January 3, 2009

[Apresiasi] Buku 'Penyelamat' Aktor

--- Iswadi Pratama*

PULUHAN tahun sejak berdirinya ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), hampir setiap orang yang belajar teater secara akademik maupun nonformal mengenal sebuah buku "wajib" yang jadi landasan pengetahuan keaktoran: Persiapan Menjadi Aktor karya Constantin Stanislavski.

-----

"You learn stand by standing, you learn walk by walking."

(Robert Wilson)

Tokoh-tokoh teater di Indonesia yang juga menulis buku serupa sebagai rujukan para aktor seperti Teknik Bermain Drama (W.S. Rendra), Menyentuh Teater (Nano Riantiarno) dll. juga mengacu pada buku klasik itu.

Demikian "populer" dan "pentingnya" buku tersebut sehingga insan teater di Indonesia hampir-hampir tidak mengetahui bahwa Stanislavski sebenarnya menulis buku lain yang tidak kalah hebat dan penting dibaca sutradara dan aktor. Ada Building a Character yang diterbitkan Teater Garasi dalam judul Membangun Tokoh (April, 2008). Sebagaimana buku pertamanya yang merupakan catatan Stanislavski selama berproses sebagai aktor hingga menjadi direktur di sebuah akademi teater di Rusia, semua tema penting dan kompleks mengenai hal-ihwal dan pernik keaktoran dituturkan dalam gaya bahasa ringan, mengalir, tapi bernas penuh kejutan dan perenungan. Seakan-akan ia berbicara langsung pada pembaca.

Keunggulan Stanislavski mengurai teori, metode atau pengalaman keaktoran dibanding dengan para "resi" teater dunia lain seperti Bolelavsky, Grotowsky, Artaud, Peter Brook, adalah kemampuannya membicarakan hal-hal paling teknis sekalipun dengan cara menggugah dan inspiratif. Melalui tulisannya, aspek paling subtil, pelik, dan abstrak dalam seni peran mampu diungkap sebagai realitas yang intim bagi setiap orang.

Ia tidak semata-mata membeberkan data kering dan formal sebagaimana diktat-diktat perkuliahan. Karyanya mampu menyalakan imajinasi pembaca (khususnya aktor) seakan kita menghadapi sebuah rangkaian gambar hidup yang mengundang kita menyentuh dan mengenalnya lebih jauh, lengkap dengan detailnya.

Misalnya perihal "menubuhkan tokoh". Dalam setiap proses pemeranan, sudah lumrah setiap sutradara atau aktor akan menghadapi persoalan, bagaimana memberi bentuk fisik peran/karakter yang dimainkan sehingga citraan-citraan lahir maupun batin peran bisa sampai.

Bahkan, tidak jarang ada semacam keraguan di kalangan mereka untuk menentukan apakah aspek-aspek batin peran terlebih dahulu yang harus diserap aktor kemudian diberi bentuk fisik; ataukah citraan-citraan fisikal lebih dahulu yang dikejar aktor barulah "jiwa" peran diberikan?

Mengenai masalah ini, Stanislavski menuliskan: "sangat sering khususnya di kalangan aktor berbakat, perwujudan fisik tokoh yang akan diciptakan muncul dengan sendirinya begitu nilai-nilai batin tokoh itu ditetapkan dengan mantap." Lalu, ada pertanyaan: Jika kita kurang beruntung dan tidak mengalami semacam kebetulan tiba-tiba seperti itu, apa yang harus dilakukan aktor?

Mengenai hal ini, Stanislavski menceritakan pengalamannya saat menjadi aktor di bawah bimbingan Torstov. Ia menjelaskan bagaimana Pak Torstov menjawab pertanyaan di atas: "Saya kenal perempuan cantik yang mulutnya disengat lebah. Bibirnya bengkak dan seluruh bentuk mulutnya jadi tidak keruan. Ini tidak hanya mengubah penampilannya sehingga orang tidak mengenalinya, tapi juga mengubah ucapan dia waktu berbicara. Saya kebetulan bertemu dia, omong-omong dengannya beberapa menit, barulah saya sadar dia salah seorang teman dekat saya."

Sambil menggambarkan pengalaman-pengalaman pribadi ini, tulis Stanislavski, Pak Torstov menyipitkan sebelah matanya hampir tanpa kentara, seakan baru terserang timbil. Sedangkan sebelah matanya yang lain dibukanya lebar-lebar dengan alis ditarik ke atas. Semua ini dia lakukan begitu rupa sehingga nyaris luput dari perhatian orang yang berada sangat dekat dengannya sekalipun.

Walau begitu, perubahan yang sangat kecil ini menimbulkan akibat yang aneh. Tentu saja ia tetap Pak Torstov, tapi Pak Torstov yang berbeda, yang mengesankan seperti orang yang tidak dapat dipercaya, licik, tidak sopan. Baru ketika ia berhenti bersandiwara dengan matanya, ia kembali menjadi Pak Torstov yang menyenangkan seperti yang kami kenal.

Melalui gambaran di atas, Stanislavski hendak menegaskan menjadi atau menghayati sebuah peran/karakter tidak berarti seorang aktor harus mengubah kepribadian dan batinnya menjadi sama sekali berbeda. Seorang aktor tidak perlu berhenti menjadi diri sendiri hanya untuk memainkan sebuah peran. Apa yang harus dilakukan hanyalah memberi citraan fisik dan batin si peran melalui perencanaan, latihan, dan terus membiasakannya secara sadar.

***

Kekeliruan selama ini sering terjadi di kalangan aktor. Ada prasangka, untuk memainkan sebuah peran/tokoh/karakter, seorang aktor harus menjelma menjadi tokoh yang dimainkan secara harfiah baik lahir maupun batin. Ini adalah kesalahpahaman yang sangat celaka apabila terus dibiarkan.

Aktor tiba-tiba menjadi "orang lain" di luar panggung. Atau sebaliknya si aktor merasa keberatan secara mental terhadap karakter yang harus dimainkannya dan melakukan penolakan-penolakan dari dalam dirinya seraya terus memerankan peran tersebut. Hasilnya adalah kepanikan!

Pada bab lain yang mengurai "pengekangan dan pengendalian", Stanislavski mengatakan untuk menghasilkan sebuah permainan yang menggetarkan dan memukau penonton di atas pentas, setiap aktor harus memiliki kemampuan mengekang dan mengendalikan seluruh perangkat ekspresi dan akting. Ibarat seorang yang menggambar di atas kertas, untuk mendapatkan gambar yang jelas setiap seginya harus dipastikan kertas yang menjadi bidang tempat gambar itu ditempatkan benar-benar dibersihkan dari setiap titik atau garis yang tidak perlu.

Demikian pula permainan aktor. Untuk mendapatkan citraan permainan yang jelas, bersih, dan terpahami, aktor harus membuang semua hal yang tidak dibutuhkannya di atas pentas. Bahkan, biarpun itu sekadar gerakan jari-jari atau lirikan mata atau gestikulasi (gerak tubuh) lain. Semua ini berkaitan dengan kemampuan pengendalian dan pengekangan.

"Makin aktor melaksanakan pengekangan dan pengendalian diri dalam proses penciptaan ini, makin jernih bentuk dan gambaran perannya serta makin kuat pengaruhnya terhadap penonton." Semua itu mensyaratkan seorang aktor harus memulai seninya dengan bersabar dan cermat terhadap hal-hal yang paling kecil sekalipun.

Stanislavski memberi ilustrasi: "Suatu hari, ketika pelukis terkenal Bryulov sedang mengritik salah satu karya seorang muridnya, ia mengambil kuas untuk memberikan satu sentuhan saja di atas lukisan yang belum selesai. Lalu gambar dalam lukisan itu seketika menjadi hidup. Si murid terkejut menyaksikan keajaiban ini. Tentang hal ini, Bryulov menjelaskan seni berawal dengan sentuhan-sentuhan paling kecil."

Demikian tangkas dan cermat Stanislavski menguraikan setiap segi dari seni peran yang sekadar membacanya saja pun, kita bisa merasakan seolah-olah ingin segera menjelma menjadi aktor. Pengalaman-pengalaman yang sederhana dan intim, ilustrasi yang jernih, dan abstraksi-abstraksi yang mengundang gairah sekaligus permenungan, semua ini menjadikan buku Membangun Tokoh seperti "obat-kuat" yang bisa membuat aktor tua sekalipun ingin muda lagi.

Tapi, masih berminatkah para aktor kita hari ini membaca hal-hal seperti ini? Di saat proses berteater (menjadi aktor) telah sedemikian instan dan bahkan oleh sebagian orang dilakukan dengan cara yang amat konyol; menjadi aktor ok! Mempelajari ilmunya, no!

***

Keberhasilan seorang aktor di atas pentas maupun dalam hidupnya sebagai seniman tidak pernah bisa terlepas dari tiga hal pokok: kehidupan intelektual, kehidupan rohani, dan perkembangan keterampilan/skill. Salah satu saja dari ketiga faktor itu terhenti dalam proses keaktorannya, maka sebenarnya ia telah "tamat" sebagai aktor (seniman). Yang tersisa kemudian hanyalah seseorang dengan mimpinya sebagai aktor!

Banyak aktor yang ingin segera mewujudkan obsesinya di atas pentas seperti seseorang yang melihat gunung dan langsung hendak memeluknya. Mereka lupa, pengalaman-pengalaman besar dan hebat tersusun dari sejumlah episode dan momen yang terpisah-pisah.

Itu semua harus diketahui, dipelajari, diserap, dan dipenuhkan. Jika aktor tidak melakukannya, dia akan jatuh menjadi korban stereotip dan gampang menjadi besar kepala atau sebaliknya langsung terjun bebas ke jurang frustrasi.

Buku ini, setidaknya dapat mengungkit kembali gairah dan kecintaan terhadap profesi, tanggung jawab, dan peran seorang aktor; bukan saja bagi dirinya dan pertunjukannya, melainkan bagi masyarakatnya. Dengan menjadi aktor yang terlatih, seseorang setidaknya bisa mempersembahkan sebuah karya seni yang dapat menggugah masyarakatnya terhadap banyak hal.

* Iswadi Pratama, Sutradara di Teater Satu

Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Januari 2009

No comments:

Post a Comment