October 30, 2011

[Perjalanan] Menikmati Festival Teluk Stabas

LIWA—SENIN (24-10), sekitar pukul 13.00, lapangan Merdeka Liwa, Lampung Barat, dipadati seribuan warga. Mereka menyaksikan pembukaan Festival Teluk Stabas ke XIV.

FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/ARIPSAH

Terik matahari yang menyengat tak menyurutkan warga dari berbagai wilayah di Lampung Barat untuk menyaksikan parade budaya dari perwakilan 25 kecamatan. Agenda tahunan Pemkab ini memamerkan budaya dan kolaborasi kesenian Lampung, Jawa, Bali, Batak, Sunda, dan lainnya yang tumbuh berkembang di Bumi Beguai Jejama itu.





Iring-iringan pawai budaya yang dimulai dari Hotel Permata, Kelurahan Way Mengaku, menuju mimbar utama pembukaan festival di lapangan Merdeka menjadi pusat perhatian. Kilap lampu kamera kerap lebih cepat dari kedipan mata.

Peserta pawai sejenak beristirahat di sepanjang jalan dekat lapangan Merdeka ketika seremonial pembukaan festival berlangsung di mimbar utama. Saat itu dijadikan sesama peserta untuk saling menyapa satu sama lain, memperkenalkan ciri khas budaya dan kesenian masing-masing.

Usai acara pembukaan, peserta satu per satu memasuki lapangan, memamerkan kekayaan budaya yang ada di setiap kecamatan. Baru sekitar lima kecamatan tampil di hadapan sekitar seribuan tamu undangan, cuaca cerah seketika berubah menjadi gelap, awan hitam kian menyelimuti langit yang diikuti dengan turunnya gerimis.

Tapi kemeriahan di lapangan tetap terlihat, sorakan pengunjung terdengar di sana-sini, terutama ketika setiap kecamatan menujukkan atraksinya. Keragaman suku, budaya adat, dan kesenian yang tumbuh secara berdampingan dengan harmonis di Lambar terlihat dari kolaborasi seni budaya dari setiap kecamatan.

Ada yang memamerkan ritual pernikahan (buataan) yang menggambarkan prosesi adat Lampung saat akan melangsungkan pernikahan yang diiringi dengan atraksi pencak silat, ada pula pertunjukan kesenian budaya kuda lumping dan reog ponorogo yang berasal dari Pulau Jawa, begitu juga seni sakura, hadrah, dan lain sebagainnya. Semua itu membuat seribuan pasang mata tertuju dan mengabadikan momentum FTS.

Selain orang dewasa, tak luput anak kecil pun ikut ambil bagian menjadi peserta dari setiap kecamatan, seperti peragaan adat dari Kecamatan Balikbukit. Seorang anak yang duduk di bangku SD menjadi pembuka acara. Dengan peragaan kuda lumpingnnya, ia seakan tidak merasakan perihnya cambukan sang pawang pada bagian tubuhnnya di hadapan pengunjung.

Tetesan hujan ternyata tak membuat atraksi dari setiap wilayah terhenti, tetapi justru dinikmati, baik oleh peserta maupun pengunjung yang berdiri di sekitar lapangan.

Dalam sambutannnya, Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Berlian Tihang menyatakan dukungan penuh pada event ini. Begitu juga dengan Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri.

Menurutnya, wilayah Lambar memiliki karakter tersendiri, dan keindahan alam yang terkandung menjadikan wilayah tersebut menjadi salah satu wilayah tujuan wisata. “Kami punya wisata bahari di sepanjang pantai sejauh 250 km dan merupakan satu-satunnya di Provinsi Lampung dengan jumlah kunjungan wisatwan asing terbanyak.

Begitu juga dengan keanerakaragaman adat, budaya, dan kesenian yang terus tumbuh dan berkembang secara berdampingan dengan harmonis, kata dia.

Untuk itu, kata Mukhlis, potensi tersebut akan menjadi prioritas pemerintah setempat untuk mempromosikannya melalui berbagai kegiatan. Dengan harapan, dapat meningkatkan pemasukan daerah dan membuka peluang kerja bagi warga sekitar. (HENDRI ROSADI/ARIPSAH/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Oktober 2011

[Inspirasi] Perjuangan Isnen untuk ‘Mangrove’ Pahawang

PULAU Pahawang belum banyak dikenal masyarkat Lampung. Pulau yang terletak di Kabupaten Pesawaran ini ternyata menyimpan potensi mangrove yang luar biasa dan keindahan terumbu karang yang menakjubkan.

Isnen Hayani (LAMPUNG POST/PADLI RAMDAN)

Isnen Hayani, warga Pahawang, berusaha mengangkat pulau tempat ia tinggal itu agar dikenal luas. Ayah dua anak ini berusaha menjaga mangrove agar tidak rusak. Ia juga berjuang untuk mengajak warga yang lain menjaga mangrove sebagai kekayaan pulau yang sangat bernilai.

Ketertarikan Isnen dengan mangrove berawal saat ia kembali ke Pahawang. Ia memang lahir di Pahawang. Namun, sejak kecil hingga remaja, Isnen tinggal di Serang bersama keluarga dari pihak ayah. “Tahun 2002, saya baru kembali lagi ke Pahawang. Ayah meninggal dan ibu jadi tinggal sendirian. Saya harus mengurus ibu di pulau,” kata pria kelahiran tahun 1972 ini.

Ia pun kemudian mempelajari tentang mangrove bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Mitra Bentala sebagai pendamping di Pahawang. Perlahan-lahan keinginan untuk menjaga dan melestarikan hutan mangrove pun tumbuh dalam diri Isnen. Ia menyetujui bahwa kekayanan alam berupa mangrove harus dijaga sebagai sebuah harta kekayaan yang berharga.

Isnen bersama beberapa warga akhirnya membentuk Badan Pengelola Daerah dan Perlindungan Mangrove (BPDPM) tahun 2005. Lembaga inilah yang kemudian membuat aturan untuk menjaga hutan mangrove di Pahawang.

Luas mangrove di Pahawang mencapai 1.402 hektare (ha), sedangkan yang dikelola BPDPM hanya 30 ha. “Mangrove seluas 30 ha ini yang menjadi zona inti yang harus dijaga,” ujar dia.

Isnen begitu fasih menjelaskan tentang jenis mangrove yang ada di pulau yang bisa ditempuh kurang lebih 40 menit dengan kepal kecil dari Dermaga Ketapang, Peswaran, ini.

Ia pun hafal beberapa nama Latin dari jenis bakau. Isnen tahu apa saja jenis bakau yang bisa dikonsumsi dan yang dapat digunakan sebagai obat.

Awalnya, langkah Isnen untuk menjaga mangrove ditentang dan diremehkan warga sekitar. Pasalnya, warga kurang menyukai gerakan untuk melestarikan mangrove. Masyarakat awalnya masih suka mengambil kayu dan kulit mangrove. Kayu dan kulit bakau memiliki harga yang cukup mahal dan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat.

Namun, cara yang dilakukan masyarakat ini merusak hutan yang ada. Lambat tapi pasti dengan adanya lembaga BPDPM, warga sudah mulai sadar akan pentingnya keberadaan mangrove.

Adanya BPDPM membuat pelaku yang merusak hutan bisa dikenakan sanksi, bahkan bisa mendapatkan hukuman.

“Bukan berarti hasil mangrove tidak bisa diambil. Warga tetap bisa mengambil kayu bakau. Jumlahnya dibatasi hanya untuk memenuhi kebutuhan, misalnya untuk membangun rumah. Kalau melebihi kebutuhan, dianggap merusak,” kata dia.

BPDPM, kata Isnen, tetap memberikan keleluasaan kepada warga untuk mengambil hasil hutan. Hasil hutan bisa dimanfaatkan dengan baik untuk memenuhi kebutuhan warga sekitar. Warga tidak boleh mengambil untuk tujuan bisnis, dibatasi hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi.

Mangrove yang dapat diambil yang berada di luar zona inti, 30 ha. “Pengambilannya pun harus mengajukan lewat BPDPM,” ujar dia. Perjuangan Isnen tidak hanya di situ. Pria yang hanya tamat SMP ini juga mengusahakan agar mangrove di Pahawang mendapat sertifikat.

Ia bersama beberapa warga dan aktivis Mitra Bentala menghadap ke Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan, DPRD Pesawaran, dan bupati Pesawaran untuk mendapat pengakuan.

BPDPM pun mendapat persetujuan bupati dan memperoleh surat keputusan dari bupati.
Berbekal pengakuan ini, diajukan permohonan sertifikat mangrove ke Balai Pengelola Hutan Mangrove (BPHM) di Medan. Mangrove di Pahawang masih tetap terjaga dan dinilai bagus oleh BPHM. Lembaga ini pun mengeluarkan sertifikat untuk mangrove di Pahawang.

Dengan adanya setifikat ini, pembenihan mangrove di Pahawang diakui dan menjadi yang pertama di Lampung. “Mangrove Pahawang merupakan yang pertama di Lampung yang mendapat sertifikat. Di daerah lain, seperti di Lampung Timur, belum,” kata dia.

Dengan mendapat sertifikat, BPDPM bisa melakukan pembenihan dan menjualnya kepada pihak lain yang membutuhkan. Ia mejelaskan kondisi mangrove di Pahawang masih terjaga dengan baik.

Jarang sekali daerah kepulauan memiliki mangrove yang masih terjaga. Daerah lain seperti Medan dan Yogyakarta saja melakukan studi banding ke Pahawang untuk melihat bagaimana pengelolaan dan pelestarian hutan bakau di Pulau Pahawang.

Mangrove di Pahawang ada sebanyak 22 jenis. Dari 22 jenis tersebut, ada beberapa jenis yang memang khas dan hanya ada di Pahawang. “Mangrove jenis bidara dan jenis api-api yang unik ada di Pahawang,” kata dia.

Untuk menjaga kelestarian mangrove, pengunjung yang datang ke Pahawang diajak menanam tumbuhan khas pesisir ini. Menurut suami dari Safiah ini, hal tersebut dilakukan untuk menanamkan kesadaran bagi warga sekitar untuk terus menjaga kelestarian bakau.

Orang dari luar pulau saja mau untuk menanam mangrove. “Masa yang tinggal di pulau malah tidak mau. Ini dilakukan untuk menarik kesadaran warga,” ujar dia.

Bagi Isnen, menjaga dan melestarikan mangrove memang tidak mendatangkan keuntungan. Namun, dengan memelihara hutan mangrove, ia ingin mengenalkan Pahawang kepada dunia luar bahwa pulau yang kecil tersebut menyimpan potensi dan keindahan. Potensi keindahan alam dengan jenis mangrove yang unik harus dikenal luas di luar Pahawang.

Isnen, putra asli dari Pahawang, berjuang mengenalkan dan memajukan pulau kecil yang belum banyak didengar. Pahawang bisa menjadi objek wisata baru yang tidak kalah dengan potensi pulau Indonesia di bagian timur. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Oktober 2011

[Fokus] Menengok Keratuan Marga Balaw

SEJARAH keratuan di Lampung kembali berduka. Salah satu tokoh penyimbang marga, Choldin Ismail Balaw, berpulang sepekan lalu. Penyimbang Marga Balau ini dikenal sebagai tokoh yang bisa menyatukan Lampung Saibatin dan Pepadun sehingga rukun damai.

TATAR INTAN. Rumah adat Keratuan Marga Balau "Tatar Intan" di bilangan Kedamaian, Bandar Lampung (LAMPUNG POST/IKHSAN NUR SATRIO)

Puluhan karangan bunga ucapan bela sungkawa berjajar rapi di Jalan Hayam Wuruk, Kedamaian, Bandar Lampung, Minggu (23-10). Ungkapan dukacita itu datang dari orang-orang besar, termasuk Gubernur Lampung dan Kapolda. Selain itu, tokoh dan warga biasa juga hadir melayat atas meninggalnya Choldin Ismail Balaw Gelar Sutan Gusti Putra Balaw.

Hari itu Lampung kehilangan salah satu putra terbaik dan pahlawannya. Choldin merupakan pimpinan Marga Balaw sebagai penyimbang. Ia adalah pewaris Keratuan Balaw yang merupakan salah satu keratuan terbesar yang pernah ada di Lampung.

Keratuan Balaw berawal dari Kerajaan Skala Berak di Liwa, Lampung Barat. Namun, kemudian ada beberapa orang dari Skala Berak yang memisahkan diri ke pedalaman untuk mendirikan keratuan sendiri.

Keratuan baru ini berada di Sungai Balaw, Krui. Kemudian berkembang menjadi Keratuan Balaw. Dalam perkembangannya, Keratuan Balaw meluas hingga ke Teluk Lampung. Keratuan Balaw runtuh akibat perang yang melibatkan Kerajaan Banten dan Portugis.

Runtuhnya Keratuan Balaw tidak membuat para pewarisnya tinggal diam. Keturunan Keratuan Balaw tetap melanjutkan dengan pindah dan menyebar ke Teluk Lampung, seperti Kalianda, Katibung, Pidada, dan Way Sulan.

Ketrurunan yang melanjutkan adalah Buai Kuning. Keratuan Balaw pun hanya menjadi marga yang meliputi daerah-daerah kecil. Choldin Balaw merupakan keturnan dan pewaris langsung Keratuan Balaw. Perannya sangat penting sebagai pemimpin dari Marga Balaw. Choldin menjadi penyimbang sejak tahun ‘80-an. Ia mulai melakukan tugas sebagai pimpinan setelah ayahnya meninggal.

Adik kandung Choldin, Cholid Balaw, mengaku akan mengumpulkan semua keluarga Balaw untuk memusyawarahkan kelanjutan penyimbang Marga Balau. “Setelah 40 hari akan dibahas tentang penyimbang yang baru,” kata dia.

Cholid mengungkapkan tugas sebagai penyimbang akan dilanjutkan anak laki-laki tertua dari almarhum Choldin. Putra pertamalah yang akan melanjutkan dan memimpin marga. Bagi Cholid, posisi yang diemban Choldin memang sangat penting. Namun, kelangsungan Marga Balaw akan diteruskan pada pewaris selanjutnya.
Cholid menceritakan ada beberapa hal yang diamanatkan Choldin. Cholid menceritakan ada hubungan antara Tiyuh Kedamaian dengan Keramat Balaw yang terletak di Jalan Hayam Wuruk, Kelurahan Kedamaian. Jarak antara tiyuh dan keramat sekitar 2 km. Ada hubungan hitoris dan religius antara keduanya.

Saat ini keberadaaan tiyuh dan keramat berada dalam satu kelurahan, yaitu Kelurahan Kedamaian. Ada rencana dari Pemkot Bandar Lampung untuk melakukan pemekaran kelurahan. Ada keinginan dari Bapak Choldin Balaw agar tiyuh dan keramat tetap dipertahankan dalam satu kelurahan dan tidak dipisah.
Tiyuh Kedamaian berisi rumah adat serta peninggalan-peninggalan adat, seperti baju besi, yang merupakan baju perang Karatuan Balaw, tombak kuno, bejana kuno, dan kulintang kuno. Sementara di Keramat Balaw ada peninggalan Ratu Lengkara, yang merupakan salah satu ratu pada masa berdirinya Keratuan Balaw.

“Ada semacam kepercayaan bahwa setiap orang-orang yang tinggal di Tiyuh Kedamaian melakukan acara adat, seperti pernikahan, maka harus berziarah ke makam sebagai bentuk pemberitahuan dan mengundang,” ujar Cholid.

Ia menceritakan ada saja kejadian yang tidak diharapkan bila suatu pesta adat tidak didahului dengan berziarah ke makam di Keramat Balaw. Pernah ada yang pingsan saat pelaksanaan adat.

Amanat yang kemudian harus dijalankan adalah agar di tiyuh dan keramat tidak didirikan bangunan tempat ibadah selain masjid. Menurutnya, hal ini mengacu pada hukum adat Lampung Pubian, Kuntala Raja Niti, bahwa bangunan yang boleh didirikan adalah masjid dan langgar. Hukum adat Lampung sangat kental dengan nuansa Islam.

Barang-barang peninggalan Keratuan Balaw pernah dicuri pada tahun 1998. Namun, pihak kepolisian berhasil menangkap pencuri tersebut. Dari kejadian ini, ada cerita mistis.
Menurut Cholid, pencuri merasa gatal-gatal dan tidak bisa disembuhkan.

Pencuri itu bisa sembuh setelah dibacakan doa dan dimaafkan tokoh adat Balaw. Pihak kepolisian pun langsung memulangkan barang pusaka dan tidak menjadikannya sebagai barang bukti. “Polisi merasa barang pusaka sangat mistis dan terjadi hal aneh di kantor kepolisian saat benda pusaka itu disimpan di sana,” ujar Cholid.

Perwakilan dari Marga Balak di Kelurahan Olok Gading, Andi Wijaya, mengatakan dari semua marga yang ada di Bandar Lampung mengakui Penyimbang Adat Marga Balau, Coldin Balaw, adalah pimpinan adat yang tertua dan diakui ketokohannya. Banyak teladan yang bisa diambil dari Choldin, terutama keikhlasan dalam bekerja. “Beliau bekerja dan berjuang tanpa mengharapkan imbalan,” kata Andi.

Andi menyebut Choldin adalah pahlawan Lampung. Perjuangannya yang membuat Lampung menjadi provinsi sendiri. Posisinya dalam Marga Balaw sangat strategis yaitu sebagai pimpinan atau penyimbang.
Andi mengenal Choldin sebagai tokoh yang penuh dengan ketulusan dalam berjuang. “Beliau tidak pamrih dalam berjuang dan bekerja. Semua dilakukan dengan ikhlas. Ia tidak mengharapkan apa-apa dari hal yang sudah dilakukan.

Ia mengungkapkan Choldinlah yang bisa menyatukan tokoh-tokoh Lampung dalam satu lembaga. Kelembagaan adat yang dapat dijadikan sebagai ajang musyawarah antara Lampung Sai Batin dan Pepadun. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Oktober 2011

[Fokus] Choldin Mempersatukan Ruwa Jurai

BANDAR Lampung, kota yang menjadi ibu kota provinsi Lampung ini kini menjadi metropolitan dengan ciri rumah toko. Di seantero wilayah, tidak mudah menemukan ciri asli bahwa ini adalah daerah dengan budaya lokal yang pernah cukup kuat. Perkampungan Olok Gading di bilangan Telukbetung Barat yang mungkin masih ditemukan bebrapa hunian dengan arsitektur Lampung.

ARSITEKTUR LAMPUNG. Salah satu rumah yang masih mengakomodasi arsitektur Lampung. (LAMPUNG POST/IKHSAN NUR SATRIO)

Meskipun demikian, jejak-jejak budaya Lampung masih ada di beberapa lokasi, salah satunya di bilangan Jalan Hayam Wuruk, Kedamaian, Tanjungkarang Timur, Bandar Lampung. Melintaslah di jalan ini, lalu temukan satu gapura cukup megah dengan monumen siger sebagai mahkota, dipadu dengan dua payung tiga tingkat di kanan-kiri (kuning dan putih).

Menjorok ke dalam, halaman luas dengan paving block menjadi latar bertakhtanya rumah adat berjuluk Tatar Intan. Tulisan “Tatar Intan” di bagian atas bagunan dan di pintu gerbang ditegaskan dengan tulisan aksara Lampung.


MAKAM KERAMAT. Salah satu makam keramat Marga Balaw di Kedamaian (LAMPUNG POST/IKHSAN NUR SATRIO)



Rumah itu kini mungkin menjadi benteng terakhir kemegahan adat budaya Lampung di Kota Bandar Lampung. Bangunan ini memang tidak terlihat kesan tuanya. Meskipun dibangun dangan material utama kayu, material lain seperti atap yang menggunakan genting keramik membuat unsur rumah tua tidak terasa. Yang ada adalah rumah adat Lampung versi baru.

Penegasan soal kebaruan rumah ini memang beralasan. Sebab, beberapa rumah tua masih ada tak jauh dari lokasi ini. Ada gerbang rumah tua Lampung dalam balutan pepohonan nan rindang di seberang agak jauh dengan tulisan “Lamban Sai Ragah”. Rumah ini juga mengandung unsur adat dan ketuaannya yang lebih kentara.

Di bilangan inilah sebagian anggota klan Keratuan Marga Balaw berada dan hidup dengan budaya yang semula sangat kental. Jejak-jejak lama adat dan budaya Lampung di wilayah ini mulai terlihat kontras dengan lingkungan sekelilingnya sejak beberapa developer perumahan mewah bermunculan. Peradaban modern terus merangsek sehingga budaya Lampung yang bersahaja terus tergusur.

Kesenian dan berbagai tatanan adat yang dulu menjadi warna utama saat ada berbagai upacara kini mulai tergantikan dengan kesenian modern, meskipun pada saat-saat tertentu upacara adat untuk acara perkawinan, pemberian gelar adat, dan berbagai ornamen adat masih sering dilakukan masyarakat.

Beruntung, beberapa tokoh yang peduli dengan adat dan kebetulan mempunyai pengaruh kekuasaan dan juga materi masih mengingat pada kebiasaan adat yang mengandung falsafah tinggi, salah satunya adalah Choldin Ismail Balaw.

Ia adalah penyimbang marga atau pimpinan tertinggi dalam tatanan adat Lampung Saibatin. Sayang, beliau telah meninggal sepekan yang lalu. Tidak banyak yang kenal dan tahu tentang Choldin Balaw. Dia adalah salah satu pahlawan Lampung yang turut memperjuangkan berdirinya Provinsi Sai Bumi Ruwa Jurai ini lepas dari Sumatera Selatan.

Choldin lahir tahun 1930 dan sempat menjadi tentara pelajar pada masa penjajahan Belanda. Saat itu peran Choldin sebagai kurir. Usai perjuangan selesai dan Indonesia merdeka, Choldin pun pindah ke Jakarta dan menjadi abdi negara. Saat itu, ia bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Perhubungan Laut.

Tahun 1960-an mulailah bergelora keinginan dari masyarakat Lampung untuk mendirikan provinsi sendiri dan lepas dari Sumatera Selatan. “Choldin lah yang langsung menemui Presiden Soekarno untuk meyakinkan dan melobi agar Lampung menjadi provinsi baru,” kata Cholid Balaw, adik Choldin.

Soekarno pun menantang Choldin untuk mengumpulkan orang-orang yang memang memiliki keinginan untuk memisahkan diri dari Sumatera Selatan. Saat itu ada pertemuan antara Soekarno dan Choldin berserta rombongan untuk meyakinkan tentang pemisahan provinsi.

Setelah Provinsi Lampung berdiri, Choldin pun kembali ke tanah kelahirannya untuk mengabdi di dareah. Ia pun aktif di partai politik. Terakhir Choldin masuk dalam Partai Golkar dan memimpin partai berlambang pohon beringin ini.

Puncak dari karier politiknya adalah saat mejadi wakil rakyat sebagai wakil ketua DPRD Bandar Lampung. Cholid menilai kehidupan yang dijalani Choldin sangat sempurna. Semua pengabdian sudah dilakukan, mulai dari pejuang kemerdekaan, abdi negara, tokoh adat, pimpinan parai politik, wakil rakyat, dan imam.

Peran yang tidak kalah penting yang dilakukan Choldin adalah mempelopori berdirinya Lembaga Masyarakat Adat Lampung (LMAL) yang menjadi cikal bakal berdirinya Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL). Pertemuan membentuk LMAL dilakukan di rumah adat Marga Balaw di Jejar Intan, Kedamaian.

Menurut Cholid, Choldinlah yang mempersatukan agar Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin bersatu dalam lembaga yang sudah dibuat. Choldin yang mengajak dan mengimbau agar dua jurai di Lampung bersatu dalam satu lembaga.

Choldin adalah tokoh yang jarang tampil di publik. Ia lebih suka bergarak dan berjuang dalam kesunyian. Orang pun mengakui perjuangannya. Ia turut terlibat dalam berjuang, setalah berhasil, tidak satu pun jabatan yang diinginkannya. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Oktober 2011

October 28, 2011

Pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan Dianaktirikan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mantan Instruktur Kesenian Provinsi Lampung Tachrir mengatakan pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) di SD dinilai belum berjalan sebagaimana semestinya.

Dia mengatakan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, di SD terdapat pelajaran SBK.

"Guru SD harus mengerti dan menguasai hampir semua mata pelajaran, seperti Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), juga Seni Budaya dan Keterampilan (SBK)," kata Tachrir, di Bandar Lampung, Kamis (27-10)

Menurut Tachrir, pelajaran SBK seperti dianaktirikan di antara pelajaran lainnya. Salah satu dampak yang terlihat adalah para siswa banyak yang tidak hafal lagu wajib dan lagu daerah.

"Siswa bukannya menyanyikan lagu nasional, melainkan justru menyanyikan lagu orang-orang dewasa yang lebih familiar di telinga mereka," kata dia.

Kepala SDN 1 Palapa, Bandar Lampung, ini menyayangkan keadaan yang seperti ini. Menurut dia, SBK merupakan pendidikan yang berbasis budaya.

Ia mengatakan hidup ini perlu 3 hal, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan seni. "Agama membuat orang menjadi bertakwa, ilmu pengetahuan membuat orang pintar dan berwawasan, sedangkan seni membuat orang menjadi lebih halus dan harmonis dalam hidup," ujar kepala sekolah teladan tingkat nasional tersebut .

Siswa yang duduk di SD sangat memerlukan pendidikan seni dan kebudayaan karena hal tersebut membentuk pribadi anak menjadi harmonis dan membantu mengembangkan kecerdasan anak. Kebudayaan merupakan harmonisasi dari logika, etika, estetika, dan kinestika.

Ruang lingkup pendidikan seni, yaitu seni rupa, seni musik, seni tari, seni drama. dan keterampilan. Oleh sebab itu, guru pengajar harus menguasai semua seni tersebut agar dapat mengajar secara maksimal. Dalam pendidikan seni, Tachrir menjelaskan beberapa hal penting, yaitu mengenai konsepsi, apresiasi, dan kreasi.

Konsepsi merupakan pemahaman mengenai pengetahuan seni, seperti solmisasi nada, tempo, dan dinamika.

"Apresiasi adalah penghayatan terhadap seni, contohnya jika siswa mendengar lagu wajib, apakah siswa tersebut dapat menghayati setiap kata dalam lagu tersebut," kata dia.

Sedang kreasi merupakan kemampuan menciptakan. Saat ini siswa yang jago dalam pelajaran olahraga, umumnya memiliki watak yang keras dan kasar. Hal tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika diimbangi dengan pendidikan seni dan budaya. Seni dan budaya merupakan penyeimbang bagi siswa dalam menimba ilmu dan mengembangkan kepribadiannya.

Tachrir berpendapat perlu diadakan pelatihan bagi para guru seni agar dapat memeperkaya kemampuan para guru. Selain itu, pengadaan buku seni dan sarana alat musik di sekolah-sekolah sangat diperlukan. Dan untuk merangsang kreativitas seni siswa dan guru, perlu diadakan lomba-lomba seni dan budaya. (MG4/S-3)

Sumber: Lampung Post, Jumat, 28 Oktober 2011

October 27, 2011

FTS XIV Masih Sebatas Seremoni

LIWA (Lampost): Sejumlah pemerhati pariwisata dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Lampung Barat menilai Festival Teluk Stabas (FTS) XIV di kabupaten setempat hanya kegiatan serimoni belaka.

Anton Chabara Maas, pemerhati pariwisata Lampung Barat, Rabu (26-10), menyesalkan tidak maksimalnya kegiatan FTS XIV Lambar. Selain itu, acara terkesan hanya memenuhi kebutuhan serimonial tanpa mengindahkan nilai-nilai promosi dan budaya yang ditonjolkan dalam kegiatan tersebut.

Padahal, kata Anton, kegiatan ini sudah dilakukan setiap tahun, tapi tidak ada peningkatan kualitas kegiatan, bahkan tahun ini malah jeblok. "Contoh terkecil saja, warga yang jaraknya cuma 1 kilometer dari pusat acara tidak tahu ada kegiatan FTS."

Anton, yang mengaku direkrut dinas terkait dalam kepanitiaan, mengatakan dia tidak pernah diajak rapat apalagi membicarakan teknis kegiatan. "Saya masuk sebagai panitia, tetapi tidak pernah diajak rapat."

Sementara itu, Ketua LSM Geshindo Lambar Ali Ardha menilai sepinya peminat kegiatan FTS tahun ini salah satunya karena acara banyak yang dialihkan ke Liwa. Padahal, berdasar pada sejarah, FTS semestinya dilaksanakan di Krui sesuai dengan judulnya.

"Kegiatan FTS jika alasanya Liwa merupakan ibu kota Kabupaten Lampung Barat, resepsinya saja yang dipusatkan di Liwa. Sedangkan untuk pembukaan dan sebagian besar kegiatan tetap dilaksanakan di Krui yang merupakan sejarah dilaksanakannya FTS," kata dia.

Menanggapi hal itu, Sekretaris Dinas Pariwisata Lambar Guntur Panjaitan, mendampingi Kadis Hudaibi, menjelaskan pernyataan Anton Chabara itu hanya kesalahpahaman. "Ini karena terjadi miskomunikasi saja," kata dia.

Kemudian tentang sepinya peminat pada sejumlah tangkai perlombaan, kata dia, karena setiap peserta yang akan mengikuti acara itu harus mengeluarkan dana yang ditanggung pihak kecamatan. Sedangkan pihak kecamatan sendiri banyak yang tidak sanggup karena jarak tempuh dan sebagainya untuk membiayai para peserta yang diutus.

Sebab itu, pihak kecamatan tidak dapat mengikutkan peserta ke seluruh cabang yang dilombakan, tetapi hanya mengutus beberapa orang untuk mengikuti tangkai lomba tertentu.

Di sisi lain, lomba gambus pada acara Festival Teluk Stabas (FTS) di lapangan Merdeka Liwa, Rabu (26-10), hanya diikuti lima peserta asal empat kecamatan dari 25 kecamatan yang ada di kabupaten setempat.

Kelima peserta itu berasal dari Kecamatan Bengkunat, Bengkunat Belimbing, Batuketulis. dan Sukau. Satu di antaranya pendaftar lomba berasal dari umum, sedangkan empat lain utusan kecamatan.

Sementara itu, lomba betetah hanya diikuti delapan utusan dari Kecamatan Balikbukit, Sukau, Batubrak, Belalau, dan Batuketulis. Juara pertama lomba betetah dimenangkan peserta umum asal Belalau. Juara kedua direbut wakil Kecamatan Batubrak, dan ketiga dari Batuketulis.

Untuk lomba bola voli pantai di Kuala Stabas diikuti 36 regu putra dan putri utusan kecamatan maupun peserta dari umum. Kemudian lomba layang-layang diikuti sekitar 40 peserta. Hingga pukul 14.00 kemarin, lomba masih berlangsung untuk memasuki babak final. (ELI/D-3)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 Oktober 2011

October 26, 2011

Patung Zainal Abidin Tetap Dibangun

KALIANDA (Lampost): Aksi penolakan sejumlah mahasiswa di Lampung Selatan terhadap rencana pembangunan patung salah satu tokoh Lampung, Zainal Abidin Pagaralam, dipastikan kandas.

Pasalnya, rencana pembangunan patung yang menelan anggaran sekitar Rp1,7 miliar itu telah disahkan dan tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 1/2011 tentang APBD Lamsel tahun 2011.

Hal ini terungkap dalam rapat dengar pendapat (hearing) antara kalangan mahasiswa yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lamsel dan Komisi C DPRD setempat, Senin (24-10), di ruang Komisi B.

Ketua Komisi C DPRD Lamsel Taufik David mengatakan pembangunan patung itu merupakan salah satu upaya pemerintah kabupaten menata wajah Kota Kalianda yang tidak memiliki karakteristik sebagai ibu kota kabupaten yang representatif.

"Ini akan menambah aset daerah. Nantinya patung tersebut akan menjadi daya tarik bagi peningkatan kunjungan wisata di Lampung Selatan. Sebagai pintu gerbang Sumatera, semestinya Lamsel harus lebih unggul," kata Taufik diamini dua anggotanya, Hipni dan Hermonie, dalam hearing kemarin.

Mengapa harus patung Zainal Abidin Pagaralam yang dibangun? Taufik David menjelaskan ZAPA merupakan salah satu tokoh di Lampung. Berbagai pembangunan telah dilakukan mantan Bupati Lampung Selatan itu. Mulai dari pembangunan jalan lintas Sumatera Bakauheni—Tanjungkarang, pembangunan Pelabuhan Bakauheni.

Bahkan, Zainal Abidin merupakan pelopor mekarnya Provinsi Lampung menjadi provinsi yang definitif yang melepaskan diri dari Provinsi Sumatera Selatan.

Pembangunan patung itu merupakan sebuah bentuk penghargaan pemerintah kabupaten. "Setiap orang memang memiliki persepsi berbeda. Tapi saya harap dalam konteks ini kita harus berpandangan yang umum," ujarnya.

Subjektif

Sementara itu, Ketua LMND Lampung Selatan Ahmd Jaylani mengatakan kalangan mahasiswa menilai pembangunan patung Zainal Abidin Pagaralam sebagai rencana pembangunan yang subjektif. Terlebih, pembangunan patung itu tidak ada urgensinya dengan kebutuhan dan kondisi Lamsel yang masih dalam masa pemulihan dari kondisi defisit yang mencapai Rp50 miliar lebh.

"Yang dibutuhkan masyarakat itu bukan patung. Melainkan beras, pendidikan yang murah, dan biaya berobat yang murah. Ini yang harus menjadi prioritas," kata Ahmad Jaylani.

Dia menilai pembangunan patung tersebut tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat dan cendrung mencederai hati rakyat Lampung Selatan. Sebab, di tengah-tengah kondisi Lamsel yang mulai bangkit dari keterpurukan, pemerintah justru menghamburkan uang.

"Kita semua tahu tahun 2010 lalu Lamsel defisit. Bahkan, untuk menyembuhkannya sampai menjual aset daerah. Tapi, kok malah menghambur-hamburkan uang untuk pembangunan yang belum tentu urgensinya," kata Jaylani.

Ia menambahkan pembangunan patung tidak mengedepankan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Secara ekonomi tidak banyak yang dapat dirasakan masyarakat dengan dibangunnya patung tersebut. Begitu juga dengan aspek sosial, budaya, dan politik.

"Kami tetap menolak pembangunan patung itu. Kalau memang tetap tidak dapat dihentikan pada periode DPRD Lamsel selanjutnya kami akan meminta patung tersebut dirobohkan," ujar Jaylani.

Di lain pihak, anggota Komisi C DPRD Lamsel, Hipni, menegaskan pembangunan patung Zainal Abidin Pagaralam sudah melalui perencanaan matang oleh Pemkab Lamsel. Mulai dari perencanaan di Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) hingga pengesahan RAPBD menjadi APBD Lamsel melalui perda.

Menurut Hipni, anggaran Rp1,7 miliar itu wajar-wajar saja jika melihat kualitas patung yang akan dibangun. Patung tersebut akan dilapisi perunggu.

Dia mengakui pembangunan patung tersebut memang tidak akan berdampak pada aspek ekonomi secara signifikan. Namun, tidak menutup kemungkinan dengan adanya patung tersebut sektor ekonomi kerakyatan di Lamsel akan berkembang. "Kalau sekarang memang boleh dikatakan belum bisa dirasakan. Tapi, lihat ke depan. Pembangunan untuk masa depan," kata dia. (TOR/R-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 26 Oktober 2011

October 25, 2011

Sekprov Lampung Buka Festival Teluk Stabas XIV

LIWA (Lampost): Festival Teluk Setabas (FTS) XIV resmi dibuka Sekretaris Provinsi Lampung Berlian Tihang di lapangan Merdeka, Kelurahan Pasar Liwa, Kecamatan Balikbukit, Lampung Barat, Senin (24-10).

BUKA FESTIVAL TELUK STABAS. Sekretaris Provinsi Lampung Berlian Tihang (kiri) bersama Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri menabuh gamelan sebagai tanda dibukanya Festival Teluk Stabas XIV 2011 di Lapangan Merdeka Liwa, Lampung Barat, Senin (24-10). Pesta budaya tahunanan masyarakat Lambar ini menjadi wadah pelestarian adat, budaya, dan kesenian kabupaten setempat, serta menjadi ajang mempromosikan potensi wisata yang ada. (LAMPUNG POST/ARIPSAH)

Acara ini menjadi salah satu wadah pelestarian adat, budaya, dan kesenian Lambar, serta ajang mempromosikan potensi wisata yang ada. Sekprov saat membacakan sambutan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. mengatakan Pemprov menyabut gembira FTS yang telah menjadi agenda tahunan masyarakat Lambar.

Berbagai potensi wisata, budaya, dan kesenian masyarakat kabupaten setempat harus dapat dipromosikan melalui berbagai kegiatan, sehingga menarik minat wisatawan nusantara dan mancanegara untuk mengunjungi wilayah tersebut.

Terlebih, kearifan lokal yang tecermin pada kehidupan masyarakat setempat menjadikan daerah Lambar cukup potensial menjadi salah satu tujuan wisata.

Bupati Lambar Mukhlis Basri mengatakan upaya pelastarian adat, budaya, dan kesenian daerah setempat menjadi prioritas pemerintah sebagai motivator pelestariannya. Begitu juga dengan potensi pariwisata yang tidak kalah indah dengan wilayah lain harus terus dipromosikan sehingga menarik minat wisatawan berkunjung ke daerah tersebut.

Dia hadapan seribuan tamu undangan dan warga yang menghadiri pembukaan FTS, Mukhlis menerangkan lestarinya budaya dan kesenian masyarakat serta terpromosikannya potensi wisata alam yang ada dapat menambah pendapatan daerah dan pada muaranya akan menciptakan kesejahteraan masyarakat setempat.

Peluang majunya sektor pariwisata ditunjang dengan mulai diujicobakannya lapangan terbang (lapter) Seray di wilayah pesisir sehingga memungkinkan dijadikan transportasi udara sebagai sarana wisatawan asing mendatangi Lambar.

Pembukaan FTS XIV cukup menyita perhatian seribuan warga dari berbagai kecamatan di Lambar dan puluhan wisatawan asing untuk menyaksikan berbagai atraksi kesenian, mulai hahiwang, hadrah, pencak silat, sekura, reog, kuda lumping, dan berbagai kesenian lain.

Selain itu, digelar juga peragaan busana adat masyarakat setempat, seperti dari Lampung, Jawa, Sunda, dan beberapa pakaian adat yang menggambarkan keanekaragaman masyarakat Lambar. (*/D-3)

Sumber: Lampung Post, Selasa, 25 Oktober 2011

Lomba Budaya Daerah Festival Teluk Stabas Meriah

Liwa, Lampung -- Rangkaian lomba budaya Bedikih dan Ngehahado dalam pelaksanaan Festival Teluk Stabas ke-XIV malam ini berlangsung meriah, ratusan masayarakat memadati arena utama pelaksanaan event tahunan tersebut.

"Dua kegiatan lomba yang digelar malam ini berlangsung dengan meriah, semua peserta yang ikut dalam lomba budaya tersebut menampilkan aktrasi yang menawan dan mampu membuat decak kagum pengunjung," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Barat, Hudaibi, di Liwa, Senin Malam.

Dia menjelaskan, sejak dibukannya FTS petang tadi, secara keseluruhan kegiatan tangkai lomba mulai digelar.

Menurut dia, dua kebudayaan yang lombakan malam ini, memberikan semangat bagi masyarakat adat untuk terus meningkatkan pelestarian budaya.

"Seluruh peserta menampilkan berbagai macam keahlian dalam memperagakan seni adat tersebut, ini membuktikan masyarakat masih memegang teguh tradisi turun temurun, sehingga kebudayaan yang ada tidak akan luntur termakan peradaban zaman," kata dia lagi.

Kemudian lanjut dia, dalam pembukaan Festival Teluk stabas ke-XIV tahun 2011 berlangsung dengan meriah, ribuan pengunjung yang berasal dari dalam dan luar daerah memadati arena utama di Kota Liwa.

Hudaibi mengakui, pawai budaya yang diikuti 25 kecamatan dalam rangkaan pembukaan FTS membuat decak kagum ribuan pengunjung yang memadati arena pawai.

"Ribuan pengunjung yang berasal dari beberapa wilayah di dalam dan luar daerah terlarut dalam kemeriahkan pesta budaya, ini membuktikan bahwa pelaksanaan event tahunan tersebut ditunggu masyarakat," katanya.

Masih kata Hudaibi, Sekertaris Daerah Provinsi Lampung secara resmi membuka pelaksanaan Festival Teluk Stabas ke-XIV tahun 2011.

Kemudian lanjut dia, penampilan tari kreasi "Kemilau Budaya Bumi Brak" mampu pikat wisatawan asing yang dalam acara tersebut.

"Secara keseluruhan rangkaian acara hari ini berlangsung dengan tertib dan aman, semua tidak terlepas dari kerjasama seluruh komponen yang bekerja extra dalam mempesiapkan acara tersebut, selain itu pengunjung yang datang juga dapat mematuhi aturan panitia, sehingga sejak awal hingga berakhirnya acara tidak terjadi keributan," kata dia lagi.

Kebudayaan Bedikikh dan Ngehahado menjadi salah satu kebudayaan asli dari Kabupaten Lampung Barat, dimana dua kebudayaan tersebut kerap ditampilkan masyarakat dalam acara adat, berupa nyayian dan lantunan nasehat yang diringin dengan rebana.

Keanekaragaman budaya yang ada di daerah tersebut, mampu memberikan warna bagi Lampung Barat sebagai daerah tujuan wisata, dan upaya pelestarian tersebut diwujudkan dengan diselenggarakannya Festival Teluk Stabas sebagai ajang pelestarian budaya daerah.

Event tahuan tersebut menjadi salah satu hajat besar bagi segenap lapisan masyarakat Lampung Barat, pasalnya setiap rangkaian acara dimeriahkan dengan aneka aktrasi budaya yang unik, dan mampu memukau masyarakat.

Sementara itu, Sekertaris Daerah Provinsi Lampung, Berlian Tihang MM mengatakan, Festival Tekluk Stabas ke-XIV sebagai wadah dalam pelestarian budaya dan promosi wisata.

"Event tahunan yang diselenggarakan oleh Pemkab Lampung Barat mampu memberikan dorongan penuh terhadap peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara, pasalnya dengan event tersebut mampu menggambarkan secara ringkas akan budaya yang ada ditengah masyarakat," kata dia lagi.

Dia menyebutkan, Lampung Barat mampu bersaing dengan daerah tujuan wisata di nasional, sehingga diperlukan keseriusan dari pemerintah daerah untuk mengelolanya.

Menurut dia, pariwisata Lampung Barat dapat menjadi daerah tujuan wisata nasional dan internasional, asalkan semua pihak berkoordinasi dengan baik dalam mewujudkan target tersebut.

"Saya meyakini bila Lampung Barat terus berbebah, dapat dipastikan daerah ini dapat semakin maju, dan mampu berkembang dalam sektor pariwisata berbasis ekonomi kerakyatan," kata dia.

Dia berharap, potensi pariwisata yang dimiliki Lampung Barat dapat terjaga dengan baik, sehingga keelokan wisata alam dan budaya mampu medatangkan pendapatan asli daerah dan mampu meningkatkan pembangunan disegala bidang.

Sumber: Antara, Selasa, 25 Oktober 2011

October 24, 2011

Sejarah tentang Lampung Masih 'Gelap'

Bandarlampung -- Gubernur Lampung Sjachroedin ZP mengakui sejarah Lampung hingga saat ini masih "gelap" karena kurangnya temuan dan barang bukti yang mencatat kebesaran kesultanan Lampung di masa lalu.

"Hingga saat ini kita masih terus menggali dan melakukan penelitian, karena hingga saat ini belum ada kejelasan tentang asal muasal Lampung di luar legenda yang diceritakan dari mulut ke mulut," kata dia, di Bandarlampung, Senin.

Menurut dia, hingga saat ini penelitian dan pencarian artefak, fosil, atau barang peninggalan masa lalu yang menunjukkan budaya Lampung kala itu masih terus berlangsung, agar generasi mendatang dapat memperoleh gambaran tentang negeri mereka di masa lalu.

Dia menceritakan, dalam legenda yang beredar dari mulut ke mulut, Lampung merupakan kesultanan besar dengan wilayah kekuasaan luas, namun bukti yang mendukung cerita tersebut hingga saat ini sulit ditemukan.

Dia mencontohkan, kerajaan Tulangbawang yang diceritakan sebagai kerajaan besar, namun bukti yang mendukung berupa candi, dan peninggalan sejarah apapun belum ditemukan.

"Jadi kesultanan Lampung secara budaya hilang dan tidak berbekas," kata dia.

Beberapa penelitian yang baru ditemukan, Lampung sudah dikenal minimal sejak abad ketiga Masehi dan telah menjadi tempat berlangsungnya akulturasi budaya.

"Kemarin ada ilmuwan dari Australia yang menemukan gamelan dari Jawa di wilayah Lampung, yang diperkirakan berasal dari abad ketiga Masehi," kata Sjachroedin.

Menurut dia, gamelan yang ditemukan di sekitar Way Kanan dan Lampung Barat itu membuktikan bahwa akulturasi budaya telah terjadi di Lampung sejak lama, bahkan jauh sebelum Sriwijaya dan Majapahit berdiri.

"Tapi itu perlu penelitian lebih lanjut, paling tidak apa yang kita dapat memberikan sedikit titik cerah terkait sejarah Lampung dan kesultanannya," kata dia.

Terkait dengan ketiadaan kesultanan di Lampung, Sjachroedin mengatakan dirinya berinisiatif bersama tokoh adat setempat untuk membentuk majelis penyeimbang adat yang diberi nama Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), agar terjadi komunikasi harmonis antar kedua suku besar yang ada di sana, Pepadun dan Sai Batin.

"Lampung merupakan wilayah dengan budaya yang kaya, karena terjadinya akulturasi budaya yang berlangsung beratus-ratus tahun," kata dia.

Sumber: Antara, Senin, 24 Oktober 2011

Gubernur Berikan Gelar Adat kepada Aburizal

Bandarlampung -- Gubernur Lampung Sjachroedin ZP memberikan gelar adat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar sekaligus pengusaha nasional asal daerah itu Aburizal Bakrie dan istrinya Tati Aburizal Bakrie.

GELAR ADAT LAMPUNG. Gubernur Lampung Sjachroedin ZP (tengah) menyerahkan sebilah keris kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie (dua kiri), menandai pemberian gelar adat (Adok) Lampung, di Bandarlampung, Senin (24/10). Gubernur Lampung Sjachroedin ZP memberikan gelar adat kepada Aburizal Bakrie Settan Raja Perkasa Alam, dan istrinya Tati Aburizal Bakrie dengan adok Settan Ratu Mahkota Alam. (ANTARA/M. TOHAMAKSUN)

"Ini tidak ada kaitannya dengan politik, tidak usah dilihat dari latar belakang partai kami berdua," katanya saat acara pemberian gelar adat, di Bandarlampung, Senin.

Selain menjabat sebagai gubernur, Sjachroedin juga merupakan Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Lampung.

Menurut dia, pemberian gelar adat kekeluargaan itu berlatar belakang sejarah panjang antara dirinya dengan Aburizal, sekaligus bentuk penghormatan dirinya atas nama seluruh masyarakat Lampung.

Dia menceritakan, Ical, sapaan akrab Aburizal Bakrie, pernah menyelamatkan nyawanya saat terjadi kerusuhan di Institut Teknologi Bandung (ITB) puluhan tahun lalu.

"Saat itu pak Ical menjabat sebagai anggota senat ITB dan mengeluarkan saya dari ancaman kerusuhan di dalam kampus. Kalau tidak ada dia, mati saya," kata Sjachroedin diiringi tawa hadirin.

Menurut dia, setelah pemberian gelar itu, dirinya dan Ical berstatus saudara karena telah menjadi bagian dari keluarga besarnya yang bermarga Kedaton Buay Nuwat.

Pemberian gelar adat atau "adok" dalam masyarakat Lampung merupakan bagian dari pengangkatan saudara kepada tamu agung yang dianggap patut sebagai tanda kehormatan.

Aburizal Bakrie memperoleh adok Suttan Raja Perkasa Alam dan istrinya Tati Aburizal Bakrie memperoleh adok Suttan Ratu Mahkota Alam.

Statusnya dalam keluarga besar sebagai kakak dari Gubernur Lampung Sjachroedin ZP yang memiliki adok Suttan Mangkunegaran Junjungan Pemangku Adat Sai Bumi Ruwai Jurai I.

Acara pemberian gelar adat tersebut dilakukan sesuai adat Lampung termasuk mengarak saudara baru dengan kereta kencana berkepala burung.

"Ini pengembangan budaya, kalau aslinya tidak dengan kereta tetapi diarak dengan digendong beberapa laki-laki. Namun seiring dengan berlalunya zaman, semuanya mengalami penyesuaian," kata Sjachroedin.

Menurut dia, Ical merupakan orang kedua yang diarak dengan kereta tersebut, dan pemberian gelar adat tersebut juga merupakan yang kedua kalinya diberikan oleh Sjachroedin mewakili keluarga besarnya.

Ical, yang meski berdarah Lampung namun tetap terbata-bata membaca pantun berbahasa daerah tersebut, merupakan anak dari Ahmad Bakrie, dan cucu H Usman yang berdarah Tulangbawang.

Ical melewati masa kecil di Kalianda, Lampung Selatan, dan tumbuh menjadi salah seorang pengusaha nasional yang berhasil.


Sumber: Antara, Senin, 24 Oktober 2011

October 23, 2011

Rekonstruksi Sejarah Kekuasaan di Lampung

Oleh Febrie Hastiyanto


DALAM manuskrip Etnografi Lampung yang saya rangkum, saya mencoba menyusun rekonstruksi sejarah kekuasaan di Lampung. Hampir semua sumber menyebutkan bahwa asal usul orang Lampung dari Sekala Brak. Namun, tak semua sumber menyebut Suku Bangsa Tumi yang ratunya bernama Sekerummong (Hadikusuma, 1983) menjadi pengetahuan umum masyarakat Lampung. Ada yang menyebut Puyang Mena Tepik (Anshory, 2007), juga ada yang menyebut Umpu Serunting (Soepangat, 1978) yang lebih dikenal dalam tradisi tutur masyarakat Abung dan Way Kanan. Sumber lain menyebut orang Lampung berasal dari Batak, merupakan keturunan Ompu Silamponge (Silamponga) (Isneini, 2007 mengutip buku Sejarah Daerah Lampung, (1977).

Saya hanya mendapat informasi bahwa Sekala Brak adalah tempat mula-mula orang Lampung berasal tapi sedikit (sampai kini saya belum menemukan) informasi yang menyatakan bahwa Sekala Brak juga menjadi entitas politik dan kekuasaan di Lampung yang meliputi wilayah seluas Provinsi Lampung saat ini. Migrasi dari Sekala Brak lebih banyak bersifat genealogis, sehingga marga-marga (buay) yang ada di Lampung, 84 jumlahnya menurut ordonansi Marga Regering Voor de Lampungche Districten tahun 1928 berkedudukan sejajar. Saya sedang menyempurnakan rekonstruksi soal entitas Sekala Brak. Kalau kita menyebut Sekala Brak, sesungguhnya Sekala Brak mana yang dirujuk: apakah Sekala Brak Buay Tumi, atau empat Paksi utama Sekala Brak yang dianggap keturunan imigran dari Pagaruyung, atau salah satu dari paksi utama Sekala Brak? Paksi-paksi utama Sekala Brak juga tidak menggunakan identitas atau menyebut dirinya Sekala Brak. Saya mencatat paksi-paksi utama Sekala Brak, yakni Inder Gajar bergelar Umpu Lapah di Way beserta keturunannya yang kemudian bermukim di Puncak Dalom, Kacamatan Balikbukit, Lampung Barat. Umpu Lapah di Way ini merupakan nenek moyang Buay Abung. Kemudian Pak Lang bergelar Umpu Pernong melakukan migrasi ke Hanibung Batu Brak menjadi nenek moyang Buay Pubian. Sikin bergelar Umpu Nyerupa berkedudukan di Tampak Siring Sukau Lampung Barat melahirkan keturunan Buay Jelma Daya. Belunguh yang bergelar Umpu Belunguh bermukim di Kenali, Belalau, Lampung Barat, menurunkan Buay Peminggir (Hadikusuma dalam Sibarani, 2008). Paksi-paksi utama ini membentuk federasi Kepaksian Empat Sekala Brak dan mengodifikasi sistem kekuasaannya dalam semboyan Bersatu tidak bersekutu, berpisah tidak bercerai." (Natakembahang, 2011).

Sejarah Kekuasaan

Saya mencoba merangkum rekonstruksi sejarah kekuasaan di Lampung berdasar periodisasi sejak Abad V hingga masa setelah perang kemerdekaan. Tahun 414, Fa-Hsien dalam Berita China menyebut wilayah (kerajaan?) Yeh-po-ti (Seputih) dan Po-hwang (Tulangbawang), sezaman dengan San-fo-tsi (Sriwijaya) (Sholihat, 1980:5 dalam Saptono, 2007). Hal ini mengindikasikan setidaknya sejak abad V telah hadir kekuasaan politik lokal di Lampung. Tampaknya kekuasaan politik lokal ini tidak berlangsung lama, karena pada abad VIII-XI, Lampung termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya (Rangkuti, 1994: 165-66 dalam Saptono, 2007). Pada rentang waktu yang sama, yakni abad X-XI, berdasar penafsiran atas Prasasti Hujung Langit, Lampung berada dalam kekuasaan Mpu Sindok dan Erlangga yang memerintah Kerajaan Medang yang dilanjutkan Kerajaan Kahuripan (Soekmono, 1985: 49 dalam Saptono, 2007).

Rekonstruksi kemudian berlanjut pada abad XIV. Negarakertagama Pupuh 13 dan 14 menyebut Lampung termasuk daerah Melayu ke dalam kekuasaan Majapahit (Muljana, 1979: 146, 279). Pada Abad XVI, tepatnya tahun 1512—1515 Tome Pires yang singgah di pantai timur Lampung menyebut dua lokasi (kerajaan?), yakni Tulangbawang dan Sekampung (Seputih?). Kekuasaan politik lokal di Lampung teridentifikasi kembali pada abad XVI, tepatnya tahun 1530, pada masa kekuasaan Banten di Lampung terdapat 5 (lima) keratuan: Puncak (Abung dan Tulangbawang), Pemanggilan (Krui, Ranau, Komering), Pugung (Pugung, Pubian), dan Balau (Telukbetung) (Soebing, 1988:35 dalam Saptono, 2007). Namun, pada abad XVII, menurut Piagam Bojong, Sultan Haji Sultan Banten yang sedang berkuasa, menyerahkan sebagian wilayahnya, yakni Lampung kepada VOC. Selain itu, pengaruh Kesultanan Palembang (abad XV-XIX) di Lampung ditandai dengan lahirnya bentuk dan struktur marga di Lampung menurut kodifikasi Kitab Simbur Cahaya (J.W. Naardig dalam Yudha, 1996:3).

Kekuasaan luar yang silih berganti berpengaruh di Lampung lebih tepat dimaknai dalam konteks vassal, bukan aneksasi. Kekuasaan-kekuasaan luar yang berpengaruh juga tidak menguasai Lampung seluas kira-kira Provinsi Lampung saat ini melainkan wilayah-wilayah yang dianggap penting bagi mereka. Kesultanan Banten, misalnya, lebih banyak berpengaruh di Lampung Selatan ketimbang wilayah lain di Lampung.

Memasuki periode penjajahan Belanda, Lampung sebagai entitas budaya dan politik seluas kira-kira Provinsi Lampung saat ini sesungguhnya baru terbentuk. Hal yang sama terjadi pada entitas kebangsaan Indonesia yang baru lahir pada abad XX. Sebelumnya entitas yang lebih dulu menguat di Indonesia adalah kekuasaan-kekuasaan politik lokal.

Kalaupun semangat kebangsaan terbangun, semangat tersebut diikat oleh entitas nusantara, bukan Indonesia. Nusantara meliputi wilayah-wilayah Semenanjung Malaka hingga Indonesia saat ini termasuk Kesultanan Brunei Darussalam di Kalimantan. Sebagian kalangan seperti Tan Malaka menyebut Filipina termasuk dalam entitas Nusantara, yang disebutnya sebagai Indonesia Utara.

Tahun 1817 Pemerintah Kolonial Belanda meresmikan terbentuknya Karesidenan Lampung (Lampongsche Districten) di bawah seorang residen yang berkedudukan di Terbanggi sebelum kemudian pindah ke Telukbetung. Untuk melengkapi struktur pemerintahan, tahun 1873, Belanda membagi Lampung menjadi 6 onderafdeling (kawedanan). Karena kebutuhan manajemen kekuasaan yang semakin kompleks, tahun 1917 Belanda melengkapi struktur pemerintahan di Lampung menjadi 2 afdeling: Telukbetung dan Tulangbawang dengan 6 onderafdeling, yakni Telukbetung, Semangka, Katimbang, Tulangbawang, Seputih, dan Sekampung (Anshory, 2007).

Tahun 1928 struktur kekuasaan lokal marga dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan, berkedudukan di bawah onderafdeling melalui ordonansi Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan (Saptono, 2007). Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) Lampung dibagi dalam 3 bunshu (kabupaten), yakni Telukbetung, Metro, dan Kotabumi. Setiap kabupaten terdiri dari beberapa kawedanan (gun) yang membawahi marga-marga. Dari sini dapat disimpulkan bila marga pada masa pendudukan Jepang berada pada struktur setingkat kecamatan. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, daerah Lampung menjadi karesidenan yang tergabung ke dalam Provinsi Sumatera Selatan yang beribu kota di Palembang. Baru pada 1964, melalui UU No. 14 Tahun 1964, terbentuklah Provinsi Lampung dengan ibu kota Tanjungkarang-Telukbetung (sekarang menjadi Bandar Lampung) (Anshory, 2007).

Pada masa setelah perang kemerdekaan, sistem pemerintahan marga mengalami sejumlah perubahan. Tahun 1947 sistem pemerintahan marga dihapus karena dianggap warisan kolonial. Sebagai gantinya pada 1953 diberlakukan sistem pemerintahan nagari sebagaimana lembaga nagari di Sumatera Barat. Sistem nagari ternyata tidak dapat berkembang di luar wilayah Minangkabau. Tahun 1970, sistem pemerintahan marga berbentuk nagari dipersiapkan sebagai Daerah Tingkat III, atau setingkat kecamatan (Hadikusuma, 1985—1986). Belum sempat menjadi Daerah Tingkat III, sistem marga berbentuk nagari secara resmi dibubarkan tahun 1976. Terbitnya Undang-undang Nomor 10 tahun 1975 tentang Pengaturan Pemerintahan Daerah menghapus sistem pemerintahan tradisional di seluruh Indonesia. Meskipun demikian, hingga kini struktur marga dan buay masih hidup dalam masyarakat sebagai sistem kebudayaan lokal (Saptono, 2007).

Febrie Hastiyanto, Alumnus Sosiologi FISIP UNS Solo. Menulis manuskrip Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Etnografi Kebuayan Way Kanan Lampung.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Oktober 2011

[Perjalanan] Mengukur Wisata Lampung dari Tur Krakatau

LAMPUNG kembali menggelar Festival Krakatau. Salah satu rangkaian kegiatan yang paling ditunggu pada festival tahunan itu adalah tur Krakatau.



Sebelum Festival Krakatau XXI digelar, banyak pihak memprediksi tahun ini tur Krakatau bakal ditiadakan. Pasalnya, Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda diwartakan dalam posisi Siaga. Gempa bawah laut dan kepulan asap yang dikeluarkan membuat siapa pun dilarang mendekat di bawah radius 2 kilometer.

Tapi nyatanya, aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK) malah memancing wisatawan untuk menyaksikan langsung gunung api itu.

Tidak kurang dari 500 orang turut hadir sebagai peserta tur Krakatau, Minggu (16-10). Di antaranya Duta Besar Rep. Ceko, Jerman, Hongaria, Italia, Jepang, Malaysia, Polandia, Filipina, Romania, Singapura, Slovakia, Slovenia, Jepang, Korea, dan Kuba. Selain itu, masyarakat umum yang merogoh kocek Rp300 ribu untuk membeli tiket tur Krakatau juga ikut meramaikan kegiatan itu.

Perjalanan ke GAK dimulai sekitar pukul 07.00 Minggu pagi. Lampung Post bersama rekan-rekan media lainnya berangkat dengan bus pariwisata nomor 4. Ada sekitar 9 bus yang mengantar wisatawan saat itu. Perjalanan ke Gunung Anak Krakatau dimulai dengan menuju Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan.

Rombongan tiba di pelabuhan di ujung Sumatera itu sekitar pukul 08.55 dan langsung menuju dermaga 5.

Sesampainya di sana, Kapal Windu Karsa Pratama sudah bersandar di dermaga dan siap mengangkut penumpang. Tepat pukul 09.10, tambang kapal dilepas dan ini waktunya menuju Gunung Anak Krakatau.

Selama di perjalanan tidak banyak aktivitas yang kami lakukan. Maklum, tidak ada acara apa pun yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung di dalam kapal. Atraksi adat dalam perjalanan menuju GAK sampai kembali lagi ke Pelabuhan Bakauheni.

Perahu hias yang dijanjikan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung sejak penyelenggaraan festival tahun lalu juga tidak tampak. Peserta tur hanya duduk manis menuju GAK. Para duta besar ditempatkan di dalam ruang VIP, masyarakat umum di kelas ekonomi, dan wartawan memilih duduk di sisi kapal sambil menikmati angin dan pemandangan laut lepas.

Agak menjemukan memang. Tapi dengan gurau tawa kami, rasanya 2 jam di kapal tidak terlalu lama.

Pukul 11.00, Gunung Anak Krakatau mulai tampak dari kejauhan.

Duta besar dan peserta tur mulai berhamburan keluar. Sekitar 20 menit kemudian, kapal hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari gunung. Asap yang tidak terlalu tebal menghiasi puncak Gunung Anak Krakatau. Hampir seluruh bagian gunung tertutup pasir dan kerikil. Pada bagian bawah saja terlihat tanaman kayu-kayuan dan pasir pantai berwarna hitam.

Kapal mengelilingi hampir seluruh bagian gunung. Hanya bagian barat saja yang tidak karena dilarang dengan alasan keselamatan.

Kapal terus mendekat hingga berjarak sekitar 20 meter dari bibir pantai. Beberapa petugas BKSDA Lampung yang sedang bertugas di kaki gunung melambaikan tangan kepada penumpang kapal.

Pemandangan GAK serta pawai budaya sehari sebelumnya ternyata memesona para dubes. Enna Viant Valdes, dubes Kuba, mengaku baru pertama datang ke Lampung dan melihat GAK. Enna menyaksikan parade budaya yang menarik karena banyak jenis kesenian dan warna-warni yang ditampilkan. "It's very wonderful and colorful. Amazing," kata Enna kepada Lampung Post di sela-sela tur Krakatau.

Keindahan ini, menurut Enna, akan disampaikannya ke masyarakat Kuba agar mereka bisa datang ke Lampung menyaksikan keindahan budaya dan wisata di Lampung.

Hal senada dikatakan Duta Besar Yaman Ali Alsoswa. Menurut dia, Gunung Anak krakatau merupakan pesona alam yang harus dipromosikan ke wisatawan mancanegara. Ali berjanji mempromosikan objek wisata gunung yang berada di perairan itu ke negaranya.

Setengah jam lebih kapal itu membawa kami berkeliling Gunung Anak Krakatau. Selanjutnya kapal bertolak meninggalkan gunung. Sekitar pukul 15.00 kapal tiba kembali di Pelabuhan Bakauheni, dan tur Krakatau pun berakhir. (RISKY ELINDA SARY/M-1)


Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Oktober 2011

Karnaval Budaya Meriahkan Festival Teluk Stabas XIV

Liwa, Lampung -- Karnaval budaya yang diikuti ribuan peserta dari 25 kecamatan akan memeriahkan pembukaan event tahunan Festival Teluk Stabas ke-XIV di Lapangan Merdeka Kota Liwa, Lampung Barat, 24 Oktober.

"Pembukaan Festival Teluk Stabas akan menampilkan beragam kesenian daerah melalui karnaval budaya, guna mengenalkan lebih dekat bermacam budaya di Lampung Barat," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Barat, Hudaibi, di Liwa, Minggu Malam.

Dia menjelaskan, ribuan masyarakat akan mengikuti karnaval budaya dan dipastikan pembukaan FTS semakin meriah.

Menurut dia, pembukaan event tahunan tersebut akan menyedot ribuan wisatawan asing dan domestik untuk mengikuti rangkaian acara kegiatan budaya.

"Persiapan dalam melaksanakan Festival Teluk Stabas ke-XIV telah rampung, dan kami optimistis acara pembukaan dapat berjalan sesuai rencana," kata dia.

Ia mengatakan pelaksanaan Festival Teluk Stabas dilaksanakan pada 24 Oktober dan berakhir pada 27 Oktober mendatang.

Selain karnaval budaya, tari kolosal "Bumi Sai Batin" juga akan ikut meramaikan pembukaan event bergengsi tersebut.

"Lampung Barat dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi pariwisata dan budaya, sehingga memacu pemerintah daerah untuk memberikan motivasi melalui event yang digelar, dan salah satu event tersebut yakni Festival Teluk Stabas, dan kami optimistis event yang digelar tersebut mampu menarik simpati wisatawan asing dan domestik," katanya.

Ratusan personel akan mengamankan jalannya FTS dan dipastikan Jalur Lintas Barat yang menghubungkan Provinsi Sumatera Selatan akan macet total.

Sementara itu, Kepala Dinas Hudaibi itu menambahkan serangkaian sendratari yang melibatkan ratusan pelajar akan tampil dalam pembukaan FTS tersebut.

"Saya berharap pelaksanaan Festival Teluk Stabas dapat berlangsung dengan tertib dan lancar, dan yang paling terpenting kegiatan tersebut mampu memberikan pengetahuan kepada masyarakat akan kebudayaan daerah yang masih melekat, sehingga Lampung Barat sebagai kawasan zona budaya di Provinsi Lampung dapat terjaga meskipun bersaing dengan kebudayaan barat yang merajalela," katanya.

Event tahunan Festival Teluk Stabas ke-XIV menjadi rangkaian agenda pemerintah daerah dalam upaya mempromosikan potensi wisata alam dan budaya, yang rencananya dibuka Bupati Lampung Barat.

Selain menggelar aktraksi budaya, event tersebut menggelar berbagai lomba budaya, di antaranya Hahiwang, Betethah, Hadra, Nyambai, Orkes Lampung, Lagu Lampung, Lomba Foto Pariwisata, Lomba Ngengahado, Volly Pantai, dan Tari Kreasi.

Rangkaian kegiatan tersebut berpusat di Lapangan Merdeka Kota Liwa dan Pantai Labuhan Jukung Krui Lampung Barat, sementara misi pemerintah daerah menyelenggarakan Festival Teluk Stabas dimaksudkan sebagai wadah pelestarian budaya yang diketahui masyarakat Lampung Barat tergolong masyarakat adat yang memilki tingkatan gelar.

Sumber: Antara, Minggu, 23 Oktober 2011

October 20, 2011

Festival Teluk Stabas: Kegiatan Digelar di Dua Tempat

LIWA (Lampost): Pelaksanaan Festival Teluk Stabas (FTS) XIV yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Barat pada 24—27 Oktober mendatang akan dipusatkan di dua lokasi, yaitu Kecamatan Pesisir Tengah dan Kecamatan Balikbukit.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lambar Hudaibi, melalui Kasi Sejarah dan Purbakala Munhamir, Rabu (19-10), mengatakan pemusatan FTS di dua kecamatan tersebut berdasar pada dua sudut pandang.

Pertama, FTS diambil dari nama daerah di pesisir sehingga agenda kegiatan diselenggarakan di Kecamatan Pesisir Tengah. Selanjutnnya, untuk kegiatan yang dipusatkan di lapangan Merdeka Liwa, Kecamatan Balikbukit, disebabkan wilayah tersebut merupakan ibu kota kabupaten.

"Kami tidak melupakan sejarah bahwa Teluk Stabas itu berada di pesisir, tetapi Kecamatan Balikbukit juga merupakan ibu kota kabupaten. Jadi kami pusatkan kegiatan festival di dua tempat," kata Munhamir.

Di Pesisir Tengah, ujar dia, digelar kegiatan berupa festival layang-layang dan turnamen voli pantai. Sedangkan di lapangan Merdeka Liwa diadakan berbagai lomba kesenian dan budaya asli Lambar, berupa bedikikh, tari kreasi, ngehahado (mahapan), hahiwang, gambus tunggal, betetah, dan lomba lagu Lampung.

"Pembukaan festival ditandai dengan pawai budaya yang diikuti seluruh kecamatan," ujar Munhamir.

Selain sebagai agenda tahunan Pemkab dalam mempromosikan budaya dan pariwisata Lambar, tujuan digelarnya FTS itu sebagai wadah melesatarikan adat, budaya, dan kesenian masyarakat setempat byang kini mulai tergerus di tengah kemajuan zaman.

"Kami kaya budaya, tetapi mulai tenggelam karena kurang digali dan dikembangkan, makanya Pemkab terus proaktif mengadakan berbagai kegiatan untuk melestarikannya," kata Munhamir. (*/D-3)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 20 Oktober 2011

October 18, 2011

Mengangkat Pariwisata Lampung

Oleh Adam Muakhor


DEWASA ini pariwisata merupakan primadona yang mampu mendatangkan devisa yang sangat besar bagi negara. Tidak terkecuali negara-negara dengan kemampuan ekonomi tinggi. Sektor pariwisata mampu menjadi mesin penghasil uang yang efektif karena beberapa hal. Pertama, pariwisata sudah menjadi kebutuhan manusia. Untuk meringankan beban pikiran dan menumbuhkan semangat dalam menghadapi kegiatan berikutnya, maka rekreasi merupakan obat mujarab yang sangat ampuh.

Kedua, menjual pariwisata adalah bisnis yang tidak akan pernah habis mengingat pariwisata bukan proses eksplorasi yang memerlukan teknologi tinggi sebagaimana sumber daya alam (SDA), seperti minyak, gas, dan sebagainya, yang suatu saat akan habis. Pariwisata merupakan aset yang telah disediakan alam untuk manusia. Tentu saja diperlukan perawatan dan penanganan yang profesional terhadap aset alam tersebut.

Ketiga, pariwisata merupakan bisnis yang mempunyai jaringan paling panjang dengan bidang usaha lainnya, seperti penerbangan, hotel, makanan, minuman, kesehatan, pakaian, seni, budaya dan lain-lain.



Faktor Budaya

Mengapa orang dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan sebagainya datang berduyun-duyun ke pantai Kuta dan pantai Sanur di Bali? Bukankah di negara mereka sendiri terdapat banyak pantai yang mungkin saja pemandangan alamnya lebih indah daripada pemandangan di pantai Kuta dan Sanur? Bila kita kaji mendalam, ternyata yang menjadi tujuan para turis asing tersebut adalah ingin melihat kebudayaan Bali yang terkenal eksotik dan unik, dan itu berbeda dengan kebudayaan masyarakat mereka.

Bila Bali tidak menawarkan kebudayaan masyarakatnya tersebut, mungkin tidak akan ada daya tarik para wisatawan untuk berkunjung. Hal itulah sebenarnya merupakan gambaran konkret dari konsep pariwisata budaya yang istilahnya sering disebut-sebut oleh para pengambil kebijakan (pemerintah) dan para akademisi. Namun, pemahaman itu sulit untuk dijelaskan dalam definisi konseptual yang operasional, terutama dalam menyepakati konsep kebudayaan itu sendiri.



Potensi Lampung

Bagaimana dengan industri pariwisata Lampung? Seberapa besar potensi pariwisata Lampung? Dapatkah industri pariwisata Lampung menyamai Bali?

Pariwisata merupakan sektor sangat penting bagi Lampung yang kaya akan objek wisata. Topografi Lampung terdiri dari pegunungan, dataran tinggi, bukit, serta pantai yang menghadap Teluk Lampung. Selain itu, Lampung juga telah ditetapkan sebagai daerah tujuan wisata (DTW) ke-18. Hal ini sangat besar potensinya sebagai daya tarik investor di bidang pariwisata dan daya tarik turis domestik dan mancanegara. Lampung telah menetapkan objek wisata unggulan, antara lain Kawasan Wisata Bakauheni dan Land Mark Menara Siger, Kawasan Ekowisata Kalianda dan sekitarnya, Kawasan Wisata Agro Pekalongan, Lampung Timur, Pengembangan Ekowisata Taman Hutan Rakyat Gunung Betung, Pengembangan Ekowisata Taman Nasional Way Kambas, Pengembangan Ekowisata Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan wisata Pantai Tanjung Setia, Lampung Barat.

Selain itu, untuk wisata unggulan di Lampung terdapat objek wisata penunjang yang tersebar di seluruh kabupaten/kota, meliputi 177 objek wisata alam dan wisata buatan, juga 145 objek wisata budaya.



TIME Momen Lampung

Lampung merupakan provinsi pertama di Sumatera yang menjadi penyelenggara Tourism Indonesia Mart and Expo (TIME), yang menjadi bagian dari kalender pariwisata internasional. Lampung dinilai layak menjadi tuan rumah TIME 2011 mengingat keragaman potensi alam dan terletak di gerbang Sumatera-Jawa.

Menurut Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., banyak potensi pariwisata layak dijual, seperti Gunung Anak Krakatau, kawasan berselancar Tanjung Setia, kawasan lumba-lumba Teluk Kiluan, dan Gunung Rajabasa. Namun, potensi itu masih kurang dipromosikan. Pemilihan Lampung sebagai tuan rumah TIME 2011 tentunya bermanfaat untuk menjual potensi ekonomi, budaya, dan pariwisata ke mancanegara. Terlebih selama ini TIME hanya difokuskan di Jawa dan Lombok.

Pelaksanaan ajang promosi wisata TIME 2011 bersamaan dengan Festival Krakatau XXI pada 12—16 Oktober 2011. Kegiatan TIME diikuti 76 buyers (agen wisata asing) dari sedikitnya 27 negara dan pelaku pariwisata Indonesia. Momentum TIME mempertemukan antara buyers internasional dan para penjual atau pemilik objek pariwisata di Tanah Air. Selain itu juga pelaksanaan TIME atau Pasar Wisata Indonesia (PWI) 2011 ini merupakan agenda internasional dan tercatat sebagai kegiatan promosi wisata dunia.

Lampung bisa menjadi daerah tujuan wisata baru bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Oleh karena itu, kekayaan wisata Lampung harus terus dieksplorasi dan diperkenalkan kepada wisatawan (Lampung Post, 14-10). Dengan keragaman potensi wisata, penetapan sebagai daerah tujuan wisata, dan tuan rumah TIME 2011, tentu di masa mendatang industri pariwisata Lampung tak kalah menarik dibanding Bali. Baik dari wisata alam, wisata bahari, wisata budaya, wisata buatan, dan jenis wisata lainnya.

Namun, pariwisata Lampung tak akan berhasil jika tak disertai promosi yang baik. Selain itu, untuk memajukan industri pariwisata di Lampung dibutuhkan tiga faktor utama dan mendasar, yaitu 3A: atraksi, akomodasi, dan aksesibilitas. Juga perlu didukung komitmen dari seluruh pemangku kepentingan pariwisata untuk menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan, meliputi sumber daya alam, sosial-budaya, dan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal.

Adam Muakhor, Staf Bidang Fisik Bappeda Kota Metro

Sumber: Lampung Post, Selasa, 18 Oktober 2011

October 17, 2011

Eksotisme Krakatau Memesona 17 Dubes

BAKAUHENI (Lampost): Sedikitnya 17 duta besar (dubes) negara sahabat yang ikut tur Festival Krakatau XXI, Minggu (16-10), terpesona dengan eksotisme Gunung Anak Krakatau (GAK) dan parade budaya yang digelar sehari sebelumnya.

TUR KRAKATAU. Peserta tur Festival Krakatau XXI melihat dari dekat Gunung Anak Krakatau dengan menumpang KMP Windu Karsa Aditya, Minggu (16-10). Gunung yang berada di Selat Sunda, Lampung Selatan itu sejak 30 September lalu dinaikkan statusnya menjadi Siaga karena meningkatnya jumlah letusan dan kegempaan. (LAMPUNG POST/HENDRIVAN GUMALA)

Festival kali ini lebih spesial dibandingkan tahun sebelumnya karena waktunya bersamaan dengan pasar pariwisata nasional atau TIME (Tourism Indonesia Mart and Expo). Dua gaung momen promosi tersebut menandai kebangkitan pariwisata di Lampung.

Tujuh belas dubes yang menyaksikan festival tersebut di antaranya Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Rep. Ceko, Jerman, Hongaria, Italia, Jepang, Malaysia, Polandia, Filipina, Romania, Singapura, Slovakia, Slovenia, Jepang, Korea, dan Kuba.

Enna Viant Valdes, dubes Kuba, mengaku baru pertama datang ke Lampung dan melihat GAK. Enna menyaksikan parade budaya yang menarik karena banyak jenis kesenian dan warna warni yang ditampilkan. "It's very wonderful and colorful. Amazing," kata Enna kepada Lampung Post di sela-sela Tur Krakatau kemarin.

Keindahan ini, menurut Enna, akan disampaikannya ke masyarakat Kuba agar mereka bisa datang ke Lampung menyaksikan keindahan budaya dan wisata di Lampung, apalagi GAK di Selat Sunda.

Hal senada dikatakan Duta Besar Yaman Ali Alsoswa. Menurut dia, Gunung Anak krakatau merupakan pesona alam yang harus dipromosikan ke wisatawan mancanegara. Ali berjanji mempromosikan objek wisata gunung yang berada di perairan itu ke negaranya.

Namun, tur kali ini tidak banyak berbeda dengan tahun sebelumnya. Tidak ada pertunjukan kesenian dan atraksi adat dalam perjalanan menuju GAK sampai kembali lagi ke Pelabuhan Bakauheni, kemarin.

Perahu hias yang dijanjikan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung sejak penyelenggaraan festival tahun lalu juga tidak tampak. Peserta tur hanya duduk manis menuju GAK.

Rombongan tur yang diangkut KMP Windu Karsa Pratama itu bertolak dari Bakauheni pukul 09.05. Setelah dua jam lebih berlayar, pada pukul 11.22 kapal sampai di perairan Gunung Anak Krakatau. Kapal mengelilingi gunung bahkan merapat hingga jarak 20 meter dari kaki gunung.

Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Wisata Disbudpar Lampung Baihaqi mengakui memang belum banyak perubahan pada kegiatan Tur Krakatau tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya. (KRI/LIN/R-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, 17 October 2011

October 16, 2011

Budaya Lampung: Beban Berat Sejarah?

LUPAKAN saja budaya kelampungan, kejawaan, atau keindonesiaan. Kalau memang ia ada, budaya tersebut hanya akan menjadi beban buat sejarah. Sebab, sebuah gagasan dan pemikiran tak bisa hanya dibatasi oleh sebuah bahasa, sebuah geografi, sebuah daerah, dan sebuah kawasan. Kalau hal itu pun memang ada, ia tidak akan sepenuhnya diketahui dan dipahami. Lebih baik kita berstrategi kebudayaan dengan memupuk benih-benih kebudayaan kebhinekaan yang hampir mati, yaitu kebudayaan kebhinekaan yang tidak jadi sandera sejarah.

DISKUSI BUDAYA LAMPUNG. Sastrawan Lampung Asarpin (tengah) mengemukakan pandangannya dalam Diskusi Bilik Jumpa Sastra (Bijusa) yang bertema Problematika Kebudayaan Lampung Masa Kini di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Jumat (14-10). Diskusi yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKM BS) Unila ini juga menghadirkan Tadjjudin Nur dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dengan moderator Didi Arsandi. (LAMPUNG POST/IKHSAN DWI NUR SATRIO)

Sastrawan Lampung Asarpin mengemukan hal itu dalam diskusi Bilik Jumpa Sastra dan Budaya (Bijusa) yang diadakan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKM BS) Unila di Gedung PKM lantai I Unila, Jumat (14-10). Selain Asarpin, tampil juga Tadjjudin Nur dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dalam rangkaian diskusi Meninjau Kembali Arah Kebudayaan Lampung dengan subtema Problematika Kebudayaan Lampung Masa Kini.

Menurut Asarpin, mempertahankan kebudayaan yang ada di Lampung tidak mudah. "Apalagi mempertahankan dan memperkenalkan bahasa Lampung. Selain itu, kebudayaan Lampung sekarang ini dijadikan proyek atau kontraktor budaya. Karena hal ini lebih mementingkan orang-orang tertentu. Selain itu, dampak dari proyek budaya ini juga kurang mengena dalam mempertahankan maupun mengenalkan budaya Lampung.

Sebagai sebuah provinsi, menurut Asarpin, Lampung memiliki kekayaan budaya yang bersumber dari multikulturalitas masyarakatnya. Kebudayaan sebagai inti keberagaman, karena kebudayaan pada dasarnya senantiasa memancarkan keindahan dari perbedaan, bukan dari keseragaman.

Lampung (dalam arti dan makna etnis atau bukan) sudah tentu terkait dengan persoalan kebhinekaan. Karena itu, berbicara soal problematika kebudayaan Lampung masa kini amat indah jika semangat kebhinekaan kita pancarkan kembali. Apalagi kini memang sulit melepaskan Lampung sebagai gerbang dari lalu lintas sebuah pulau yang besar, yang menyumbang begitu beragam bagi tegaknya sistem kebangsaan dan kenegaraan, dari kebhinekaan yang akhir-akhir ini juga kembali hangat jadi perbincangan kaum elite.

Ada desakan untuk mempersempit kebudayaan hanya dalam arti bahasa, bahasa etnis, dan ada desakan untuk meng-goal-kan peraturan daerah soal ini. Ada tanda-tanda untuk menutup diri dengan model provinsialisme yang picik, ada ajakan untuk mengampanyekan kembali penggunaan bahasa daerah di lingkungan pemerintah daerah (pemda). Ada seruan yang malu-malu dan sedikit agak garang tentang menghidupkan kebudayaan Lampung, ada imbauan dari pemda lewat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan perguruan tinggi agar menggalakkan kebudayaan daerah, ada semacam seminar dan publikasi untuk melestarikan kebudayaan Lampung. Serta ada beberapa tulisan di media massa yang membanggakan orang Lampung atau sengaja menghibur masyarakat Lampung bahwa sebetulnya Lampung itu kaya raya dengan kebudayaan.

Semua itu sudah mengarah pada upaya berstrategi kebudayaan, tetapi kalau gambaran semacam itu memang benar-benar mengandung separuh saja, kebenaran atas pengamatan ini sungguh menyedihkan. "Sebagai orang Lampung, saya merasa sedih apabila kebenaran tersebut benar-benar nyata," katanya.

Dengan kata lain, ujar Asarpin, bicara soal kebudayaan masa kini, kita akan dihadapkan pada persoalan kebhinekaan, apa pun makna yang kita sematkan dari kata kebhinekaan itu sekarang ini.

Asarpin setuju dengan gurauan yang serius dari seniman Arswendo Amiloto beberapa tahun lalu yang mengatakan, "Kalau memang sastra berbahasa Jawa itu harus mati, biar saja, toh kejawaaan tetap melekat pada tulisan orang Jawa, bahasa apa pun yang ia gunakan." Begitu juga pada sastra berbahasa Lampung akan punah karena melihat sedikitnya penutur yang berada di kota selama ini. "Biar saja, tak perlu panik, terlampau reaksioner, atau kebakaran jenggot," ujar penulis kumpulan cerpen berbahasa Lampung Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong (2010) ini.

Tidak Mudah

Di sisi lain, Tadjjudin Nur mengatakan budaya Lampung merupakan sosiokultural masyarakat, baik masyarakat Lampung Saibatin maupun Pepadun. Kedua jenis ini harus dipertahankan, jangan ada keributan dalam menyelenggarakan upacara adatnya, karena ada beberapa perbedaan. Selain itu, hal ini juga sebagai upaya kita dalam menjaga kebudayaan Lampung, terutama memperkenalkan kepada warga yang bukan masyarakat Lampung asli," ujar Tadjjudin.

Memperkenalkan kebudayaan Lampung itu tidak mudah. Seperti memperkenalkan bahasa Lampung. Hal ini pun sangat sulit karena penduduk yang ada di Lampung tidak 100% penduduk asli Lampung, bahkan setengah dari jumlah penduduknya adalah orang dari suku luar Lampung. Kemudian memperkenalkan tabik pun (pengucapan yang dilakukan oleh masyarakat Lampung dalam berpidato setelah mengucap salam) tidak mudah. Namun, hal ini sudah dikembangkan di beberapa kabupaten yang ada di Provinsi Lampung.

Untuk saat ini, kebijakan Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. memberikan simbol siger di setiap toko atau instansi pemerintah cukup bagus. Karena hal ini akan mengenalkan salah satu kebudayaan yang ada di Lampung. "Tapi mengajaknya pun susah," ujar Tajjdudin yang sehari-hari bekerja sebagai kabid Kesbang di Badan Kesbangpol Provinsi Lampung ini.

Didi Arsandi, ketua Pelaksana Bijusa, mengatakan sudah sepatutnya orang-orang yang tinggal di Lampung, baik ia pribumi maupun pendatang, mengetahui dan memperkenalkan budaya Lampung, terutama bahasanya. Hal ini menandakan ada identitas atau karakter khas tersendiri bagi warga Lampung. "Hal ini harus dilakukan sebagai orang Lampung," ujar Didi yang juga sebagai moderator dari acara Bijusa ini.

Dia menambahkan biasanya dalam Bijusa sebelumnya membedah buku-buku baru atau lama yang berjenis sastra atau mendiskusikan tema-tema sastra Lampung lainnya. Namun, untuk tahun ini, Bijusa lebih fokus dalam mendiskusikan tema-tema yang bersifat kebudayaan. Selain itu, dalam Bijusa tahun ini akan lebih banyak mengundang kawan-kawan dari mahasiswa. Karena biasanya yang hadir di Bijusa dari kalangan seniman atau budayawan yang sudah berumur 30 tahunan ke atas. "Diharapkan ada partisipasi dari mahasiswa untuk Bijusa kali ini," kata mahasiswa Fakultas MIPA Biologi Unila ini. (RICKY P. MARLY/U-2)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Oktober 2011

[Perjalanan] Gempita Tapis Carnival Bandar Lampung

TAPIS Carnival masih asing di telinga masyarakat Lampung. Sabtu (15-10), dua kata yang arti harfiahnya adalah kirab budaya bertema kain tapis itu dikenalkan dalam karnaval yang menggegapgempitakan Kota Bandar Lampung.





FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/VERA AGLISA

Jalan Kartini dan seputaran Tanjungkarang, Sabtu (15-10), tidak seperti akhir pekan lain. Hari Krida yang biasa mulai bebas dari kemacetan, tidak seperti kemarin. Seluruh kendaraan yang mengarah ke pusat keramaian kota ini macet luar biasa. Ya, itu karena ada pergelaran pawai budaya bertajuk Tapis Carnival.

Seperti biasa, masyarakat Lampung khususnya Bandar Lampung selalu memadati jalan-jalan utama jika ada pawai. Kemarin warga dibuat terpukau oleh aksi peserta karnaval yang merupakan rangkaian parade budaya Festival Krakatau XXI 2011.

Peserta karnaval terlihat begitu cemerlang dalam balutan busana fantasi berbahan dasar tapis. Pergelaran Tapis Carnival diawali dengan parade busana kreasi Taman Budaya Lampung.

Busana fantasi yang diangkat dari nilai-nilai luhur budaya Lampung langsung menarik minat masyarakat di jalan protokol yang dilewati peserta karnaval.

Dalam balutan busana dominasi hitam, Dede, peserta yang berasal dari Taman Budaya Lampung, tampil sebagai mayoret yang anggun. Kain tapis yang dibentuk di tengah siger menghiasi indah kepalanya.

Potongan-potongan selendang tapis juga menjuntai cantik diikat pinggangnya. Aksi lenggak-lenggok Dede semakin menarik perhatian pergelaran yang juga dihadiri duta besar negara lain. Menyusul setelah itu Theo yang membawakan baju gelembung berwarna hijau yang mampu mengalihkan pandangan warga yang sebelumnya antusias menatap Dede. Busana yang juga kreasi Taman Budaya Lampung itu dipenuhi bunga-bunga mekar yang tetap diselingi dengan keindahan kain tapis.

Meskipun di bawah terik matahari, warga tetap diam di posisi masing-masing menyaksikan deretan peserta dengan busana menarik. Decak kagum juga mengalir dari masyarakat yang mengaku baru pertama kali melihat parade kain tapis yang merupakan produk budaya asli Lampung.

Sebelumnya, mereka menyaksikan parade budaya dari Forum Komunikasi Masyarakat Lampung (Fokmal) dan potensi budaya dari kabupaten/kota se-Lampung. Parade dimulai dari Lapangan Saburai dengan rute Jalan Sriwijaya-Jalan Sudirman-Jalan Ahmad Yani-Jalan Kartini-Jalan Katamso-Jalan Raden Intan-Jalan Tulangbawang dan kembali ke Lapangan Saburai.

Kegiatan edukasi budaya bagi masyarakat itu diawali dengan aksi enam ekor gajah dari Taman Nasional Way Kambas. Lalu diiringi dengan arak-arakan peserta dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dengan ikon Suparwono, manusia dengan tinggi 2,42 m asal Tulangbawang.

Kemudian deretan peserta berikutnya berasal dari Fokmal yang merupakan keluarga besar masyarakat provinsi lain yang kini berdomisili di Lampung.

Keluarga besar Sumatera Barat menjadi peserta deret pertama Fokmal kemudian diikuti keluarga besar Aceh, dan Hikam Lampung. Tapanuli Selatan Padang Lawas Bengkulu, Paku Banten, dan Paguyuban Bali Lampung yang menyuguhkan tari kecak dan tentu saja ogoh-ogoh. Turut menjadi peserta ialah Paguyuban Masyarakat Tionghoa, Forum Silaturahmi Masyarakat Kayu Agung Lampung (Fosmakal), dan Ikatan Keluarga Ogan Pemersatu (IKOP).

Masyarakat asal Madura pun turut memeriahkan parade budaya itu. Begitu juga dengan Paguyuban Banten PKBB, Paguyuban Panginyongan Lampung, KBBS, Lampung Sai, Paguyuban Seni Tari Jaranan, dan masyarakat Makassar yang menonjolkan olahraga sepak takraw.

Selain itu juga, setiap kabupaten/kota menunjukkan potensi budaya yang ada. Kabupaten Pringsewu menjadi peserta pertama pada deretan ini. Kemudian disusul peserta Pesawaran yang menampilkan muli Lampung yang memamerkan kain tapis buatan sendiri yang menjadi kebanggaan dan akan ditunjukkan kepada calon suaminya.

Lalu peserta dari Lampung Timur yang menampilkan keagungan Ratu Melinting, Lampung Utara dengan keindahan kayu ara. Way Kanan yang menonjolkan tradisi mulang tiyuh, dan Bandar Lampung dengan busana indah didominasi kupu-kupu.

Kemudian peserta dari Mesuji disusul Kota Metro. Tulangbawang Barat dengan tema manjau mighul, Lampung Tengah dengan tajuk sesan, dan Tulangbawang yang memamerkan tapis sebagi. Tiga lainnya ialah Lampung Barat dengan atraksi arung iwa, Tanggamus yang menunjukkan kreasi daerah yakni penari membentuk kapal dengan mengabungkan kain tapisnya, serta Lampung Selatan yakni Ratu Krakatau.

Suasana semakin semarak di akhir karnaval dengan hadirnya Solo Batik Carnival dari Solo, Jawa Tengah. Batik yang juga kain asli Indonesia asli Solo pada busana peserta menjadi pemandangan luar biasa.

Kekaguman akan potensi luar biasa dari selembar tapis tidak hanya saya rasakan. Euis, warga Telukbetung Utara, Bandar Lampung, turut mengapresiasi pergelaran yang mengangkat tinggi nilai tapis tersebut.

Dia berharap Tapis Carnival dapat menyaingi parade busana yang telah ada di Nusantara. "Tapis tenyata indah dikombinasikan dengan apa saja. Ini terobosan yang bagus, semoga karnaval ini bisa terus digelar setiap tahunnya," kata gadis berusia 19 tahun ini.

Hal serupa juga diungkapkan Duta Besar Republik Korea untuk Republik Indonesia Kim Young-Sun yang mengaku sangat menyukai budaya Lampung. Bahkan, dia telah mengagendakan untuk kembali berkunjung ke Lampung. Sekaligus untuk mempelajari dan lebih mencitai kain tapis yang dianggapnya luar biasa. (VERA AGLISA/M-1)

Sumber: Lampung Post, 16 Oktober 2011

Tapis Carnival Sajian Baru Festival Krakatau

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Terinspirasi Jember Fashion Carnival, agenda tahunan Festival Krakatau (FK) diisi Tapis Carnival. Dibutuhkan persiapan matang dan tema agar industri kreatif Lampung ini dapat menggema.

TAPIS CARNIVAL. Peserta parade Tapis Carnival menampilkan kain tapis pada parade Festival Krakatau XXI 2011 di depan Central Plaza, Bandar Lampung, Sabtu (15-10). Tapis Carnival akan menjadi agenda tahunan Festival Krakatau. (LAMPUNG POST/MG3)

Perhelatan perdana Tapis Carnival berlangsung pada parade Festival Krakatau XXI 2011 yang digelar Sabtu (15-10). Sebanyak 75 peraga berbusana tapis hasil karya seniman Lampung menyemarakkan parade dan menyita perhatian ribuan warga.

Parade Tapis Carnival dimulai dari Lapangan Saburai dengan rute Jalan Sriwijaya—Jalan Sudirman—Jalan Ahmad Yani—Jalan Kartini—Jalan Katamso—Jalan Raden Intan—Jalan Tulangbawang dan kembali ke Lapangan Saburai. Karnaval diikuti peserta dari Taman Budaya Lampung yang mengenakan busana fantasi yang diangkat dari nilai-nilai luhur budaya Lampung.

Kemudian disusul peserta STD Production, Bank Lampung, CAT (crew os aviation training), dan ditutup peserta dari Solo Batik Carnival, Jawa Tengah. Sebelumnya dihelat parade budaya dari 14 kabupaten/kota dan Forum Komunikasi Masyarakat Lampung (Fokmal).

"Tapis Carnival diharapkan ini menjadi momen terbaik untuk mengenalkan sekaligus menunjukkan eksistensi tapis sebagai produk budaya asli Lampung kepada masyarakat Indonesia dan dunia," kata Gubernur Sjachroedin Z.P., di sela-sela pergelaran Tapis Carnival.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Lampung Gatot Hudi Utomo mengakui inisiatif Tapis Carnival terinspirasi tren fashion yang dipadukan dengan budaya khas daerah. Parade busana berbahan utama tapis diharapkan menjadi tontonan sekaligus edukasi pariwisata bagi masyarakat.

Pujian juga disampaikan Duta Besar Republik Kuba untuk Indonesia Enna Viant Valdes, yang mengaku kagum dengan budaya Lampung. Tapis yang merupakan kain lokal menjadi bukti keindahan Lampung. Untuk itu, kata Enna, dia berharap khasanah budaya itu dipertahankan, sekaligus dikembangkan agar bernilai jual tinggi. Bahkan dia berminat kembali ke Lampung untuk mengenal tapis lebih dalam.

Persiapan Matang

Desainer Lampung Raswan menilai terobosan Disbudpar Lampung ini patut diapresiasi. Menurut Raswan, Tapis Carnival dapat menyaingi karnaval busana di lain jika dipersiapkan secara matang. "Persiapannya sepanjang tahun dan harus ada panitia tetap, seperti Jember Carnival Fashion," kata Raswan.

Pergelaran festival tahunan juga memburuhkan persiapan lama agar seniman dalam menciptakan produk terbaiknya. Hal itu dapat dilihat dari peserta Solo Batik Carnival yang datang dari Jawa Tengah.

Mereka terlihat apik dan kompak dengan konsep matang sehingga pesan dari busana yang dikenakan dapat disampaikan dengan baik ke masyarakat. "Solo Batik Carnival mempersiapkan diri satu tahun sebelum tampil di Festival Krakatau. Di Solo, karnaval busana rutin digelar setiap tahun," kata Raswan. (VER)

Sumber: Lampung Post, 16 Oktober 2011CARNIVAL