June 29, 2008

Apresiasi: 'Mak Dawah Mak Dibingi', Persembahan Seorang Udo Z. Karzi

UDO Z. Karzi membuka babakan baru kesusastraan Lampung. Penyair kelahiran Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970 ini menerima hadiah Sastra Rancage 2008 atas puisi-puisinya yang terhimpun dalam buku Mak Dawah Mak Dibingi, terbitan BE Press, Bandar Lampung, 2007. Akankah ini menjadi tonggak pengembangan sastra dan budaya Lampung ke depan? Akankah Udo Karzi terus menabalkan diri sebagai "penyair Lampung" di tengah peta susastra Indonesia, mungkin dunia?

"Ke depan, sajak karya Udo bisa mendorong para pengarang muda lainnya lebih peduli pada bahasa ibu dalam berkarya." Demikian sambutan Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi pada acara penyerahan penghargaan Sastra Rancage 2008 di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, 14 Juni lalu.

Pemberian hadiah untuk sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa dan Bali ini yang pertama. Hadiah itu jatuh pada 50 puisi berbahasa Lampung karya Udo Karzi yang terbukukan dalam Mak Dawah Mak Dibingi.

Udo tercatat sebagai sastrawan pertama di luar Jawa dan Bali yang mendapat hadiah tersebut sejak Yayasan Kebudayaan Rancage didirikan pada 1989. Semula Rancage hanya memberikan hadiah pada sastrawan Sunda. Mulai tahun 1994, anugerah diberikan pada sastrawan yang menulis karya dengan bahasa Jawa. Lalu, tahun 1997 diberikan pada sastrawan Bali.

"Saya sebagai warga Lampung sangat bangga karena bisa mewakili daerah menerima Hadiah Sastra Rancage," ujar lelaki kelahiran Lampung 38 tahun silam, yang kini tengah ditugaskan sebagai redaktur Borneo News (grup Lampung Post), Kalimantan Tengah.

Selain Udo, ada tiga sastrawan lain yang menerima penghargaan Rancage yang sudah berlangsung selama 20 tahun, yakni Godi Suwarna (karya berbahasa Sunda berjudul Sandekala), Turiyo Ragilputra (karya berbahasa Jawa berjudul Bledheg Segara Kidul), dan I Nyoman Manda (karya berbahasa Bali berjudul Depang Tiang Bajang Kayang-kayang).

Penghargaan serupa juga diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap berjasa dalam memelihara serta mengembangkan bahasa ibu. Mereka adalah Grup Teater Sunda Kiwari pimpinan R. Dadi Danusubrata; redaktur majalah Jawa, Jaya Baya Sriyono; dan I Made Suatjana, penemu program penulisan aksara Bali atau disebut Bali Simbar.

Karena keterbatasan dana, Ajip mengatakan untuk Lampung hadiah hanya diberikan untuk karya. Ke depan, Ajip berharap bisa memberikan hadiah untuk orang atau lembaga yang berjasa melestarikan dan mengembangkan bahasa Lampung.

Bukan Lagi Wacana

Udo memang bukan yang pertama menggaungkan sastra Lampung. Namun, untuk sastra Lampung modern, Udo yang konsisten menulis sajak berbahasa Lampung ini adalah penyair pertama yang diakui lembaga berkompeten sekelas Rancage. Untuk konteks pengembangan sastra-budaya Lampung, keseriusan Udo Z. Karzi setidaknya bisa disejajarkan dengan Masnuna (sastra lisan), Harry Jayaningrat (seni tari), dan para seniman tradisi lainnya seperti Sapril Yamin.

Jejak kepenyairan Udo Z. Karzi setidaknya dimulai ketika ia kuliah di FISIP Unila era 90-an. Udo mewarnai geliat sastra kampus bersama Iswadi Pratama, Ahmad Julden Erwin, dan Panji Utama.

Kesadaran Udo pada khazanah Lampung bisa dipahami, setidaknya jika melihat latar belakangnya sebagai putra asli Liwa. Namun, puisi-puisi yang ditulisnya dalam bahasa Lampung bukanlah sebuah pilihan tanpa alasan apalagi sebatas asal beda. Etnik-etnikan biar dibilang paham cultural studies dan sebagainya. Bagi Udo, ini adalah pilihan atas nama kesadaran yang berhadap-hadapan dengan globalisasi.

Kesadaran ini juga yang mengantar Udo Karzi serius menelurkan puisi-puisi berbahasa Lampung seperti yang diterbitkan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung tahun 2002 melalui Proyek Pelestarian dan Pemberdayaan Budaya Lampung. Ada 25 puisi Udo dalam antologi berjudul Momentum itu.

Energi kreatif Udo juga yang kemudian mempertemukannya dengan penyair Budi Hutasuhut dan Y. Wibowo. Berangkat dari kesamaan visi, akhirnya puisi-puisi berbahasa Lampung Udo Karzi diterbitkan dalam antologi Mak Dawah Mak Dibingi. Dari sinilah jejak susatra Lampung di ranah sastra nasional mulai ditapai Udo Karzi hingga 14 Juni lalu ia menerima penghargaan Sastra Rancage 2008.

Diakui penikmat sastra Kuswinarto (puitika.Net), penghargaan Sastra Rancage 2008 yang diraih Udo Z. Karzi menghapus gugatannya selama ini tentang keberadaan sastrawan Lampung yang konsisten dengan khazanah lokal. Dan ini membuktikan sastra Lampung bukan lagi wacana di tangan Udo Z. Karzi!

Pencapaian Estetik

Harapan--juga tanggung jawab--pada Udo Karzi pun bergulir. Anugerah Sastra Rancage 2008 adalah awal, bukan akhir perjalanan Udo Karzi. Apalagi susatra Lampung. Muncul harapan agar Udo Karzi tidak sebatas menelurkan karya-karya berbahasa Lampung. Lebih dari itu, Udo harus menandai jagat kesusatraan lokal di negeri ini.

Harapan ini disampaikan penyair cum teaterwan Iswadi Pratama. Saat diskusi di kantor harian ini, Selasa (24-6) malam, Iswadi menyatakan Udo Karzi bisa menandai jagat kesusastraan daerah lewat karya-karyanya. Rancage 2008, sekali lagi, adalah awal yang baik bagi penyair-penyair atau sastrawan Lampung mengukuhkan diri dalam jagat sastra.

Bagi Iswadi, Udo tidak cukup hanya "berpuisi dengan bahasa". Udo juga tidak cukup cuma berkarya dengan bahasa Lampung. Yang lebih penting, Udo harus menemukan capaian-capaian estetik hingga puisinya memiliki kekhasan dan kekuatan sebagai karya sastra itu sendiri. Tidak cukup sebagai puisi berbahasa Lampung.

Dengan sedikit "provokatif", Iswadi yang notabene sejawat Udo saat di Unila maupun ketika aktif di Sumatera Post dan Lampung Post berkata demikian: Udo harus berpikir di tengah konstelasi kesusastraan dunia! Mengapa tidak!

Penyair yang dijuluki Paus Sastra Lampung, Isbedy Stiawan Z.S. pun berharap serupa. Rancage 2008 bukan capaian akhir, ini adalah pembuka bagi penyair-penyair lain di daerah ini serius berkarya. Dan ini adalah pilihan.

Berkarya adalah pilihan. Bagi Isbedy, sangat naif jika penyair seperti dia maupun Iswadi tiba-tiba berkarya dalam bahasa Lampung hanya untuk meneruskan tradisi Rancage. Ini sulit dilakukan apalagi mereka juga dikenal di ranah sastra nasional sebagai penyair yang memiliki "bahasa" dan gaya berpuisi sendiri.

Masalah ini disadari Direktur BE Press Y. Wibowo. Baik sebagai penerbit maupun penyair, Wibowo mengakui sulit mencari penyair yang konsisten berkarya dengan bahasa Lampung. Ini harus dilawan karena anugerah Rancage 2008 yang diterima Udo Karzi "menuntut" sastrawan Lampung menelurkan karya-karyanya dalam bahasa Lampung.

Bagaimanapun, Wibowo menilai Rancage 2008 adalah momentum yang baik bagi pengembangan sastra Lampung. Pertama, di tengah globalisasi ini, ia melihat Rancage adalah lembaga kompeten yang pertama mengembangkan sastra dan budaya daerah. Di tangan sastrawan Ajip Rosidi, Rancage menjadi lembaga yang mampu mengangkat sastra daerah sebagai "bagian sah" kesusastraan di negeri ini.

Kedua, karya-karya berbahasa Lampung apa pun juga harus diciptakan. Jika tidak, sastra-budaya Lampung berhadapan dengan kematian. Langkah Udo Karzi adalah sesuatu yang berarti bagi susastra Lampung.

Ketiga, Wibowo melihat pengembangan sastra daerah harus dibarengi dengan strategi kebudayaan tidak bisa bergerak tanpa konsep atau tanpa arah yang jelas. n MAT/*/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juni 2008

No comments:

Post a Comment