January 26, 2009

Wacana: Seni Rupa Lampung seperti Siput

Oleh Subardjo*

PERKEMBANGAN seni rupa di Bumi Ruwa Jurai seperti siput, maju beringsut sangat lambat. Di wilayah lain, seni rupa berlari cepat bahkan di sebagian wilayah sudah terbang bak pesawat.

Kenapa ini terjadi di negeri Sang Bumi Ruwa Jurai? Jawaban yang muncul bisa beragam. Disimpulkan rata-rata menjawab karena infrastruktur yang ada belum memadai untuk menyangga kehidupan seni rupa. Ada juga yang mengatakan infrastruktur tidak optimal, ditambah minimnya suprastruktur. Benarkah demikian?

Marilah kita tengok kondisi riil hal ihwal perupa di negeri ini. Dengan jumlah penduduk Provinsi Lampung sekitar tujuh juta orang lebih, sementara jumlah perupa di Provinsi Lampung tercatat 100-an orang. Dari jumlah tersebut seniman yang aktif profesional tidak lebih dari hitungan jari tangan, sedangkan yang lain adalah pekerja seni rupa sambilan. Banyak dari mereka yang berprofesi lain, seperti PNS, guru, karyawan swasta, tukang taman, tukang reklame, pedagang, dan petani.

Dari tahun ke tahun, jumlah penekun seni rupa tidak beranjak banyak, bahkan dalam dua dasawarsa terakhir jumlah penekun silih berganti generasi tetapi jumlahnya mendekati stagnan.

Data ini mengejutkan kalau kita sandingkan dengan jumlah penekun yang tumbuh di wilayah lain, wa bil khusus di Pulau Jawa dan Bali. Namun, kita juga segera mahfum, mengingat piranti pendukung yang memengaruhi tumbuh kembangnya kegiatan ini sangat minim.

Kita juga bisa memahami mengapa banyak talenta seni rupa potensial di wilayah kita enggan menekuni bidang seni rupa secara profesional, sebagai soko guru profesinya. Karena kehidupan seni rupa di Lampung tidak menjanjikan, belum mampu berperan banyak dalam menopang ekonomi kehidupan. Kalau kita urai lebih jauh persoalan ini, ternyata menyudutkan kita pada kesadaran pemahaman yang multikompleks. Betapa banyak persoalan yang muncul dan sangat tidak mudah untuk diurai apalagi untuk diselesaikan.

Contoh paling menarik dikemukakan di sini, misalnya, bagaimana mungkin seni rupa mampu dipahami siswa SD sampai SMA, sedangkan guru yang memberi pelajaran tidak menguasai bidangnya. Terjadi di negeri ini, guru olah raga, guru biologi, guru sejarah, guru agama mengajar seni rupa. Ini karena tidak memadainya jumlah tenaga guru kesenian yang ada dibandingkan jumlah sekolah.

Kalau kita telusuri lebih jauh, ini terjadi karena perguruan tinggi di provinsi ini ternyata belum ada satu pun fakultas keguruan yang memiliki jurusan seni rupa. Alamak...!

Fakta lain menunjukan unit kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa (UKM) di perguruan perguruan tinggi di propvinsi ini, di mana salah satu di dalamnya terdapat kegiatan seni rupa, belumlah terelaborasi dengan baik, sebagai parameter setiap kegiatan peksiminas (pekan seni mahasiswa nasional). Hasil karya mahasiswa kita selalu kalah dalam bidang seni rupa.

Fakta lain yang menarik, belum pahamnya oknum penyelenggara di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, yang notabene perpanjangan tangan pemerintah yang membidangi soal ini, sangat tidak mendukung kegiatan seni rupa. Kita tahu, dalam tupoksi lingkup kerjanya bertugas mempromosikan kegiatan budaya, tetapi di lapangan terbukti menghilangkan program pameran seni rupa di Lampung maupun luar Lampung dalam proyek kegiatannya. Sementara itu, beberapa tahun lalu, program ini pernah ada. Pertanyaan lagi, terus yang seharusnya menangani kegiatan seperti ini instansi mana?

Bagaimana dengan Dewan Kesenian di Lampung? Persoalan yang juga menarik dicermati, semenjak ada atau diadakan sejak tahun 90-an sampai sekarang, peran Dewan Kesenian sangat sulit mendapat poin C. Ketidakjelasan konsep maupun target sasaran jangka pendek, menengah, dan panjang program kerja serta tidak adanya parameter pengukuran tingkat keberhasilan program membuat kita rancu, apa yang ingin dicapai lembaga ini? Kita juga tidak pernah mendengar pelaporan ke publik, apa saja yang telah dihasilka sekian tahun kegiatan.

Ini tentu membuat kita bertanya, jangan-jangan memang benar sinyalemen bahwa sebagian besar pengurus lembaga ini kebesaran baju. Dan wajar saja ada sebagian seniman bergosip, lembaga ini seperti kumpulan event organizer.

Lain lagi dengan keberadaan Taman Budaya Lampung. Sebagai Unit Pelaksana Teknis Disbudpar, unit kerja seni yang seharusnya berperan sebagai dapur olah seni, wahana atau ruang publik ekperimentasi seni, kini tidak lebih dari unit penyumbang PAD. Masalahnya, setiap kegiatan kesenian yang tampil menggunakan fasilitas di sini tetap dipungut biaya meski jumlahnya kecil karena wajib setor ke kas daerah atau alih-alih dana kebersihan.

Pendokumentasian artefak budaya Lampung yang dalam hal ini seharusnya menjadi salah satu tugas pengelola negara, tidaklah berjalan sebagaimana mestinya. Karya-karya terbaik perupa Lampung hampir semua mengalir keluar daerah. Ada kekawatiran kelak di kemudian hari anak cucu kita mesti keluar negeri kalau ingin melihat hasil karya seniman pendahulunya. Ini dosa siapa?

***

Persolaan kesenian, khususnya seniman sangatlah menarik. Menjadi seniman memang tidak harus melalui pendidikan formal. Untuk menjadi pelukis, misalnya, tidak dibutuhkan ijazah. Berbeda dengan profesi lain semisal dokter, insinyur, ekonom, ahli hukum dan sebagainya.

Kalau dianggap sebagai profesi, seniman bukanlah profesi dalam pengertian umum, di mana batas parameter keprofesian serta relasi fungsionalnya dengan masyarakat cukup jelas.

Bisa dibayangkan jika siapa pun tanpa ijazah dan legitimasi ikatan keprofesian dokter boleh membuka praktek dokter. Jika ini terjadi, tentu yang bersangkutan akan berurusan dengan pihak berwajib.

Namun, ini tidak terjadi dalam seni, siapa pun boleh mengaku dan menyebut seniman dan boleh menyelenggarakan pameran, baik dia seniman yang mengenyam pendidikan seni formal maupun tidak. Bahkan banyak seniman tanpa latar pendidikan formal seni rupa, sukses mendunia sebagai seniman.

Ini dimungkinkan karena keinginan dan kerja keras seniman mengelaborasi dunia seni yang dia tekuni, baik dalam hal kearifan intelektual, kearifan teknis, kearifan manajerial serta kemampuan mengakses informasi dan jejaring.

Mesipun demikian, banyak calon seniman yang memilih belajar pada jalur pendidikan formal. Namun, aneh juga kenyataan sebagian besar lulusan perguruan tinggi seni di mana pun di seluruh dunia tidak menjadi seniman. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan.

Namun, kita tidak dapat mencari alternatif yang lebih baik dalam menyiapkan tenaga seni secara formal selain pendidikan. Pendidikan seni di negeri ini baik langsung atau tidak langsung sangat dipengaruhi pendidikan seni rupa Barat, dalam muatan kurikulumnya. Tentu ini perlu kita telusuri sejarahnya secara singkat, termasuk mengkritisi terhadap keberadaanya.

Ke depan, tentulah keberadaan pendidikan seni formal di ranah Sang Bumi Ruwa Jurai sangat perlu meski tidak mendesak. Yang perlu segera diadakan adalah pembukaan jurusan seni rupa pada pendidikan tinggi calon tenaga guru sekolah menengah. Juga pengaktifkan kegiatan seni rupa di UKM, serta workshop seni rupa di sekolah-sekolah menengah, kursus-kursus singkat bagi tenaga guru kesenian yang ada. Sebab, banyak dari tenaga guru ini yang tidak memiliki dasar seni rupa.

* Subardjo, praktisi seni rupa

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Januari 2009

No comments:

Post a Comment