August 1, 2010

[Refleksi] Krakatau

Oleh Djadjat Sudradjat

"Orang banyak nyatalah tentu,/Bilangan lebih daripada seribu,/

Mati sekalian orangnya itu,/Ditimpa lumpur, api, dan abu."

***

SEBAIT Syair Lampung Karam menyuratkan betapa mematikan letusan Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 itu. Ini bait 128 dari 375 bait syair tentang bencana itu. Penduduk mati tenggelam, juga "Ditimpa lumpur, api, dan batu." Dunia berduka. Sejarah mencatat Krakatau sebagai letusan terhebat sepanjang massa. Para ilmuwan jadi kian mahfum, Indonesia adalah geografi sumber bencana gempa. Ia berada dalam lingkaran cincin api (ring of fire).

Gunung yang mula-mula disebut rupa-rupa kata itu: Karkataka, Karkata, Rakata, Krakatoa, Krakatoe, Krakatao, konon letusannya tak sehebat Gunung Toba (74 ribu tahun yang lalu) Gunung Tambora (195 tahun yang lalu). Tetapi, Krakatau meletus ketika ilmu pengetahuan dan sains telah berkembang; kabel bawah laut telah terpasang dan telegraf telah ditemukan. Wajar jika ramai publikasinya.

Salah satu yang ikut meramaikan publikasi Krakatau adalah Muhammad Saleh. Pengarang yang kemungkinan berasal dari Lampung itu menulis Syair Lampung Karam. Ia menyaksikan tragedi itu, karyanya selesai ditulis tiga bulan setelah lelayu massif terjadi, 14 Zulhijjah 1300 Hijriah (15 Oktober 1883). Sebuah karya, yang menurut para filolog disebut syair kewartawanan. Inilah satu-satunya syair karya pribumi tentang meletusnya Krakatau.

Krakatau yang terletak di Selat Sunda dan mulai batuk-batuk sejak tiga bulan sebelum ledakan dahsyat itu bergemuruh hingga ke berbagai belahan dunia. Bunyinya terdengar hingga radius 4.600 km dari pusat gempa dan didengar sekitar 1/8 penduduk dunia. Ia menyemburkan 18 km kubik abu vulkanik dan batu apung yang menggelapkan bumi berhari-hari.

Para geolog melukiskan letusan itu setara 30 ribu kali ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan 140 ribu warga Jepang. Awan panas Krakatau membubung setinggi 80 km, abu vulkaniknya beterbangan hingga ke separuh bumi. Sementara di laut, tsunami menciptakan gelombang bergunung-gunung. Ia berlarian hingga ke pantai Australia, Srilangka, India, Aden, dan Cape Town, Afrika Selatan.

Pena sejarah pun mencatat, sekitar 300 kampung di Pulau Jawa bagian barat dan Pulau Sumatera bagian selatan, khususnya Lampung, tenggelam. Sekitar 36 ribu ribu manusia dijemput maut. Bahkan, ada yang memperkirakan bisa dua kali lipat jumlah itu. Padahal, penduduk bumi waktu itu belum sepadat sekarang.

Letusan Krakatau menciptakan kaldera 5 km--7 km dengan kedalaman 279 meter di bawah permukaan laut. Kaldera inilah yang kemudian menjadi "janin gunung" yang pada 1928 lahir sebagai Gunung Anak Krakatau. Sang anak gunung berapi yang tumbuh sekitar 18 inci setiap bulan itu sangatlah aktif. Menurut geolog Inggris, Simon Winchester, meskipun letusan dahsyat telah terjadi, Anak Krakatau tetaplah menyimpan potensi yang sama dengan induknya. Hitung-hitungan ilmu pengetahuan, mungkin Anak Krakatau meletus pada 2015--2083. Tetapi, pengaruh gempa dan tsunami Aceh yang menewaskan 200 ribu warga, mungkin bisa jadi "isyarat lain".

***

SERIBU lebih tulisan ilmiah dan sastra yang menyangkut letusan Krakatau kini tersimpan di berbagai perpustakaan dunia. Sudah pasti yang terbanyak ditulis para pengarang Eropa dan umumnya dalam bentuk prosa. Muhammad Saleh adalah satu-satunya pribumi yang menulis tentang Krakatau dalam bentuk sastra lama.

Tetapi, yang amat berjasa "menemukan" karya sang pribumi itu Suryadi, filolog asal Sumatera Barat yang sejak 1998 mengajar di Universiteit Leiden, Belanda. Ia seorang pemburu naskah klasik yang tangguh dan peneliti yang tekun. Khusus untuk karya Muhammad Saleh, selama dua tahun ia berkutat dalam penelitian yang dokumennya tersimpan di banyak negara (Indonesia, Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, dan Malaysia).

Lazim di dunia naskah klasik sering muncul banyak varian karena keterlibatan penyalin. Sebab itu, seorang peneliti harus membandingkan beberapa naskah. Suryadi membandingkan sedikitnya empat naskah yang semuanya diterbitkan di Singapura. Edisi pertama berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman), kolofonnya tertulis 1301 Hijriah (November 1883--Oktober 1884). Edisi kedua berjudul Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut (42 halaman), terbit 2 Safar 1302 (3 Januari 1886). Edisi ketiga Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut (49 halaman), bertarih 27 Rabiulawal 1301 Hijriah (3 Januari 1886).

Edisi keempat, Inilah Syair Lampung Karam Adanya (36 halaman), bertarikh 10 Safar 1306 Hijriah (16 Oktober 1886). Naskah yang ditulis memakai aksara Jawi (Arab-Melayu) dan disalin oleh Encik Ibrahim inilah yang menjadi landasan alih aksara ke dalam huruf latin oleh Suryadi. Jerih payah ini diberi judul Syair Lampung Karam Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883, diterbitkan Komunitas Penggiat Sastra Padang, Agustus 2009.

Menurut Suryadi, setelah membandingkan dengan berbagai publikasi bencana Krakatau yang ditulis orang Eropa dan Muhammad Saleh, terasalah perbedaan itu. Para penulis Eropa lebih menekankan aspek geologis, Muhammad Saleh pada aspek manusianya. Penulis juga berkali-kali menekankan agar bencana sebagai momen untuk berserah diri kepada-Nya. "Yang hilang jangan diingatkan,/Sudah takdir yang demikian,/Bahala dunia kita sukurkan,/Di akhirat kelak Allah balaskan. (bait 70)

Inilah sumbangan yang amat berharga dari seorang Suryadi buat Indonesia, untuk Lampung khususnya. Setelah 125 tahun naskah itu "tersembunyi" di tempat-tempat "sepi", berkat Suryadi kini ia "hidup" kembali. Terlebih lagi tragedi yang memilukan itu kini telah bertransformasi dalam sebuah acara tahunan penuh keriaan: Festival Krakatau. Dan, Suryadi memang mendedikasikan Syair Lampung Karam, salah satunya, untuk memberi "ruh" pada festival itu.

Sayang, perhelatan penuh nilai historis dan kultural yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Lampung setiap bulan Juli itu justru kian hambar. Hanya sekadar ada. Tingginya nilai historis, kultural, saintifik berserak tak dihimpun, tak dikelola, tak dimaknai selayaknya kerja kreatif. Sudah pasti, ia serupa menu makanan yang tak mengundang selera.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Agustus 2010

No comments:

Post a Comment