-- Isbedy Stiawan Z.S.*
DEWAN Kesenian Lampung (DKL), sebagaimana dewan kesenian yang tersebar hampir di setiap daerah di Tanah Air, dibentuk atas dasar Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 5.A Tahun 1993 untuk membantu pemerintah memajukan dan mengembangkan (kegiatan) kesenian.
Di Lampung, DKL dibentuk dan pengurusnya dikukuhkan Gubernur Lampung--saat itu--Poedjono Pranjoto pada September 1993. Artinya, DKL saat ini sudah mendekati usia 15 tahun. Ibarat manusia, tengah meminang masa remaja. Tetapi untuk ukuran suatu organisasi, usia tersebut sudah (seharusnya) banyak yang telah dikerjakan.
Hanya saja, persoalan kesenian sekaligus mengurus kegiatan kesenian di negara yang kurang memiliki sense of culture terlihat bukan saja minimnya gedung pertunjukan seni, namun juga political will pemerintah bagi kemajuan kesenian dan nasib seniman yang sangat kurang. Dampak itu sangat terasa di tubuh Dewan Kesenian yang notabene sebagai perpanjangan tangan pemerintah karena dikukuhkan dan didanai pemerintah.
Era Soekarno, banyak buku sastra dan budaya di luar Lekra diberangus, para seniman/budayawan pencetus Manikebu diburu dan dimasukkan ke bui. Sikap pemerintahan Orde Lama seakan berlanjut pada era Soeharto: kabinet Orde Baru menggandeng urusan kebudayaan dengan pendidikan yakni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, saat itu, para pakar budaya berulang mengusulkan masalah kebudayaaan hendaknya diurus departemen tersendiri.
Sampai Soeharto diturunkan "paksa" oleh gerakan reformasi pada 1998, Departemen Kebudayaan yang dipimpin seorang menteri sebagaimana diharapkan para pakar budaya tidak pernah terlahir dari rahim Orde Baru. Bahkan, sejarah mencatat, sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa masalah kebudayaan dimarginalkan.
Sikap represif pemerintahan Soeharto terhadap keberlangsungan kesenian sangat terasa. Banyak seniman diburu dan dicekal, tak sedikit karya seni dilarang tampil dan dipamerkan.
Sejak era Soeharto pula, kalau tak salah, kebudayaan disatukan dengan pariwisata yang dikepalai seorang menteri: Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Dengan demikian, kebudayaan--di dalamnya kesenian, adat istiadat, dll.--dipandang tak lebih sebagai kata benda. Maka kebudayaan didekati dengan teknik "penyelamatan budaya", "pewarisan nilai-nilai budaya", dan pelbagai proyek pelestarian dan revitalisasi budaya untuk kepentingan pariwisata.
Kebudayaan, pada akhirnya harus dapat menyumbang pundi-pundi bagi kas negara. Apabila hasil kebudayaan tak mampu dijual di pasar pariwisata dengan sendirinya akan mati--atau sekadar dilestarikan. Akibatnya, kesenian tradisi, bagaimana upayanya direvitalisasi untuk kepentingan pemuasan bagi para wisatawan mancanegara. Terutama sekali kesenian tradisi di Bali dan daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata (DTW) diangkat hanya untuk dijual di depan para bule yang dikemas melalui festival-festival (dan pekan) kesenian setiap tahun dengan anggaran (APBD) yang tak kecil pula dikucurkan. Belum lagi, di dalamnya, kesenian-kesenian yang diperlombakan atau dipertandingkan.
Sehingga kesenian (karya seni) yang serius dan yang dinilai mencerahkan kalau tidak dibiarkan hidup sendiri maka akan dikucilkan. Terutama kesenian semacam teater, seni rupa, dan sastra; jika tidak dibiarkan, tentulah dicurigai karena dinilai dapat mengganggu stabilitas negara. Padahal, apakah ada bukti bahwa karya seni mampu menggerakkan massa merongrong kekuasaan?
Dengan pemahaman seperti itu, kebudayaan (di dalamnya ada kesenian) akan mudah digerakkan dan dibentuk yang datang dari (pemerintah) pusat. Betapa pun, di saat daerah memiliki otonomi sendiri, ternyata kepercayaan yang dikasih setengah-tengah oleh pusat makin membuat segalanya tergantung "paket" dari pusat.
Jangan heran ketika Depdiknas memangkas Direktorat Kesenian dan menggabungkan ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, daerah pun latah harus menghapus Subdin Kebudayaan dari Dinas Pendidikan. Bisa dibayangkan, 5 atau 10 tahun mendatang, anak-anak dididik di SMA yang dianggap potensial dibentuk menjadi manusia berbudaya akan makin asing pada kebudayaannya sendiri.
Pasalnya, sebagaimana sudah saya singgung di atas, Departemen (Kementerian) Kebudayaan dan Pariwisata hanya berpandangan bagaimana "menjual" kebudayaan di pasar pariwisata. Bukan menjadikan, sejatinya inilah yang diharapkan kita, kebudayaan sebagai transformasi nilai-nilai, norma, dan penanda.
Kebuadayaan massa menjadi cepat terserap dan diterima generasi muda--dari kalangan SMA--ketimbang pemahaman dan penghargaan (apresiasi) pada kebudayaan yang lahir dari rahim budaya-budaya yang beragam dan menjadi kebanggaan lantaran sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pemerintah pusat yang kurang peduli pada kebudayaan, kemudian "terpaketkan" ke daerah-daerah. Dari gubernur hingga bupati/wali kota terlihat sekali tidak memiliki rumusan strategi kebudayaan dan politik kebudayaan. Hal ini bisa dibuktikan berapa rupiah dikucurkan dari APBD untuk memfasilitasi, menghidupi, dan mengembangkan kesenian (kebudayaan) dibanding anggaran untuk politik.
Minimnya kepedulian pemerintah, dalam hal ini Pemprov Lampung, terhadap kesenian bisa dibuktikan di DKL, lembaga yang dibentuk untuk membantu gubernur dalam memajukan kesenian, nyatanya pernah tidak mendapat kucuran dana APBD beberapa tahun. Selain itu, pernah dianggarkan di dalam APBD tidak lebih Rp100 juta. Dengan dana sekecil itu, juga pengalaman dengan dana nol rupiah, DKL yang nyaris megap-megap hidupnya tetap melakukan "kewajibannya" mengembangkan kesenian di Lampung.
Memang pemerintah bukan "sinterklas", tapi kesenian bukan semata sebagai benda yang harus diukur dan dinilai dengan materi. Kesenian adalah juga harus dipandang sebagai karya kreasi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai filosofi dan simbol-simbol (penanda)--atau meminjam seorang Ocatavio Pazz sebagai "suara lain" dari zaman--karenanya ia hanya bisa dihayati dalam pembelajaran proses "menjadi" sehingga tak mungkin dapat dihargai oleh materi (uang). Dus kesenian macam ini tidak akan memberi (menyumbang) bagi dunia pariwisata.
Di sinilah, sesungguhnya peran yang diambil--dilakoni--DKL dalam pengembangan kesenian (di) Lampung. DKL tidak melakukan apa yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atau (Subdin Kebudayaan) Dinas Pendidikan dan Taman Budaya, meskipun adakalanya bisa saja sama objeknya. Karena visi dan misi yang berbeda antara DKL dan instansi pemerintah yang juga mengurus bidang kesenian (kebudayaan), maka sasaran dan output bisa saja tidak sama. Sebab bila Dinas Kebudayaan dan Pariwisata--berpandangan--bagaimana kesenian (dan kebudayaan) mempunyai nilai jual di dunia wisata, sementara (Subdin Kebudayaan) Dinas Pendidikan beriorientasi kepada anak didik (SMA) sedangkan Taman Budaya mungkin menjadikan dirinya sebagai laboratorium kesenian, maka DKL akan menempatkan dirinya untuk fasilitator, katalisator, serta menyediakan "ruang" kreasi secara bebas dan independen.
DKL--terdiri dari 7 komite plus Penelitian dan Pengembangan (Litbang): Seni Rupa, Musik, Sastra, Film, Tari, Teater, dan Seni Tradisi--setiap tahun (anggaran) memproyeksikan kegiatan kesenian, baik tingkat Lampung, regional, maupun nasional. Selain itu menggadangkan program unggulan DKL seperti Lampung Arts Festival (Festival Kesenian Lampung) dan program unggulan komite.
Misalnya Komite Sastra pernah menghelat Kongres Cerpen Indonesia 3 Tahun 2003, Temu Penyair Se-Sumatera-Jawa-Bali, Temu Penyair Ujung Pulau. Di samping anugerah terhadap karya terbaik (puisi dan cerpen) tingkat nasional melalui Krakatau Award.
Kini yang sedang berlangsung Lomba Menulis Cerpen Mini Se-Provinsi Lampung--selain, tentu saja, penerbitan buku (antologi) cerpen dan puisi karya sastrawan Lampung. Sementara Komite Musik pernah mendatangkan musisi nasional dan luar negeri, kemudian Komite Seni Rupa menggagas Pameran Seni Rupa Se-Sumatera dan Se-Nasional. Di samping itu, Komite Tari pernah menggelar pertemuan koreografer nasional serta tetap mengembangkan seni tari di basis sendiri.
Komite Seni Tradisi, baru-baru ini, menggelar Lomba Berbalas Pantun dan meluncurkan CD/VCD sastra tutur (tradisi) Lampung. Sedangkan Komite Musik, selain pernah merilis album CD/VCD lagu-lagu Lampung dalam irama keroncong, dan kini tengah siap mengikuti Suraba Fill Musik (SFM), 18--22 Juni 2008.
Lalu Komite Teater melalui program pembinaannya dan pengembangan berupaya terus mencari (dan melahirkan?) bibit aktor dan sutradara dengan gelar festival teater dan monolog. Begitu pula Komite Film yang selain memproduksi film independen (indie), juga mengadakan Festival Film Indie (independen) dalam rangka mengembangkan dan memajukan minat para sineas muda di Lampung.
Lalu, bagaimana melihat seni (di) Lampung dalam peta seni di Indonesia? Bukan maksud hati "air laut asin sendiri", tetapi realitasnya bahwa kesenian (di) Lampung sudah diperhitungkan keberadaannya di kancah nasional. Sejumlah seniman Lampung dikenal di tingkat nasional—terlepas apakah itu merupakan bagian kerja pengembangan dari DKL ataukah berjuang secara individu, harus diakui bahwa DKL punya andil setidaknya menumbuhkan dan membuka ruang-ruang kreativitas individu seniman. Misalnya, sekadar menyebut beberapa nama seperti Subardjo, Salvator Yen Joenaedy, Joko Irianta, Pulung Swandaru, Eddy Suherli, Dana E. Rachmat, Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, Achmad Zilalin, Imas Sobariah, Abdul Salam, M. Arman A.Z., Ibrahim (Boim), Budi P. Hutasuhut, Oyos Saroso H.N., Edy Samudra Kertagama, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Udo Z. Karzi, Y. Wibowo, Dahta Gautama, Sapril Yamin, Sutarko, I Nyomaan Arsana, M. Harri Jayaningrat, Ipung, Ponco Pujiraharto, Djuwita Novrida, Nani Rahayu, Gandung Hartadi, Rusli A. Syukur, Imas Sobariah, Liza, Achmad Jusmar, dan lain-lain.
Musim Anggur
Barangkali, tiga tahun belakangan, kesenian (di) Lampung tengah menikmati musim anggur. Semenjak daerah ini dipimpin Sjachroedin Z.P., dunia kesenian (kebudayaan) di daerah ini bagai memanen. Itu sebabnya, salah seorang kolega saya di eksekutif melontarkan gurauan: "enak ya sekarang seniman, sudah dapat uang saku, transportasi pun ditanggung, lalu jalan pun bersama Gubernur Sjachroedin."
Lontaran gurauan itu ketika rombongan seniman dari DKL dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) anjangsana ke Cirebon dan Banten. Gurauan teman saya di eksekutif itu, saya cuma menjawab: "Ya ada waktu, sekarang inilah, seniman (budayawan) diwonge oleh pemerintah, jangan hanya eksekutif dan olahragawan."
Mengelola lembaga kesenian semacam DKL memang harus ada strategi. Entah ini bagian dari strategi dan berpolitik (jangan dibaca bermain politik) para seniman Lampung, ketika mendapuk Syafariah Widianti (Atu Ayi)--kita tahu kakak Gubernur Sjachroedin--sebagai ketua umum DKL periode 2007--2010. Sebab sejak kepemimpinan Atu Ayi, selain anggaran DKL di APBD lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya, juga mendapat perhatian plus dari Pemprov Lampung. Inilah yang saya maksud musim anggur.
Mengelola kesenian (dan seniman) tentu berbeda mengurus organisasi lain karena "watak" seniman yang ditengarai "individualistis", "bebas", dan acap "sulit diorganiasi" (bukan sulit diatur). Akan tetapi, seniman mempunyai elan vital, tanggung jawab, dan kerap sampai lupa waktu jika dihadapkan suatu pekerjaan. Jelas ini modal tak ternilai untuk mendapatkan hasil kerja yang tak saja selesai melainkan sukses.
DKL ke depan, saya berharap, dapat merumuskan (rencana) strategi pengembangan kesenian yang lebih konkret, demi kemajuan berkesenian sekaligus seniman Lampung bik bagi daerah maupun nasional. Misalnya, lembaga ini dapat menciptakan "father-father" di masing-masing jurai (komite) seni. DKL juga berupaya mengusul dan meyakinkan Pemprov Lampung untuk memberi penghargaan bagi seniman (budayawan) berprestasi atau karena jasanya memberi inspirasi bagi kehidupan kesenian di Lampung.
Saya, sebenarnya menunggu, apa yang (akan) dilakukan DKL (juga MPAL, LKDL) terhadap seorang Udo Z. Karzi--penulis puisi berbahasa Lampung--yang dianugerahi Hadiah Sastera Rancage 2008 dari Yayasan Kebudayaan Rancage karena bukunya Mak Dawah Mak Dibingi di Bandung, 14 Juni 2008. Ternyata, sampai tulisan ini saya buat, tidak ada. ***
* Isbedy Stiawan Z.S., Sastrawan tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 24 Juni 2008
No comments:
Post a Comment