May 15, 2011

'Bunyi-Bunyian Plus' dalam Musikalisasi Puisi

Oleh F. Moses

MUSIKALISASI puisi bukan semata adalah pengertian, melainkan peristiwa dunia proses kreatif. Semacam metamorfosis dari tiap instrumen; musik dan puisi itu sendiri. Maka untuk memahami musikalisasi puisi dapat dikatakan "mudah tapi sulit"; semacam dibutuhkan usaha konkret dari "bunyi yang abstrak".

Mudah kita memberikan bunyi konkret ke dalam puisi itu sendiri, semisal pemusik. Ia akan dengan mudah memasukkan instrumen menjadi pengiring puisi itu sendiri. Atau bukan pemusik sekalipun, asalkan saja ia mampu menghadirkan bunyi bagi puisi itu sendiri. Sementara kesulitan yang acap terjadi adalah kekeliruan dalam bertafsir. Selain faktor lainnya. Seperti keterampilan dalam penguasaan instrumen, keselarasan, vokal, dan penampilan.

Dalam puisi itu sendiri, ada beberapa unsur di dalamnya; seperti rima, irama, maupun tipografi. Selain itu, dalam tradisi berpuisi atau bersajak juga terdapat aksentuasi (penekanan makna) dari bahasa puisi itu sendiri—yang disampaikan oleh si penyair, tentunya. Seperti kebutuhan akan tanda baca (pungtuasi). Untuk bunyi, wilayahnya pun tak sebatas alat musik; bahkan, bila perlu, dari "tubuh kita sendiri pun adalah kehadiran bunyi itu sendiri"—seperti bertepuk-tangan ataupun bunyi ketukan dari tangan pada kepala, misalnya.

Lantas, adakah contoh puisi dalam musikalisasi puisi itu? Atau hanya beberapa saja untuk kesungguhan puisi yang dapat dimusikalisasikan. Menurut saya tak hanya beberapa, karena sesungguhnya semua puisi berhakikat untuk dimusikalisasikan, tinggal bagaimana pemusikalisasi berstrategi dalam menafsirkan puisi itu sendiri ke dalam bentuk musikalisasi. Intinya, seyogianya, puisilah yang dimusikalisasikan dan bukan musik yang dipuisikan.

Musikalisasi memang bukanlah sesuatu yang baru. Sepengamatan saya, bunyi (instrumen musik) dan teks puisi sudah hadir sezak zaman lampau –kalau boleh dikatakan/ditambahkan—sejak zaman nabi, seperti teks wahyu yang dimazmurkan. Juga dalam dunia musik (khususnya klasik), musikalisasi puisi sudah menjadi perhatian bagi para komponis sejak dahulu. Sebut saja Franz Schubert (1797-1828), yang membuat komposisi musik vokal berdasarkan syair-syair gubahan pujangga-pujangga besar eropa di zaman itu. Atau Maurice Ravel (1875-1937), komponis yang membuat sebuah karya piano (berjudul Gaspard de la Nuit) berdasarkan puisi karya pujangga Prancis, Aloysius Bertrand (1807-1841).

***

Musik puisi pernah menghias jagat musik era 70-an, beberapa seniman mencoba untuk memusikalisasikan puisi antara lain, puisi Sanusi Pane, Chairil Anwar, Kirdjomulyo, dan Ramadhan K.H. Karya sastra tersebut digubah menjadi lagu oleh komponis dan penulis lagu, salah satunya F.X. Sutopo. Syair pada lagu bercerita tentang persoalan hidup, tentang lingkungan hidup, dan keindahan alam. Bimbo, bisa dikatakan sebagai penggebrak "avant garde" musik puisi di Indonesia. Mereka bekerja sama dengan penyair Taufiq Ismail "Dengan puisi aku bernyanyi".

Sikap awal mereka—sepengamatan saya—itulah, seperti sejarah musik puisi yang mesti diingat.

***

Sejak tahun 2006 hingga sekarang ini, setiap tahun Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL) mengadakan Bengkel Sastra. Bengkel yang di antaranya semacam pelatihan bagi siswa SMA terhadap musikalisasi puisi itu sendiri. Dan tiap tahunnya pula KBPL mengadakan pementasan bernama Festival Musikalisasi Puisi Tingkat SMA. Dari situlah, sekira KBPL membentuk mereka untuk mengenal lebih jauh proses kreatif pemusikalan terhadap sebuah puisi. Mulai dari puisi ranah Lampung dan nasional diperkenalkan kepada mereka. Dan sikap mereka; siswa dan guru, bahkan masyarakat (juga kalangan seniman, tentunya), cukup apresiatif menanggapinya. Dan tak hanya KBPL, tapi juga teman-teman komunitas; Komunitas Berkat Yakin (KoBer), Komunitas Teater Satu, komunitas di Kota Metro, Lampung Barat, Lampung Utara, Lampung Timut, Lampung Selatan, hingga beberapa komunitas kesenian di sekolah-sekolah (SMA dan universitas)—yang sebenarnya juga selalu bagian dari perhatian mereka dan kerap ditunaikannya.

***

Kembali dalam musikalisasi puisi itu sendiri secara umum, dalam masyarakat pencinta seni musik maupun penyair, sikap ”pro dan kontra” terhadap musikalisasi puisi itu sendiri juga masih dalam dalam batas wajar. Sebab sepengamatan saya, inti pokok masalah itu tak lain bersifat mempertanyakan terhadap puisi itu sendiri yang sesungguhnya memiliki keutuhan bunyinya sendiri, seperti ”Mengapa, kok, puisi dimusikalkan segala?”; sebuah artian bahwa instrumen musik dianggap mengganggu puisi itu sendiri. Bahkan ada peranggapan bahwa sikap memusikalisasi justru merusak puisi dari karya penyair itu sendiri pula. Saya beranggap mereka tidaklah salah, dan hak mereka juga untuk menanggapinya demikian, kan?

Terpenting dalam musikalisasi puisi itu sendiri, sepanjang penyesuaianya pada usaha memampukan agar lebih "menjadi" utuh. Keutuhan yang dimaksud adalah usaha semaksimal, sebagus, dan sebaik mungkin, segala bunyi-bunyian pada instrumen musik (secara musikalitas) mampu dan tepat untuk menembus ruang pemaknaan dari puisi itu sendiri. Dan ketika tak mampu menghadirkan ketepatan penafsiran pemaknaan itu, barulah disebut kurang tepat. Bahkan bisa disebut merusak atau "memerkosa".

Jadi, bukan perkara salah seperti tertangkap dan teranggap. Dan tentang kesalahan itu—kalau boleh saya tekankan—akan salah besar bila kita menambahkan atau justru mengurangi teks puisi karya penyair itu sendiri. Sebab tak lain merupakan sikap perusakan atau "memerkosa" puisi itu sendiri. Dan (barangkali) itulah yang dianggap gagal. Dan justru itulah pula yang dianggap merusak.

Semoga saja, saya selalu berharap, musikalisasi puisi di ranah Lampung, Sang Bumi Ruwai Jurai, terus menggema, lewat "bunyi-bunyian plus" pemusikalisasian—seperti kehadiran puisi dari pengrajinnya, para penyair Lampung, yang selalu tak pernah lelah apalagi berkesudahan untuk selalu "bermazmur lewat puisi"—di Lampung dan wilayah sekitar hingga "seberang lautan".

F. Moses
, sastrawan, penggiat musikalisasi puisi

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Mei 2011

No comments:

Post a Comment