PERJALANAN darat Jawa-Sumatera yang menjadi titik jenuh adalah penyeberangan Bakauheni-Merak. Padahal, ruas laut sejauh 28 kilometer itu adalah oasis.
Bus eksekutif jurusan Pekanbaru-Yogyakarta itu berbelok ke satu rumah makan di bilangan Way Halim, Kamis (11-10), sekitar pukul 10.00. Kedatangan bus sarat penumpang itu disambut pengeras suara yang nyerocos dengan ucapan selamat datang dari pengelola rumah makan.
?Silakan, bapak-ibu. Toilet atau WC ada di bagian belakang. Silakan pesan makan. Dibungkus juga bisa. Waktu istirahat di rumah makan ini sekitar 30 menit,? kata suara itu memberi informasi.
Puluhan penumpang terlihat mulai lusuh karena lelah setelah menempuh perjalanan dari Riau. Di antara mereka, ada Suudi (45), warga Magelang, Jawa Tengah, yang memilih menunggu di luar rumah makan. Ia bersama empat temannya hanya memesan nasi bungkus. ?Makan di kapal saja, lebih santai,? kata dia.
Suudi tampaknya sudah sangat paham dengan seluk-beluk perjalanan panjang lewat darat itu. Ia sudah memperkirakan waktu yang tepat agar tidak terlalu jenuh bersafari selama sekira 48 jam.
"Saya sering pulang pergi ke Jawa dengan bus. Nah, kalau pas di kapal, itu kita bisa bebas. Tiga jam lumayan karena di bus kan capek duduk terus," ujarnya.
Strategi Suudi untuk menikmati perjalanan panjang itu sangat tepat. Trip penyeberangan dengan feri di Selat Sunda memang menjadi oasis rute ribuan kilometer itu. Suasana yang berbeda dari sekadar jalan raya bisa menjadi penyegar suasana.
Setiap penumpang bus, saat bau laut tercium, akan merasakan atmosfer berbeda. Kilau biru hamparan air samudera yang segera diseberangi dengan perahu besar seolah memberi kebebasan.
Saat bus memasuki kapal, serasa hari pembebasan. Penumpang bisa leluasa menikmati setiap sudut pojok kapal, memandang setiap penjuru laut, dan menantang hembusan angin laut yang kencang.
Feri-feri di jalur Bakauheni?Merak memang menggunakan istilah penyeberangan, bukan pelayaran. Ini karena jarak tempuhnya yang singkat. "Kalau penumpang yang bukan setiap hari lewat, naik kapal di Selat Sunda ini memang bagian dari rekreasi," kata Bedi, salah satu agen penyeberangan.
Di atas kapal yang sedang berlayar, suasana memang lengkap. Para sopir atau awak truk lebih banyak yang memilih jeda tugas itu untuk tidur di atas muatan atau di ruang penumpang. Penumpang yang sudah biasa melintas juga lebih banyak menonton film di televisi yang tersedia.
Namun, sangat banyak juga yang menantang hembusan angin, berpose di depan kamera dengan latar belakang luat dan pulau-pulau, atau lesehan makan nasi bungkus selaksa berkemah.
Pemandangan leluasa itu memang dominan jika pelayaran siang. Namun, bagi penggemar siluet malam, berlayar malam juga tak kalah menakjubkan. Memandang kota, kerlip lampu menjadi seperti kunang-kunang di kegelapan. Masih ada juga nelayan dengan perahu katir terkatung-katung di tengah segara hanya berteman petromaks.
Saat memandang langit, gemintang berpijar tanpa tiang adalah tanda-tanda kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. (SDM/KRI/M-2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment