August 16, 2010

[Lampung untuk Indonesia] Yang 'Merusak', yang Tertindas

MASIH lekat dalam benak kita bagaimana raungan dan jerit tangis para nelayan dan keluarganya di Kualakambas dan Kualasekapuk, Kecamatan Way Kambas, Lamtim, saat petugas membombardir kediaman mereka baru-baru ini. Hingga kini mereka masih telantar. Keberadaan mereka yang dianggap liar dan berpotensi merusak hutanlah yang membuat mereka diperlakukan seperti itu.

Banyak perspektif yang bisa dilihat dari fakta ini. Dari sisi kemanusiaan, perlakuan seperti itu mungkin sudah sangat melampaui batas. Seberapa buruk perbuatannya, mereka tetap harus diperlakukan sebagai manusia. Sementara dari sisi kehutanan, tak ada kompromi, hutan harus diselamatkan sebab dampaknya bukan saja pada satu atau dua gelintir manusia, melainkan jutaan manusia, banyak generasi, dan kehidupan secara keseluruhan, seperti yang kita rasakan.

Lantas bagaimana kita menghadapinya? Perambah liar memang sangat dilematis. Selama bertahun-tahun ini mereka menjadi persoalan krusial bagi kawasan hutan di Provinsi Lampung karena tidak satu kawasan hutan pun (termasuk kawasan hutan konservasi) yang terlepas dari perambahan.

Mereka seperti penyakit akut yang sulit disembuhkan. Manusia dan hutan adalah dua sisi mata uang yang saling berkaitan dan saling memiliki ketergantungan. Dua-duanya harus diselamatkan. Maka, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. memilih win-win solution. "Harus ada kebijakan agar hutan tetap selamat sementara mereka tidak ditelantarkan," kata Gubernur. Lantas, bagaimana bentuknya?

Menurut Gubernur, pola-pola penanganan selama bertahun-tahun ini harus diubah karena terbukti tidak ada hasilnya. "Saya berpendapat tahap pertama dilakukan inventarisasi terhadap mereka," ujar Gubernur, didampingi Kadis Infokom Akmal Jahidi dan Karo Mental-Spiritual Nurdin Siprizal, dalam wawancara khusus dengan Lampung Post di kediamannya, Minggu (8-8) lalu.

Inventarisasi ini penting untuk meminimalisasi masuknya orang-orang di luar mereka yang justru kelak dikhawatirkan mengacaukan solusi ini. Setelah diinventarisasi, dilakukan tindakan pemberdayaan terhadap mereka. Warga di sekitar hutan ini diberi tanggung jawab menjaga, mengelola hutan, dan memetik hasil hutan tersebut. Tentu ini dilakukan dengan persyaratan tertentu yang berorientasi menyelamatkan hutan dan manusia.

Pemprov sejak lama telah melakukan penanganan perambahan, antara lain melalui transmigrasi lokal dan transmigrasi ke luar provinsi, operasi penurunan perambah dan pemusnahan tanaman kopi secara terbatas, dan penegakan hukum secara terbatas.

"Upaya lainnya adalah dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pengamanan hutan dengan pembentukan dan pelatihan kader konservasi, pengamanan hutan swakarsa, dan mendorong peran para pihak yang diwadahi dalam Forum Komunikasi Penyelamat Hutan Lampung (FKPHL)," ujar Kadis Kehutanan Lampung Hanan Razak.

Selain pemberdayaan masyarakat dalam pengamanan hutan, juga diupayakan pemberdayaan masyarakat dalam percepatan rehabilitasi hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) melalui hutan kemasyarakatan (HKm), pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), dan social forestry.

Hingga 2010 ini telah diterbitkan sebanyak 25 izin usaha pemanfaatan HKm (IUPHKm) untuk 44 gabungan kelompok tani hutan (gapoktan) yang tersebar di Kabupaten Lampung Barat, Lampung Tengah, Tanggamus, dan Lampung Utara.

Dalam rentang waktu 2009�2010 juga masih diproses pengajuan IUPHKm dari 17 gapoktan yang tersebar di enam kabupaten di Provinsi Lampung. Namun, dalam rangka pemberian akses pemberdayaan kepada masyarakat dalam pembangunan kehutanan, permukiman dalam kawasan hutan tidak boleh dibiarkan.

Para pemangku kepentingan diharapkan mendorong dan mendukung upaya pengurangan permukiman dalam kawasan hutan. Sebab, kita maklumi bersama bila hal tersebut diberikan toleransi, cepat atau lambat kawasan hutan akan berubah fungsi menjadi permukiman yang berkembang dan pada akhirnya akan terjadi konflik kawasan hutan di masa yang akan datang.

Sejalan dengan harapan yang ingin dicapai, tambah Wahyudi, penyelenggaraan Hkm bertujuan melestarikan hutan masyarakat. Manfaat yang dirasakan�baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial�antara lain, pertama, pendapatan masyarakat kelompok tani Hkm meningkat. Ini karena masyarakat yang menjalankan program HKm memperoleh hasil berupa hasil hutan bukan kayu (getah dan buah) yang dikelola dengan sistem kebun campur di areal HKm.

"Kedua, kebakaran kawasan hutan bisa dikurangi. Bahkan, hampir tidak ada lagi kebakaran hutan di kawasan hutan di sekitar areal kawasan Hkm," kata dia.

Ketiga, perburuan liar dan perambahan liar di kawasan hutan di sekitar areal Hkm sudah jauh berkurang. Keempat, terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan para anggota kelompok tani pemegang izin Hkm. Hal ini terjadi karena mereka rajin untuk belajar bersama dan saling bertukar pengalaman.

Manfaat lain, tertatanya penanganan pascapanen, terutama dalam pemasaran hasil hutan bukan kayu (HHBK). Bahkan, hampir di seluruh areal HKm yang dikelola dengan baik, masyarakat mampu mengembangkan energi listrik alternative microhidro secara swadaya. Dengan demikian, masyarakat akan menjaga kondisi hutan sebagai sumber air untuk mikrohidro.

Pengalaman implementasi pmbangunan hutan bersama masyarakat (PHBM) dengan pendekatan yang komprehensif di Provinsi Lampung dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, kata dia, telah memberikan hasil yang positif. Dengan pendekatan sosial kemasyarakatan yang diterapkan, sedikit demi sedikit telah memperbaiki kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Di sisi lain, dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (dalam suatu penelitian pendapatan masyarakat mencapai Rp25 juta rupiah/panen).

Selain itu, masyarakat semakin peduli terhadap pemanfaatan jasa hutan, antara lain melalui pemanfaatan air untuk keperluan air bersih dan sebagai sumber energi pembangkit listrik (mikrohidro). Program tersebut telah membentuk masyarakat yang memiliki kesadaran dan kepedulian yang tinggi dalam upaya perbaikan kawasan hutan.

Menurut Ketua Walhi, perambah liar memang akan membuat laju deforestasi hutan sehingga mengakibatkan kerusakan. Dia setuju jika dilakukan perambah liar, khususnya mereka yang tinggal di sekitar kawasan hutan ini diberdayakan, seperti program hutan kemasyarakatan yang telah digulirkan sebelumnya.

Selain itu, perlu dibangun kemitraan antara masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan hutan Lampung. "Untuk menyelamatakan hutan, harus melibatkan masyarakat sekitar kawasan. Karena, jika mengandalkan pemerintah saja, tentu memiliki keterbatasan dan hasilnya tidak akan maksimal," ujarnya.

Di mata Ketua DPD PERSAKI Lampung Agus Setiawan, hutan kemasyarakatan (HKm) merupakan salah satu upaya penyelamatan dan pelestarian fungsi kawasan hutan dan pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat yang ada di Lampung. HKm, ujarnya, merupakan ikon kehutanan Lampung karena Lampung merupakan lokasi awal pengembangan HKm di Indonesia.

Saat ini pemerintah melalui Kementerian Kehutanan memberikan akses masyarakat dalam mengelola hutan. Pencadangan kawasan hutan kurang lebih 160 ribu hektare dipersiapkan untuk dikelola oleh masyarakat melalui skema HKm, hutan tanaman rakyat (HTR), dan hutan rakyat (HR)," Kata Agus Setiawan beberapa waktu lalu. IYAR JARKASIH/HESMA ERYANI

Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Agustus 2010

No comments:

Post a Comment