June 16, 2008

Apresiasi: Suara Lain dari Bilik KoBER

ADA kegelisahan juga geliat hidup dari lantai dasar gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), Unila, Jumat (6-6) malam, minggu lalu. "Benarkah ada spritualitas dalam seni?" tanya Jimmy Maruli Alfian, penyair muda Lampung saat memandu diskusi bertema Spiritualitas dalam Seni malam itu.

Penyair yang juga Direktur Artistik Teater Satu Iswadi Pratama membuka materi diskusi malam itu dengan perenungan panjang. Mulanya, seniman kelahiran Tanjungkarang 1970 itu menebar kesadaran, mungkin semacam penguatan diri tentang pilihan berkesenian, menjadi penyair, atau bergiat di teater.

Dalam pencahayaan redup dengan latar ruang seadanya, Iswadi membacakan materi diskusinya dengan aksentuasi puitik. Ia membaca pelan, kadang menghentak, sesekali seolah berkejaran dengan waktu, sesuai substansi tulisannya yang bertajuk Spiritualitas dalam Seni.

"Spiritualitas bagiku adalah apa yang telah menempaku dalam seluruh cucuran keringat, air mata, doa, getir-bahagia, harapan-kecemasan, jatuh-bangun, maki dan pujian, perjumpaan-kehilangan, semua hal yang pernah kutata dan hancur, atau segala yang pernah menggilasku dan kulawan habis-habisan, sebentang jurang atau seberkas cahaya dalam kegelapan.....," urai penyair yang kerap "bermain" dengan konstruksi eksistensialis-fenomenologis dalam puisi-puisinya ini.

"Semua itulah yang telah membentuk spiritualitasku; sesuatu yang menjadi milikku, khas, bersendiri, dan abai dari keramaian, lepas dari pasar dan industri, hiruk-pikuk politik, dari segala kemegahan teori, ilmu pengetahuan, segala bentuk transaksi," kata dia.

Ia pun menyimpulkan spiritualitas dalam seni itu sebuah bakti. "Ia disebut bakti karena dilakukan untuk dipersembahkan kepada sesuatu yang lebih besar dan tinggi dari dirinya dan tindakan itu sendiri," kata Iswadi.

Penyampaian Iswadi tentang spiritualitas seni terasa pas untuk konteks seseorang yang baru memilih hidup berkesenian. Dan ini disadari Iswadi; hingga pada awal penyampaiannya ia menyatakan apa yang dibicarakan malam itu khusus ditujukan pada penggiat seni yang baru bergabung dengan Komunitas Berkat Yakin (KoBER). Dan diskusi malam itu memang dalam rangka milad keenam KoBER.

Seni tanpa spiritualitas tentu hal yang mustahil. Sebab seni adalah spiritualitas itu sendiri, seperti disampaikan cerpenis S.W. Teofani, nama pena Susilowati pada diskusi itu.

Dalam paparannya, Iswadi pun menegaskan makna spiritualitas ini dengan mencontohkan kasus pelukis 1890-an, Vincent van Gogh dan adiknya, Theo, yang total memilih jalan berkesenian. Untuk konteks yang luas, Iswadi sepakat dengan Socrates yang menyerukan: Hidup yang tak dapat direfleksikan, tak layak dijalani.

Ya, karena spiritualitas juga yang membuat manusia akrab dengan dirinya, dengan kehidupan, dengan yang Ilahi. Sebab "di atas bakti adalah Tuhan", ujar penyair Ari Pahala Hutabarat, malam itu.

Kebangkrutan Kultural

Permasalahan segera muncul begitu wacana spiritualitas seni yang digaungkan Iswadi dihadapkan pada kenyataan sosial. Bukankah dunia ini tidak satu matra? Ada sosial, budaya, politik, dan medium-medium budaya pop lainnya yang memenuhi realitas sosial. Jika mungkin, bisakah seni dan kalangan seniman di Lampung hadir sebagai kekuatan yang menebarkan spiritualitas itu?

Pertanyaan ini sah-sah saja. Ketika Iswadi menebar kekhawatiran pada zaman yang dikatakannya dalam "kebangkrutan kultural". Tidakkah mungkin spiritualitas seni menjadi kekuatan yang membalik semua itu?

Spiritualitas dalam seni, ujar Iswadi, bukan produk umum. "Dia khas dan bersendiri dalam diri si seniman."

Orang hanya bisa menangkap getaran seni dalam sebuah produk yang dihasilkan seniman. Namun, di zaman yang berkembang ini, seniman berhadapan pula dengan dunia industri. Dunia yang disebut Iswadi penuh pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan.

Pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan ini juga yang menguatkan gerakan romantisme pertengahan abad ke-18 lalu di Eropa. Seniman menggugat sejarah karena Renaisans dan pencerahan ternyata melahirkan kehidupan yang tak berjiwa. Kenyataan dikorup oleh ideologi kapitalisme dan modernisme hingga yang hadir tinggal kehidupan yang kehilangan sifat-sifat dasar manusia.

Namun, elan vital romantisme itu kini harus berhadapan dengan industrialisasi seni. Kekuatannya susah dibalikkan karena "kini semuanya telah menjelma forum (pasar)," seperti kata Zarathustra yang dipetik khusus Iswadi dalam tulisannya. Dan, yang ada sekarang adalah kenyataan yang mempertontonkan "seni tinggi" berdampingan dengan seni populer.

Problematika berkesenian di Tanah Air, begitu juga di Lampung, seperti mengikuti putaran sejarah dan gerakan budaya di belahan bumi sana. Ada semangat art for art seperti kukuh dikemukakan penyair Ari Pahala Hutabarat, ada juga desakan untuk membebaskan diri dari jaring circle of narcistic.

Mungkinkah kesadaran akan seni sebagai jalan, bukan sebagai tujuan an sich, menjadi pilihan yang menjiwai dekonstruksi kehidupan yang oleh Iswadi dikatakan mengalami "kebangkrutan kultural"?

n YOSO MULIAWAN/P-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juni 2008

No comments:

Post a Comment