun selain nilai plus dari film ini, beberapa kekurangan terutama dari sudut sinematografi masih sangat terasa. Kelemahan yang sangat terasa adalah ketika film ini berkisah di Tokyo, penggambaran sudut yang diambil selalu berulang beberapa kali. Walaupun sepertinya ini dilakukan sutradara untuk menunjukkan adegan yang dilakukan ber-setting di Tokyo. Tapi akhirnya malahan ini menjadi sangat kontraproduktif kepada film ini sendiri.
Selain itu juga, kelemahan yang juga sangat terasa adalah ketidakcermatan sutradara terhadap detail serta kurangnya melakukan riset tempat. Di beberapa adegan misalnya ketika ber-setting di sebuah diskotik di Jepang, sangat terlihat sekali sangat biasa sekali. Hanya penggambaran permainan lampu warna warni serta backsound lagu house music saja.
Untuk mencoba menunjukkan kalau diskotek tersebut berada di Jepang, hanya ditandai dengan tulisan huruf kanji yang banyak tertempel di tembok. Itu saja. Tapi kursi diskotek yang berbentuk kursi bulat dan terbuat dari kayu, tentu saja sudah menunjukan kalau itu bukan diambil di Jepang. Begitu juga dengan orang-orang yang berada di diskotek tersebut, kelihatan sekali hanya menggunakan orang-orang dekat pembuat saja, dimana wajahnya sangat Indonesia sekali. Padahal bisa saja untuk mendukung ajak saja pelajar ataupun mahasiswa keturunan China untuk bermain di sini.
Pun begitu juga dengan latar rumah makan Jepang. Meski setting-nya sudah sangat tepat karena mengambil salah satu sudut rumah makan Jepang, Tadanama di Telukbetung, tidak didukung dengan sosok pelayan. Sebab wajahnya masih sangat Indonesia. Sehingga seharusnya ini juga menjadi perhatian dari sutradara. Walaupun tidak juga menapikan bisa saja orang Indonesia atau Melayu bekerja di rumah makan Jepang bik secara part time ataupun TKI, seyogianya tetap saja detail ini juga yang mesti diperhatikan.
Tidak hanya itu saja, persoalan penokohan serta keaktoran yang ada juga masih sangat kurang. Mesti bisa dimaklumi ini dikarenakan ide awal penggarapannya datang begitu saja, serta diburu deadline tinggal hanya beberapa waktu saja di Tokyo, yang akhirnya menjadikan pemain yang ada ala kadarnya. Misalnya sosok Rindu yang diperankan Dina yang digambarkan sebagai sosok yang tegar dan kuat serta energik namun di dalam penggambarannya malahan terkesan sangat kalem, introver, serta cenderung melankolis.
Serta sosok Tanjung yang beperan sebagai Ken, kekasih Rindu. Sebagai sosok seorang eksekutif muda yang sukses, penggambarannya masih sangat kurang pas, baik itu dari dandanannya ataupun gaya yang dikenakannya.
Tokoh yang pas berperan adalah Monica Andriani yang memerankan sosok Harum, teman SMP Rindu yang kini menetap di Tokyo. Di sini terlihat Monica yang memang berprofesi sebagai penyiar radio ini mampu bermain secara natural sekali, baik dalam dialog yang dilontarkan juga lewat acting yang diperankan. Contohnya ketika beradegan merokok, mabuk, hingga bercakap secara santai kepada Rindu ataupun Tanaka (Ch. Heru) yang merupakan kekasih Harum.
Namun paling tidak, bila dibandingkan dengan film-film televisi ataupun film indie garapan sineas lokal Lampung, apa yang digarap Syaiful dan Boim ini lebih unggul. Karena memang terlihat sekali keseriusan dalam penggarapannya. Walaupun bila dibandingkan dengan FTV produk televisi swasta nasional ataupun film indie garapan sineas kota besar, masih kalah jauh.
Dan catatan yang sangat mengganjal ketika dilakukan pemutaran perdana saat launcing adalah terdapatnya penggalan-penggalan iklan casting lima menit sekali saat film diputar. Padahal seharusnya untuk ruang apresiasi, jangan terganggu dengan penggalan yang sanggat mengganggu seperti itu, Sehingga akhirnya ritme serta keasyikan saat menyaksikan film ini menjadi sangat terganggu.
Pimpinan produksi film ini, Christian Heru Cahyo Saputro mengatakan bahwa film ini dikerjakan semuanya oleh anak-anak Lampung. "Film ini akan ditayangkan di Lampung Televisi, Selasa (18-12) pukul 19.00 sedangkan di Siger TV akan ditayangkan pada hari Kamis (20-12) sekitar pukul 20.00. Selain itu bisa diakses pada ontv4us.com."
Heru juga mengatakan film ini didukung artis lokal seperti Dina, Mona, Tanjung, Aan Ibrahim, Berti Moegni, Atu Ayi, Nia, dan Susi. "Untuk eksekutif produser dalam film perdana besutan Menara Lampung Production ini adalah Hj. Syafariah Widiati, pimpinan produksi saya sendiri, sutradara selain Syaiful serta Ibrahim Wardin, dan Unit Manager Yunanda Saputra," ujarnya.
Film ini sendiri mengisahkan tentang Rindu (Dina) yang menjalin cinta dengan Ken (Tanjung). Namun karena berbeda prinsip hidup, akhirnya keduanya putus, dan Rindu pergi ke Tokyo, ke tempat tinggal nenek serta oom dan tantenya. Bahkan di sana dia bertemu dengan Harum (Mona) yang merupakan teman SMP yang sudah menetap di sana dan bergaya metropolis dan hedonis.
Namun karena Rindu masih mendapatkan perhatian serta pesan-pesan dari neneknya yang masih mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal, Rindu tak terbawa oleh arus yang ditawarkan Harum. Sampai akhirnya dia sadar memiliki kekangenan untuk kembali ke Lampung yang diibaratkannya sebagai kampungnya. n TEGUH PRASETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2007
December 17, 2007
Sinema: 'Beautiful' Juara Lomba Film Pelajar
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Film "Beautiful" produksi Good n Community dari SMAN 3 Bandar Lampung memenangi Lomba Film Pelajar yang digelar Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, 13--15 Desember 2007.
Dewan juri yang terdiri dari Daniel Rudi Haryanto, Hermansyah G.A., Irwan Wahyudi, Ibrahim Wardin, dan Dede Safara juga menetapkan "Senja Terakhir" dari Teater Sebelas dari SMAN 11 Bandar Lampung dan "Angin dari Barat" produksi Teater Cupido dari SMAN 1 Sumberjaya Lampung Barat sebagai juara kedua dan ketiga.
Sedangkan untuk juara harapan kesatu, kedua, dan ketiga diraih masing--masing oleh "Perjuangan Sang Generasi" dari Sanggar Prista SMA Perintis 1 Bandar Lampung, "Kejora" dari Sanggar Saraswati SMAN 1 Gadingrejo, dan "Save Mady's Soul" dari SMA YP Unila.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Hermansyah, M.U.R.P. didampingi Ketua Pelaksana A. Murad Noer dalam sambutannya sebelum menyerahkan piala dan dana pembinaan mengatakan film pelajar ini dari segi ide, penggarapan, dan imajinya sangat membanggakan. "Ini membuktikan para pelajar Lampung memiliki kemampuan yang tak kalah baik itu dari konsepsi maupun estetik dengan para praktisi film profesional."
Hermansyah mencontohkan pada "Beautiful", film ini tidak saja menyajikan konsepsi artistik melalui sudut pengambilan gambar yang tak biasa. "Tetapi di sini juga disajikan perenungan dalam menghadapi proses kematian. Pun dengan 'Senja Terakhir' yang menyajikan satu sentuhan dramatik yang memukau," katanya.
Sedangkan untuk film "Angin dari Barat", kata dia, berhasil mengolaborasikan beragam kreasi hasil kebudayaan yang patut terus dijaga dan dilestarikan. "Film-film yang meraih prestasi dalam ajang apresiasi film pelajar tahun ini memang memiliki kekuatan masing-masing. Dengan modal inilah garapannya akan muncul sineas muda Lampung yang bakal mewarnai perkembangan dunia perfilman Indonesia."
Sementara Ketua Umum Farfi Lampung Hermansyah G.A. mengemukakan bahwa perkembangan dunia film di Lampung cukup menggembirakan. Dia berharap gelaran apresiasi film pelajar yang diselenggarakan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung akan menjadi satu agenda tahunan.
"Ini merupakan langkah strategis untuk menyalurkan bakat-bakat pelajar di bidang sinematografi. Sehingga ke depan dunia perfilman Lampung akan melesat hingga tingkat nasional," ujar Hermansyah yang juga merupakan anggota DPRD Kabupaten Tanggamus ini.
Kegiatan ini sendiri diikuti sebanyak 10 sanggar seni pelajar dari SMA se-Provinsi Lampung. Pada hari pertama penyelenggaraan, Kamis (13-12) diputar enam film peserta yakni "Senja Terakhir" karya SMAN 11 Bandar Lampung, "Kejora" dari SMAN 1 Gading Rejo, "Beautiful" dari SMAN 3 Bandar Lampung, "Anggin dari Barat" dari SMAN 1 Sumber Jaya, "Perjuangan Sang Generasi" dari SMA Perintis 1 Bandar Lampung dan "Pena Kurniasih" dari SMAN 1 Gading Rejo.
Sedangkan pada hari kedua penyelenggaraan, Jumat (14-12) akan diputar empat film yakni "Say No To Late" dari SMAN 3 Bandar Lampung, "Save Mady's Soul" dari SMA YP Unila, "Rudi Nggak Sekolah" dari SMA Al Kautsar, dan "Kabut Hitam di Atas Sekolah" dari SMA Taman Siswa Teluk Betung. Selain akan digelar pemutaran film, pada hari kedua akan dilakukan diskusi. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 17 Desember 2007
Dewan juri yang terdiri dari Daniel Rudi Haryanto, Hermansyah G.A., Irwan Wahyudi, Ibrahim Wardin, dan Dede Safara juga menetapkan "Senja Terakhir" dari Teater Sebelas dari SMAN 11 Bandar Lampung dan "Angin dari Barat" produksi Teater Cupido dari SMAN 1 Sumberjaya Lampung Barat sebagai juara kedua dan ketiga.
Sedangkan untuk juara harapan kesatu, kedua, dan ketiga diraih masing--masing oleh "Perjuangan Sang Generasi" dari Sanggar Prista SMA Perintis 1 Bandar Lampung, "Kejora" dari Sanggar Saraswati SMAN 1 Gadingrejo, dan "Save Mady's Soul" dari SMA YP Unila.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Hermansyah, M.U.R.P. didampingi Ketua Pelaksana A. Murad Noer dalam sambutannya sebelum menyerahkan piala dan dana pembinaan mengatakan film pelajar ini dari segi ide, penggarapan, dan imajinya sangat membanggakan. "Ini membuktikan para pelajar Lampung memiliki kemampuan yang tak kalah baik itu dari konsepsi maupun estetik dengan para praktisi film profesional."
Hermansyah mencontohkan pada "Beautiful", film ini tidak saja menyajikan konsepsi artistik melalui sudut pengambilan gambar yang tak biasa. "Tetapi di sini juga disajikan perenungan dalam menghadapi proses kematian. Pun dengan 'Senja Terakhir' yang menyajikan satu sentuhan dramatik yang memukau," katanya.
Sedangkan untuk film "Angin dari Barat", kata dia, berhasil mengolaborasikan beragam kreasi hasil kebudayaan yang patut terus dijaga dan dilestarikan. "Film-film yang meraih prestasi dalam ajang apresiasi film pelajar tahun ini memang memiliki kekuatan masing-masing. Dengan modal inilah garapannya akan muncul sineas muda Lampung yang bakal mewarnai perkembangan dunia perfilman Indonesia."
Sementara Ketua Umum Farfi Lampung Hermansyah G.A. mengemukakan bahwa perkembangan dunia film di Lampung cukup menggembirakan. Dia berharap gelaran apresiasi film pelajar yang diselenggarakan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung akan menjadi satu agenda tahunan.
"Ini merupakan langkah strategis untuk menyalurkan bakat-bakat pelajar di bidang sinematografi. Sehingga ke depan dunia perfilman Lampung akan melesat hingga tingkat nasional," ujar Hermansyah yang juga merupakan anggota DPRD Kabupaten Tanggamus ini.
Kegiatan ini sendiri diikuti sebanyak 10 sanggar seni pelajar dari SMA se-Provinsi Lampung. Pada hari pertama penyelenggaraan, Kamis (13-12) diputar enam film peserta yakni "Senja Terakhir" karya SMAN 11 Bandar Lampung, "Kejora" dari SMAN 1 Gading Rejo, "Beautiful" dari SMAN 3 Bandar Lampung, "Anggin dari Barat" dari SMAN 1 Sumber Jaya, "Perjuangan Sang Generasi" dari SMA Perintis 1 Bandar Lampung dan "Pena Kurniasih" dari SMAN 1 Gading Rejo.
Sedangkan pada hari kedua penyelenggaraan, Jumat (14-12) akan diputar empat film yakni "Say No To Late" dari SMAN 3 Bandar Lampung, "Save Mady's Soul" dari SMA YP Unila, "Rudi Nggak Sekolah" dari SMA Al Kautsar, dan "Kabut Hitam di Atas Sekolah" dari SMA Taman Siswa Teluk Betung. Selain akan digelar pemutaran film, pada hari kedua akan dilakukan diskusi. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 17 Desember 2007
Sastra: DKL Gelar 'Workshop' Cerpen
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Komite Sastra Dewan Kesenian (DKL) Lampung akan menggelar workshop cerpen di Taman Budaya Lampung (TBL),l 22--23 Desember 2007.
Ketua Komite Sastra DKL Ari Pahala Hutabarat mengatakan di Bandar Lampung, Minggu (16-12), saat ini Provinsi Lampung diperhitungkan dalam dunia sastra Indonesia mutakhir.
"Banyak penyair Lampung yang namanya sudah familier karena karya-karyanya kerap menghiasi media massa nasional dan daerah lain. Sayangnya, untuk cerpenis masih minim," kata Ari.
Berangkat dari kenyataan itulah, pihak Komite Sastra DKL tergerak untuk menggelar workshop cerpen dengan harapan akan bermunculan cerpenis-cerpenis muda di Lampung. "Workshop penulisan cerpen ini akan menghadirkan cerpenis yang sudah amat dikenal publik yakni Yanusa Nugroho dan Zen Hae."
Zen Hae, kata Ari, adalah sastrawan yang juga anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). "Buku cerpen Zen Hae yang telah diterbitkan adalah Rumah Kawin dan sejumlah cerpennya terpublikasi di media massa nasional. Sementara Yanusa Nugroho, adalah cerpenis nasional yang karya-karyanya kerap menghiasi media massa nasional dan merupakan Penerima Anugerah Menteri Kebudayaan Pariwisata tahun 2006 atas cerpennya yang dimuat Kompas dan sejumlah buku cerpennya seperti Segulung Cerita Tua," ujarnya.
Dan dalam workshop tersebut, menurut dia, para tutor akan membimbing bagaimana memulai, menggarap tema cerpen, dan bagaimana bersaing di media massa nasional dan daerah kepada para peserta. "Diharapkan dengan bimbingan kedua cerpenis yang tak asing lagi dalam kancah sastra Indonesia, akan bermunculan cerpenis asal Lampung yang bisa melambung namanya ke pentas nasional bahkan internasional."
Sekretaris Panitia Workshop M. Arman A.Z. mengatakan, kegiatan ini diibaratkan sebagai "bengkel". "Makanya diharapkan para peserta harus sungguh-sungguh dan setidaknya tahu dan dapat menulis cerpen. Mayoritas pelajar dan mahasiswa Lampung hanya menulis cerpen jika ada perlombaan saja. Kami ingin mereka berproses dan bisa bersaing di tingkat lebih tinggi."
Kegiatan ini, menurut Arman, akan difokuskan untuk kalangan pelajar dan mahasiswa karena dari kalangan inilah diharapkan muncul cerpenis-cerpenis baru di Lampung. "Panitia workshop telah mengundang beberapa SMA di Bandar Lampung dan luar kota, universitas, dan komunitas-komunitas sastra yang tersebar di Lampung. Dan para peserta diminta mengirimkan naskah cerpen untuk dibahas oleh para tutor pada saat kegiatan berlangsung," kata dia.
Sampai saat ini, menurut dia, beberapa sekolah dan komunitas sastra dari luar kota sudah mendaftarkan diri untuk ikut kegiatan ini, seperti dari Sribhawono, Metro, Gadingrejo, dan Lampung Barat. "Sebenarnya peserta kegiatan ini kami batasi karena kami ingin tepat sasaran. Tapi tidak tertutup kemungkinan jika ada masyarakat umum yang benar-benar berminat dan antusias menekuni penulisan cerpen untuk mengikuti kegiataan bermanfaat ini."
Bagi peserta yang berminat bisa menghubungi Panitia Workshop Cerpen, Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung, di Kompleks PKOR Way Halim, Jalan Sumpah Pemuda, Way Halim, Bandar Lampung, telepon (0721) 703077. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 17 Desember 2007
Ketua Komite Sastra DKL Ari Pahala Hutabarat mengatakan di Bandar Lampung, Minggu (16-12), saat ini Provinsi Lampung diperhitungkan dalam dunia sastra Indonesia mutakhir.
"Banyak penyair Lampung yang namanya sudah familier karena karya-karyanya kerap menghiasi media massa nasional dan daerah lain. Sayangnya, untuk cerpenis masih minim," kata Ari.
Berangkat dari kenyataan itulah, pihak Komite Sastra DKL tergerak untuk menggelar workshop cerpen dengan harapan akan bermunculan cerpenis-cerpenis muda di Lampung. "Workshop penulisan cerpen ini akan menghadirkan cerpenis yang sudah amat dikenal publik yakni Yanusa Nugroho dan Zen Hae."
Zen Hae, kata Ari, adalah sastrawan yang juga anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). "Buku cerpen Zen Hae yang telah diterbitkan adalah Rumah Kawin dan sejumlah cerpennya terpublikasi di media massa nasional. Sementara Yanusa Nugroho, adalah cerpenis nasional yang karya-karyanya kerap menghiasi media massa nasional dan merupakan Penerima Anugerah Menteri Kebudayaan Pariwisata tahun 2006 atas cerpennya yang dimuat Kompas dan sejumlah buku cerpennya seperti Segulung Cerita Tua," ujarnya.
Dan dalam workshop tersebut, menurut dia, para tutor akan membimbing bagaimana memulai, menggarap tema cerpen, dan bagaimana bersaing di media massa nasional dan daerah kepada para peserta. "Diharapkan dengan bimbingan kedua cerpenis yang tak asing lagi dalam kancah sastra Indonesia, akan bermunculan cerpenis asal Lampung yang bisa melambung namanya ke pentas nasional bahkan internasional."
Sekretaris Panitia Workshop M. Arman A.Z. mengatakan, kegiatan ini diibaratkan sebagai "bengkel". "Makanya diharapkan para peserta harus sungguh-sungguh dan setidaknya tahu dan dapat menulis cerpen. Mayoritas pelajar dan mahasiswa Lampung hanya menulis cerpen jika ada perlombaan saja. Kami ingin mereka berproses dan bisa bersaing di tingkat lebih tinggi."
Kegiatan ini, menurut Arman, akan difokuskan untuk kalangan pelajar dan mahasiswa karena dari kalangan inilah diharapkan muncul cerpenis-cerpenis baru di Lampung. "Panitia workshop telah mengundang beberapa SMA di Bandar Lampung dan luar kota, universitas, dan komunitas-komunitas sastra yang tersebar di Lampung. Dan para peserta diminta mengirimkan naskah cerpen untuk dibahas oleh para tutor pada saat kegiatan berlangsung," kata dia.
Sampai saat ini, menurut dia, beberapa sekolah dan komunitas sastra dari luar kota sudah mendaftarkan diri untuk ikut kegiatan ini, seperti dari Sribhawono, Metro, Gadingrejo, dan Lampung Barat. "Sebenarnya peserta kegiatan ini kami batasi karena kami ingin tepat sasaran. Tapi tidak tertutup kemungkinan jika ada masyarakat umum yang benar-benar berminat dan antusias menekuni penulisan cerpen untuk mengikuti kegiataan bermanfaat ini."
Bagi peserta yang berminat bisa menghubungi Panitia Workshop Cerpen, Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung, di Kompleks PKOR Way Halim, Jalan Sumpah Pemuda, Way Halim, Bandar Lampung, telepon (0721) 703077. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 17 Desember 2007
December 15, 2007
Sastra: Lomba Baca Puisi Guru
BANDAR LAMPUNG--Seni membaca puisi dinilai sangat relevan untuk mengasah kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik dan tenaga pendidik. Selama ini, lomba seni membaca puisi lebih sering diperuntukkan siswa, kali ini Kantor Bahasa Provinsi Lampung bekerja sama DIN Production menggelar seni membaca puisi bagi guru se-Lampung di SMPN 16 Bandar Lampung, hari ini (15-12).
Ketua Penyelenggara Lomba, Didi Pramudya, mengatakan lomba ini untuk menambah wawasan dan keterampilan seni guru. Terutama guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Selain itu, seni membaca puisi juga digunakan sebagai media pembelajaran alternatif yang memberikan pencerahan dalam pembelajaran kesenian di sekolah-sekolah.
"Guru-guru banyak yang memiliki bakat di bidang seni puisi. Atas masukan guru-guru, diadakan lomba ini," kata Didi Pramudya, Kamis (13-12).
Sekitar 200 guru se-Lampung mengikuti lomba seni membaca puisi ini. Setiap guru diberi kebebasan membaca beberapa puisi dengan gaya yang berbeda yang dinilai juri yang terdiri dari Jalu Mampang (Taman Budaya Lampung) dan Sonie C. Sema (Teater Potlot Palembang). RIN/S-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 15 Desember 2007
Ketua Penyelenggara Lomba, Didi Pramudya, mengatakan lomba ini untuk menambah wawasan dan keterampilan seni guru. Terutama guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Selain itu, seni membaca puisi juga digunakan sebagai media pembelajaran alternatif yang memberikan pencerahan dalam pembelajaran kesenian di sekolah-sekolah.
"Guru-guru banyak yang memiliki bakat di bidang seni puisi. Atas masukan guru-guru, diadakan lomba ini," kata Didi Pramudya, Kamis (13-12).
Sekitar 200 guru se-Lampung mengikuti lomba seni membaca puisi ini. Setiap guru diberi kebebasan membaca beberapa puisi dengan gaya yang berbeda yang dinilai juri yang terdiri dari Jalu Mampang (Taman Budaya Lampung) dan Sonie C. Sema (Teater Potlot Palembang). RIN/S-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 15 Desember 2007
December 14, 2007
Visit Lampung 2009: Lampung Jadi Andalan Pariwisata
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung diharapkan menjadi daerah tujuan wisata yang bisa mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia seratus persen setiap tahun.
VISIT LAMPUNG 2009. Direktur Niaga PT Merpati Nusantara Airlines Jaka Pujiyono (kanan) menyerahkan cendera mata kepada Direktur Ari Tour Zein Ginting pada soft launching Visit Lampung 2009 di Hotel Sheraton Bandar Lampung, tadi malam (13-12). Sekprov Lampung Irham Djafar Lan Putra (kedua kanan) dan Pemimpin Redaksi Lampung Post Ade Alawi (kedua kiri) juga mendapat cendera mata. (LAMPUNG POST/SYAIFULLOH)
Ketua Tim Persiapan Visit Lampung 2009 Suryono S.W. mengatakan hal iin saat soft opening Visit Lampung 2009 dan Inauguration Flight Merpati Nusantara Airlines di Hotel Sheraton Bandar Lampung, tadi malam (13-12).
"Jika kini ada 12 ribuan wisatawan mancanegara dan 600 ribu wisatawan Nusantara, peningkatan diharapkan terjadi dua kali lipat tahun mendatang," kata Suryono.
Selama ini sudah ada upaya pengembangan potensi wisata dari kabupaten/kota di Lampung. Namun, upaya itu belum terintegrasi hingga tidak bisa menghasilkan daerah sasaran wisata yang utuh.
Kini, sekitar enam juta wisatawan mancanegara ke Indonesia per tahun. Bali, Jakarta, dan Batam masih menjadi daerah tujuan utama. "Yang masuk Bali 2,5 juta, Jakarta 1,9 juta, dan Batam 1,1 juta. Sisanya satu juta tersebar di berbagai daerah. Kami menginginkan Lampung masuk menjadi salah satu daerah yang paling diminati," ujar Suryono.
Untuk mencapai target tersebut, Konsultan Visit Lampung 2009 Nicolas Lumanouw menyatakan perlu peran bupati dan wali kota. "Lampung punya potensi pariwisata luar biasa. Kita punya Krakatau yang indah dengan Siger yang bertengger di sana. Tapi orang masih berpikir takut untuk mendatanginya. Inilah yang menjadi tugas kita agar mereka berubah pikiran," kata dia.
Deklarasi Visit Lampung 2009 tadi malam ditandai dengan penandatanganan memorandum of understanding oleh Sekprov, Zein Ginting dari PT Arie Tour, dan Nicolas Lumanouw dari LSM ETSDC. Direktur Niaga Merpati Nusantara Airlines Jaka Pujiono juga memberi cendera mata kepada Pemprov, Arie Tour, dan Lampung Post. n */U-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 14 Desember 2007
VISIT LAMPUNG 2009. Direktur Niaga PT Merpati Nusantara Airlines Jaka Pujiyono (kanan) menyerahkan cendera mata kepada Direktur Ari Tour Zein Ginting pada soft launching Visit Lampung 2009 di Hotel Sheraton Bandar Lampung, tadi malam (13-12). Sekprov Lampung Irham Djafar Lan Putra (kedua kanan) dan Pemimpin Redaksi Lampung Post Ade Alawi (kedua kiri) juga mendapat cendera mata. (LAMPUNG POST/SYAIFULLOH)
Ketua Tim Persiapan Visit Lampung 2009 Suryono S.W. mengatakan hal iin saat soft opening Visit Lampung 2009 dan Inauguration Flight Merpati Nusantara Airlines di Hotel Sheraton Bandar Lampung, tadi malam (13-12).
"Jika kini ada 12 ribuan wisatawan mancanegara dan 600 ribu wisatawan Nusantara, peningkatan diharapkan terjadi dua kali lipat tahun mendatang," kata Suryono.
Selama ini sudah ada upaya pengembangan potensi wisata dari kabupaten/kota di Lampung. Namun, upaya itu belum terintegrasi hingga tidak bisa menghasilkan daerah sasaran wisata yang utuh.
Kini, sekitar enam juta wisatawan mancanegara ke Indonesia per tahun. Bali, Jakarta, dan Batam masih menjadi daerah tujuan utama. "Yang masuk Bali 2,5 juta, Jakarta 1,9 juta, dan Batam 1,1 juta. Sisanya satu juta tersebar di berbagai daerah. Kami menginginkan Lampung masuk menjadi salah satu daerah yang paling diminati," ujar Suryono.
Untuk mencapai target tersebut, Konsultan Visit Lampung 2009 Nicolas Lumanouw menyatakan perlu peran bupati dan wali kota. "Lampung punya potensi pariwisata luar biasa. Kita punya Krakatau yang indah dengan Siger yang bertengger di sana. Tapi orang masih berpikir takut untuk mendatanginya. Inilah yang menjadi tugas kita agar mereka berubah pikiran," kata dia.
Deklarasi Visit Lampung 2009 tadi malam ditandai dengan penandatanganan memorandum of understanding oleh Sekprov, Zein Ginting dari PT Arie Tour, dan Nicolas Lumanouw dari LSM ETSDC. Direktur Niaga Merpati Nusantara Airlines Jaka Pujiono juga memberi cendera mata kepada Pemprov, Arie Tour, dan Lampung Post. n */U-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 14 Desember 2007
Dongeng 1.000 Anak: Sekprov Jadi Raja
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sekprov Lampung Irham Djafar Lan Putra berperan sebagai raja dalam pagelaran dongeng seribu anak di Taman Wisata Bumi Kedaton, Batu Putu, Kamis (13-12). Skenarionya, raja diperankan gubernur, tetapi karena berhalangan diwakilkan pada Irham.
Dua pendongeng, Iin Mutmainah dan Ajie Aditya, menyayangkan anak tidak turut interaktif dalam dongeng. "Kami sebenarnya telah membuat satu skenario anak-anak ini terlibat langsung dalam pementasan yang dilakukan. Namun, ternyata seribuan anak itu hanya duduk di podium, sehingga akhirnya kami yang menghampiri anak-anak yang berada di podium."
Sebenarnya anak-anak itu ingin turut bermain dongeng di lapangan, kata Mutmainah, tapi mereka melihat mereka dilarang oleh para guru yang menjaga. Mungkin takut susah mengatur anak-anaknya saja. Padahal pesan yang ingin disampaikan lewat dongeng ini sangat bagus bagi anak-anak diantaranya untuk kreatif dan antikekerasan.
Namun, dia mengaku sangat senang melihat sambutan anak-anak yang antusias mendengarkan dongeng, bahkan turut bernyanyi dan berteriak bersama. "Memang kami mencoba memasukkan pesan-pesan serta nilai-nilai moral kepada anak-anak dengan mengisahkan cerita yang memang dikenal sejak dahulu."
Aryo, salah seorang pelajar yang turut mendengarkan dongeng mengaku senang dengan kegiatan itu. "Saya senang sekali medengar dongeng. Apalagi tadi banyak adegan lucu-lucunya. Saya ingin seperti ini di sekolahan."
Sedangkan Ketua Suara Hati Foundation yang juga selaku ketua penyelenggara, Andriyani Irham mengatakan kegiatan ini kerja sama dengan Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-kanak Indonesia (GOPTKI) Provinsi Lampung. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 14 Desember 2007
Dua pendongeng, Iin Mutmainah dan Ajie Aditya, menyayangkan anak tidak turut interaktif dalam dongeng. "Kami sebenarnya telah membuat satu skenario anak-anak ini terlibat langsung dalam pementasan yang dilakukan. Namun, ternyata seribuan anak itu hanya duduk di podium, sehingga akhirnya kami yang menghampiri anak-anak yang berada di podium."
Sebenarnya anak-anak itu ingin turut bermain dongeng di lapangan, kata Mutmainah, tapi mereka melihat mereka dilarang oleh para guru yang menjaga. Mungkin takut susah mengatur anak-anaknya saja. Padahal pesan yang ingin disampaikan lewat dongeng ini sangat bagus bagi anak-anak diantaranya untuk kreatif dan antikekerasan.
Namun, dia mengaku sangat senang melihat sambutan anak-anak yang antusias mendengarkan dongeng, bahkan turut bernyanyi dan berteriak bersama. "Memang kami mencoba memasukkan pesan-pesan serta nilai-nilai moral kepada anak-anak dengan mengisahkan cerita yang memang dikenal sejak dahulu."
Aryo, salah seorang pelajar yang turut mendengarkan dongeng mengaku senang dengan kegiatan itu. "Saya senang sekali medengar dongeng. Apalagi tadi banyak adegan lucu-lucunya. Saya ingin seperti ini di sekolahan."
Sedangkan Ketua Suara Hati Foundation yang juga selaku ketua penyelenggara, Andriyani Irham mengatakan kegiatan ini kerja sama dengan Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-kanak Indonesia (GOPTKI) Provinsi Lampung. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 14 Desember 2007
Kesenian: Bandar Lampung Wakili Indonesia ke Taiwan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Bandar Lampung menjadi wakil Indonesia dalam Taipei International Travel Fair kategori pertunjukan kesenian tanggal 16--17 Desember 2007, di Taipei Word Trade Centre, Exhibion Hall I, Taipei, Taiwan.
Pada pertunjukan kesenian daerah tersebut, Bandar Lampung akan menampilkan Sanggar Tapis Berseri. Sanggar yang dipimpin Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandar Lampung Saad Asnawi menyuguhkan empat lagu dan lima tarian daerah Lampung, pada Taipei International Travel Fair (TITF) tersebut.
Pembina Sanggar Tapis Berseri Hj. Nurpuri Eddy Sutrisno mengatakan pertunjukan kesenian dalam TITF tersebut merupakan satu dari lima kegiatan yang diikuti Indonesia. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Pemasaran berdasarkan surat No. 704/Dit-LN/XI/2007 tanggal 8 November 2007, mengutus Kota Bandar Lampung mempersiapkan pertunjukan seni.
Kegiatan dalam TITF yang diikuti oleh seluruh negara asia itu, menurut Nurpuri, terdiri dari kegiatan pelayanan informasi di Pavilion Indonesia; Press Confrence/Travel Dialog; pertunjukan kesenian; pembagian cendera mata; dan pendistribusian bahan-bahan promosi.
"Sebenarnya, wakil dari Indonesia bukan hanya Bandar Lampung. Tapi, ada beberapa daerah lain dengan tugas mengikuti kegiatan lainnya yang sudah diminta panitia TITF," kata Nurpuri, kepada Lampung Post, Kamis (13-12).
Tujuan dari pertunjukan kesenian dalam TITF tersebut, kata Nurpuri, dalam rangka meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara, khususnya Taiwan ke Indonesia, tidak terkecuali ke Bandar Lampung yang kini mulai menjadi salah satu daerah wisata alam. "Ini merupakan kehormatan besar bagi Bandar Lampung dalam mengikuti festival seni tersebut. Diharapkan, ke depan, Bandar Lampung semakin dikenal di mancanegara," kata dia.
Ketua Sanggar Tapis Berseri Saad Asnawi mengatakan selama dua hari sanggar yang dipimpinnya diberikan kesempatan untuk menampilkan lagu dan tari daerah Lampung. Pada hari pertama, akan ditampilkan dua lagu dan dua jenis tarian. Yaitu, lagu "Zapin" dan lagu klasik Lampung "Balin Pulih" serta tari Nugal Pakhi dan tari Bedana.
Sedangkan pada hari kedua, tanggal 17 Desember 2007, Sanggar Tapis Berseri akan menampilkan dua lagu; lagu "Teluk Lampung" dan lagu klasik Lampung "Tikham Jawoh". Tarian yang akan ditampilkan adalah tari Sang Akhuk, Hadra, dan Kipas.
Seluruh tim yang akan diberangkatkan sebanyak 21 orang. Terdiri dari pembina sanggar, pengurus, dan tim Kesenian, baik penari maupun pemusik.
"Jadi, kami meminta doa restu kepada seluruh warga Bandar Lampung khususnya dan warga Lampung umumnya, agar penampilan Sanggar Tapis Berseri di Taipei International Travel Fair dapat berhasil baik dan sukses," kata Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandar Lampung itu. n KIM/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 14 Desember 2007
Pada pertunjukan kesenian daerah tersebut, Bandar Lampung akan menampilkan Sanggar Tapis Berseri. Sanggar yang dipimpin Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandar Lampung Saad Asnawi menyuguhkan empat lagu dan lima tarian daerah Lampung, pada Taipei International Travel Fair (TITF) tersebut.
Pembina Sanggar Tapis Berseri Hj. Nurpuri Eddy Sutrisno mengatakan pertunjukan kesenian dalam TITF tersebut merupakan satu dari lima kegiatan yang diikuti Indonesia. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Pemasaran berdasarkan surat No. 704/Dit-LN/XI/2007 tanggal 8 November 2007, mengutus Kota Bandar Lampung mempersiapkan pertunjukan seni.
Kegiatan dalam TITF yang diikuti oleh seluruh negara asia itu, menurut Nurpuri, terdiri dari kegiatan pelayanan informasi di Pavilion Indonesia; Press Confrence/Travel Dialog; pertunjukan kesenian; pembagian cendera mata; dan pendistribusian bahan-bahan promosi.
"Sebenarnya, wakil dari Indonesia bukan hanya Bandar Lampung. Tapi, ada beberapa daerah lain dengan tugas mengikuti kegiatan lainnya yang sudah diminta panitia TITF," kata Nurpuri, kepada Lampung Post, Kamis (13-12).
Tujuan dari pertunjukan kesenian dalam TITF tersebut, kata Nurpuri, dalam rangka meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara, khususnya Taiwan ke Indonesia, tidak terkecuali ke Bandar Lampung yang kini mulai menjadi salah satu daerah wisata alam. "Ini merupakan kehormatan besar bagi Bandar Lampung dalam mengikuti festival seni tersebut. Diharapkan, ke depan, Bandar Lampung semakin dikenal di mancanegara," kata dia.
Ketua Sanggar Tapis Berseri Saad Asnawi mengatakan selama dua hari sanggar yang dipimpinnya diberikan kesempatan untuk menampilkan lagu dan tari daerah Lampung. Pada hari pertama, akan ditampilkan dua lagu dan dua jenis tarian. Yaitu, lagu "Zapin" dan lagu klasik Lampung "Balin Pulih" serta tari Nugal Pakhi dan tari Bedana.
Sedangkan pada hari kedua, tanggal 17 Desember 2007, Sanggar Tapis Berseri akan menampilkan dua lagu; lagu "Teluk Lampung" dan lagu klasik Lampung "Tikham Jawoh". Tarian yang akan ditampilkan adalah tari Sang Akhuk, Hadra, dan Kipas.
Seluruh tim yang akan diberangkatkan sebanyak 21 orang. Terdiri dari pembina sanggar, pengurus, dan tim Kesenian, baik penari maupun pemusik.
"Jadi, kami meminta doa restu kepada seluruh warga Bandar Lampung khususnya dan warga Lampung umumnya, agar penampilan Sanggar Tapis Berseri di Taipei International Travel Fair dapat berhasil baik dan sukses," kata Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandar Lampung itu. n KIM/K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 14 Desember 2007
December 12, 2007
Transmigrasi: Membangun dan Merekatkan Bangsa
-- Muhajir Utomo*
HARI ini, tanggal 12 Desember 2007 adalah Hari Bakti Transmigrasi yang ke-57. Tepatnya pada tanggal 12 Desember 1950, pemerintahan Republik Indonesia secara resmi melanjutkan program kolonisatie yang telah dirintis pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 dengan nama yang lebih nasionalis, yaitu transmigrasi.
Pada saat itu, rombongan pertama kolonisatie sebanyak 155 keluarga dari Bagelan, Karesidenan Kedu, dikirim di Gedongtataan, Lampung. Di tempat itulah para pendatang membangun desa pertama yang diberi nama Bagelen, sesuai dengan nama desa asalnya. Dari sinilah dimulainya sejarah ketransmigrasian yang selama satu abad (dihitung dari tahun 1905) ikut membantu perjuangan bangsa.
Dengan adanya program transmigrasi yang dicanangkan Pemerintah RI pascakemerdekaan, tujuan program transmigrasi pun berubah. Tujuan awal program kolonisatie pun masih sederhana, yaitu demografis semata berubah menjadi program yang lebih kompleks, yaitu pembangunan wilayah dan bahkan terakhir menjadi salah satu program integrasi nasional.
Perjalanan satu abad kolonisatie atau 57 tahun transmigrasi dengan berbagai plus-minusnya, ternyata berdampak luar biasa terhadap pembangunan bangsa. Program ini telah banyak berperan dalam menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, pusat-pusat keunggulan (lumbung pangan, lumbung ternak, dan perkebunan), dan telah melahirkan para tokoh intelektual dan tokoh masyarakat.
Meskipun demikian, pada awal reformasi, stigma buruk transmigrasi muncul di mana-mana. Transmigrasi yang selama ini dianggap berjasa dalam pemerataan penduduk dan pengembangan wilayah, serta-merta citranya menjadi buruk.
Kritik pedas muncul di mana-mana, mulai masyarakat awam, para akademisi, birokrat, legislatif sampai para eksekutif. Mereka meragukan manfaat program transmigrasi bagi pembangunan karakter bangsa.
Transmigrasi bukan hanya dicap sebagai penyebab kerusakan lingkungan, penyebab meningkatnya ketimpangan wilayah, penyebab munculnya kantong-kantong kemiskinan, dan penyebab konflik antaretnis, melainkan juga sebagai penyebab hilangnya budaya lokal. Bahkan yang lebih mengerikan, isu miring tentang transmigrasi sebagai program implisit jawanisasi, balinisasi, dan islamisasi telah memengaruhi kebijakan nasional tentang transmigrasi. Klimaksnya, pada awal reformasi, transmigrasi dianggap sebagai penyebab disintegrasi bangsa. Benarkah demikian?
Kebijakan awal program kolonisatie sampai program transmigrasi, bertujuan mengurangi ketimpangan demografis antara Pulau Jawa dan luar Jawa. Jika tujuannya hanya itu, program pemindahan penduduk besar-besaran ini tentu tidak memenuhi sasaran. Sebagai contoh, walaupun sebenarnya sudah 6,4 juta jiwa ditransmigrasikan sejak tahun 1905--1990 ke luar Jawa, tetap saja penduduk Jawa meningkat dari 30 juta jiwa menjadi sekitar 108 juta jiwa pada periode tersebut.
Bagi Pulau Jawa yang mempunyai daya sedot tinggi bagi pendatang, perpindahan penduduk sebesar itu tentu tidak ada artinya. Sebaliknya, bagi daerah luar Jawa yang masih jarang penduduknya dan daya sedotnya rendah, tentu tidak menarik bagi pendatang. Di sinilah peran program transmigrasi sebagai prime mover pembangunan wilayah yang pada akhirnya dapat memacu pertambahan penduduk melalui transmigrasi spontan.
Ternyata, besarnya pertambahan penduduk tersebut bukan karena kolonisatie dan transmigrasi umum, melainkan justru karena adanya transmigrasi spontan yang besarnya mencapai tiga sampai lima kali lipat dibanding dengan program transmigrasi itu sendiri. Sebagai contoh, pada tahun 1905, penduduk Lampung berjumlah 157 ribu jiwa, dan pada sensus tahun 2005 telah menjadi lebih dari tujuh juta jiwa, 75% di antaranya suku Jawa, Sunda, dan Bali.
Dengan demikian, dari aspek demografis, jika aksesibilitas dan tata ruangnya mendukung, program kolonisatie dan transmigrasi lebih berperan sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi yang kemudian banyak mengundang transmigran spontan. Sebagai konsekuensi program kolonisatie/transmigrasi tersebut, telah tumbuh masyarakat multikultural (kebhinnekaan) di daerah-daerah tujuan kolonisatie dan transmigrasi. Secara umum mereka dapat hidup rukun damai.
Masyarakat multikultural itu, jika dikelola dengan arif bijaksana bisa menjadi aset (bukan beban) untuk meningkatkan daya saing bangsa. Kebhinneka-tunggal-ikaan inilah yang menjadi roh pengelolaan kemajemukan bangsa.
Peningkatan kualitas hidup masyarakat transmigran dapat diwujudkan melalui pola transmigrasi yang sesuai dengan potensi lokal (tanah, iklim), infrastruktur, teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas, dan kualitas SDM (semangat kemandirian dan keterampilan transmigran). Pada era kolonisatie, pemilihan lokasi kolonisatie betul-betul berdasarkan studi kelayakan yang cermat dan dilaksanakan dengan konsekuen.
Pemilihan Bagelen, Metro dan Belitang sebagai lokasi kolonisatie misalnya, sangat layak untuk pola kolonisatie berbasis padi sawah. Dengan dukungan irigasi yang baik dan transmigran yang ulet, umumnya mereka berhasil.
Pada era transmigrasi (setelah tahun 1950), contoh daerah transmigrasi lahan kering yang berhasil karena kesesuaian pola transmigrasi, lokasi dan teknologinya adalah transmigrasi Batumarta. Transmigrasi Batumarta yang polanya berbasis tanaman keras (karet) lebih sustained daripada Sitiung maupun Pakuan Ratu yang berbasis tanaman pangan lahan kering. Hal ini disebabkan tanah Sumatera yang tipis dan masam lebih sesuai dengan tanaman keras daripada tanaman pangan.
Di Batumarta, walaupun transmigran dari Jawa yang ahli budi daya padi sawah, tidak paham tata cara budi daya karet. Namun, dengan pembinaan dan penyuluhan yang cukup, mereka cepat beradaptasi dan ternyata berhasil. Di sinilah perlunya studi kelayakan sebelum penempatan transmigran dan kesesuaian pola transmigrasinya dengan potensi lokal.
Semangat kemandirian dan keuletan yang menjadi ciri transmigran, juga akan mempercepat keberhasilan peningkatan kualitas hidup transmigran. Berbeda dengan penduduk lokal, di daerah transmigrasi, sudah biasa terlihat suami, istri, dan anak bahu-membahu bekerja untuk menambah penghasilan.
Meskipun demikian, ada juga transmigran yang tidak berhasil, bahkan ada yang kembali ke daerah asalnya. Kegagalan transmigran tersebut, umumnya disebabkan kesalahan dalam memilih lokasi, kesalahan dalam memilih transmigran, kesalahan dalam menentukan pola transmigrasi, dan kurangnya dukungan tata ruang.
Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai keragaman tinggi dalam hal agama, etnis, pulau dan partai, serta mempunyai posisi strategis dalam konteks persaingan global, sangat rapuh untuk dipecah belah. Risiko terjadinya disintegrasi bangsa memang sangat besar. Sejak bangsa ini diproklamasikan sampai era otonomi daerah sekarang, gerakan separatisme tidak kunjung usai, seperti gerakan separatisme di Maluku, Papua, Aceh, DI/TII, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI, dll.
Isu Aceh Merdeka, Riau Merdeka, Papua Merdeka juga kembali mencuat. Kecenderungan ini, jika tidak dicari solusinya secara baik, bukan hanya akan berdampak pada disintegrasi sosial-kultural, melainkan juga bardampak pada disintegrasi politik. Di sinilah peran transmigrasi sebagai integrating force dalam menyelamatkan bangsa.
Masyarakat transmigran yang multikultural, bukan hanya berperan langsung dalam mewujudkan keutuhan NKRI, melainkan juga berperan secara tidak langsung dalam merekatkan bangsa. Peran secara langsung dilakukan dengan cara membantu pemerintah dalam menumpas pemberontak yang ingin memisahkan diri dari NKRI, sedangkan secara tidak langsung melalui asimilasi, integrasi dalam interaksi sosial.
Selain itu, multikulturalisme transmigrasi juga dapat sebagai penguat wawasan kebangsaan. Para transmigran di berbagai daerah telah berperan aktif dalam membendung isu kedaerahan dan isu separatisme yang makin kuat. Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) yang lahir pada tanggal 16 Februari 2004 dan mempunyai tata nilai lintas kultural, lintas etnis, dan lintas agama, merupakan bukti kuat bahwa transmigrasi juga merupakan program investasi SDM yang dapat memperkokoh persatuan/kesatuan dan meningkatkan daya saing bangsa.
Kelahiran anak-anak transmigran tersebut telah ikut berkiprah dalam pembangunan karakter bangsa yang berakar dari kebhinnekaan kultural. Bersama-sama dengan penduduk lokal, para transmigran juga berperan aktif dalam memelihara keanekaragaman sosial secara dinamis dalam bingkai kebhinnekaan tunggal ika NKRI.
Pembauran melalui perkawinan dan interaksi sosial telah membangun kebersamaan yang akhirnya dapat menjadi kekuatan dalam mempertahankan NKRI. Pada saat isu disintegrasi bangsa makin kuat, ternyata program transmigrasi walaupun not by design, mampu membangun komunitas plural yang dapat merekatkan bangsa. Agar dampaknya lebih efektif, pembauran natural tersebut masih perlu diimbangi dengan pendidikan multikulturalisme sejak dini.
Ternyata apa yang dinyatakan secara tegas oleh Presiden Soekarno (1964) bahwa program transmigrasi adalah wahana membangun bangsa melalui asimilasi dan integrasi etnis, memang benar adanya.
Itulah best practices program transmigrasi yang telah teruji selama lebih dari satu abad. Dengan segala kelemahannya, ternyata program transmigrasi telah berperan besar dalam membangun bangsa dan merekat NKRI. Belajar dari pengalaman panjang dan berharga ini, ke depan program transmigrasi diharapkan lebih mampu dalam menjawab isu-isu kemiskinan, ketahanan pangan, energi alternatif, ketimpangan wilayah, dan ketahanan nasional. Namun, perlu diingat bahwa tujuan multidimensi program transmigrasi tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan sektor lain karena sektor ini hanyalah subsistem dari sistem pembangunan nasional.
* Muhajir Utomo, Guru Besar Unila dan Ketua Umum DPP PATRI
Sumber: Lampung Post, Rabu, 12 Desember 2007
HARI ini, tanggal 12 Desember 2007 adalah Hari Bakti Transmigrasi yang ke-57. Tepatnya pada tanggal 12 Desember 1950, pemerintahan Republik Indonesia secara resmi melanjutkan program kolonisatie yang telah dirintis pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 dengan nama yang lebih nasionalis, yaitu transmigrasi.
Pada saat itu, rombongan pertama kolonisatie sebanyak 155 keluarga dari Bagelan, Karesidenan Kedu, dikirim di Gedongtataan, Lampung. Di tempat itulah para pendatang membangun desa pertama yang diberi nama Bagelen, sesuai dengan nama desa asalnya. Dari sinilah dimulainya sejarah ketransmigrasian yang selama satu abad (dihitung dari tahun 1905) ikut membantu perjuangan bangsa.
Dengan adanya program transmigrasi yang dicanangkan Pemerintah RI pascakemerdekaan, tujuan program transmigrasi pun berubah. Tujuan awal program kolonisatie pun masih sederhana, yaitu demografis semata berubah menjadi program yang lebih kompleks, yaitu pembangunan wilayah dan bahkan terakhir menjadi salah satu program integrasi nasional.
Perjalanan satu abad kolonisatie atau 57 tahun transmigrasi dengan berbagai plus-minusnya, ternyata berdampak luar biasa terhadap pembangunan bangsa. Program ini telah banyak berperan dalam menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, pusat-pusat keunggulan (lumbung pangan, lumbung ternak, dan perkebunan), dan telah melahirkan para tokoh intelektual dan tokoh masyarakat.
Meskipun demikian, pada awal reformasi, stigma buruk transmigrasi muncul di mana-mana. Transmigrasi yang selama ini dianggap berjasa dalam pemerataan penduduk dan pengembangan wilayah, serta-merta citranya menjadi buruk.
Kritik pedas muncul di mana-mana, mulai masyarakat awam, para akademisi, birokrat, legislatif sampai para eksekutif. Mereka meragukan manfaat program transmigrasi bagi pembangunan karakter bangsa.
Transmigrasi bukan hanya dicap sebagai penyebab kerusakan lingkungan, penyebab meningkatnya ketimpangan wilayah, penyebab munculnya kantong-kantong kemiskinan, dan penyebab konflik antaretnis, melainkan juga sebagai penyebab hilangnya budaya lokal. Bahkan yang lebih mengerikan, isu miring tentang transmigrasi sebagai program implisit jawanisasi, balinisasi, dan islamisasi telah memengaruhi kebijakan nasional tentang transmigrasi. Klimaksnya, pada awal reformasi, transmigrasi dianggap sebagai penyebab disintegrasi bangsa. Benarkah demikian?
***
Kebijakan awal program kolonisatie sampai program transmigrasi, bertujuan mengurangi ketimpangan demografis antara Pulau Jawa dan luar Jawa. Jika tujuannya hanya itu, program pemindahan penduduk besar-besaran ini tentu tidak memenuhi sasaran. Sebagai contoh, walaupun sebenarnya sudah 6,4 juta jiwa ditransmigrasikan sejak tahun 1905--1990 ke luar Jawa, tetap saja penduduk Jawa meningkat dari 30 juta jiwa menjadi sekitar 108 juta jiwa pada periode tersebut.
Bagi Pulau Jawa yang mempunyai daya sedot tinggi bagi pendatang, perpindahan penduduk sebesar itu tentu tidak ada artinya. Sebaliknya, bagi daerah luar Jawa yang masih jarang penduduknya dan daya sedotnya rendah, tentu tidak menarik bagi pendatang. Di sinilah peran program transmigrasi sebagai prime mover pembangunan wilayah yang pada akhirnya dapat memacu pertambahan penduduk melalui transmigrasi spontan.
Ternyata, besarnya pertambahan penduduk tersebut bukan karena kolonisatie dan transmigrasi umum, melainkan justru karena adanya transmigrasi spontan yang besarnya mencapai tiga sampai lima kali lipat dibanding dengan program transmigrasi itu sendiri. Sebagai contoh, pada tahun 1905, penduduk Lampung berjumlah 157 ribu jiwa, dan pada sensus tahun 2005 telah menjadi lebih dari tujuh juta jiwa, 75% di antaranya suku Jawa, Sunda, dan Bali.
Dengan demikian, dari aspek demografis, jika aksesibilitas dan tata ruangnya mendukung, program kolonisatie dan transmigrasi lebih berperan sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi yang kemudian banyak mengundang transmigran spontan. Sebagai konsekuensi program kolonisatie/transmigrasi tersebut, telah tumbuh masyarakat multikultural (kebhinnekaan) di daerah-daerah tujuan kolonisatie dan transmigrasi. Secara umum mereka dapat hidup rukun damai.
Masyarakat multikultural itu, jika dikelola dengan arif bijaksana bisa menjadi aset (bukan beban) untuk meningkatkan daya saing bangsa. Kebhinneka-tunggal-ikaan inilah yang menjadi roh pengelolaan kemajemukan bangsa.
***
Peningkatan kualitas hidup masyarakat transmigran dapat diwujudkan melalui pola transmigrasi yang sesuai dengan potensi lokal (tanah, iklim), infrastruktur, teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas, dan kualitas SDM (semangat kemandirian dan keterampilan transmigran). Pada era kolonisatie, pemilihan lokasi kolonisatie betul-betul berdasarkan studi kelayakan yang cermat dan dilaksanakan dengan konsekuen.
Pemilihan Bagelen, Metro dan Belitang sebagai lokasi kolonisatie misalnya, sangat layak untuk pola kolonisatie berbasis padi sawah. Dengan dukungan irigasi yang baik dan transmigran yang ulet, umumnya mereka berhasil.
Pada era transmigrasi (setelah tahun 1950), contoh daerah transmigrasi lahan kering yang berhasil karena kesesuaian pola transmigrasi, lokasi dan teknologinya adalah transmigrasi Batumarta. Transmigrasi Batumarta yang polanya berbasis tanaman keras (karet) lebih sustained daripada Sitiung maupun Pakuan Ratu yang berbasis tanaman pangan lahan kering. Hal ini disebabkan tanah Sumatera yang tipis dan masam lebih sesuai dengan tanaman keras daripada tanaman pangan.
Di Batumarta, walaupun transmigran dari Jawa yang ahli budi daya padi sawah, tidak paham tata cara budi daya karet. Namun, dengan pembinaan dan penyuluhan yang cukup, mereka cepat beradaptasi dan ternyata berhasil. Di sinilah perlunya studi kelayakan sebelum penempatan transmigran dan kesesuaian pola transmigrasinya dengan potensi lokal.
Semangat kemandirian dan keuletan yang menjadi ciri transmigran, juga akan mempercepat keberhasilan peningkatan kualitas hidup transmigran. Berbeda dengan penduduk lokal, di daerah transmigrasi, sudah biasa terlihat suami, istri, dan anak bahu-membahu bekerja untuk menambah penghasilan.
Meskipun demikian, ada juga transmigran yang tidak berhasil, bahkan ada yang kembali ke daerah asalnya. Kegagalan transmigran tersebut, umumnya disebabkan kesalahan dalam memilih lokasi, kesalahan dalam memilih transmigran, kesalahan dalam menentukan pola transmigrasi, dan kurangnya dukungan tata ruang.
***
Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai keragaman tinggi dalam hal agama, etnis, pulau dan partai, serta mempunyai posisi strategis dalam konteks persaingan global, sangat rapuh untuk dipecah belah. Risiko terjadinya disintegrasi bangsa memang sangat besar. Sejak bangsa ini diproklamasikan sampai era otonomi daerah sekarang, gerakan separatisme tidak kunjung usai, seperti gerakan separatisme di Maluku, Papua, Aceh, DI/TII, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI, dll.
Isu Aceh Merdeka, Riau Merdeka, Papua Merdeka juga kembali mencuat. Kecenderungan ini, jika tidak dicari solusinya secara baik, bukan hanya akan berdampak pada disintegrasi sosial-kultural, melainkan juga bardampak pada disintegrasi politik. Di sinilah peran transmigrasi sebagai integrating force dalam menyelamatkan bangsa.
Masyarakat transmigran yang multikultural, bukan hanya berperan langsung dalam mewujudkan keutuhan NKRI, melainkan juga berperan secara tidak langsung dalam merekatkan bangsa. Peran secara langsung dilakukan dengan cara membantu pemerintah dalam menumpas pemberontak yang ingin memisahkan diri dari NKRI, sedangkan secara tidak langsung melalui asimilasi, integrasi dalam interaksi sosial.
Selain itu, multikulturalisme transmigrasi juga dapat sebagai penguat wawasan kebangsaan. Para transmigran di berbagai daerah telah berperan aktif dalam membendung isu kedaerahan dan isu separatisme yang makin kuat. Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) yang lahir pada tanggal 16 Februari 2004 dan mempunyai tata nilai lintas kultural, lintas etnis, dan lintas agama, merupakan bukti kuat bahwa transmigrasi juga merupakan program investasi SDM yang dapat memperkokoh persatuan/kesatuan dan meningkatkan daya saing bangsa.
Kelahiran anak-anak transmigran tersebut telah ikut berkiprah dalam pembangunan karakter bangsa yang berakar dari kebhinnekaan kultural. Bersama-sama dengan penduduk lokal, para transmigran juga berperan aktif dalam memelihara keanekaragaman sosial secara dinamis dalam bingkai kebhinnekaan tunggal ika NKRI.
Pembauran melalui perkawinan dan interaksi sosial telah membangun kebersamaan yang akhirnya dapat menjadi kekuatan dalam mempertahankan NKRI. Pada saat isu disintegrasi bangsa makin kuat, ternyata program transmigrasi walaupun not by design, mampu membangun komunitas plural yang dapat merekatkan bangsa. Agar dampaknya lebih efektif, pembauran natural tersebut masih perlu diimbangi dengan pendidikan multikulturalisme sejak dini.
Ternyata apa yang dinyatakan secara tegas oleh Presiden Soekarno (1964) bahwa program transmigrasi adalah wahana membangun bangsa melalui asimilasi dan integrasi etnis, memang benar adanya.
***
Itulah best practices program transmigrasi yang telah teruji selama lebih dari satu abad. Dengan segala kelemahannya, ternyata program transmigrasi telah berperan besar dalam membangun bangsa dan merekat NKRI. Belajar dari pengalaman panjang dan berharga ini, ke depan program transmigrasi diharapkan lebih mampu dalam menjawab isu-isu kemiskinan, ketahanan pangan, energi alternatif, ketimpangan wilayah, dan ketahanan nasional. Namun, perlu diingat bahwa tujuan multidimensi program transmigrasi tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan sektor lain karena sektor ini hanyalah subsistem dari sistem pembangunan nasional.
* Muhajir Utomo, Guru Besar Unila dan Ketua Umum DPP PATRI
Sumber: Lampung Post, Rabu, 12 Desember 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)