Oleh Udo Z. Karzi*
PELAJARAN Bahasa Lampung sudah lama jadi muatan lokal (mulok) di sekolah dasar dan menengah di Provinsi Lampung. Namun, sejauh ini upaya pewarisan bahasa Lampung pada generasi muda di Lampung mengalami hambatan.
Alih-alih siswa mahir berbahasa Lampung, yang terjadi malah kebingungan luar biasa dari siswa setelah diajari atau lebih tepatnya diperkenalkan bahasa Lampung. Berkali-kali saya mendengar keluhan pelajar dan orang tua tentang rumitnya belajar bahasa Lampung.
Jangankan dari keluarga yang bukan penutur bahasa Lampung, siswa-siswa yang di rumahnya sehari-hari berbicara bahasa Lampung sekalipun keluhan tentang pengajaran bahasa Lampung juga timbul. Seorang siswa bercerita bagaimana di sekolah menemui banyak kosakata bahasa Lampung yang diajarkan gurunya yang jauh sama sekali dengan kata-kata yang ia praktekkan di rumah dan di lingkungannya.
Kasus lain, saya menemukan seorang berbicara bahasa Lampung dengan dialek yang sangat tidak jelas. Campur-campur tidak keruan di antara banyak dialek dan subdialek, entah a (api), entah o (nyo). Saya sebagai penutur bahasa Lampung jelas sangat prihatin dengan kondisi ini.
Peta Bahasa Lampung
Kondisi kacau semacam ini tidak akan terjadi jika guru atau pengajar mengerti dan paham peta bahasa Lampung. Sebelumnya (baca: Peta Bahasa-Budaya Lampung, Lampung Post, 16 dan 23 Maret 2008), saya sudah menyebutkan daerah masing-masing penutur bahasa dialek-subdialek bahasa Lampung. Namun pemetaan bahasa Lampung ini masih dikacaukan dengan pembagian suku Lampung secara adat. Secara adat, masyarakat adat Lampung terdiri dari Pepadun dan Peminggir. Pembagian suku Lampung berdasarkan adat dan berdasarkan bahasa berbeda.
Ada persepsi keliru yang menganggap masyarakat adat Lampung Pepadun menggunakan bahasa Lampung dialek o (nyo). Padahal tidak. Boleh dibilang--kalau mau menyederhanakan masalah--masyarakat Lampung Pepadun yang dialek o hanya dua: Abung dan Menggala. Daerah subetnik Lampung bisa dipetakan dengan gampang, apalagi jika mendasarkan pada pembagian marga-marga di Lampung.
Masyarakat adat Lampung selebihnya di luar Abung dan Menggala, baik Pepadun maupun Peminggir (orang lebih suka menyebutnya Pesisir atau Saibatin), semuanya penutur bahasa Lampung dialek a (api). Termasuk penutur dialek api adalah Ranau dan Komering-Kayu Agung (di Provinsi Sumatera Selatan) dan Cikoneng (di Provinsi Banten).
Dengan memahami peta bahasa Lampung ini, sudah seharusnya pengajar bahasa Lampung di Lampung Barat, misalnya, tidak bisa memaksa mengajarkan bahasa dialek o (Abung atau Menggala). Kalau itu masih dilakukan, akan sia-sia belaka. Bukannya membuat siswa cakap berbahasa Lampung, justru membuat siswa bingung dan stres karena pelajaran sekolah di luar pengalaman berbahasa di lingkungannya sehari-hari.
Pengajaran Bahasa Lampung
Kritik utama terhadap pengajaran bahasa Lampung sebagai muatan lokal selama ini, pertama, kurikulum pendidikan bahasa Lampung yang masih belum memenuhi syarat mencapai tujuan belajar berbahasa Lampung dan bukan sekadar belajar tentang bahasa Lampung.
Kedua, kurikulum ini juga berkaitan dengan sistem pengajaran yang benar-benar mengajak siswa belajar berbahasa Lampung dan bukan hanya mengajarkan menulis aksara Lampung (kaganga).
Ketiga, saya melihat bagaimana buku pelajaran bahasa Lampung yang mencampur-adukkan dialek o (nyow) dan a (api) dalam satu buku membuat suasana pengajaran menjadi jauh dari nyaman. Siswa menjadi bingung, stres, dan malah menjadi phobia dengan bahasa Lampung.
Alasan memperkenalkan dua dialek sekaligus kepada pelajar menjadi sesuatu yang debatable. Pertanyaannya, siswa mau diarahkan mahir berbahasa Lampung (sebagaimana halnya pelajaran bahasa asing lain seperti bahasa Inggris, Prancis, Arab, Mandarin, dll.) atau sekadar memperkenalkan, "Ini lo bahasa Lampung yang sangat beragam dan karena itu sulit belajar berbahasa Lampung!"
Kondisi seperti harus segera diakhiri. Lebih baik buku pelajaran bahasa Lampung itu dibuat saja dua versi. Versi pertama menggunakan dialek o untuk sekolah-sekolah di daerah penutur bahasa Lampung dialek o. Sedang versi kedua menggunakan dialek a untuk sekolah-sekolah di daerah penutur bahasa Lampung dialek a.
Buku pelajaran bahasa Lampung juga harus dimodifikasi sedemikian rupa agar siswa tidak terbebani, bahkan senang belajar bahasa Lampung, sehingga diharapkan mampu berbahasa Lampung (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dengan baik.
Keempat, dari sisi penyediaan sumber daya manusia (tenaga pendidik), Universitas Lampung sebagai pusat kebudayaan Lampung dan satu-satunya universitas negeri yang harus lebih peduli dengan bahasa Lampung justru mengesampingkan peran ini. Penghapusan Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung dari ilmu-ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi kebanggaan orang Lampung ini; apa pun argumennya sebagai bentuk kemasabodohan itu.
Berkali-kali diingatkan bahasa menunjukkan bangsa. Kalau mau menghancurkan kebudayaan Lampung, ya abaikan saja bahasa Lampung. Kalau tidak, pengajaran atau "cara pewarisan" bahasa Lampung harus kita pikirkan bersama.
Bacaan Bahasa Lampung
Satu hal lagi yang membuat orang kesulitan belajar berbahasa Lampung adalah betapa sulitnya mencari teks berbahasa Lampung. Saya jelas ikut bersedih kalau khazanah sastra lisan atau sastra tradisional terancam punah sebagaimana dikeluhkan para seniman tradisional Lampung dan para akademisi. Namun saya akan lebih miris lagi jika orang-orang tidak lagi kenal bahasa Lampung.
Di tengah gempuran globalisasi dan betapa bangganya orang berbahasa asing, upaya pemertahanan bahasa Lampung, selain melestarikan sastra lisan, salah satunya yang paling niscaya adalah menyediakan sebanyak-banyak teks (tertulis) berbahasa Lampung.
Upaya terakhir ini yang agaknya terseok-seok jalannya. Hampir tidak ada yang peduli masalah ini. Upaya kami (BE Press) misalnya, untuk menerbitkan buku sastra berbahasa Lampung selalu terbentur dengan dana. Dengan setengah mengemis, kami bertanya adakah yang mau membantu? Atau, tidak adakah yang tahu betapa pentingnya menyediakan bacaan berbahasa Lampung untuk sesuatu yang bernama kebudayaan Lampung?
* Udo Z. Karzi, tukang tulis dan editor, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Januari 2009
No comments:
Post a Comment