BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung masih minim lokasi pertunjukan seni. Termasuk minimnya kebijakan pemerintah dalam memajukan kebudayaan. Hal itu berdampak pada kemajuan kesenian dan pengelola kesenian daerah.
Faktor penyebabnya adalah adanya pengebirian terhadap sastra dan seni budaya oleh pemerintah yang dimulai sejak era Soekarno. Ditambah lagi pada Orde Baru, kabinet Orde Baru menggandeng urusan kebudayaan dengan pendidikan (Depdikbud). Idealnya hal itu diurus departemen sendiri. Dan para pakar budaya protes, tapi tidak digubris.
"Selama 32 tahun era Soeharto, kebudayaan dimarginalkan. Banyak seniman yang diburu dan dicekal, tidak sedikit karya seni dilarang tampil dan dipamerkan," kata Isbedy Stiawan Z.S., sastrawan Lampung saat menjadi pembicara dalam Seminar Budaya Lampung di Bandar Lampung, Jumat (20-6). Seminar digelar dalam rangka HUT ke-326 Bandar Lampung.
Selama ini Kebudayaan disatukan dengan pariwisata. Dengan demikian, kebudayaan yang di dalamnya terdapat kesenian dan adat istiadat, dipandang sebagai kata benda. Kebudayan didekati dengan teknik "penyelamat budaya", "pewarisan nilai-nilai budaya", dan pelbagai proyek pelestarian dan revitalisasi budaya untuk kepentingan pariwisata.
"Kebudayaan pada akhirnya harus dapat menyumbang pundi-pundi bagi kas negara. Dan apabila hasil kebudyaan tidak mampu dijual di pasar pariwisata, dengan sendirinya akan mati atau sekadar dilestarikan," kata dia.
Akibatnya kesenian direvitalisasi untuk kepentingan pemuasan bagi para wisatawan. Hanya dijual di depan bule-bule yang dikemas melalui festival-festival, dilombakan, dan dipertandingkan. Akhirnya karya seni yang serius dan dinilai mencerahkan kalau tidak dibiarkan hidup sendiri, akan dikucilkan. Terutama kesenian sejenis teater, seni rupa, dan sastra.
"Bisa dibayangkan 5--10 tahun ke depan, anak-anak SMA yang seharusnya berpotensi dibentuk menjadi manusia berbudaya akan makin asing dengan kebudayaan sendiri," ujar pengurus Dewan Kesenian Lampung ini.
Isbedy menegaskan hal itu terjadi karena pemerintah hanya berpandangan menjual bagaimana menjual kebudayaan di pasar pariwisata, bukan menjadikan kebudyaan sebagai tranformasi nilai-nilai, norma-norma, dan penanda.
"Kebudayaan massa menjadi cepat terserap generasi muda, ketimbang pemahaman dan penghargaan pada kebudayaan yang lahir dari keragaman budaya bangsa." kata Isbedy, yang kemudian menjelaskan tentang peran DKL Lampung.
Pembicara lain, J. Emmed M. Prioharjo dari Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia banyak berbicara soal letak geografis Provinsi Lampung.
Dia menyatakan kini penduduk Lampung terdiri dari 16% suku Lampung, 30% Jawa, 20% Sunda, 10% Minangkabau, 12% suku asal Sumatera Selatan, dan 12% sisanya adalah Bali, Batak, Aceh, Bugis, Riau, dan China.
"Lampung sangat majemuk dengan pranata adat masyarakat yang mengenal lima prinsip dasar bagi kehidupan sehari-hari, yaitu piil pesenggiri, sakai sambayan, nemui nyimah, nengah nyappur, dan bejulk beadek," ujar J. Emmed.
Menurut dia, dari kelima prinsip dasar itu, nemui nyimah dan nengah nyappur merupakan pranata adat yang diacu ketika masyarakat Lampung berinteraksi sosial, baik dengan sesama penduduk asli maupun pendatang.
"Sikap ramah, membuka diri, toleransi, dan kerja sama ini merupakan komponen penting yang menunjukkan potensi adaptif dari kebudayan Lampung ketika hubungan antarsuku bangsa terwujud," kata J. Emmed.
Mawardi Hari Rama, Ketua Majelis penyimbang Adat Lampung (KPAL), juga tampil menjadi pembicara pada seminar itu. n JUN/K-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juni 2008
No comments:
Post a Comment