-- Mursalin Yasland
GEMPA Liwa terjadi pada 14 Februari 1994. Saat itu, Liwa, kota kecil ibukota Kabupaten Lampung Barat (Lambar), sebelah paling Barat Provinsi Lampung, rata dengan tanah. Fasilitas umum dan akses transportasi serta komunikasi lumpuh total.
Bencana alam itu membuat Liwa, dan Lambar pada umumnya, menjadi tersohor sampai ke manca negara. Sejak itu, siapa saja yang berkunjung maupun berlibur ke Lampung tak lengkap bila belum singgah ke Lambar.
Pesona alam Lambar, wilayah seluas 4.950,40 km2, masih memikat. Kabupaten dengan 17 kecamatan yang berpenduduk 383.736 jiwa (tahun 2005) ini menyimpan eksotisme alam yang sangat elok dipandang. Belum lagi, hasil perkebunan kopi Robusta dan Damar yang melimpah.
Kota Liwa terletak di punggung pegunungan Bukit Barisan Selatan. Dari kota Bandar Lampung, ibukota provinsi, untuk ke kota tersebut, harus menempuh jarak 246 km. Pelancong bisa melalui jalan lintas Barat (Jalinbar), atau melalui jalan lintas Sumatera (Jalinsum).
Dengan berkendara pada pagi hingga petang hari, bila melintasi Jalinbar, kita bisa menikmati keaslian hutan dan satwa di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Jika lewat Jalinsum, kita disodori pemandangan yang indah, sejuk nan alami, di balik lereng-lereng perbukitan yang terjal.
Dari Bukit Kemuning, Lampung Utara, sebelum tiba di Liwa, kita akan melewati Sumber Jaya. Di sini, kita bisa beristirahat sebentar di Rest Area. Ini tempat tertinggi di jalan lintas tersebut, seperti di Puncak, Jawa Barat, sekadar untuk menikmati kesunyian alam.
Melanjutkan perjalanan menuju kota Liwa, kita disarankan untuk mematikan AC dan membuka kaca mobil. Soalnya, udara sejuk dan hawa dingin mulai menyelinap di tubuh kita. Sepanjang jalan yang berkelok-kelok penuh jurang, kita masih bisa menikmati panorama alam perbukitan, di Fajar Bulan, Sekincau, dan Kenali.
Baru mendekati kota Liwa, udara dingin dan hawa sejuk bagaikan kawasan Puncak mulai terasa. Apalagi kalau menjelang malam. Memasuki pusat kota Liwa, terdapat Tugu Pohon Arra. Pohon bercabang ini simbol semangat hidup untuk membangun daerah secara total.
Di kota ini udara dingin dan sejuk, enak untuk beristirahat, setelah menempuh perjalanan sekitar enam jam dari Bandar Lampung. Di kota ini, pelancong tidak kesulitan untuk menginap. Hotel pun tersedia, namun hampir seluruh kamarnya tidak ber-AC, karena udara sudah dingin menggigilkan.
Ganjar Jationo, warga Liwa, mengingatkan pelancong jangan terkejut. Pasalnya, bila menginap di Liwa, suara seperti mesin hidup di bawah tanah selalu terdengar nyaring. Bahkan, tempat tidur pun bergoyang-goyang, akibat getaran gempa-gempa kecil yang kerap terjadi.
"Warga di sini sudah tidak aneh lagi dengan getaran gempa, bahkan ada yang semakin nyenyak tidur, tidak takut, tidak mau keluar rumah," tutur Ganjar, yang bekerja di Pemkab Lambar.
Udara pada Subuh hari, sangat sejuk. Embun pagi selalu menyelimuti alam Liwa. Sayang, kalau melewati waktu itu hanya di dalam kamar hotel. Bagi yang baru menginjakkan kakinya di Liwa, harus memakai jaket atau sweeter, bila keluar rumah atau hotel.
Untuk mengenang tragedi masa lalu, kita dapat singgah di taman makam di Kec Balik Bukit, Liwa, depan rumah sakit umum daerah. Makam ini bersejarah, karena terdapat tugu Gempa Liwa 1994. Di sini, terdapat kuburan dan tugu berisi nama-nama warga korban gempa yang meninggal dan berhasil dievakuasi.
Pusat wisata
Kota Liwa menjadi pusat wisata Kabupaten Lambar. Dari sini, kita bisa berwisata ke berbagai tempat, dengan panorama alam yang sangat indah dan asli. Bagi yang suka keindahan alam, bisa berkunjung ke Danau Ranau, kawasan pantai Pesisir Barat seperti pantai Selalau, pantai Tanjung Setia, Pulau Pisang, Pantai Penengahan dan Pantai Singing.
Bagi yang senang dengan sumber daya alam, terdapat kawasan gas alam terbesar di Kec Suoh. Selain itu, ada perkebunan damar di Kec Krui. Pohon damar di sini ada yang berusia ratusan tahun. Produksi damar yang termahal dan terkenal di dunia, adalah damar mata kucing.
Di kebun damar kita masih bisa menyaksikan tradisi yang tidak pernah punah: ibu-ibu yang memanjat pohan damar yang tinggi untuk mengambil getah damar. Peralatan yang digunakan ibu-ibu pemberani itu pun sangat sederhana. Sehingga, pada berbagai event, diadakan lomba panjat pohon damar.
Turis asing lebih menyukai singgah di Pantai Tanjung Setia -- sekitar 57 km dari Liwa, atau 25 km dari Kec Krui. Pantai ini memiliki pemandangan alam yang indah. Juga, tempat yang ideal berwisata bahari, berselancar (surfing).
Menurut Damri Alamsyah, mantan Kabag Humas Pemkab Lambar, pada bulan-bulan tertentu, Juni dan Juli, ketinggian ombak mencapai empat meter. Tak heran, bulan-bulan itu, wisatawan asing berbondong-bondong menginap di cottage Pantai Tanjung Setia.
"Ombak pantai ini sangat dikenal ganas dibandingkan pantai lain di dunia. Ini tantangan bagi peselancar," ungkap Damri, yang mendampingi perjalanan Republika ke tempat wisata ini.
James Smith, turis asing asal Belanda, mengaku datang ke Tanjung Setia setelah mendengar cerita dari peselancar asing lainnya. "Ombak di sini sangat bagus untuk berselancar," tutur Smith. Sudah hampir sebulan dia menginap di cottage pantai tersebut.
Memancing di Pulau Pisang
Pelancong yang suka memancing, sebaiknya singgah di Pulau Pisang. Pulau ini berada di laut lepas Samudra Indonesia. Ombaknya pun tinggi juga. Di pulau seluas 200 ha itu terdapat enam desa yang didiami sekita 4.000 jiwa. Pantai pasir putihnya sangat memesona bagi pelancong untuk berjemur atau mandi.
Perairan di sekitar pulau itu sangat menarik untuk aktivitas memancing. Tak jarang, pemancing dunia mendatangi pulau tersebut hanya untuk memancing ikan blue marlin (ikan setuhu), cakalang dan tuna. Sebelum merapat di pulau itu, terdapat dermaga kapal untuk menuju Pulau Pisang. Pelancong pun bisa menikmati dan membeli batu-batu hitam yang cantik dan indah. Batu-batu itu telah dikirim ke berbagai kota di Indonesia, untuk taman dan keindahan rumah.
Berwisata ke Lambar untuk menikmati keindahan alam tidak cukup dengan sehari atau dua hari saja. Masih banyak tempat wisata alam dan pengetahuan umum menarik lainnya. "Paling tidak, berlibur ke Lambar butuh waktu seminggu, baru puas melihat potensi alam di sini," kata Ganjar. (mursalin yasland)
Sumber: Republika, 25 Mei 2008
No comments:
Post a Comment