SAJAK adalah sebuah medan tafsir, tempat segala kekayaan pengetahuan terangkum. Bukan karena imaji atau diksi yang terekam dalam setiap kata-katanya, melainkan ia seperti membuka rangkaian mitos kita tentang hal-hal atau cerahnya kata yang kita miliki. Sebuah sajak merupakan rekam jejak dari kata itu sendiri. Ketika menuliskannya, si penyair memang bekerja pada sebuah peristiwa—yang bagi saya "ajaib". Ia, dengan kekayaan kosakata dan gayanya, meminjam ungkapan Joko Pinurbo menghadiahkan "ruang"-nya sendiri. Tentunya dengan kekayaan bacaan yang dimiliki si penyair itu sendiri.
Maka kita pun berhadapan dengan sajak-sajak yang "menjerit" seperti ingin mengabarkan pada dunia luas. Ia, seperti Hasif Amini bilang, mengembara dengan kepakan sayapnya sendiri, meninggalkan bilik si penyair. Demikianlah, setiap membaca sajak, saya merasa dihadapkan dengan sejumlah frasa yang justru membuka lingkup pengetahuan baru. Ia menyeberang dari segala jejak yang pernah ditinggalkan, mengambil semua bayangan yang pernah ada pada masa lalu.
Sebuah sajak, memerikan setiap perinci peristiwa. Ia sanggup untuk mengkhidmatinya, menyuling dengan bahasa yang jernih. Maka kata-kata dalam sajak adalah sebuah alat untuk berbicara juga, yang tentunya menghidupkan setiap penggalan kisah yang hidup bersamanya. Rangkuman semua kisah keseharian, pengamatan yang tak jenuh melahirkan metafor yang kukuh.
Tidak heran pula jika seorang Agit menulis sajaknya begini: di sinilah sajakku bermula; dari luruhan cahaya, air yang menguap dan deraian daun-daun yang sesekali jatuh di rambutku. cahaya, air dan daun-daun itu, menjelma kata. kata yang membuat aku dan engkau berbahasa. bahasa yang membuatmu tahu, kalau aku merindukanmu, mencintaimu. (Sajak Menulis Sajak, hlm. 41).
Dan memang sajak-sajak liris akan terus menggema dalam khazanah kita. Teknik bercerita yang membuat seorang Radhar Panca Dahana merasa sulit untuk menentukan batas antara prosa dan puisi. Di daftar ini kita memunyai barisan penyair semacam Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor, atau Joko Pinurbo.
Tapi bagi saya, sajak-sajak Agit adalah lirisme romantis yang menjerit. Simak saja dalam sajak Di Meja Makan:
puan,
di matamu yang cerlang
seperti ujung pisau
tamatkanlah
seluruh hasrat
di dadaku
dengan menusukkannya
ke lubuk jantungku
agar kau tahu,
di kedalamannya
ada dirimu. (hlm. 31)
Kumpulan puisi setebal 48 halaman yang diterbitkan Dewan Kesenian Lampung ini, menegaskan jika memang provinsi lada ini kerap melahirkan penyair-penyair yang "kuat". Gaung citraan sajak yang terpapar menegaskan jika Tanjungkarang dan Telukbetung tak pernah habis dalam sajak. Betapa kota itu meninggalkan kenangan tersendiri di hati setiap orang. Jalanan, gedung-gedung, keramaian, pasar, kerlip lelampuan, sudut yang lengang, orang-orang, atau senyum perempuan—semacam meninggalkan sketsa tersendiri. Yang mampu melarutkan sejumlah diksi akannya.
Dan Agit pun kembali menulis: Tanjungkarang, aku telah tertidur di pinggir sumurmu selma delapan tahun. delapan gempa. tanpa gemuruh. aku tidur di antara denyut yang telah meruntuhkan gedung-gedung. puingnya semakin meremah. angin melintas di ujung hidung. dan sumur itu, kini bernyanyi. suara pertama. aku bangkit. berjalan. (hlm. 17)
Membaca sajak-sajak Agit, saya seperti dihadirkan dalam beberapa sketsa yang tak pernah luruh. Ia melulu menjerit dalam diksinya, meskipun diselingi dengan romantisme yang juga tak pernah lengkang dalam sejumlah sajaknya. Ia menelusup masuk, membuka ruang-ruang baru yang tak pernah berhenti dalam frasanya.
Memang di dalam sajak-sajaknya ditemui pula beberapa helai kesedihan, raung kecemasan, atau serpih kesunyian yang—tampaknya tak pernah mati dalam sebagian besar sajak penyair kita. Tapi dalam sajak-sajak Agit, ia telah "menemukan" bahasanya sendiri. Pun ia kembali mengingatkan pada makna kehidupan itu sendiri. Di sajak-sajaknya, ramuan kata seperti berdenyar, hingga tergoda untuk terus mengulang membacanya; ihwal hal-hal lain yang terkandung sampai ke frasa terakhir.
Ia pun terus menjerit dalam sejumlah diksi sajaknya, sebuah kegelisahan yang terus berputar. Kegelisahan untuk terus mencari, itu pulalah yang dipertanyakan olehnya dalam sajak Tersesat:
mengapa tubuhku yang kau beri kegelisahan.
kegelisahan yang berpusar dengan ritem yang tak sederhana.
dirimu, adalah sesuatu yang muskil untuk kudekap
namun tubuhku, adalah tempat yang mudah untuk melesap. (hlm. 40)
Rangkaian peristiwa semacam memberi pemantik bagi Agit untuk menghidupkan kata-kata dalam sajaknya. Ia senantiasa mendedahkan kecemasan demi kecemasan, tidak sekadar bergerak di alam khayalan belaka. Ia merebut bangkai peristiwa yang melintas, lalu lebur bersama sajak-sajaknya.
Agaknya, tugas penyair sebagai penyampai bahasa mesti berkutat di lingkaran tersebut. Dengan demikian, sajak-sajaknya akan senantiasa hidup, tidak akan retak, dan mengabadi. Untuk hal tersebut, Agit saya kira telah memulainya.
Alex R. Nainggolan, penyair
Sumber: Lampung Post, 1 Mei 2011
No comments:
Post a Comment