August 21, 2010

Jejak Islam di Lampung (10): K.H. Gholib Bangun 27 Masjid dan Pesantren

DARI usia anak-anak, K.H. Gholib memang sudah menunjukkan tanda-tanda akan menjadi seorang ulama besar penyebar Islam. Saat berusia 6 tahun dia diserahkan ibunya, Muksiti, kepada kiai di Mojosantren untuk belajar Alquran, ilmu fikih, tauhid, akhlak dan sebagainya.

Guru pertamanya adalah Kiai Ali Mojosantren yang masyhur di kampungnya. Setelah itu, dia belajar dengan beberapa alim ulama di seluruh Jawa Timur, antara lain Hadratusyekh K.H. Hasyim Asyari di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dan K.H. Khalil di Bangkalan, Madura.

Dalam waktu tak terlalu lama, K.H. Gholib telah hafal ribuan hadis Nabi saw. Kepada para gurunya, dia tidak hanya mempelajari ilmu yang berhubungan dengan ubudiyah, tetapi juga ilmu hikmah. Sewaktu-waktu ilmu hikmahnya diperlihatkan untuk menarik perhatian masyarakat saat menyebarkan Islam di 27 kota dan desa, mulai dari desa-desa di Jawa Timur hingga Johor dan Singapura, terakhir di Pringsewu.

Di tiap tempat yang disinggahi, selalu membangun masjid dan pesantren. Saat pesantren telah maju dan syiar Islam semarak, dia hibahkan ke masyarakat setempat dan pergi ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama.

Dalam biografi yang ditulis salah satu santri K.H. Gholib, H. Akbar Moesa Achmad (alm), banyak kelebihan yang dimiliki tokoh penyebar Islam di Pringsewu dan sekitarnya ini. Kelebihan itu pernah diperlihatkan kepada muridnya dan membuat geger masyarakat sekitar. Sejak itu K.H. Gholib yang sebelumnya dikenal seperti orang biasa mulai disegani dan ditakuti.

Ceritanya, pada suatu malam K.H. Gholib mendatangi murid-muridnya seraya berpesan jangan takut dengan apa yang bakal dilihat mereka. Tiba-tiba muncul seekor harimau besar yang sedang mengaum di tengah murid-muridnya. Tentu saja muridnya ketakutan dan berteriak-teriak.

Namun K.H. Gholib meminta jangan takut. Kepala harimau ia tepuk-tepuk dengan telapak tangannya dan berubah menjadi beduk. Ternyata harimau menakutkan itu hanya penjelmaan dari beduk masjid. Beduk ini masih tersimpan di masjid peninggalan tokoh ini.

Pesantren K.H. Gholib saat itu sangat sederhana. Pesantren dengan tiga lokal hanya berlantai tanah, berdinding geribik, dan mampu menampung 100 santri. Selain K.H. Gholib, guru pertama yang mengajar di pesentren ini Ustaz M. Nuh dari Cianjur, Jawa Barat.

Awalnya, santri yang belajar hanya 20 orang. Namun, dalam tempo tak teralu lama perkembangan santri sangat pesat. Atas izin K.H. Gholib, Ustaz M. Nuh mengundang saudara iparnya, Ustaz Muhyidin untuk membantu mengajar.

Pada 1934, K.H. Gholib kedatangan Asisten Demang Najamuddin bersama adiknya, Ustaz Ja'far. Kedua orang ini hanya ingin berziarah pada tokoh penyebar Islam di Pringsewu itu. Namun, atas permintaan K.H. Gholib, Ustaz Ja'far akhirnya mengajar di pesantren menggantikan Ustaz M. Nuh yang telah kembali ke Cianjur, Jawa Barat.

Baru setahun Ustaz Ja'far mengajar, pesantren kedatangan dua guru keturunan Arab, yakni Aa Iji Ismail dari Cilegon, Banten, yang juga pernah nyantri di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dan Sayid Alwi Almahdali dari Telukbetung. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 Agustus 2010

1 comment:

  1. Ak g' nyangka trnyata kyai gholib pnya adil bsar dlam memajukan islam dindonesi

    ReplyDelete