May 29, 2011

Di Mana Letak Kerajaan Sekala Brak?

Oleh Febrie Hastiyanto

HAMPIR dipercaya oleh sebagian (besar) masyarakat Lampung bahwa asal-usul orang Lampung bermula dari Sekala Brak, yang kemudian berkembang menjadi kerajaan. Kepercayaan ini banyak bersumber dari cerita tutur (mitologi). Mitologi dalam metodologi penelitian etnografi merupakan sumber literatur yang tergolong lemah, karena itu ia perlu didukung oleh bukti-bukti arkeologis berupa prasasti, surat-surat kerajaan, hingga analisis konteks internal dan eksternal. Lemahnya derajat validitas metodologi Sekala Brak bukan berarti hendak menegaskan bahwa Sekala Brak tidak ada. Sekala Brak mungkin ada, namun bukti pendukungnya belum lengkap. Pertanyaannya kemudian, bila Sekala Brak benar ada, apa sumbernya dan di mana kira-kira letaknya. Penelitian etnografi pada dasarnya adalah metode rekonstruksi. Sehingga, validitas dalam riset etnografi banyak didasarkan pada kekuatan analisis. Artinya, semakin analisis tersebut tidak dapat dibantah melalui alternatif metode lain, maka rekonstruksi etnografis tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan, sebelum muncul informasi dan analisis baru.

Bukti Keberadaan

Selain bersumber pada mitologi, sebenarnya sejumlah kalangan mulai membuka tabir missing link dalam metodologi etnografi Sekala Brak. Prof. Dr. Louis-Charles Damais, dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara, (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, hh. 26-45) menyebutkan terdapat prasasti yang ditemukan di Liwa, masih termasuk kawasan Gunung Pesagi Lampung Barat. Prasasti ini disebut Hujung Langit (ada juga yang menyebut Harakuning, Bunuk Tenuar maupun Prasasti Bawang) bertarikh 9 Margasira 919 Saka (12 November 997). Dalam prasasti ini disebutkan nama seorang raja pada baris ke-7, yang menurut pembacaan Prof. Damais namanya adalah Sri Haridewa. Oleh Drs. Irfan Anshory (Lampost, 9 dan 16 Desember 2007) prasasti ini dimungkinkan berhubungan dengan Sekala Brak, dilihat dari letak ditemukannya prasasti.

Dalam tradisi sejarah Dinasti Liang (502-556), yang diterjemahkan Prof. W.P. Groeneveldt disebutkan bahwa di Asia Tenggara terdapat Kerajaan Kan-to-li yang “terletak di sebuah pulau besar di laut selatan. Adat istiadatnya kira-kira sama dengan Kamboja dan Siam. Negeri ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, dan pinang”. Kawasan ‘Asia Tenggara’ tentu terlalu luas untuk mengidentifikasi di mana letak Kan-to-li. Prof. Oliver W. Wolters dari Universitas Cornell mengerucutkan kemungkinan posisi Kan-to-li dengan mengatakan bahwa ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan dengan Cina pada abad kelima dan keenam, yaitu Kan-to-li di Sumatera dan Ho-lo-tan di Jawa. Gabriel Ferrand menduga bahwa Kan-to-li terletak di Singkil (Barus), pantai barat Aceh, berdasarkan keterangan musafir Arab, Ibnu Majid, bahwa tahun 1462 Pelabuhan Singkil dahulu disebut “Kandari”. Prof. Slametmulyana berpendapat bahwa Kan-to-li transliterasi dari nama asli “Kuntali” (Kuntala), kemudian nama Kuntal mengalami metatesis menjadi Tungkal, nama daerah di Jambi. Oleh Irfan Anshory, Kan-to-li dapat diduga sebagai “Kenali”, satu wilayah kecamatan yang dekat dengan wilayah yang diyakini sebagai sisa peninggalan Sekala Brak. Irfan Anshory mendasarkan analisisnya pada kemungkinan transliterasi “Kan-to-li” menjadi “Kenali”.

Apakah Prasasti Hujung Langit berhubungan dengan Sekala Brak, tentu membutuhkan analisis arkeologis lebih lanjut, mengingat prasasti itu tentu memuat serangkaian tulisan yang dapat diterjemahkan untuk dianalisis maknanya. Namun sayang, Irfan Anshory tidak mengutip isi prasasti tersebut secara lengkap karena prasasti tersebut memang belum dapat diterjemahkan dengan sempurna. Bagian yang dapat terbaca diantaranya menyebut kata ‘tatkala’, ‘sa-tanah’, ‘sa-hutan’, ‘Sri haji’, dan penanggalan. Prasasti tesebut tidak menyebut nama kerajaan. Berdasarkan bentuk huruf dan penanggalan yang menyebut istilah ‘wuku’ mengindikasikan adanya pengaruh Jawa. Gelar Sri haji yang tertera dalam prasasti merujuk pada istilah kedudukan di bawah Maharaja. Kuat dugaan prasasti ini dibuat oleh raja bawahan.

Menurut Nanang Saptono, dari Balai Arkeologi Bandung mengutip Soekmono (1985:49) menyebutkan bahwa: “Prasasti Hujung Langit berdasarkan unsur penanggalan dan paleografisnya memberi arah dugaan pada adanya pengaruh kekuasaan Mpu Sindok dan Erlangga”. Bila analisis ini benar, Prasasti Hujung Langit mengindikasikan keberadaannya berhubungan dengan Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur. Mpu Sindok menurut catatan memerintah tahun 929-947 M, dan Erlangga (Airlangga) memerintah antara 1028-1035 M. Sepeninggal Airlangga Kahuripan kemudian dibagi menjadi dua, Jenggala dan Kediri (Daha/Panjalu), sebelum kekuasaan beralih ke Singasari (Tumapel) dan kemudian Majapahit. Dilihat dari akurasi masa pemerintahan Mpu Sindok hingga Erlangga antara 929-1035 M dan Prasasti Hujung Langit tahun 997, dugaan bahwa Prasasti Hujung Langit berhubungan dengan Kahuripan perlu diteliti lebih lanjut.

Menghubungkan Sekala Brak hanya karena lokasi prasasti berada dalam lokasi yang dimungkinkan sama tampaknya belum merupakan analisis yang kuat. Keberadaan Prasasti Hujung Langit di Liwa belum serta merta mengindikasikan prasasti tersebut menegaskan bahwa kerajaan (kalau prasasti itu bercerita tentang kerajaan) itu berada di lokasi prasasti ditemukan. Jejak Kerajaan Sriwijaya misalnya dibuktikan dari antara lain sejumlah prasasti, yakni Kota Kapur (Bangka), Karang Berahi (Jambi) dan Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di Lampung (Selatan). Prasasti Palas Pasemah ditemukan 200 km jauhnya dari Sriwijaya, yang diduga berada di tepi Sungai Musi, Palembang. Karena itu, usaha memberi makna dari keberadaan Prasasti Hujung Langit harus dilakukan dengan terlebih dahulu menerjemahkan aksara dari prasasti tersebut. Sayangnya (lagi), informasi Nanang Saptono maupun Soekmono kita ketahui setelah menjadi ‘kesimpulan’, bukan transkrip terjemahan prasasti.

Begitu juga dengan ‘kesimpulan’ Kan-to-li sebagai Kenali masih perlu dilakukan penelitian lanjut, meliputi pertanyaan-pertanyaan, apakah Kenali beragama Budha, sebagaimana Kamboja dan Thailand. Serta apakah Kenali juga penghasil kapas dan pinang sebagaimana deskripsi Kan-to-li oleh Groeneveldt, karena selama ini Lampung dikenal sebagai wilayah penghasil lada dan kopi.

Letak Kerajaan

Selain merekonstruksi kemungkinan keberadaan Sekala Brak, perlu direkonstruksi pula kemungkinan di mana letaknya. Dalam satu pelatihan di Universitas Gadjah Mada pada sesi Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System) saya sempat berdiskusi dengan Drs. Suharyadi, M.Sc dosen Fakultas Geografi UGM. Suharyadi pernah membuat peta dari deskripsi penelitian Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM terhadap sekira 40-an kerajaan-kerajaan di nusantara. Informasi yang menarik sekaligus mengagumkan bagi kita adalah kenyataan bahwa hampir seluruh (kalau tak boleh disebut 100%) kerajaan kuno di nusantara berada pada posisi paling baik dan strategis (best site). Posisi strategis ini memiliki tiga makna, yakni memiliki daya dukung, aksesibilitas, dan pertahanan wilayah yang baik.

Daya dukung memiliki makna bahwa umumnya kerajaan di nusantara menggantungkan hidupnya pada ketersediaan sumber daya alam terutama yang bersifat subsistensi dasar (bahan pokok). Umumnya kerajaan-kerajaan di nusantara memiliki sumber daya pangan yang cukup, baru melakukan ekspor komoditas nonpangan. Hal ini berbeda dengan kerajaan-kerajaan di Eropa yang mampu menghidupi dirinya hanya dari perdagangan luar negeri pada komoditas nonpangan atau industri (merkantilisme). Daya dukung kerajaan nusantara bersumber pada wilayah penyangga/satelit (hinterland) yang subur. Umumnya topografi hinterland yang subur untuk tanaman pangan adalah dataran rendah hingga pesisir yang cukup air. Sangat jarang ditemukan kerajaan yang berada di gunung atau pegunungan. Kalaupun ada jejaknya, kuat diduga peninggalan itu mengindikasikan sebagai pesanggrahan (tempat peristirahatan), maupun tempat peribadatan. Borobudur, dan kompleks candi Ratu Boko di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang berlokasi di perbukitan misalnya menegaskan tesis ini. Kerajaan yang berlokasi di pegunungan juga terbilang riskan bagi pertumbuhan kota. Bila wilayah hulu telah berkembang, wilayah tersebut dapat kehilangan sumber-sumber air maupun kesuburan tanah mengingat eksplotasi dilakukan di hulu. Bila eksploitasi dilakukan di wilayah hilir, pertumbuhan kota kerajaan dapat disokong hinterland-nya di hulu.

Aksesibilitas yang baik berarti kerajaan tersebut berada pada jalur transportasi, yang saat itu berbentuk sungai maupun laut. Catatan yang ada terhadap lokasi kerajaan-kerajaan nusantara membenarkan tesis ini. Kita tahu Majapahit berpusat di Trowulan, dekat Sungai Brantas. Begitu juga Sriwijaya (Sungai Musi), Demak (Pesisir Utara Jawa), Makassar, Ternate, Tidore, Malaka (pesisir laut), Surakarta (Sungai Pepe dan Bengawan Solo), Yogyakarta (Kali Progo), Melayu (Sungai Batanghari), hingga Mesir (Sungai Nil) maupun Mesopotamia yang kini menjadi Irak (Sungai Eufrat dan Tigris).

Fungsi pertahanan sangat berhubungan dengan daya dukung lahan dan aksesibilitas. Dalam strategi pertahanan, pertahanan paling baik adalah menyerang, atau sekurang-kurangnya menahan laju serangan saat ‘menyambut’ musuh. Prinsip ini dikuatkan oleh sejumlah bukti benteng-benteng pertahanan yang dibangun di ‘muka kerajaan’ yang biasanya berada di kawasan pantai atau muara.

Dari ketiga tesis kecenderungan lokasi kerajaan-kerajaan di nusantara, kita dapat membandingkan dugaan letak Sekala Brak di Lampung Barat. Lampung Barat saat ini memiliki kontur pegunungan. Beberapa wilayah bahkan hingga saat ini masih menemui kesulitan aksesibiltas dengan daerah tetangga. Sehingga dugaan letak Sekala Brak masih memerlukan serangkaian diskusi akademik lagi. Dari catatan Berita Cina yang menyebutkan nama-nama kerajaan yang diduga berada di Lampung yakni To-lang-po-hwang (Tulangbawang) dan Yeh-po-ti (Seputih) keduanya menunjukkan lokasi di pesisir dan muara sungai besar. Sehingga, bila benar Sekala Brak ada, letaknya bias jadi tidak berada pada wilayah pegunungan dengan mempertimbangkan analisis posisi paling baik dan strategis (best site) serta membandingkan dengan posisi kerajaan sezaman (Tulangbawang dan Seputih). Namun saya juga tidak dapat memastikan letaknya di mana, karena informasi yang saya miliki masih terbatas. Setidaknya analisis ini menjadi alternatif tesis bagi usaha-usaha membuktikan secara akademik keberadaan Sekala Brak. Tabik.

Febrie Hastiyanto
, alumnus Sosiologi FISIP UNS. Menulis naskah Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Etnografi Kebuayan Way Kanan Lampung.

Sumber: Dinamikanews No. 251/Mei 2011.

1 comment:

  1. Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan Negeri Cina. Prof. Olivier W. Wolters dari Universitas Cornell, dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, hal. 160, mengatakan bahwa ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan dengan Cina pada abad 5 dan 6 yaitu Kendali (ranji pasai, sekala brak) di Andalas dan Ho-lo-tan di Jawa. Dalam catatan Dinasti Liang (502-556) disebutkan tentang letak Kerajaan Sekala Brak yang ada di Selatan Andalas dan menghadap kearah Samudra India, Adat Istiadatnya sama dengan Bangsa Kamboja dan Siam, Negeri ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, pinang, kapur barus dan damar.
    Wilayah kerajaan tidaklah hanya sebatas liwa dan sekitarnya ( tmpt brkumpulnya penjual ikan baik dari ranau maupun krui )tapi hingga menguasai wilayah krui, pesisir barat yang berhadapat dengan samudra hindia..
    Paksi buay nyerupa sukau mempunyai wilayah kekuasaan sebagai berikut : Dari wates perbatasan dengan kembahang terus kehilian khubokpadang dalom naik kegunung pesagi balak terus kepesagi lunik turun ke gunung pupus, turun di way kiwis terus kekawor nebak villa membelah way ranau terus ke way panas julang naik kegunung seminung terus ke sulung turun mit kawit kerambay turun mit way jangkar menyancang terus mit punjung mendapatkan way laay terus kelawok kuala stabas, membelok ke way balau perbatasan marga tenumbang.
    ( Dari tambor kulit kayu sukau dan
    disahkan oleh Residen Bengkulen tertanggal 12 Mei 1865 Nomor 1121 )
    .. prasasti hujung langit letaknya dekat dengan aliran sungai way robok yng sangat cukup untuk penghidupan masyarakat sekitar.. wilayah atau letak prasasti tepat berada dipusat jalur perjalanan.. baik dari perdagangan laut krui dan sriwijaya palembang, telebih berdekatan dengan danau ranau yang luas ..
    >>Dalam buku The History of Sumatra karya The Secretary to the President and the Council of Port Marlborough Bengkulu, William Marsdn, 1779, diketahui asal-usul Penduduk Asli Lampung. Didalam bukunya William Marsdn mengungkapkan "If you ask the Lampoon people of these part, where originally comme from they answere, from the hills, and point out an island place near the great lake whence, the oey, their forefather emigrated…". "Apabila tuan-tuan menanyakan kepada Masyarakat Lampung tentang dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab dari dataran tinggi dan menunjuk ke arah Gunung yang tinggi dan sebuah Danau yang luas.."
    >> Gelar sedangkan untuk gelar Pun (Pu') adalah keluarga kerajaan San-fo-ts'i yang artinya orang berkedudukan tinggi,, sama seperti
    - da-Pun-ta hyang Sri Jayanaga ( Sriwijaya ),
    - Pun-ku Haj Yuwarajya Sri Haridewa ( Sekala Bgha )
    tabik,,

    ReplyDelete