Oleh Isbedy Stiawan Z.S.
MOMENTUM akbar di daerah ini, selain Pemilu 2009, ialah Visit Lampung Year 2009 (Tahun Kunjungan Wisata Lampung) yang telah diluncurkan Gubernur Syamsurya Ryacudu akhir Desember lalu. Harapan dan target VLY juga sudah digaungkan.
Kepala Dinas Budpar Lampung M. Natsir Ali menargetkan 1,2 juta wisatawan domestik (wisdom) dan 24 ribu wisatawan luar (Lampost, 24-8), 3 juta turis lokal-mancanegara, dan terakhir menargetkan (target waspada) 1,5 juta minimal 1 juta turis berkunjung ke Lampung (Lampost, 4-1).
Untuk mendukung kesuksesan VLY 2009, sejumlah hotel dan tempat hiburan serta berbagai kawasan strategis dimanfaatkan untuk promosi dengan berbagai spanduk atau banner. Hanya sayang, launching VLY sebagaimana pemberitaan di media massa lebih terkesan bernuansa basa-basi. Tampak kurang siapnya Pemprov menggelontorkan program wisata 2009.
Seorang karib yang terlibat menyukseskan VLY mengeluhkan minimnya anggaran promosi. Padahal, dunia pariwisata tidak bisa berjalan tanpa ditunjang dana promosi. Bali, sebagai daerah tujuan wisata (DTW) paling besar dan sukses menyedot devisa dari pasar pariwisata, tidak akan lepas dari persiapan dana promosi yang besar pula. Media promosi dilakukan tidak hanya cetak atau elektronik, tapi website maupun e-mail.
Kesuksesan dunia wisata Provinsi Bali karena kesediaan fasilitas yang baik, kesiapan masyarakat yang ikut mendukung, serta pemerintah yang tidak sekadar menjalani program (anggaran). Sehingga tiap wisatawan--terutama dari luar negeri--yang merasa terpuaskan akan mempromosikan kepada yang lain. Promosi dari mulut ke mulut dari wisatawan itu lebih cepat dipercaya ketimbang promosi yang diterima melalui brosur atau media cetak dan elektronik.
Persoalan dunia wisata di Lampung tidak mungkin bisa disejajarkan dengan Bali yang jauh lebih dahulu maju. Dengan wisata Jawa Barat saja sulit menandingi. Sebab itu, perlu pengorbanan (dalam hal ini dana) yang tidak kecil di samping keseriusan pengelolaan dunia pariwisata Lampung jika ingin memetik buah dari VLY 2009.
Dengan tagline Lampung menjadi rumah kedua sejatinya menunjukkan daerah ini tak berdaya berhadapan (bersanding) dengan daerah-daerah lain yang lebih maju pariwisatanya. Sebagai "rumah kedua", apa yang dapat diharapkan wisatawan? Mereka--para wisatawan--lebih baik dan lebih menjanjikan kepuasan mengunjungi Bali, Yogyakarta, Jawa Barat, Lombok, Sumatera Utara, Sumatera Barat atau Sumatera Selatan misalnya, ketimbang Lampung.
Banyak alasan bagi wisatawan tidak singgah atau memilih Lampung. Di antaranya, objek wisata yang ada di Lampung bisa didapat di daerah-daerah lain; wisata tualang yang mestinya digarap dengan serius sudah disediakan provinsi lain; kecerdikan gajah bermain bola sudah bukan lagi satu-satunya nilai jual daerah ini, pasalnya sejumlah daerah memiliki gajah--bahkan Bali konon kini mendatangkan gajah dari Sumatera! Lalu apa lagi yang hendak ditawarkan (dijual?) dari objek wisata di Lampung, dan rayuan apa yang akan dikemas pemerintah agar wisatawan mau menjadikan Lampung sebagai rumah kedua?
Berharap terlalu muluk pada dunia wisata dengan sarana dan fasilitas objek wisata yang belum terkelola secara profesional, rasanya hanya memperpanjang masa mimpi. Sementara itu, pasar wisata di daerah-daerah lain sudah lama mimpi itu dihapus dan sedang behadapan dengan realitas, bahkan tengah memanen. Hal inilah barangkali yang tidak pernah (belum) disadari. Kita hanya asyik dalam mimpi dan takut berhadapan dengan kenyataan.
***
Membangun kepercayaan wisatawan, butuh dana dan keseriusan kerja. Pasalnya, menjual objek wisata bukan hanya menaburkan brosur, memajang ratusan spanduk atau menggelar festival yang juga asal berlangsung, maupun mendatangkan wisatawan mancanegara yang ternyata semu. Apakah kita sudah hitung ulang objek-objek wisata yang menjadi andalan sudah siap menerima kunjungan wisatawan (mancanegara/domestik). Bagaimana fasilitas transportasi dari dan menuju objek wisata?
Wisatawan--terutama mancanegara--mengapa memilih Bali walaupun transportasi pesawat terbilang mahal, penyebabnya mereka mendapatkan apa yang diinginkan. Sadar wisata masyarakat Bali yang baik karena merasa dilibatkan bagi kemajuan pariwisata, salah satu pendukung sehingga para bule betah dan menjadikan Bali sebagai "rumah sendiri"--bukan rumah kedua seperti tagline pariwisata Lampung.
Objek pantai di Lampung, walaupun mungkin potensinya tidak kalah menarik dengan wisata pantai di daerah lain karena tidak dikelola profesional akibatnya tidak menjual. Wisatawan mancanegara lebih senang memilih wisata pantai di Bali, Lombok, Makassar untuk menyebut beberapa objek wisata pantai, ketimbang menyeberangi Selat Sunda yang menyita waktu 6--7 jam apabila lewat darat dan hanya 1 jam jika menggunakan pesawat terbang; tapi tiket melalui udara tidak berbeda banyak dengan tujuan daerah lain.
Sebab itu, perlu pembenahan jika Provinsi Lampung ingin mengandalkan wisata pantai sebagai objek yang akan dijual dan menjual. Sejumlah wisata pantai yang membentang Lampung masih dikelola apa adanya dan sangat konvensional. Misalnya pantai Leguna Helau, Karakatoa Nirwana Resort, Pantai Bagus, Pasir Putih, Pantai Selaki, Canti, Pantai Wartawan, hingga Duta Wisata. Lempasing, atau pantai sepantai sepanjang Krui mendekati Bengkulu; terkesan kurang dikelola. Tidak eksotis, sebagaimana Kuta, Sanur, Lombok, maupun Makassar.
Apakah VLY 2009 mau menjual wisata tualang? Kawasan mana lagi yang bisa disulap menjadi wisata yang penuh tantangan? Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) telah dijadikan hutan lindung, Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas sudah lama tidak terurus. Penghuninnya, bahkan, sudah dioper ke Batu Putu. Gajah lampung sudah tidak lagi menjual dijadikan ikon pariwisata.
Selain Festival Krakatau, Festival Begawi, Festival Way Kambas, dan sejumlah festival di kabupaten/kota yang menjadi andalan, panitia Visit Lampung Year 2009 berharap Festival Durian Januari ini menjadi "maskot" pula. Tetapi, yang menjadi pertanyaan dipusatkan di mana Festival Durian? Di Way Halim, Palapa ataukah sekitar Tugu Durian sepanjang Jalan Radin Imba Sukadanaham?
Pertanyaan lain, sejauhmana konsep sekaligus target Festival Durian 2009 menyedot turis berkunjung ke Lampung lantaran tergiur nikmatnya durian? Dan, kita harus jujur, Lampung bukan penghasil tunggal buah durian. Para pedagang, ketika ditanya, ia membeli durian acap dari Baturaja, selain duku. Sebab itu, saya menganggap aneh kalau Festival Durian dijadikan program pendukung VLY 2009.
Lalu soal budaya, karena mungkin kesalahan dalam sistem penggalian dan pelestarian yang dilakukan pemda selama ini, kita pun kesulitan mendata kesenian dan kebudayaan (di daerah) Lampung yang masih hidup ataupun tidak lagi dikenal. Saya kira tinggal seni budaya yang masih dimiliki Lampung jadi andalan dan kalau mungkin "dijual" dalam pasar wisata menyambut Visit Lampung Year 2009.
Pemprov Lampung mesti mencipta atau membangun kampung-kampung budaya demi melestarikan kesenian (dan kebudayaan) yang kemudian "dipasarkan" kepada wisatawan yang merindukan wisata eksotis, naturalis, dan kultural. Kalau tidak, jangan berharap muluk-muluk bahwa Visit Lampung Year 2009 bisa memenuhi target 1,5 juta turis (lokal dan mancanegara) berkunjung ke daerah ini. n
* Isbedy Stiawan Z.S., Pemerhati Pariwisata dan Kebudayaan
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Januari 2009
No comments:
Post a Comment