October 15, 2012

Kebudayaan di Era Serbapolitis dan Serbauang*

Oleh Udo Z. Karzi


APAKAH Kebudayaan (dengan K besar)? Lalu, kapankah kebudayaan mendapat tempat selayaknya di negeri ini? Dua pertanyaan tak hendak dijawab dan dibahas di sini, tetapi boleh dibilang dua pertanyaan inilah yang membuat Kebudayaan semakin kehilangan pamor kalau bukan memang tidak pernah populer di negeri ini.

***

Sempat memang terjadi Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an yang melibatkan, antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara (baca: Achdiat K. Mihardja, Ed. Polemik Kebudayaan, 1948).

Ada juga perbalahan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menganut “seni untuk rakyat” dan penanda tangan  Manifes Kebudayaan yang menganut "humanisme universal" pada tahun 1950-an.

Polemik pun berlanjut di generasi berikutnya. Ada juga perdebatan tentang sastra kontekstual. Setelah polemik antara Taufik Ismail dan Pramoedya Ananta Toer (kelompok), ada "perseteruan" hebat antara Saut Situmorang dan Taufiq Ismail. Taufiq Ismail menyebut gerakan Saut sebagai gerakan sahwat merdeka atau sastra mazhab selangkangan. Perkembangan berikutnya, banyak komunitas sastra berdiri yang mengklaim diri sebagai pinggiran, sastra pedalaman, sastra pesantren, sastra sufi, sastra profetik, dan sebagainya.

***

Dari segi itu, sudah. Kenyataannya Kebudayaan tetap menjadi sosok asing di negeri ini. Kebanyakan kita tak juga paham apa itu Kebudayaan. Wajar saja kita tersesat-sesat...

Reformasi datang membawa kebebasan dalam segala bidang, terutama dalam hal mengemukakan pendapat dan berserikat/berkumpul. Maka, lahirlah era multipartai yang disertai bergemuruhnya suara-suara (baca: perdebatan) di antara para politikus. Sayangnya, perdebatan yang muncul bukanlah perdebatan yang sehat -- apatah lagi membicarakan strategi kebudayaan -- melainkan perselisihan paham karena "kepentingan" mereka terganggu.

Harus diakui rangkaian pemikiran ideal telah terumus sejak Musyawarah Kebudayaan di Sukabumi (1945) hingga Kongres Kebudayaan 2008 di Bogor. Namun, cita-cita untuk menempatkan kebudayaan sebagai pondasi bagi pembangunan negara-bangsa Indonesia masih sangat jauh.

Mengutip seorang pejabat kebudayaan di era Departemen Pariwisata dan Kebudayaan -- bagusnya dia mengkritik kelakuan sendiri -- disebutkan "Rumusan dan rekomendasi yang dihasilkan Kongres Kebudayaan belum dapat berfungsi efektif. Belum ada kebijakan-kebijakan nyata yang dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari rekomendasi hasil Kongres Kebudayaan, dan terkesan hanya berhenti sampai dengan keputusan saja."

***

Begitulah, boleh dibilang negara ini -- termasuk petinggi, birokrat, politisi, bahkan jangan-jangan seniman dan budayawan sekalipun -- seakan tidak butuh Kebudayaan. Orang berlomba-lomba masuk dan mendirikan partai politik (tanpa menapikan ada sebagian kecil yang ogah berpolitik), tetapi orang-orang ini minus ideologi kalaulah diasumsikan ideologi itu sebagai anak kandung dari Kebudayaan. Akibatnya, yang timbul adalah sikap-sikap kelewat pragmatis, mementingkan diri sendiri dan kelompok, dan jauh dari humanisme atau rasa kemanusiaan.

Sebagian budayawan memang masih bersemangat berbicara dan memperjuangkan Kebudayaan, tetapi yang terlihat pada masyarakat kebanyakan adalah sikap masa bodoh dengan kebudayaan. Kebudayaan semakin kesepian di tengah orang-orang yang mabuk kuasa -- tak cuma yang menang tetapi juga yang kalah dalam pemilu, pemilukada, pemilihan ketua partai, pemilihan-pemilihan ketua lainnya.

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta dan pemilihan bupati tiga kabupaten di Lampung baru-baru ini nyaris untuk mengatakan tidak sama kali membawa isu Kebudayaan. Semua kontestan nyaris sama mengampanyekan satu hal: tentang ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Seolah-olah, rakyat (pemilih) telah menjelma menjadi “makhluk-makhluk kelaparan”. Jadi, harap maklum jika pemimpin terpilih memang susah diharapkan memiliki visi Kebudayaan. Yah, semoga saja pandangan ini salah.

***

Pada sisi lain, hedonisme, menggampangkan segala hal, dan berbagai aktivitas penuh glamour yang mendewakan uang hadir bersamaan dengan gejala globalisasi dan era keterbukaan informasi. Wacana Kebudayaan jelas bukan hal yang menarik bagi banyak kalangan -- kecuali orang-orang tertentu seperti katakanlah seniman dan budayawan, itu pun sebelum sang seniman/budayawan kecapean sendiri.

Yah, diskusi kebudayaan semakin jarang diselenggarakan. Kalau pun ada, jalannya diskusi semakin kehilangan gereget. Pesertanya itu itu saja dan semakin hari semakin sunyi. Yang paling menyebalkan adalah diskusi budaya pun sudah disertai dengan "embel-embel" tertentu di sebalik acara, siapa pembicara, dan siapa penyelenggara.

Bagaimana dengan diskusi Kebudayaan di media massa? Sama saja! Lesu. Semua seiring dengan pemikir/penulis/jurnalis Kebudayaan yang semakin langka.

***

Solusinya? Entahlah. Tapi, saya pikir kita tidak boleh putus semangat untuk terus-menerus berjuang mengampanyekan Kebudayaan kepada siapa pun dan dengan media apa pun. Soalnya, bagaimana kita bisa hidup tanpa Kebudayaan!

* Paper disajikan untuk Temu Redaktur Kebudayaan se-Indonesia di Jakarta, 9-11 Oktober 2012.

No comments:

Post a Comment