August 10, 2010

Pelestarian Bahasa Lampung: 'Cawa' Harus segera Dimulai

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pelestarian bahasa Lampung jangan sekadar wacana, tetapi harus mulai dilaksanakan dari sekarang. Cawa Lampung harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian dikatakan tokoh adat etnis Minang, Wirman, kepada Lampung Post di Bandar Lampung, Senin (9-8). Wirman dihubungi terkait dengan pelestarian bahasa Lampung yang dinilai makin pudar.

"Pelestarian bahasa itu tidak mungkin dalam bentuk wacana. Seminar dan diskusi saja tidak cukup. Bahasa itu harus diterapkan, tidak butuh perencanaan macam-macam. Melestarikan bahasa, ya harus dimulai dari sekarang," kata Wirman.

Wirman mengatakan tidak harus mengeluarkan peraturan daerah (perda) khusus yang mewajibkan masyarakat untuk berbahasa Lampung. Sebab, yang perlu dibangun adalah kesadaran untuk berbahasa Lampung. Baik etnis Lampung maupun lainnya memiliki kewajiban sama untuk merawat bahasa daerah itu. Caranya, dengan menjadikannya sebagai bahasa keseharian.

"Lihat di pasar-pasar Bukit Tinggi atau di Jalan Marioboro, Yogyakarta. Di sana, baik penduduk etnis setempat maupun etnis luar, menggunakan bahasa daerah setempat," kata dia.

Namun, dia mengingatkan, dalam kegiatan kegiatan formal, bahasa Indonesia harus tetap menjadi bahasa utama. Di mana pun bahasa daerah itu berlaku dalam percakapan percakapan yang bersifat informal.

"Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Bagi Saudara asal Minang, pasti paham. Di mana bumi di pijak, di situ budaya dijunjung," kata dia.

Pendapat serupa juga disampaikan Karden Eddy Sontang Manik, tokoh masyarakat etnis Batak. Menurut dia, cara terbaik melestarikan bahasa adalah secara natural, alamiah, dan tidak dipaksakan. "Tak perlu ada perda khusus untuk memaksakan warga atau pejabat sipil berbahasa Lampung. Sebaiknya pelestarian bahasa dilakukan secara alamiah dalam pergaulan dan interaksi antara penduduk asli dan pendatang," kata dia.

K.E.S. Manik, sapaan akrabnya, juga mengaku termasuk merugi karena sudah tinggal di Lampung selama 45 tahun, tapi tak juga pandai berbahasa daerah setempat.

Hal ini menurut dia ada beberapa sebab. Khusus di daerah perkotaan, jumlah penduduk etnik Lampung persentasinya sudah jauh berkurang. jumlah penutur pun tentunya juga berkurang. "Karena tidak dominan, bahasa keseharian yang mendominasi juga tidak dominan. Kita lihat di terminal-terminal, pasar-pasar, sebagian besar masyarakat Bandar Lampung berbahasa Indonesia," kata dia. (MG14/U-3)

Sumber: Lampung Post, Selasa, 10 Agustus 2010

No comments:

Post a Comment