PUISI-PUISI Udo Z. Karzi yang terkumpul dalam Mak Dawah Mak Dibingi maupun Momentum adalah puisi modern yang ditulis dalam bahasa Lampung. Ini disadari sepenuhnya oleh Udo, seperti dikemukakan pada diskusi Selasa (24-6) malam di Lampung Post.
Sebagai penyair, Udo tidak hendak mengeksplorasi bahasa Lampung atau mencari diksi-diksi Lampung yang bernilai rasa tinggi. Bagi Udo, bahasa ujaran sehari-hari bahkan bahasa gaulnya Lampung juga bisa dijadikan sarana berpuisi. Dan ini yang dilakukan Udo Z. Karzi.
Kesadaran berkarya ini yang membuat sejumlah pengamat sastra Lampung menyatakan Udo Karzi membebaskan diri dari keketatan bentuk--bait, rima, maupun baris--sastra tradisional Lampung semacam pattun/segata/adi-adi atau paradinei/paghadini.
Kita baca pattun berjudul Bukundang Kalah Sahing (Pacaran Kalah Saingan) yang biasa dibawakan dalam acara-acara muda mudi: Numpang pai nanom peghing/Titanom banjagh capa/Numpang pai ngulih-ulih/Jama kutti sai dija//Adek kesaka dija/Kuliak nambi dibbi/Adek gelagh ni sapa/Nyin mubangik ngughau ni// Budaghak dipa dinyak/Pullan tuha mak lagi/Bukundang dipa dinyak/Anak tuha mak lagi//(wikipedia).
Pantun yang memiliki struktur bunyi teratur ini (a-b-a-b) dengan pola khas dua baris sampiran dua baris isi ini mencirikan keunikan tradisi lisan Lampung. Ada kelincahan berujar, ekspresif, dan kata-kata singkat dalam aliran irama yang cepat.
Ciri ini yang membuat penyair Isbedy Stiawan Z.S. menyatakan sastra Lampung itu mengandalkan lisan, anonim, erat kaitannya dengan kebiasaan, tradisi, dan adat-istiadat. "Sastra Lampung itu bertutur, tidak ada yang tertulis. Harus ada yang membatasi dan menghentikannya kalau orang atau penyair sedang menuturkannya. Susah berhenti," ujar Isbedy kepada Lampung Post, Jumat (27-6).
Sayangnya, sifat-sifat kesusastraan Lampung ini tidak terlihat dalam karya sastra modern Lampung, khususnya puisi. Begitu juga pada Mak Dawah Mak Dibingi. Padahal, ciri-ciri inilah yang menghadirkan keunikan tersendiri.
Namun sayang, hingga kini potensi tersebut belum mentas secara nasional.
Jika keluar dari bentuk, puisi juga tidak terlepas dari resapan-resapan estetis yang terbangun dari citraan-citraan, metafor, imaji, maupun refleksi si penyair. Ia bisa dibangun dari sebuah nilai, kesadaran pada sebuah ideologi, atau penyikapan budaya--meminjam istilah penyair Iswadi Pratama pada komentarnya di antologi Operasi Kebun Lada karya Y. Wibowo (matakata; 2005).
Dalam konteks ini, "Lampung" bisa dimaknai sebagai perspektif atau paradigma berkarya. "Lampung" sebagai paradigma menjadi jiwa dalam karya atau budaya--jika disandingkan dengan masyarakat.
Perempuan Penunggang Harimau karya M. Harya Ramdhoni Julizarsyah yang terbit di rubrik "sajak" Lampung Post hari ini, misalnya, terasa kental dengan "Lampung" sebagai jiwa dalam karya. Atau sajak Ziarah Muasal-nya Ramdhoni: tujuh manusia loreng emas/terpekur di makam kuno//para punggawa halus bersetia/sejak ratusan abad tertakluknya tanah ini/mitologi silang sengkarut/menghablur dari masa yang tak tercatat//di tempat leluhur menutup mata terakhir kali/sudah masanya menziarahi waktu/beramah tamah dengan/moyang dan para sahabat/untuk menjumpai hakikat kita//
Bahwa puisi juga curahan kesadaran, bukan sebatas "rasa" yang bergetar ketika bersentuhan dengan sesuatu, yang tremendum, tampaknya juga tidak bisa diabaikan. Jika Iswadi Pratama berharap Udo Z. Karzi menjadi penanda bangkitnya susastra Lampung, mungkin saja capaian-capaian estetis dalam karya, seperti disampaikan direktur artistik Teater Satu ini, ada benarnya menjadi kesadaran seorang Udo Z. Karzi. n RAHMAT SUDIRMAN/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juni 2008
No comments:
Post a Comment