June 8, 2008

Wisata: Halau Gajah dengan Alat Tradisional

MASYARAKAT DI LAMPUNG TIMUR TERBIASA MENGHALAU GAJAH SETIAP MENJELANG MUSIM TANAM DAN PANEN. KENTUNGAN SAMPAI BOLA API JADI ALAT PENGUSIR.

TRADISI atau kebiasaan menghalau gajah liar yang datang dari Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dan masuk ke perkampungan masyarakat di 22 desa ada di tujuh kecamatan di Kabupaten Lampung Timur sudah merupakan pekerjaan rutin yang dilakukan warga hampir setiap malam, terutama saat menjelang musim tanaman dan panen.

Tidak ada ritual atau acara khusus yang dilakukan masyarakat untuk mengusir gajah kembali masuk ke TNWK. Alat-alat yang digunakan merupakan perkakas tradisional yang hingga kini masih dipertahankan dan masih ampuh untuk menghalau kawanan gajah tersebut.

Menurut Budiono, warga Desa Tegal Ombo, Kecamatan Way Bungur, Kabupaten Lampung Timur, pekerjaan menghalau gajah yang dilakukan bersama-sama dengan warga lain sudah dilakukan sejak 1984 hingga kini, yaitu sejak kawanan gajah mulai masuk ke perladangan atau perkampungan. Sementara itu, alat-alat yang digunakan untuk menghalau gajah agar kembali ke hutan adalah obor, kentungan, jeduman (terbuat dari bambu), bloor (lampu besar), dan juga bola api yang dibuat dari gumpalan kain bekas.

“Semua alat tersebut dibawa pada saat akan menghalau gajah, jadi tidak ada ritual khusus yang dilakukan. Yang penting dalam menghalau gajah, kita jangan takut sebab jika takut, justru gajah yang akan mengejar kita,” kata Budiono yang juga koordinator Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Way Lestari yang dibentuk khusus untuk menghalau gajah.

Biasanya gajah liar tersebut mulai datang sekitar pukul 19.00 WIB secara berkelompok, mulai dari 50 ekor hingga paling sedikit delapan ekor. Sebelum masuk ke perladangan, gajah-gajah tersebut akan melalui sungai yang merupakan pembatas.

“Jadi diupayakan jangan sampai gajah-gajah tersebut melewati sungai, sebab kalau sudah melewati sungai, susah mengusirnya. Kentungan dipukul jika kita sudah melihat kawanan gajah yang akan menyeberang sungai, begitu juga dengan bloor ataupun bola api yang bisa dilempar ke arah gajah. Gajah akan takut mendengar suara kentungan dan melihat cahaya api dan akhirnya secara perlahan kembali ke hutan,” tambahnya.

Setelah gajah kembali ke hutan, ia beserta teman-temannya tidak pulang, tetapi tetap menunggu di pos-pos yang ada hingga subuh. Jika ditinggalkan sebelum pagi, kawanan gajah akan kembali keluar dari hutan.
Salah satu teknik yang digunakan dalam mengusir gajah adalah tidak membiarkan sampai ada gajah yang tertinggal, terutama anak atau gajah betina paling besar yang menjadi pemimpin. Sebab kalau tertinggal, gajah-gajah dalam rombongan akan marah dan ngamuk karena memang salah satu sifat gajah adalah memiliki rasa setia kawan yang kuat.

Sugio, Koordinator Wilite Conservation Society (WCS), mengatakan, saat ini jumlah gajah di TNWK berdasarkan data 2002 ialah sekitar 250 ekor dan kini jumlahnya diperkirakan bertambah hingga 300 ekor. Itu bisa terlihat karena dari setiap kelompok gajah yang keluar selalu disertai anak-anak gajah. WCS sendiri kini telah membina masyarakat setempat dengan membentuk KSM di 22 desa yang berbatasan dengan TNWK.

“Salah satu upaya yang kami lakukan adalah membina masyarakat dan membentuk kelompok-kelompok yang bertugas mengusir gajah. Gajah merupakan hewan yang dilindungi, jadi jangan sampai menggunakan benda- benda tajam yang bisa mengancam keselamatan gajah-gajah tersebut ketika pengusiran,” ujarnya.

Saat ini, 22 desa di tujuh kecamatan, yakni Kecamatan Way Bungur, Probolinggo, Sukadana, Labuhan Ratu, Way Jepara, Braja Selebah, dan Labuhan Maringgai, sudah memiliki 18 kelompok dengan jumlah anggota 20 sampai 30 orang. Kelompok-kelompok itulah yang bertugas secara bergantian setiap malam untuk ronda di pos pengusir gajah.

“Kami bersyukur kesadaran masyarakat sudah baik, buktinya dalam melakukan pengusiran tidak ada gajah yang cedera atau mati, walaupun kadang gajah-gajah liar tersebut merusak tanaman dan lahan perladangan dan sawah mereka,” lanjutnya.

Menurut Sugio, biasanya kawanan gajah tersebut keluar dari kawasan TNWK untuk mencari makanan, sebab makanan yang ada di dalam hutan sudah berkurang. Gajah memiliki penciuman yang sangat tajam, yaitu bisa mencapai jarak sekitar 30 meter. Gajah bisa mengetahui kapan petani mulai menanam atau mulai masuk masa panen sehingga gajah akan keluar pada masa-masa tersebut.

Warga lainnya, Gatot, mengatakan dana pengusiran gajah berasal dari masyarakat sendiri, sedangkan perhatian dari pemerintah daerah sangat minim. Pemerintah seolah-olah tidak memikirkan nasib warganya yang setiap malam selalu dihantui rasa takut akan terjadinya serangan gajah.

“Sebenarnya tugas mengusir gajah adalah tanggung jawab pemerintah mulai dari kabupaten, provinsi dan juga pusat. Namun buktinya, tidak ada perhatian sama sekali. Untuk ronda setiap malam, kami mengeluarkan dana sendiri dengan iuran. Yang jelas, kami tidak tahu sampai kapan serangan gajah di sini akan berakhir,” tegasnya. (VI/M-3)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 8 Juni 2008

1 comment:

  1. Sangat disayangkan kalau pemerintah tidak ikut memperhatikan situasi ini. Selama makanan utk gajah belum tercukupi di Taman Nasional Way Kambas, selama itu juga penduduk disekitarnya harus direpotkan oleh gajah-gajah itu. Hal2 seperti ini harusnya segera diselesaikan pemerintah.

    ReplyDelete