August 2, 2010

Rakyat Miskin, Wajah Pemimpin

Oleh Y. Wibowo

APA yang akan kita pahami dari sekumpulan angka dan catatan? Apa akan ada rekomendasi dan ide baru? Atau tak ada apa-apa sama sekali. Acuh. Namun, bagaimana bila sekumpulan angka-angka dan catatan itu adalah data kemiskinan? Reaksi beragam pun mengemuka.

Dalam berita yang dilansir Kompas, 12 Juli 2010), angka kemiskinan di Lampung turun sebesar 5,03% dibandingkan tahun lalu. Namun, angka kemiskinan ini masih terbilang tinggi, bahkan di atas rata-rata nasional. Pemberitaan tersebut berdasar pernyataan Moh. Razif, Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, mengatakan "Angka kemiskinan memang turun, tapi tidak signifikan. Secara kuantitas (persentase) masih tinggi."

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Lampung Asrian Hendi Caya dalam pemberitaan Lampung Post, mengatakan data kemiskinan Lampung tersebut sangat bergantung pada perubahan harga barang pokok dan tingkat inflasi. Data dari BPS itu berdasar pada pemenuhan kebutuhan pokok makan yang setara dengan 2.100 kilokalori atau jika dinominalkan senilai Rp188.812/bulan. Jadi, jika harga barang pokok naik, otomatis garis kemiskinan akan naik. Dengan begitu, jumlah penduduk miskin akan bertambah.

Namun, apa pun indikator dan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan, hal ini tetap mengkhawatirkan karena sampai satu dekade terakhir 2000-an, Lampung "setia" menyandang "prestasi" wilayah miskin. Lihat saja pada 2007 Lampung menjadi provinsi termiskin kedua di Indonesia bagian barat setelah Nangroe Aceh Darussalam. Ada ironi, jika menyadari Lampung yang terletak di pintu gerbang Pulau Sumatera dan dekat dengan pusat kekuasaan seharusnya menjadi provinsi yang berkembang dan maju di segala bidang, termasuk kesejahteraan masyarakatnya.

Lantas, apa akar masalah kemiskinan ini? Ke mana pemimpin provinsi ini mengarahkan kemudi dan laju perahu? Seberapa besar pula dampak dari program-program penanggulangan kemiskinan pemerintah terhadap masyarakat sebagai targetnya? Akh,.. rupanya menelisik muasal kemiskinan ini tetap perlu dilihat faktor determinan yang memengaruhi distribusi pendapatan yang berkait dengan proses produksi. Milton Friedman mengurai bahwa setiap orang seharusnya menerima sesuai dengan apa yang diproduksinya berikut alat-alat produksi yang dimilikinya.

Ketimpangan terjadi karena menurut Milton ada dua sumber ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan. Pertama, terjadinya pendistribusian kepemilikan modal secara tidak adil. Kedua, tidak setaranya keuntungan yang diperoleh dari modal dan buruh. Hal ini berbeda sebab pemilik alat-alat produksilah yang memutuskan pembayaran untuk setiap faktor produksi. Penentuan besarnya upah dalam rangka memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dan untuk mencegah penyusutan keuntungan serta kenaikan upah buruh. Ketidakadilan pendapatan di dalam sistem tersebut pada akhirnya menciptakan rakyat terpinggirkan.

Faktor dominan soal kebijakan pemerintah daerah yang keliru dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat miskin, pengelolaan pemerintahan yang tidak transparan dan tidak melibatkan partisipatif masyarakat, tingkat korupsi yang tinggi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin, dan sempitnya lapangan kerja juga merupakan akar dari penyebab terjadinya kemiskinan di Lampung. Akibat susulannya banyak penderitaan terjadinya seperti rakyat mengalami malnutrisi (gizi buruk), rendahnya pendidikan rakyat, terjadinya wabah penyakit di kalangan rakyat.

Kepemimpinan di Lampung sebenarnya juga telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan anggaran pendidikan. Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, di antaranya dengan program gakin dan didukung program-program nasional untuk daerah, seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT).

Jika melihat fungsi kepemimpinan adalah menggerakkan orang yang dipimpin menuju tercapainya tujuan, mestinya dengan program dan anggaran serta niat baik semua pihak dapat menjalankan program penanggulangan kemiskinan semaksimal mungkin. Karena seorang pemimpin dapat menanamkan kepercayaan pada orang yang dipimpinnya dan menyadarkan bahwa mereka mampu berbuat sesuatu dengan baik. Di samping itu, pemimpin harus memiliki pikiran, tenaga dan kepribadian yang dapat menimbulkan kegiatan dalam hubungan lintas satker di setiap dinas. Dari pembahasan di atas terlihat bahwa seorang pemimpin yang baik harus memiliki persyaratan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu sifat, sikap/perilaku, dan kemampuan.

Meski banyak program penanggulangan kemiskinan, kenyataannya angka kemiskinan rakyat Lampung tak kunjung surut. Apakah hal ini menunjukkan pemimpin dan kepemimpinannya tidak maksimal atau justru tidak mampu menanggulangi kemiskinan? Tentu hampir dapat dipastikan semua pihak menyangkal pernyataan ini. Meski di sisi lain dampak kepemimpinan dari semua dinas yang hampir semua programnya berkait dengan penanggulangan kemiskinan juga tidak menunjukkan penurunan yang signifikan terhadap jumlah rakyat miskin.

Tenang saudara karena mungkin dalam hal inilah seorang pemimpin dan kepemimpinannya harus jujur, bahwa telah terjadi kurang berhasilnya seorang pemimpin dalam kepemimpinan melaksanakan program penanggulangan kemiskinan. Bisa jadi hal ini karena beberapa faktor. Misalnya program penanggulangan rakyat miskin di wilayah satu kabupaten mungkin berbeda dengan wilayah di perkotaan. Kedua, tidak dimilikinya grand design penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan dan terintegrasi.

Ketiga, reformasi birokrasi sebab dalam mewujudkan pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel harus konsisten dalam implementasinya. Jangan berbagai aturan dan mekanisme partisipasi hanya sekadar memenuhi persyaratan administratif dan secara substantif gagal dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Karena itu, agenda reformasi birokrasi harus dilakukan bukan hanya sebatas pembenahan prosedur administratif pemerintahan, melainkan harus juga diarahkan pada bagaimana membangun kekuasaan yang efektif. Masalah ini erat kaitannya dengan persoalan seorang pemimpin dalam kepemimpinan menyelaraskan hubungan antara persoalan politik dan birokrasi guna mewujudkan kebijakan pemerintah untuk berpihak kepada kesejahteraan rakyat.

Terakhir, yakinlah saudara, langkah-langkah sistematis atau grand design yang akurat untuk penanggulangan rakyat miskin tidak akan maksimal jika pemimpin dan kepemimpinannya tidak memberikan keteladanan. Postulat Zig Ziglar dalam bukunya Something Else to Smile About (2001) bahwa ketika keteladanan sudah dapat dijalankan dengan baik, sebenarnya kita tidak perlu terlalu pusing lagi untuk memeriksa apakah aturan sudah dijalankan atau tidak karena pelaksanaan aturan yang konsisten dimulai dari proses keteladanan yang dilaksanakan pemimpin.

Tak pelak, kenyataan ke depan dalam mengentaskan kemiskinan bisa saja "menjadi lain" dengan menyadari tidak ada jalan untuk mengubah kemiskinan kecuali rakyat yang harus berubah karena sekumpulan angka-angka dan catatan tentang rakyat miskin senyatanya adalah wajah pemimpin.


Y. Wibowo
, Peminat Masalah Sosial, tinggal di Lampung Selatan

Sumber: Lampung Post, Senin, 2 Agustus 2010

No comments:

Post a Comment