Oleh Febrie Hastiyanto
DENGAN mempertimbangkan emblem mahasiswa, baku hantam antaraktivis mahasiswa Universitas Lampung (Unila), Kamis (5-5)—apa pun alasannya—dapat disebut mengecewakan. Kalau ingin dramatis dapat pula kita katakan memalukan. Namun, tak elok juga bila kita tak mau tahu sebab apa bentrok itu terjadi.
Dari berita di media dapat ditarik kesimpulan sebabnya soal status kemahasiswaan Presiden BEM Unila yang dituding sudah bukan “mahasiswa” lagi oleh Komite Penyelamat Ikatan Keluarga Besar BEM Unila karena telah menjalani ujian komprehensif. Kita tak hendak meributkan kapan seorang tak lagi berstatus mahasiswa: setelah ujian komprehensif, setelah dinyatakan lulus ujian pendadaran, atau setelah tali toga disampirkan ke kanan dalam wisuda. Namun, menarik untuk mendiskusikan soal status kemahasiswaan aktivis mahasiswa.
Kita mengenal struktur organisasi kemahasiswaan memang berlapis-lapis. Organisasi mahasiswa intrauniversitas cenderung memiliki struktur yang lebih ringkas ketimbang organisasi mahasiswa ekstrauniversitas. Untuk menjadi presiden BEM universitas maupun struktur organisasi lain, seorang aktivis mahasiswa harus melalui beberapa level struktur dalam organisasi. Bila ia harus melalui semua struktur itu, kita dapat menghitung berapa lama seorang mahasiswa harus menghabiskan waktu untuk menjadi seorang presiden atau ketua.
Secara generik, struktur organisasi kemahasiswaan dapat disebut bermula dari staf, kemudian presidium (ketua divisi, ketua bidang, menteri, sekretaris umum atau sekretaris jenderal), baru kemudian ketua umum (termasuk presiden). Masing-masing struktur umumnya menyesuaikan periode kepengurusan selama satu tahun. Bila seorang mahasiswa melalui proses ini sejak semester pertama, untuk menjadi presiden BEM atau ketua umum unit kegiatan mahasiswa (UKM) maupun himpunan mahasiswa jurusan (HMJ) akan memerlukan waktu hingga 8 semester, yang artinya masa-masa akhir studi mahasiswa yang normal.
Struktur organisasi mahasiswa ekstrauniversitas lebih berjenjang lagi. Secara generik strukturnya dimulai dari tingkat fakultas (dan universitas), kemudian kota, wilayah (provinsi atau gabungan provinsi), baru level pimpinan pusat. Masing-masing struktur setidaknya memiliki 3 hingga 4 level kepemimpinan. Periode kepengurusan umumnya satu tahun, bahkan pengurus tingkat wilayah dan pusat sering periodenya dua tahun. Secara normatif dengan mengandaikan seorang mahasiswa melalui semua proses dalam struktur organisasinya, untuk menjadi ketua umum pimpinan pusat organisasi mahasiswa ekstrauniversitas ia memerlukan waktu 12 tahun. Bila dikurangi masa studi normatif 4 tahun untuk studi sarjana dan 2 tahun untuk studi pascasarjana, ia menjadi aktivis mahasiswa tanpa status kemahasiswaan selama 6 tahun.
Otokritik Gie
Tak kurang Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa 1966, yang tak puas dengan kondisi ini. Aktivis-aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) kala itu disebutnya sebagai politisi yang berbaju mahasiswa. Banyak dari aktivis puncak KAMI sudah jarang menyambangi kampus, berusia mendekati atau lebih dari 30 tahun, tak sedikit yang sudah berkeluarga dan bekerja. Berharap pada aktivis-aktivis model begini untuk memperjuangkan dan menjaga sprit idealisme mahasiswa memang berisiko meskipun elan dan semangat kemudaan sesungguhnya tak berbanding lurus dengan usia.
Sejak dulu hingga kini status kemahasiswaan bagi aktivis mahasiswa terus mengundang polemik, terlebih struktur kepengurusan (dalam hal ini organisasi mahasiswa ekstrauniversitas) di level wilayah atau pusat secara de facto tidak memiliki “anggota” karena keanggotaan praktis dikelola struktur di level fakultas, universitas, dan kota. Tak salah bila struktur di level wilayah dan pusat kerap dianggap himpunan mahasiswa rapat-rapat, yang kerjanya dihabiskan dari satu rapat ke rapat yang lain.
Polemik ini harus dimaknai sebagai otokritik bagi gerakan mahasiswa di level apapun. Pada periode Gerakan Mahasiswa 1960-an dan 1990-an, dikenal dengan ramainya organisasi mahasiswa tingkat lokal. Pada 1960-an organisasi mahasiswa tingkat lokal di Jakarta, Bogor, Bandung maupun Yogyakarta bergabung dalam aliansi cair berujud Somal (Solidaritas Mahasiswa Lokal). Pada 1990-an, organisasi mahasiswa lokal lebih banyak didirikan hampir di setiap kota yang memiliki kampus dan populasi mahasiswa yang besar.
Organisasi mahasiswa lokal ini juga membangun sejumlah aliansi atau komite antarkota, tapi tidak sedikit juga yang kemudian berfusi seperti yang dilakukan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) atau Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) untuk menyebut beberapa nama yang populer.
Pola organisasi-organisasi lokal yang independen secara normatif dapat menekan jenjang struktur kemahasiswaan yang berlapis dan membutuhkan jenjang perkaderan yang lama bagi aktivis mahasiswa untuk menduduki posisi-posisi puncak dalam pengurus pusat. Namun kenyataannya, perhitungan normatif tak selalu teruji dalam realitas. Hingga kini sejumlah aktivis kunci mahasiswa adalah mapala; mahasiswa paling lama, dan tak jarang menjadi mahasiswa abadi. Sepanjang mereka setia pada elan dan spirit gerakan, usaha-usaha asketik aktivis mahasiswa model ini selayaknya patut dihargai.
Soal status keanggotaan memang isu yang paling berpotensi membuat orang berkelahi, apalagi pada organisasi-organisasi “primordial”. Organisasi mahasiswa meributkan status kemahasiswaan. Organisasi pemuda meributkan usia pemuda apakah di bawah 30 tahun, di bawah 40 tahun atau di bawah 50 tahun. Organisasi petani meributkan definisi petani, apakah termasuk pengusaha (sektor) pertanian, akademisi pertanian atau peminat pertanian pada umumnya. Organisasi sepak bola meributkan kriteria calon ketua juga karena definisi “primordialnya”. Status keanggotaan setiap organisasi perlu, tapi lebih penting berdarah-darah berkontribusi melalui organisasinya bagi kemaslahatan masyarakat dan bangsa.
Febrie Hastiyanto, Pegiat Kelompok Studi IdeA. Pernah meneliti Gerakan Mahasiswa.
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 7 Mei 2011
No comments:
Post a Comment