June 24, 2008

Opini: Membandingkan PKB dengan Gelar Budaya Lampung

-- Endri Y.*

MENARIK membandingkan event-event atas nama seni budaya, baik festival, pawai, pesta, parade, dan atau pagelaran yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Lampung dengan yang diselenggarakan Bali. Perbandingan ini sekaligus menjadi penanda seolah ada pengastaan seni budaya. Ada seni budaya kecil dan ada seni budaya besar.

Juga bukti otentik untuk berkaca, tentang perhatian-penghargaan kita pada orang yang sudah tercerahkan. Yaitu, seniman dan budayawan.

Tulisan ini mengkaji urai sejauh mana masyarakat dan pemerintah di Lampung sungguh-sungguh melakukan dan atau bergumul dengan seni budaya sebagai keseharian yang diberi makna efektif agar eksistensi estetis berlangsung terus-menerus. Dengan kata lain, seni budaya dibahasakan dengan komunikasi intuitif penghayatan, pembaharuan, dan perayaan. Selain hiburan kerakyatan yang mengakar serta tentu saja, dapat menarik wisatawan.

Beberapa hari belakangan ini, selama rentang waktu bulan Juni, Lampung ramai menggelar perhelatan seni budaya sebagai gebyar peringatan hari jadi misalnya HUT ke-326 Kota Bandar Lampung, HUT Kota Metro, Lampung Tengah, Lampung Utara, dan sebelumnya digelar Festival Radin Jambat di Way Kanan.

Hampir bersamaan dengan Gelar Budaya di GOR Saburai pada 18 Juni itu, Bali menggelar Pesta Kesenian Bali (PKB) XXX di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Badjra Sandhi, Denpasar. PKB yang langsung dibuka Sabtu, 14 Juni oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menelan biaya Rp3,9 miliar. PKB yang diharapkan makin memopulerkan Bali dan Indonesia di dunia internasional dan masyarakat Bali bisa mempertahankan dan mengembangkan kesenian asli agar tidak kalah dari kesenian asing ini bertema Citta wretti nirodha, yakni pengendalian diri menuju keseimbangan dan keharmonisan.

Ada sebanyak 135 atraksi seni dengan melibatkan 13.000 pekerja seni dari dalam maupun luar negeri. Acara ini digelar dari 14 Juni hingga 12 Juli di Taman Budaya Denpasar.

Kita ketahui, PKB yang menjadi acara rutin tahunan ini, pada peringatan ke-29, tahun lalu juga dibuka Presiden SBY. PKB tahun lalu bertema Sura dhira jayeng rat (Aktualisasi kepahlawanan menuju kesejahteraan rakyat). Dalam PKB kali ini, salah satu kesenian asli Lampung, yang diwakili Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Timur, ikut tampil pada acara itu. Tepatnya pada hari ke-3, Senin, 16 Juni 2008 jam 10.00 Wita dalam acara Kesenian Provinsi I di Wantilan.

Semua warga Bali begitu antusias menyambut acara yang ditunggu-tunggu hadirnya setiap tahun ini, seperti ada ikatan emosional dan kebutuhan berhibur pada PKB. Membandingkannya, antara pembukaan PKB dengan pembukaan Gelar Budaya di GOR Saburai pada 18 Juni lalu, misalnya, terjadi kesan yang satu budaya besar yang lainnya budaya kecil. Dinilai dari semua lini, baik pembiayaan maupun penampilan. Padahal sama-sama entitas dan etnisitas nusantara sebagai aset kekayaan bangsa.

Bayangkan, Presiden SBY mengucapkan terima kasih kepada warga Bali yang telah menggelar pesta kesenian setiap tahun. Kecintaan Indonesia terhadap seni budaya menjadi nilai tambah di dunia internasional.

Pesta kesenian itu diharapkan makin memopulerkan Bali dan Indonesia. Hal itu dikemukakan Presiden saat membuka PKB ke-30 dan dilansir hampir semua media, baik internasional, nasional, maupun daerah.

Sedangkan Gelar Budaya Lampung banyak kalangan yang kecewa; selain panggung seni budayanya tidak sesuai dengan tema yang digelar dus tidak mewakili karakter seni budaya Lampung itu sendiri.

Bahkan harian Kompas, (Kamis, 19-6) memuat headline "Pembukaan Festival Begawi yang digandengkan dengan Gelar Budaya Lampung 2008 tidak berjalan seperti yang diharapkan". Selain sepi pengunjung, acara pembukaan tidak menunjukkan keragaman budaya Lampung yang diharapkan muncul sesuai misi acara gelar budaya. Begitu juga beberapa media lokal, memberitakan tentang sepinya pengunjung.

Kekecewaan itu dipertegas oleh Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Tjetjep Suparman, yang mengatakan pembukaan yang sedianya menampilkan keanekaragaman budaya Lampung belum dilakukan maksimal. Ia melihat banyaknya kekurangan.

Secara implisit, dapat disebut gagalnya acara itu. PKB dipuji Presiden dan digandrungi masyarakat setempat, Gelar Budaya Lampung dihujat Dirjen Depbudpar dan dicela masyarakat.

Perlu Patronasi

Secara teoretik ada istilah segitiga; seniman-karya seni-apresian dalam proses manifestasi sebuah produk kesenian. Sebenarnya selain itu ada juga pihak benefactor dalam scema grande pelahiran sebuah karya seni itu sendiri. Yaitu sosok pengayom yang dengan sengaja dan sadar mendevosikan waktu, tenaga, atau kemampuan finansialnya demi eksistensi kesenian dan kebudayaan.

Adalah dekat sekali batasan antara pengelolaan seni budaya dengan pengelolaan politik kepartaian misalnya, jika dilihat dari kemampuan membuat gebyar panggung seremoni. Politik kehilangan roh ingar bingarnya jika tanpa suguhan seni budaya. Pun seni budaya, kehilangan napasnya ketika bergerak tanpa adanya patron (pengayom) yang dapat menstimulan pendanaan dan pembiayaan kreasi-karyanya.

Barangkali ada seniman-budayawan yang mampu melepas ikatan ketergantungan pada orang lain dengan kerja-kerja riilnya di luar mainstream berkarya seni budaya. Persoalannya, tak ada pentas seni budaya tanpa besutan tangan terampil seniman dan budayawan. Kalaupun dipaksakan, hasilnya selain mengeluarkan biaya besar, yang dituai adalah kecaman dan cacian. Sebab konteks menggelar panggung seni budaya, jelas berbeda dengan proyeksi-proyeksi pembangunan yang dilakukan pemerintah. Yang indikator keberhasilannya hanya adanya wujud bangunan.

Dalam sejarah, kita temukan nama Gaius Cilnius Maecenas di Romawi (70--8 B.C.), penasihat politik Oktavian (Kaisar Agustus). Maecenas adalah seorang anggota berpengaruh dari ordo Equestrian. Sedang dari kesaksian Horace (Odes 8, 5) dan juga dari tulisan-tulisan yang merefleksikan selera literaturnya, tampak bahwa Maecenas terdidik dengan didikan yang "terbaik" di zaman itu. Kemampuan finansialnya adalah hereditari, tetapi kemudian kedekatannya dengan rezim berkuasa, membuka gerbang seluas-luasnya untuk menjadi seorang "patron" kesenian di masanya.

Maecenas kemudian dikenang sebagai orang yang "kekayaannya" digunakan untuk patronasi kesenian. Dedikasi dan segala kemampuannya tercurah untuk mengadakan event-event kesenian dan kebudayaan yang akhirnya mampu membawa emperium Romawi terlepas dari banyak "bahaya". Bahkan Marcus Valleius Paterculus (Propertius, 88) merangkum dan menyimpulkan seorang Maecenas sebagai of sleepless vigilance in critical emergencies, far-seeing and knowing how to act, but in his relaxation from business more luxurious and effeminate than a woman. (Esai Greenhill G. Weol, 6-4-2008)

Setelah Maecenas wafat, seluruh kekayaannya dikelola secara khusus oleh sebuah institusi, dan disalurkan sepenuhnya untuk urusan-urusan seni budaya.

Kita, di Lampung memang ada sebagian perusahaan yang konsen membangun ranah seni budaya, semisal di Metro. Dalam peringatan HUT-nya, beberapa di antaranya dibiayai sponsor.

Tetapi alih-alih berperan bak Maecenas, yang ada justu subordinasi seni budaya. Lihat saja lahirnya tugu bersejarah di pusat taman Kota Metro, bukan mencerminkan seni budaya setempat malah melambangkan (iklan) tugu produk rokok.

Di Way Kanan, Lampura, Lamteng, dan Bandar Lampung, yang namanya festival seni budaya justru memindahkan acara 17 Agustus-an ke lain waktu. Bahkan untuk event nasional sekelas Festival Krakatau dan atau Festival Begawi juga. Kebanyakan acaranya di luar substansi pelestarian seni budaya. Apakah APBD yang dalam hal ini pemerintah tidak mampu berperan semacam patronasi seni budaya seperti Maecenas?

Mungkinkah di negeri penyair, daerah kantong sastra, daerah yang tariannya sudah diakui dunia internasional ini sama sekali tidak punya satu pun orang yang berjiwa Maecenas? Atau pengelolanya menyamakan setting acara gelar seni budaya seperti proyek pemindahan pasar malam?

Dan kalau boleh membandingkan, silakan baca jadwal acara PKB, lalu jadwal perlombaan 17-an yang diganti menjadi gelar, festival, panggung, gebyar, pawai atas nama seni budaya. Ada lomba lari, bola voli, catur, jalan sehat, dll. Pertanyaannya, apakah olahraga dengan seni budaya sama?

Meskipun patronasi bukan satu- satunya jalan keluar dari stagnasi dan kesalahkaprahan mengelola panggung seni budaya, setidaknya kesan jika ada bujet atau alokasi dana, khususnya yang diberikan pemerintah untuk para seniman-budayawan, harus terbebas dari belenggu "dalam rangka" agenda proyek pembangunan saja. Dan tentu tidak ada yang lebih tepat mengelola acara seni budaya, selain seniman dan budayawan itu sendiri.

Di Lampung, seni budaya seolah telah terkonsep dan terpola, sehingga melupakan unsur yang paling hakiki dari kesenian itu sendiri yakni, kreativitas dan subjektivitas. Menghibur dan terhibur, membawa nilai dan mengakomodasi makna. Meriah karena masyarakat menemukan katarsis dan oasis ketika menyaksikannya. Semua akibat semarak dan banyak secara kualitatif acara pengatas nama seni budaya, tetapi jauh dari substansi seni budaya itu sendiri. ***

* Endri Y., Pencinta Seni Budaya, tinggal di Kalianda

Sumber: Lampung Post, Selasa, 24 Juni 2008

No comments:

Post a Comment