-- Gatot Arifianto
SELAIN menyamarkan tubuhnya dengan aneka kostum dan properti, orang-orang juga "menghilangkan" wajah asli mereka dengan kain serta topeng kayu dan meredam rutinitas bising mesin sementara waktu dengan melantunkan lagu-lagu bernuansa Islami.
Ilustrasi (google.com)
Pemandangan yang berlangsung di Lapangan Merdeka, Liwa, tersebut membuat hari menjadi lain karena sebagian besar orang yang mengenakan topeng, menjadi narsis untuk berpose jenaka di depan kamera.
"Saya ikut bersekura untuk melestarikan adat istiadat supaya tidak hilang dan terlupakan," kata warga Pekon (Desa) Way Empulau Ulu, Kecamatan Balikbukit, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, Yazli Fauzi.
Meski tidak mendapatkan upah, Yazli mengaku tetap senang sehubungan salah satu hakikat kegiatan sekura yang dilanjutkan dengan cakak buah atau panjat pinang, ialah untuk bersilaturahim antarmasyarakat, baik yang tua, muda maupun anak-anak.
Barangkali, hal yang disampaikan Yazli benar, karena sejumlah bocah dan juga pelajar dari SMAN 1 Liwa terlihat datang mengenakan topeng untuk ikut meramaikan pesta budaya di daerah tersebut.
Refleksi Kehidupan
Pada luas wilayah kurang lebih 4.950,40 kilometer persegi atau 13,99 persen dari luas wilayah Provinsi Lampung, Lampung Barat tidak saja menyimpan pantai dan sungai bening yang menggoda untuk berkaca, tetapi juga memiliki budaya yang masih relevan di antara kemajuan zaman, yakni sekura dan cakak buah.
Kegiatan budaya itu biasa dilakukan masyarakat setempat secara massal setiap tanggal 1 sampai dengan 7 Syawal dan berlangsung dari pekon ke pekon di daerah tersebut untuk menyambut dan memeriahkan Idul Fitri.
Pada perayaan tersebut, masyarakat akan mengubah penampilan sedemikian rupa untuk menghibur, seperti mengenakan topeng binatang, topeng raksasa, dan lain sebagainya. Namun ada juga yang mengubah diri menjadi kakek-kakek dengan membawa tongkat.
Oleh karena merupakan tradisi khas daerah, kata Bupati Lampung Barat, Mukhlis Basri, sekura dan cakak buah harus terus dipertahankan supaya tidak hiang.
Jika pada tahun 2011 Pemerintah Kabupaten Lampung Barat menggelar "Pesta Budaya Sekura 1001 Wajah", maka di tahun 2012 perhelatan serupa juga dilangsungkan dengan nama "Pesta Budaya Sekura 2001 Wajah".
Dan seperti peristiwa tahun lalu, dua jenis sekura yakni betik (bersih) dan kamak (buruk) terlihat dalam perhelatan akbar tersebut dalam jumlah ratusan.
"Sekura kamak adalah sekura yang topengnya terbuat dari kayu dan lain sebagainya, mereka menggunakan peralatan seadanya dan kebanyakan berpakaian kotor karena memang sekura jenis itulah yang akan melakukan cakak buah," kata Kabag Humas dan Protokol Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, Burlianto Eka Putra.
Adapun sekura betik, ujar dia menjelaskan, adalah sekura yang pakaian dan peralatan topengnya lebih bersih dan rapih karena sebagian besar terdiri dari sarung dan beberapa kain.
Lalu seperti matahari yang bergerak dari subuh menuju siang, dan selanjutnya menuju sore, orang-orang sembari menyanyi, menabuh rebana dan gamolan atau alat musik tradisional daerah itu yang terbuat dari bambu, bertolak dari Lapangan Merdeka, Liwa, menuju lapangan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat yang telah berisi 50 cakak buah berisi aneka hadiah.
Dan jalan lintas barat untuk sementara waktu penuh dengan manusia-manusia berwajah bukan selayaknya manusia, salah satunya ialah muka binatang yang mengingatkan lagu Opiniku, Iwan Fals: "Manusia sama saja dengan binatang, selalu perlu makan. Namun caranya berbeda, dalam memperoleh makanan. Binatang tak mempunyai akal dan pikiran, segala cara halalkan demi perut kenyang. Binatang tak pernah tahu rasa belas kasihan, padahal di sekitarnya petani berjalan pincang."
Perihal sekura, sejumlah literatur dan pernyataan memaparkan jika pesta budaya khas Lampung Barat itu tidak saja merupakan ungkapan rasa syukur dan sukacita yang dilakukan massal oleh masyarakat setempat dalam merayakan Idul Fitri. Tetapi, juga renungan terhadap sikap dan tingkah laku yang dilakukan dalam keseharian.
"Lampung Barat mempunyai ciri khas seperti sekura dan cakak buah yang perlu dipertahankan sebagai ikon daerah. Kita berharap keadaan di Lampung Barat menyenangkan terus sehingga bisa membuka peluang wisata ketika terjadi peristiwa budaya itu," kata bupati.
Sesaat sebelum para sekura kamak melakukan cakak buah, sejumlah sekura betik dari Sanggar Seni Setiwang melenggang rampak dan apik membawakan tarian karya koreografer Nyoman Mulyawan di hadapan ribuan masyarakat. Lalu para jurnalis dengan peralatannya masing-masing, termasuk masyarakat yang membawa kamera digital juga kamera "hand phone", antusias mengabadikan peristiwa itu.
Setelah itu, para sekura kamak bahu membahu melakukan cakak buah atau memanjat pohon pinang yang telah diberi pelicin untuk mengambil hadiah yang ada di atasnya.
Lalu ada semangat, kerja sama, kebersamaan dan pantang menyerah pada peristiwa yang menegaskan individu atau kelompok yang ingin mendapatkan hasil harus mau bergerak dan berani melewati rintangan.
Oleh sebab itu dan supaya rangkaian gerbong kekayaan budaya Indonesia tersebut tidak terpenggal oleh modernitas, dibutuhkan sikap sebagaimana motto daerah itu, yakni, "Beguai Jejama Sai Betik", yang berarti bekerja sama dalam hal yang baik, untuk menjaganya, supaya manusia yang tidak terlepas dari alpa, dan mungkin juga kehilangan semangat, tetap mempunyai sarana untuk refleksi. (SUMBER: ANT)
Sumber: Oase Kompas.com, Sabtu, 6 Oktober 2012
SELAIN menyamarkan tubuhnya dengan aneka kostum dan properti, orang-orang juga "menghilangkan" wajah asli mereka dengan kain serta topeng kayu dan meredam rutinitas bising mesin sementara waktu dengan melantunkan lagu-lagu bernuansa Islami.
Ilustrasi (google.com)
Pemandangan yang berlangsung di Lapangan Merdeka, Liwa, tersebut membuat hari menjadi lain karena sebagian besar orang yang mengenakan topeng, menjadi narsis untuk berpose jenaka di depan kamera.
"Saya ikut bersekura untuk melestarikan adat istiadat supaya tidak hilang dan terlupakan," kata warga Pekon (Desa) Way Empulau Ulu, Kecamatan Balikbukit, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, Yazli Fauzi.
Meski tidak mendapatkan upah, Yazli mengaku tetap senang sehubungan salah satu hakikat kegiatan sekura yang dilanjutkan dengan cakak buah atau panjat pinang, ialah untuk bersilaturahim antarmasyarakat, baik yang tua, muda maupun anak-anak.
Barangkali, hal yang disampaikan Yazli benar, karena sejumlah bocah dan juga pelajar dari SMAN 1 Liwa terlihat datang mengenakan topeng untuk ikut meramaikan pesta budaya di daerah tersebut.
Refleksi Kehidupan
Pada luas wilayah kurang lebih 4.950,40 kilometer persegi atau 13,99 persen dari luas wilayah Provinsi Lampung, Lampung Barat tidak saja menyimpan pantai dan sungai bening yang menggoda untuk berkaca, tetapi juga memiliki budaya yang masih relevan di antara kemajuan zaman, yakni sekura dan cakak buah.
Kegiatan budaya itu biasa dilakukan masyarakat setempat secara massal setiap tanggal 1 sampai dengan 7 Syawal dan berlangsung dari pekon ke pekon di daerah tersebut untuk menyambut dan memeriahkan Idul Fitri.
Pada perayaan tersebut, masyarakat akan mengubah penampilan sedemikian rupa untuk menghibur, seperti mengenakan topeng binatang, topeng raksasa, dan lain sebagainya. Namun ada juga yang mengubah diri menjadi kakek-kakek dengan membawa tongkat.
Oleh karena merupakan tradisi khas daerah, kata Bupati Lampung Barat, Mukhlis Basri, sekura dan cakak buah harus terus dipertahankan supaya tidak hiang.
Jika pada tahun 2011 Pemerintah Kabupaten Lampung Barat menggelar "Pesta Budaya Sekura 1001 Wajah", maka di tahun 2012 perhelatan serupa juga dilangsungkan dengan nama "Pesta Budaya Sekura 2001 Wajah".
Dan seperti peristiwa tahun lalu, dua jenis sekura yakni betik (bersih) dan kamak (buruk) terlihat dalam perhelatan akbar tersebut dalam jumlah ratusan.
"Sekura kamak adalah sekura yang topengnya terbuat dari kayu dan lain sebagainya, mereka menggunakan peralatan seadanya dan kebanyakan berpakaian kotor karena memang sekura jenis itulah yang akan melakukan cakak buah," kata Kabag Humas dan Protokol Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, Burlianto Eka Putra.
Adapun sekura betik, ujar dia menjelaskan, adalah sekura yang pakaian dan peralatan topengnya lebih bersih dan rapih karena sebagian besar terdiri dari sarung dan beberapa kain.
Lalu seperti matahari yang bergerak dari subuh menuju siang, dan selanjutnya menuju sore, orang-orang sembari menyanyi, menabuh rebana dan gamolan atau alat musik tradisional daerah itu yang terbuat dari bambu, bertolak dari Lapangan Merdeka, Liwa, menuju lapangan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat yang telah berisi 50 cakak buah berisi aneka hadiah.
Dan jalan lintas barat untuk sementara waktu penuh dengan manusia-manusia berwajah bukan selayaknya manusia, salah satunya ialah muka binatang yang mengingatkan lagu Opiniku, Iwan Fals: "Manusia sama saja dengan binatang, selalu perlu makan. Namun caranya berbeda, dalam memperoleh makanan. Binatang tak mempunyai akal dan pikiran, segala cara halalkan demi perut kenyang. Binatang tak pernah tahu rasa belas kasihan, padahal di sekitarnya petani berjalan pincang."
Perihal sekura, sejumlah literatur dan pernyataan memaparkan jika pesta budaya khas Lampung Barat itu tidak saja merupakan ungkapan rasa syukur dan sukacita yang dilakukan massal oleh masyarakat setempat dalam merayakan Idul Fitri. Tetapi, juga renungan terhadap sikap dan tingkah laku yang dilakukan dalam keseharian.
"Lampung Barat mempunyai ciri khas seperti sekura dan cakak buah yang perlu dipertahankan sebagai ikon daerah. Kita berharap keadaan di Lampung Barat menyenangkan terus sehingga bisa membuka peluang wisata ketika terjadi peristiwa budaya itu," kata bupati.
Sesaat sebelum para sekura kamak melakukan cakak buah, sejumlah sekura betik dari Sanggar Seni Setiwang melenggang rampak dan apik membawakan tarian karya koreografer Nyoman Mulyawan di hadapan ribuan masyarakat. Lalu para jurnalis dengan peralatannya masing-masing, termasuk masyarakat yang membawa kamera digital juga kamera "hand phone", antusias mengabadikan peristiwa itu.
Setelah itu, para sekura kamak bahu membahu melakukan cakak buah atau memanjat pohon pinang yang telah diberi pelicin untuk mengambil hadiah yang ada di atasnya.
Lalu ada semangat, kerja sama, kebersamaan dan pantang menyerah pada peristiwa yang menegaskan individu atau kelompok yang ingin mendapatkan hasil harus mau bergerak dan berani melewati rintangan.
Oleh sebab itu dan supaya rangkaian gerbong kekayaan budaya Indonesia tersebut tidak terpenggal oleh modernitas, dibutuhkan sikap sebagaimana motto daerah itu, yakni, "Beguai Jejama Sai Betik", yang berarti bekerja sama dalam hal yang baik, untuk menjaganya, supaya manusia yang tidak terlepas dari alpa, dan mungkin juga kehilangan semangat, tetap mempunyai sarana untuk refleksi. (SUMBER: ANT)
Sumber: Oase Kompas.com, Sabtu, 6 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment